Cursed Princess
.
Naruto disclaimer by Masashi Kishimoto
Based on Otome Game by Dicesuki
Warnings:
AU, OOC, dan mungkin Typo sedikit bertebaran.
-Probably, Sakura Centric-
.
~DLDR~
Enjoy it~
.
Namanya Sakura Haruno. Putri dari Raja Kizashi Haruno, serta Putri Mahkota dari kerajaan Emyrlis. Setidaknya, itulah dirinya. Tidak sampai kemarin, ketika dia menjadi salah satu korban dari kutukan fairytale yang tengah terkenal saat ini. Dan sekarang, gadis itu tidak lebih dari seorang rakyat biasa yang terlupakan kehadirannya.
Mimpi buruknya baru saja dimulai.
Ingatan tentang dirinya yang kemarin kembali menghampiri gadis itu.
.
.
"Hey, Kau dengar? Katanya ada orang yang dikutuk lagi."
"Astaga! Benarkah? Kutukan dongeng itu, kan?"
"Yap. Kudengar, dia terkena kutukan Pinokio."
"Pinokio? Maksudmu, Pinokio yang hidungnya akan memanjang jika berbohong?"
"Yang mana lagi kalau bukan itu? Wuah, aku takut sekali."
"Kau benar. Aku juga takut mendengarnya."
Sakura menghentikan langkahnya ketika obrolan kedua pelayan itu masuk ke indera pendengarannya. Manik emerald-nya melirik singkat ke arah dua pelayan yang masih asyik mengobrol tanpa tahu akan kehadirannya.
'Haah ... lagi-lagi gosip tentang kutukan itu.' Sakura menghembuskan napasnya pelan. 'Dan lagi, kedua orang ini lagi-lagi bergosip saat tengah bekerja.' Batinnya seraya tetap diam mendengarkan obrolan para pelayan tersebut.
"Akhir-akhir ini semakin banyak saja orang yang dikutuk." Desah pelayan berhelaian coklat.
"Kau benar. Ini mengerikan. Kupikir kutukan ini akan berakhir ketika 'Dia' dikalahkan." Balas si penyebar berita utama.
"Kalian di sini untuk bekerja, Bukan mengobrol!"
Kedua pelayan itu terpengarah dengan keringat dingin yang jatuh di pelepis mereka.
"Your highness!" pekik mereka bersamaan.
"Ka-kami minta maaf, Sakura-Hime. Per-permisi, Yang mulia." Gagap pelayan berhelaian biru seraya terburu-buru pergi dari sana.
Sakura mendesah lagi ketika kedua pelayan itu sudah jauh dari pandangannya.
"Haah ... seperti yang kuduga tentang orang-orang seperti mereka." Gumamnya. "Kutukan dongeng lagi, kah?"
Emerald itu memandang hampa hamparan langit biru cerah dihiasi gumpalan awah putih.
Kutukan dongeng, atau sering disebut masyarakat Emyrlis dengan sebutan 'Fairytale Curse', merupakan kutukan yang muncul sebelum perang besar empat tahun yang lalu terjadi. Masyarakat mengatakan bahwa penyihir jahat penjaga permata Tenebrarum yang memulainya.
Entahlah, Sakura tidak ingin mengetahuinya dan tidak pernah peduli akan berita tersebut.
'Orang-orang seperti mereka sepertinya cocok untuk dikutuk. Andai saja Ibu masih hidup, aku yakin kutukan itu akan dimusnahkannya dari Emyrlis.'
Pikiran Sakura kembali melayang ketika mengingat mendiang Sang Ibu.
"Sayangnya, Ibu sudah ..."
"Sakura-hime?"
Lamunan Sakura terhenti. Tanpa menoleh ke arah pelayan yang memanggilnya, Gadis itu menjawab, "Aku tahu."
Dan, kembali melanjutkan langkahnya menuju ruang makan, dimana 'keluarga'-nya telah menanti.
.
.
Sakura tiba di depan sebuah pintu besar yang terbuat dari kayu Bubinga. Para pengawal yang menjaga pintu tersebut segera membukakan pintu untuknya.
Manik gadis itu mendapati Sang Ayah, Karura, beserta Gaara yang sudah duduk di tempat mereka masing-masing. Seharusnya, ada satu orang lagi. Namun, Sakura tak ingin mengambil pusing atas ketidakhadiran orang tersebut.
