Hai, ketemu lagi dengan saya Sherry Scarlet. Saya hadir dengan cerita baru

Yep, saya hadir dengan cerita rakyat yang berasal dari di Indonesia, lebih tepatnya dari Jawa Timur

Cerita ini mengalami sedikit pengembangan dari cerita aslinya terutama bagian dialog dan plotnya karena dialog aslinya, ekspresi dan kata-katanya tidak sesuai dengan 'yang seharusnya'. Tetapi, tidak keluar dari cerita aslinya jadi hanay mengalami sedikit peambahan, pengurangan, dan perganitan dialog dan plot saja.

Cerita ini saya persembahkan untuk readers dan sebagai wujud partisipasi saya dalam event Kia Andrea di grup facebook yaitu Event Floklore Fanfict Story

Selain itu, saya jadikan fict story ini sebagai pintu gerbang memasuki fandom Gintama.

Happy reading, and I always wait your review, minna... ^o^/

Kekayaan tidaklah abadi. Yang abadi adalah cinta dan kasih sayang kita terhadap orang yang kita sayang, salah satunya kepada anak kita sendiri. Janganlah hanya karena kekayaan kita masuk dalam jurang kegelapan hati dan buta akan kasih sayang...

Asal Usul Burung Kedasih

Discalimer: Anime/manga milik Sorachi Hideaki

Genre: Parody, family, hurt/comfort, drama (mungkin), angst (mungkin), tragedy (mungkin),

Warning: semi-AU, semi-AT, folklore story (dengan sedikit pengembangan), OOC, dll,

Cerita ini berawal dari sebuah keluarga di sebuah desa di pinggir kota Kabuki-Cho. Pada zaman dahulu kala, hiduplah sebuah keluarga yang bahagia. Mereka hidup dengan anggota keluarga yang lengkap yaitu seorang ibu yang bernama Tae dan seorang ayah yang bernama Kondou. Mereka memiliki seorang anak perempuan yang cantik dan imut bernama Kagura. Sang ayah adalah pria yang baik lagi bijaksana dan penyayang. Ia bekerja sebagai shinsengumi, yaitu polisi pemerintahan di kota Kabuki-cho. Sang ibu adalah wanita yang cantik dan baik hati. Ia tidak bekerja dan lebih senang mengurusi anak semata wayangnya. Sang anak adalah anak yang baik dan imut. Ia sekolah di SD Kabuki yang letaknya tidak jauh dari rumahnya.

Keluarga ini hidup dengan bahagia. Hal ini terlihat dari kebiasaan mereka sehari-hari. Mereka mengawali dengan selalu olahraga pagi kemudian dilanjutkan dengan Tae yang menyiapkan sarapan. Oh, jangan berpikirkalau masakannya itu sangatlah enak. Anak dan suaminya saja hampir saja keracunan setiap kali mereka makan makanan buatan Tae. Jika mereka menolak, Tae akan menghunuskan pedang dan mengancam akan membunuh Kandou dan Kagura. Atau kalau tidak, ia akan menangis dengan suara yang keras. Baiklah, kita kembali ke cerita. Dan ketika waktu menunjukkan pukul 7 pagi, mereka sarapan pagi bersama-sama. Tawa dan canda mengiringi sarapan pagi mereka. Sungguh saat-saat yang indah. Mereka melakukan ini setiap hari.

Namun, pada suatu ketika, waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore namun Kondou tidak kunjung pulang padahal di luar sedang hujan lebat.

"Bu, kenapa ayah belum pulang ya?" tanya Kagura pada ibunya. Ya, Kagura dan Tae sedang berada di dapur. Mereka bersama-sama sedang menyiapkan makanan untuk makan malam. Kagura sedang mengiris bawang bombay sedangkan Tae sedang mengupas tomat.