"Selamat Pagi, Sakura." Sapa Sang Raja dengan senyuman tipis.
Sakura melirik singkat Sang Ayah yang nampak tersenyum paksa ke arahnya.
"Selamat pagi, Yang Mulia." Balasnya singkat.
"Selamat Pagi, Saki." Wanita anggun berhelaian cokelat yang duduk di dekat Sang Raja juga turut menyapanya.
Manik emerald itu melirik sekilas ke arah Wanita itu tanpa mambalas ucapannya.
"Sakura." Kizashi menegur kelakuan putrinya itu.
Sakura yang masih nampak enggan membalas sapaan tersebut hanya bergumam, "Karura-san."
Senyuman di wajah Karura nampak mengendur. Namun, wanita itu tetap memasangnya dengan gurat kesedihan yang sedikit terlihat pada senyumnya.
Karura rei, atau sekarang dikenal sebagai Karura Haruno. Setiap hari Sakura selalu berpikir, kenapa Ayahnya, Sang Raja, mau menikahi wanita dari golongan bawah.
Karura dan Ibunya berbanding jauh. Dan Sakura yakin, Karura tak dapat menggantikan Ibunya, Sang Ratu sesungguhnya.
Terlepas dari pemikirannya sendiri, gadis musim semi itu melangkah anggun guna mengambil tempat tepat di sebelah Sang Raja. Dan kini, netranya menggulir ke arah pemuda yang duduk tepat di seberangnya.
Gaara Haruno, kakak tirinya, terlihat bosan dan pendiam seperti biasa. Usianya dua tahun di atas Sakura, dan merupakan putra bungsu Karura.
Sakura tidak terlalu terusik dengan kehadirannya sebab, pemuda bersurai merah dengan tato 'Ai' itu selalu diam dalam urusannya sendiri.
Tetapi ...
"Selamat pagi, Ayah, Ibu. Maaf aku terlambat! Aku tadi terlalu asyik membaca hingga lupa waktu."
Suara ceria dari gadis bersurai blonde yang baru saja tiba di ruangan tersebut menghentikan pikiran Sakura. Gadis cherry blossom itu membatin tak suka ketika gadis blonde itu mengambil tempat duduk di sebelahnya.
"Pagi, Gaara, Sakura. Ini pagi yang indah, bukan?" Sapanya namun tak digubris oleh sosok di sebelahnya.
Temari Haruno, kakak Gaara sekaligus putri sulung Karura dan kakak tiri Sakura juga. Sifatnya yang selalu ceria terlihat begitu menyebalkan bagi Sakura. Gadis itu selalu bersikap layaknya dia adalah seorang putri sejati. Dan kadang, selalu mengusik ketenangan gadis itu dengan ingin ikut campur segala kepetingan yang Sakura lakukan.
Kizashi tersenyum. "Sepertinya semua sudah berkumpul. Nah, mari kita mulai makannya."
Mereka memulai sarapan mereka pagi itu.
"Jadi, Temari sudah membaca buku yang diberikan oleh Yang mulia?" tanya Karura di tengah acara sarapan mereka.
Gadis itu mengangguk penuh antusias. "hmm ... dan aku begitu menyukainya. Terima kasih, Ayah."
"Aku senang jika kau menyukainya." Kizashi tersenyum lembut.
"Aku sangat menyukainya. Tapi ...," senyum gadis itu berganti dengan raut wajah penuh keheranan. "Kenapa perpustakaan kita tidak memiliki buku itu sejak awal?" tanyanya.
Kizashi hendak menjawab ketika Sakura membuka suara lebih cepat.
"Karena Ibu membencinya. Ibu membakar semuanya, dulu." Jawabnya tanpa menoleh ke arah temari.
Suasana yang semula cerah kini mulai mendingin.
"Tapi, kenapa? Padahal ceritanya-."
"Dongeng membuat manusia percaya bahwa mereka dapat mendapatkan apapun yang mereka inginkan." Potong Sakura. "Cinta, Uang, kejayaan, dan bahagia selamanya ..."
Sakura menarik napasnya sejenak. "Dan ketika harapan mereka tidak terpenuhi, mereka menyalahkan para penyihir seakan semua adalah salah mereka sejak awal."
Kizashi meletakan alat makannya, "Apa maksudmu, Sakura?" desisnya kepada sang Putri.
Atmosphere di ruangan tersebut semakin dingin dan memberat.
Sakura melanjutkan makannya, "Mungkin, penyihir bukanlah yang bersalah atas semua kejahatan yang terjadi saat ini. Atau mungkin, penyebabnya adalah manusia sendiri."
Manik Kizashi semakin menajam. "Apa kau mengerti apa yang kau katakan, Nak? Penyihir telah menyebabkan kerusakan dan kejahatan di kerajaan kita." Kizashi masih menahan geramannya. "Bahkan, hingga saat ini mereka masih menyebarkan kutukannya kepada rakyat yang tidak bersalah."
Sakura tak menanggapi. Jujurnya, dia sedikit tahu tentang para penyihir yang berusaha mengambil alih Emyrlis. Saat itu, dia masih kecil dan ibunya melarang untuk pergi meninggalkan Istana, atau terkadang kamarnya.
'Ibu selalu membuatku jauh dari orang-orang agar aku tidak terluka.'
Memejamkan matanya sejenak, Sakura menyahuti perkataan Sang Raja, "Bagaimana Anda bisa tahu bahwa yang dikutuk adalah rakyat yang tak bersalah?"
Kizashi menghembuskan napasnya kasar. "Aku tidak tahu apa yang ibumu-."
"Jangan bawa-bawa Ibu dalam masalah ini." Potong Sakura.
Kizashi terdiam dengan wajah yang menahan amarah. Baru saja dia akan kembali berdebat dengan putrinya, ketika tangan Karura menggenggam lembut tanganya.
"Sayang, Kumohon." Bisiknya seraya menggelengkan kepalanya.
Karura tersenyum ketika mendapati Suaminya menuruti permintaannya.
"Sakura, sayang, Ayahmu tidak-"
"Aku bukan putrimu!" lagi-lagi Sakura memotong pembicaran mereka.
Karura nampak terkejut. Raut wajahnya nampakan kesedihan.
"Sakura!" Kizashi menggebrak meja tersebut. "Kau harus menghargai Ibumu!" peringatnya.
"Dia bukan Ibuku!" tegasnya seraya meletakan Alat makannya dan berdiri. "Aku sudah selesai. Permisi." Lanjutnya seraya meninggalkan ruangan tersebut.
Sakura dan Ayahnya memang tidak pernah dekat. Hubungan mereka kian memburuk ketika Ayahnya menikah lagi dengan Karura.
Selama tujuh belas tahun hidupnya, Sakura tidak pernah mendapati Sang Ayah berperilaku baik kepadanya seperti, Sang Ayah memperlakukan kedua kakak tirinya dengan penuh kasih sayang.
.
Sakura berjalan dengan tatapan sendu.
'Hanya ibu yang selalu berada di sampingku. Andai saja ... perang itu tak pernah terjadi. Ibu pasti ...'
"Ada apa dengan wajah murung anda pagi ini, Hime-sama?"
Seorang pemuda yang lebih dewasa dari Sakura muncul di sampingnya secara tiba-tiba.
"Biarku tebak, Karena Raja, Ratu, atau Temari-Hime?" terkanya dengan senyuman di wajah rupawannya.
"Atau ... Karena mereka semua, Hmmm?"
Sakura tak mengindahkan pertanyaan pemuda tersebut.
"Apa yang kau lakukan sepagi ini, Shikamaru?"
"Ah, Aku?" Shikamaru menunjuk dirinya sendiri. "Aku mengerjakan beberapa kepetingan untuk ayahku." Jawabnya dengan sesekali menguap.
Shikamaru Nara, Putra dari panglima prajurit tertinggi kerajaan Emyrlis, Shikaku Nara. Dia dan keluarganya telah lama melayani keluarga kerajaan. Dan saat ini, dia adalah pengawal pribadi Sakura.
"Well ... harusnya kau menunggu di ruang Tahta." Ingat Sakura.
"Terima kasih." Shikamaru membungkuk hormat.
Sakura tak menanggapinya.
"Hime-sama ..."
Panggil Shikamaru lagi ketika Sakura hendak melangkah. Sakura memberikan tatapan herannya.
"Hmm ... Kau tahu, aku belum pernah melihatmu tersenyum sekalipun sejak aku pertama kali bertemu denganmu." Jelas Shikamaru.