"Entahlah, nak. Biasanya jam segini ayahmu sudah pulang walau hujan. Entah kenapa perasaan ibu tidak enak,"

"Mungkin ayah sedang berteduh di suatu tempat. Atau ayah masih di kantor karena hujan lebat sehingga tidak bisa langsung pulang?"

"Sepertinya begitu. Berdoa saja semoga ayahmu baik-baik saja,"

"Ya, bu." Kagura menghentikan acara memotong bawang bombaynya. Ia langsung menubruk ibunya dan memeluknya. Tae membalas pelukan putri tercintanya tersebut. Dengan perasaan khawatir, Tae memandang langit yang gelap dari balik kaca jendela dengan pandangan berkaca-kaca.

"Kami-sama, lindungilah suamiku..." gumam Tae sambil menutup kedua tangannya dan air mata menetes dari pelupuk matanya.

Kantor Shinsengumi, 17.11 p.m...

"Ya ampun, kalau hujan seperti ini terus, bagaimana aku bisa pulang?"

Seorang pria berambut coklat pendek dengan sedikit janggut di dagunya dan mata yang sayu berdiri memandang jendela kantornya. Hujan di luar sana masih setia mengguyur jalanan di dekat kantornya diiringi dengan suara-suara gemuruh dan hallintar yang terus menyambar. Ya, ia adalah Isao Kondou, ketua Shinsengumi di distrik Kabuki-Cho, suami dari Tae dan ayah bagi Kagura.

TOK TOK TOK

"Masuk," Isao berbalik arah dan speechless memandang pintu yang terbuka. Tampak seorang pria berambut hitam pendek masuk dengan secangkir teh.

"Ah, kau, Yamazaki,"

"Ya, tuan. Ini, saya bawakan teh untukmu,"

"Ah, terima kasih, jadi merepotkan kamu. Aku tak enak hati jadinya,"

"Tidak apa-apa, tuan. Ini kemauan saya sendiri. Teh ini kubuat untuk menghangatkan tubuh tuan, sembari menunggu hujan reda. Hehe..."

"Ah, kau ini bisa saja, Yamazaki. Kau sendiri tidak membuat teh?"

"Oh, tehku ada di depan bersama teh milik wakil ketua dan komandan Sougo,"

"Baiklah, sepertinya bersama-sama sambil minum teh terdengar lebih baik daripada sendiri. Ayo, kita bergabung bersama mereka,"

"Ya, tuan." dan mereka berduapun keluar dari ruangan Isao. Sesampainya di ruang tamu, terlihat seorang pria berambut raven sedang menyesap teh sedangkan di depannya, seorang pemuda berambut blonde sedang memperbaiki bazoka miliknya.

"Tuan Isao," sapa pria berambut raven itu sembari tersenyum. Pria berambut blonde itu juga menghentikan aktivitasnya dan memandang Isao sambil tersenyum. Isao balas tersenyum dengan Yamazaki yang masih di belakangnya.

"Hai, minna. Hm? Kemana Unosuke dan Takeda?" tanya Kondou celingak celinguk mencari Unosuke dan Takeda. Nmaun tidak tampak adanya mereka di sini.

"Oh, mereka masih patroli," jawab Yamazaki.

"Hah..., padahal hujan lebat begini. Seharusnya mereka kembali ke sini aatu pulang ke rumah,"

"Entahlah, tuan. Oh, tuan, silakan duduk," kata pria berambut raven tersebut-sebut saja Hijikata. Isao tersenyum dna mengangguk.

"Terima kasih," dan Isao duduk di seberang pria berambut raven itu, sebut saja Hijikata dan Yamazaki duduk di seberang pria berambut blonde, sebut saja Sougo. Namun, baru Isao akan duduk, tiba-tiba seng atap ruang tamu tersebut terbuka dan berikibar-kibar lalu seng tersebut pun terbang entah kemana.

"Hwaaaa...!" dan air hujan langsung mengguyur ruang tamu tersebut sehingga banjir.

BLARRRRR...