"Apakah itu penting?" Ujar Sakura dingin.
Shikamaru tersenyum kikuk. "Well ... setidaknya aku berharap aku bisa melihatmu tersenyum."
Sakura tetap diam.
Menyadari suasana mereka yang tidak enak, Shikamaru beranjak pamit. "Maaf karena telah mengambil waktu anda. Kita akan bertemu lagi pukul sepuluh." Pamitnya.
"Sepuluh?" Sakura menautkan alisnya.
"Hime-sama, Jangan bilang kalau anda lupa. Hari ini anda ditugaskan untuk menemani Putri Temari ke Pusat Kota, bukan?" jelas Shikamaru.
Wajah Sakura semakin suram.
Ah, dia lupa.
Dua hari yang lalu, Sang Raja memintanya untuk menemani Temari berkunjung ke pusat Kota. Walaupun dia sempat menolak, tetapi Sang Raja tetap kukuh memerintahkannya untuk menemani Temari dengan harapan bahwa pandangannya tentang masyarakat yang selama ini ditanamkan padanya berubah.
Kizashi sangat berharap Putrinya dapat melihat perubahan Emyrlis setelah perang besar melawan penyihir empat tahun yang lalu.
'Aku aman di sini.' Batinnya.
Menghembuskan napasnya pelan seraya menggelengkan kepalanya. Sakura mencoba untuk menghapus ingatannya tentang kejadian empat tahun yang lalu, saat dia pertama kali mengunjungi pusat kota bersama Ayahnya.
Melihat ada yang tidak beres, Shikamaru mendekati Sakura dan mengayunkan tangannya tepat di depan wajah gadis itu.
"Anda baik-baik saja, Hime-sama?" tanyanya.
Sakura tetap diam dalam pikirannya.
"Tenanglah, Ini bukanlah suatu hal yang buruk, Sakura-hime. Penduduk Emyrlis adalah orang-orang yang baik." Tenangnya.
"Bagaimana kau bisa yakin akan hal itu?" Sakura memicingkan matanya.
"Sakura-hime-"
Ucapan Shikamaru mengambang di permukaan ketika Sakura lebih dulu pergi dari sana.
.
.
Sakura menutup pintu kamarnya. Diliriknya Boneka bersurai cokelat favoritnya-hadiah dari Sang Raja empat tahun yang lalu.
"Shizune, apa kau pikir penyihir dapat menghidupkan seseorang yang sudah mati?"
Sakura memulai percakapannya seperti biasa kepada boneka kesayangannya.
"Aku harap aku bisa berbicara dengan kalian semua, terutama kau, Shizune." Lirihnya kejajaran bonekanya yang tersusun rapi.
Bagi Sakura, Boneka adalah temannya. Mereka takkan pernah menyakiti dan mengkhianatinya seperti manusia. Dan yang terpenting, mereka akan selalu ada untuknya.
Sakura kembali menatap Shizune. Baginya, Shizune special. Boneka itu terlihat nyata dan elegant dengan rambut cokelat sebahunya.
Sakura baru mendapatkan hadiah seperti boneka, langsung dari Sang Ayah setelah ibunya tiada.
Ibunya tak pernah percaya dengan ulang tahun. Tetapi, setiap tengah malam tepat di hari ulang tahunnya, Sakura akan menemukan sebuah surat di bawah pintu kamarnya. Surat itu akan menunjukannya ke sebuah ruangan yang penuh dengan hadiah, kue, dan manisan.
Sebuah kejutan impian anak-anak.
Hadiah utamanya selalu boneka dengan sebuah kartu ucapan yang berisi, 'Aku menyanyangimu.' Dengan tanda 'M'.
Surat itu juga meminta untuk merahasiakan perayaan tersebut. Tanpa perlu ditanya, Sakura sudah tahu bahwa Ibulah yang telah menyiapkan segalanya.
Ibunya selalu memiliki cara untuk membuat Sakura bahagia.
Sayangnya, semua itu berakhir ketika ibunya meninggal.
Dan Sakura benar-benar merasa kesepian saat ini.
Ketukan di pintu kamarnya kembali membawa Sakura ke dalam kenyataan.
"Ya?"
"Hime-sama, Yang Mulia mengharapkan kehadiran anda." Jelas seorang pelayan di depan pintu kamarnya.
"Bilang padanya, Aku segera ke sana."
Sang pelayan menganguk patuh dan pergi dari kamar Sakura.
.
.
"Ara ... Sakura-Hime?"
Sakura menghentikan langkahnya ketika berpapasan dengan pria bersurai hitam dihadapnnya.
"Tuan Orochimaru."
Orochimaru, penasihat kerajaan yang begitu Ayah Sakura percayai, menyapanya dengan senyuman aneh.
"Setiap hari kau semakin terlihat seperti Ibumu." Pujinya.
Ah, Sakura lupa. Orochimaru merupakan salah satu penggemar Ibunya. Dia selalu memuji potret Ibunya ketika tak ada orang lain di antara mereka. Kedati Sakura tahu itu, Ada satu hal yang selalu membuat Sakura curiga kepada Orochimaru.
"Apa Anda sedang ingin menemui Yang Mulia? Saya tidak boleh menghambat anda kalau begitu." Pamitnya.
"Sampai berjumpa lagi, Hime-sama." Ucapnya sebelum benar-benar meninggalkan Sakura.
Gadis itu mengamati kepergian Orochimaru dari ekor matanya, sebelum akhirnya melanjutkan langkahnya menenmui Sang Raja.
.
.
"Kau sudah siap, Sakura?"
Kizashi bertanya dan hanya dibalas dengan anggukan oleh gadis itu.
"Tenanglah, ini tidaklah buruk. Kau akan mendapatkan pengalaman baru dan akan semakin dekat dengan saudaramu." Kizashi mencoba menenangkan.
"Saudara tiri, jika Anda ingat. Dan lagi, bagaimana anda begitu yakin?" Sakura balik bertanya sarkastik.
Menghela napasnya lagi, Kizashi berusaha untuk tetap tenang. "Sakura, Setiap orang berubah."
'Tapi Ibu tak pernah berubah, dia tetap mencintaiku hingga akhir hayatnya.'
"Kenapa kau tak pernah percaya akan kebaikan seseorang?"
"Karena aku sudah sering melihat orang-orang saling berkhianat. Ibu memperingatiku akan perilaku asli manusia."
"Kau belum melihat secara keseluruhannya. Aku yakin, jika kau membuka matamu lebih luas lagi, kau akan melihat kebaikan dalam diri setiap orang." Kizashi mencoba tersenyum lembut.
"Kurasa aku sudah cukup memiliki kemampuan untuk melihat sifat seseorang." Balas Sakura. "Setidaknya, aku melihat tidak ada kebaikan dalam diri Anda." Tandasnya.
Kizashi terdiam, hatinya begitu sesak ketika putrinya mengatakan hal tersebut.
"Sakura, aku-."
"Kemana Saja Anda ketika Saya membutuhkan Anda empat tahun yang lalu?" bibir Sakura nampak bergetar, manik emeraldnya nampak berkaca-kaca. Tetapi, dengan keras dia menghalau dirinya untuk tetap tenang dan tak menunjukan kelemahannya.
Saat itu, dia baru saja kehilangan Ibunya, dunianya. Ketika kesedihan dan kesepian melanda dirinya, Sakura hanya berharap ayahnya akan menunjukkan sedikit kasih sayangnya. Setidaknya, Sakura berharap ayahnya memeluknya dan mengatakan bahwa dia tidak sendiri.
Tapi pada kenyataannya, itu hanyalah harapan semu Sakura. Harapan kekanakan yang sudah lama dia tinggalkan.
"Kau tidak bisa mengharapkan seseorang, kecuali dirimu sendiri. Kau tidak bisa mempercayai seseorang, selain dirimu sendiri." Sakura bergumam.
Dengan tatapan hancur dia menatap lurus netra sang Ayah.
"Andalah yang membuat saya mempercayai hal tersebut." Tandasnya.
"Sakura-." Kizashi hendak merengkuh tubuh putrinya ketika sakura beranjak mundur dari tempatnya.
"Kalau begitu, Saya permisi sekarang, Yang Mulia." Potong Sakura seyara membungkuk hormat dan meninggalkan ruangan Sang Ayah.
"Sakura." Panggil Kizashi sebelum gadis itu benar-benar pergi dari sana.