"Yamazaki, ambil tangga di dapur! Sougo, kau dan Hijikata ambil pel dan lap serta sapu lidi! Biar aku yang memanjat ke atas untuk memperbaiki atap!"

"A-apa?" Yamazaki, Hijikata, dan Sougo terpana mendengar perintah Isao yang berbahaya tersebut.

"Tuan, itu berbahaya! Sebaiknya nanti saja menunggu hujan reda!" pinta Yamazaki namun halilintar kembali menyambar dan seng – seng atap lainnya kembali berkibar-kibar sehingga air hujan masuk semakin banyak.

"Tuan...!"

"Cepat, ambil tangganya! Kalian ambil sapu, sapu lidi, dan lap pel! Cepat!"

"Tetapi-"

"Ini perintah! Cepat! Tidak ada waktu lagi!"

"Ba-baiklah." dan Yamazaki , Hijikata, dan Sougo segera berlari ke arah dapur. Kondou berlari ke pojok ruangan untuk menghidari terpaan air hujan. Seng-seng kembali berkibar dan beberapa di antaranya terbang melayang entah kemana.

"Sial!" gerutu Kondou kesal sambil memukul tembok dengan sisi tangan kanannya.

"Tuan," Kondou menoleh ke arah pintu dan terlihat Yamazaki berjalan ke sana ke mari karena kewalahan membawa tangga kayu yang berat dan besar.

"Mari ku bantu! Kita bawa tangganya ke depan!"

"Baik!" Yamazaki dan Kondou mengangkat tangga secara bersama-sama menuju ke luar. Setelah samapi di luar, mereka meletakkan tangganya di luar depan pintu kantor.

"Yamazaki, kembali ke dapur dan bawa seng-seng cadangan serta paku-paku dan palu kemari. Aku tunggu di atap!"

"Baik, tuan," Yamazaki kembali ke dalam meninggalkan Kondou sendirian di luar. Kondou segera naik ke tangga menuju atap. Perlahan, ia berusaha naik walau air hujan terus mengguyurnya tiada ampun dan tiada henti. Petir dan halilintar masih setia menemani dan mengiringi perjalanan Kondou menuju atap. Suaranya yang menggelegar sempat membuat Kondou berhenti menaiki tangga. Baru setelah mereda, ia kembali memanjat.

Kondoupun sampai di atap. Tidak lama kemudian, datang Yamazaki beserta seng-seng, paku-paku, dan palu yang ia bawa.

"Tuan, ini seng, paku-paku, dan palunya,"

"Baik, angkat sengnya!" Yamazaki segera mengangkat sengnya. Namun, tiba-tiba, angin bertiup kencang. Hujan semakin deras dan halilintar kembali menyambar-nyamabar dengan suara yang amat sangat keras. Dan, satu halilintar menyambar ke arah Kondou.

BLARRR

"AAAAAARGGHHHHH...!"

"Tuan...!" Yamazaki yang melihatnya terpana. Kondou jatuh berguling-guling melalui atap dengan tubuh gosong dan iapun jatuh.

"Tu-tuan Kondou...!" Yamazaki melepas seng-seng, paku-paku, dan palu yang ada dalam kantong plastik dan berlari ke arah Kondou.

"Tuan, Tuan Kondou! Tuan! Tuan, bangun tuan! Bangun! Tuan...!" pinta Yamazaki sambil menggoyangkan tubuh Kondou. Namun, tidak ada respon dari Kondou.

"Tuan, jangan mati, tuan! Tuan! Jangan tinggalkan aku, tuan! Tuan! Tuan...!" teriak Yamazaki dengan suara yang keras membuat burung-burung beterbangan.

PRANGGG...

Tae yang sedang memberesi peralatan masaknya terkejut dan memandang ke arah lemari. Di sana, sebuah gelas yang telah dipakai dan terdapat sedikit sisa air, pecah berkeping-keping sehingga airnya tumpah dan berceceran sampai jatuh ke lantai.

"Oh, kami-sama,..." Tae segera memberesi kepingan gelas tersebut. Namun, jari tangannya tidak sengaja menyentuh ujung gelas dan jarinya tergores sehingga mengeluarkan darah.

"Auh...!"

"Ibu...!" Kagura mendekati ibunya dan menhampirinya.

"Ada apa, bu?"

"Jari ibu terluka karena tidak sengaaja menyentuh ujung pecahan gelas ini. Dan juga entah kenapa perasaan ibu tidak enak. Benar-benar tidak enak. Ibu merasa seperti terjadi sesuatu pada ayahmu, nak,"

"Ibu..." Kagura segera memeluk ibunya dan air mata menetes dari pipinya.

Hijikata dan Sougo keluar dari ruangan dan berlari ke arah Yamazaki. Setelah sampai, betapa terkejutnya ia melihat Kondou yang terbujur kaku di pangkuan Yamazaki.

"Yamazaki, ada apa?" tanya Hijikata. Sougo terpana melihat Kondou yang ada pada pangkuan Yamazaki.

"Tuan Kondou!" Hijikata menoleh ke arah Kondou dan terpana melihatnya. Hijikata segera berjongkok dan menggoyangkan tubuh Kondou agar bangun.

"Tuan?!"

"Hiks...hiks..." Yamazaki masih sibuk menangis sambil meremas erat baju Kondou. Air matanya menetes membasahi baju Kondou yang menyatu dengan tetesan air hujan.

"Ada apa ini? Ada apa dengan tuan Kondou?" tanya Hjikata menatap Yamazaki. Yamazaki masih menangis tanpa menatap Hijikata dan Sougo.

"Tu-tuan Kondou..." jawabnya sambil terisak. Ia segera menunduk, tidak mampu menatap dua atasannya tersebut.

"..."

"Tuan Kondou..."

"..."

"Yamazaki!" teriak Hijikata memegang erat bahu Yamazaki namun dia masih terisak dan tidak menatap Hijikata.

"Tuan...tuan Kondou..."

"Cepat katakan apa yang terjadi?"

"Tuan Kondou...dia...dia..."

"Yamazaki!" kembali Hijikata berteriak dan semakin erat memegang bahu Yamazaki, membuat bahu Yamazaki agak sakit. Sougo segera berjongkok dan mengecek nadi di balik pergelangan tangannya dan leher serta mengecek hidungnya.

"Tuan Kondou sudah meninggal,"

"Apa?" sekali lagi Hijikata terpana mendengar pernyataan Sougo. Sougo mengangguk pelan dan Hijikata kembali menatap Yamazaki yang masih menunduk sedih. Ia lepas pegangannya pada bahu Yamazaki dan menatap Kondou. Air mata perlahan menetes ke pipinya.

"Hiks...hiks...tuan Kondou...dia...dia tersambar petir saat berusaha membenahi atap. Aku melihatnya saat kemari membawa seng, paku-paku, dan palu yang dia perintahkan padaku untuk diambil...hiks..."

"Ti-tidak mungkin! Tidak mungkin! Tuan, tuan Kondou! Tuan Kondou!" kembali Hijikata menggoyangkan tubuh Kondou namun tidak ada reaksi apapun dari Kondou. Hijikata berhenti menggoyangkan tubuhnya. Ia menunduk dengan poni yang menutupi wajahnya.

"Yamazaki, cepat kau ke rumah Tae. Beritahu Tae mengenai ini!" perintah Sougo. Yamazaki segera bangkit dan mengangguk.

"Baik," Yamazaki segera bergegas pergi meninggalkan Hijikata, Sougo, dan Kondou. Hijikata masih menangis meratapi Kondou sementara Sougo hanya diam dengan wajah datarnya. Sesekali ia menghela napas dan menatap langit yang masih mencurahkan air matanya, menemani Sougo dan Hijikata dalam duka.

TOK TOK TOK TOK YOK

"Otae! Tae! Tae! Otae!" teriak seorang dari luar pintu dapur dengan suara tergesa-gesa.

"Ibu..." Tae yang mendengarnya menatap ke arah dapur dan iapun melepas pelukannya dan berdiri.

"Kagura, kamu tunggu di sini. Ibu ke dapur dulu untuk membuka pintu. Kamu di sini saja ya!" Kagura mengangguk dan tersenyum simpul. Tae mengelus kepala Kagura dan pergi ke depur.

TOK TOK TOK

"Tae! Otae! Tae!"

"Ya...!" teriak Otae dari arah ruang makan. Ia berlari kecil menuju pintu dan membuka pintu belakangnya. Ketika pintunya di buka, terlihat seorang pria berambut hitam dengan mata sayu dan berpakaian shinsengumi dengan pedang di pinggang kirinya. Ia terengah-engah dan membungkuk sambil tangan kanannya bertumpu pada tembok.

"Yamazaki?" Tae terkejut melihat bawahan suaminya tersebut berada di belakang rumahnya dnegan kondisi basah kuyup.

"Otae..."

"Yamazaki? Ya ampun, kau basah kuyup. Ayo, masuklah!" Yamazaki pun masuk dengan dituntun Tae. Yamazaki duduk di kursi dapur dan Tae segera membuat teh hangat. Tidak lama kemudian, ia menghampiri Yamazaki dengan secangkir teh.

"Ini, minumlah. Aku ambil baju ganti dulu,"

"Tidak perlu, Tae. Aku tidak lama. Ada kabar penting yang harus kusampaikan padamu,"

"Kabar penting? Kabar penting apa?"
"I-itu..." Yamazaki langsung terdiam. Ia menunduk dan meletakkan cangkir tehnya di pangkuannya.

"Ya?"

"..." Yamazaki berulang kali meneguk ludanya. Ia terlalu berat untuk mengatakannya mengingat Kejadian yang dilihatnya tadi. Matanya bergerak ke sana ke mari dengan masih menunduk-berusaha menghilangkan rasa gugupnya. Tae yang menunggunya lama kelamaan menjadi agak gusar. Ia menghela napas dan menatap tajam Yamazaki.

"Kabar penting apa?"

"I-itu..."
"Yamazaki...?"

"A-ano, ada kabar penting yang harus kusampaikan padamu. I-ini mengenai su-suamimu..."

"Suamiku?" dan petir kembali bergemuruh mengiringi keterkejutan Tae atas perkataan Yamazaki.

"Ya,"

"Suamiku? Ada apa dengan suamiku? Dia, dia baik-baik saja kan? Dia baik-baik saja kan?" tanya Tae sambi menggerakkan bahu Yamazaki. Entah kenapa hatinya berdegup kencang. Perasaannya tidak enak dan kembali gundah. Yamazaki kembali menunduk membuat Tae semakin penasaran dan tidak dapat melihat ekspresinya.

"Yamazaki...?"

"Tuan, tuan Kondou..."

"..."

"Tuan Kondou..."

"Ada apa dengan suamiku, Yamazaki. Katakan ada apa?!" teriak Tae kembali menggerakkan bahu Yamazaki. Air matanya mendadak menetes melintasi pipinya. Yamazaki kembali diam tanpa memandang Tae, membuat Tae semakin gelisah.

"Yamazaki...?"

"Tuan Kondou, dia... dia..."

"Dia kenapa?"

"Dia...dia tersambar petir," jawab Yamazaki dan ia kembali menunduk. Tae yang mendengarnya terpana. Ia melepas pegangannya pada bahu Yamazaki. Petir kembali bergemuruh dan menyambar-nyambar. Ya, petir yang menyambar hati Tae, membuatnya remuk berkeping-keping.

"Tidak, tidak mungkin,"

"Maafkan aku, Tae..."

"Tidak, tidak mungkin! Itu tidak mungkin! Kau bohong kan, Yamazaki?"

"Tae..."

Kau bohong kan, Yamazaki?"

"..."

"Tidak, itu tidak mungkin! Tidak! Tidak! Tidaaaaaakkkkk...!" Kemudian, muncul Kagura dari arah dapur dan ia berlari kecil ke arah ibunya.

"Ibu, ayah kenapa? Ayah dimana? Kenapa ibu menangis?" tanya Kagura dengan raut wajah khawatir. Tae langsung memeluk putri kesayangannya dengan erat sementara Kagura diam dengan seribu pertanyaan di benaknya sambil memandang wajah ibunya dengan mata yang berkaca-kaca.

"Ibu..."

"Kagura..."

"Ibu, ibu kenapa menangis? Ayah mana? Kenapa belum pulang? Katakan padaku, bu. Jawab pertanyaanku...!"

"Kagura..."

"Bu...!" Tae terdiam tanpa menjawab sepatah katapun untuk menjawab pertanyaan putrinya itu. Yamazaki hanya mampu tertunduk sambil membasuh air matanya. Kagura melepas pelukan ibunya dan berbalik menghadap Yamazaki.

"Paman, ayah kemana? Ayah masih di kantor ya? Kenapa lama? Ayah tidak pulang bersama paman?" pertanyaan bertubi-tubi dari Kagura yang polos membuat hati Yamazaki semakin teriris. Yamazaki berjongkok dan mengelus kepala Kagura dengan sayang.

"Kagura..."

"Ayah dimana? Kenapa belum pulang?"

"Kagura..." Tae menghampiri anaknya dan kembali memeluknya.

"Ibu..."

"Ayahmu, Kagura…"

"Ayah kenapa, bu? Ayah baik-baik saja kan?" Tae menundukkan kepalanya, tidak mampu menatap mata sang putri tercinta. Ia kembali terisak, membuat Kagura semakin jengah.

"Bu...!"

"Ayahmu, nak. Dia... dia..."

"..."

"Dia..."

"..."

"Ayahmu, dia... dia tersambar petir," jawab Tae dengan berat hati dan iapun kembali menangis. Kagura terpana mendengarnya dan sekali lagi petir menyambar-nyambar, menjadi background suasana di rumah itu.

"Tidak. Itu tidak mungkin. Ayah tidak mungkin mati. Ayah tidak mati. Ayah tidak mati kan, bu? Ibu bohong kan?" Tae menggeleng pelan seraya masih tetap menangis. Kagura berbalik ke arah Yamazaki yang masih berjongkok.

"Paman, ayah tidak mungkin mati kan? Ibu bohong kan, paman?"

"Kagura..."

"Kalian bohong, ayah tidak mungkin mati. Ayah... ayah...!" Kagura segera keluar mencari ayahnya namun ia keburu dicegat Tae.

"Kagura, jangan nak. Di luar masih hujan deras. Berbahaya...!"

"Tidak, bu. Aku mau mencari ayah! Ayah...! Ayah...!"

"Kagura..."
"Lepaskan aku, bu. Aku mau mencari ayah...! Ayah...! Ayah di mana? Ayah tidak mati kan? Hue...ayah..." Dan pecahlah air mata Kagura. Kagura kembali dipeluk Tae dan mereka berdua menangis bersama. Bagaikan melodi kematian, mendengarnya membuat hati Yamazaki tambah sakit. Bagaimana tidak, Isao Kondou adalah sebaik-baiknya seorang atasan bagi seorang bawahan sepertinya. Ia pula adalah sebaik-baiknya seorang suami dan ayah bagi istri dan putri semata wayangnya. Ia yang juga dicintai semua orang, ketika ia pergi, bagaimana semua orang tidak berduka? Malang nian nasibmu, Kondou. Namun, pasti ada rencana yang indah dari kami-sama kepada istri dan putrimu dibalik peristiwa ini. Selamat jalan, Kondou. Semoga kau ditempatkan diantara orang-orang yang baik dan kelak dapat masuk surga.

TBC