"Aku tahu, aku sudah banyak menyakitimu. Tapi kumohon, Karura dan anak-anaknya tidak terlibat dalam hal ini. Jadi ...,"
"Saya mengerti. Pada akhirnya, Anda hanya memikirkan mereka saja." Sahut Sakura tanpa menatap Kizashi dan segera keluar dari sana.
.
.
Sakura menyusuri pusat kota bersama Temari dan Gaara, Serta Shikamaru sebagai pengawal mereka. Hari ini, masyarakat Emrylis nampak berbeda, terutama ketika menatap dirinya.
Sakura semakin menarik tudung yang ia kenakan.
Dia hapal dengan tatapan masyarakat saat ini.
Kebencian dan ketakutan. Itulah yang tercetak jelas di wajah mereka.
Shikamaru yang semula berjalan beriringan dengan Gaara menyamakan posisinya dengan Sakura dan Temari. Pemuda itu menepuk pelan pucuk kepala gadis itu seraya tersenyum.
Sakura tetap tak menanggapi dan tetap berjalan dalam diam.
.
Sakura menemani Temari mengunjungi salah satu toko boneka milik temannya. Setelah memperkenalkan Sakura dan Shikamaru, tatapan Matsuri, Sang pemilik toko, nampak terkejut dan takut melihat Sakura dan begitu memuja Shikamaru.
Sakura tak menggubrisnya, Gadis itu lebih memilih untuk duduk di salah satu kursi tunggu di sana. Dan ketika dia tengah asyik mengamati boneka-boneka yang terpajang di etalase toko, Sesosok gadis anggun, berhelaian kuning cerah dengan wajah yang sangat cantik masuk ke toko tersebut.
Semua pandangan tertuju pada sosok tersebut tak terkecuali Sakura. Sekali dalam hidupnya, dia mengakui bahwa wanita itu lebih cantik dari Ibunya.
"Eh, siapa wanita cantik itu?" tanya Temari dengan mimik kekaguman.
Matsuri tersenyum. "Aku dengar dia penduduk baru. Dan orang-orang bilang bahwa dia adalah peri." Jelas Matsuri.
'Peri?' Sakura kembali membatin.
Para masyarakat Emyrlis sangat menganggumi sosok peri yang telah membantu mereka mengalahkan penyihir empat tahun silam.
Sakura mengerjapkan emeraldnya ketika wanita anggun itu tersenyum ke arahnya. Ketika dia sadari, Gaara sudah duduk tepat di sebelahnya.
Sakura yang sedikit penasaran akan reaksi Gaara, melirik ke arah pemuda itu yang tetap diam di sampingnya tanpa menunjukkan raut kagum.
.
Sakura dan Temari kembali berjalan beriringan selesai mereka dari toko boneka tersebut. Gaara dan Shikamaru mengiringi mereka di belakang.
"Sakura lihat! Ada pertunjukan jalanan!" seru Temari antusias.
"Pertunjukan jalanan?" Sakura bergumam penasaran.
"Selamat Sore, semua." Sapa sosok itu.
"Hari ini, Saya, Sasuke, akan membagikan sedikit kebahagian kepada anda semua."
Emerald Sakura menatap sosok anak laki-laki, bersurai hitam mencuat dengan Onyx yang tajam namun menenangkan.
Anak laki-laki itu menjetikkan jari-jarinya dan, hamburan bunga Sakura menerpa wajah mereka. Orang-orang bertepuk tangan dengan riuh.
Sosok tersebut tersenyum ketika netra kelamnya bertabrakan dengan netra hijau Sakura.
"Dan, Tuan putri yang ada di sana, merupakan suatu kehormatan karena anda menyempatkan diri untuk datang kemari."
Sasuke berjalan mendekati Sakura. Dan tepat dihadapan gadis itu, Sasuke kembali menjetikkan jarinya, kemudian sebuket bunga Sakura muncul di tangannya. Temari bersorak senang serta kagum.
Sakura menerima buket bunga tersebut dengan wajah datar.
"Terima kasih." Ucap Temari mewakili saudaranya.
Sasuke mengamati wajah Sakura yang masih menampakan raut tanpa emosi. Helaan napas terdengar samar dari mulutnya.
"Aku harap anda akan datang kembali." Ucapnya seraya menampakan senyum kecewa.
"Akan kami usahakan." Balas Temari.
Sasuke membungkuk hormat dan kembali ke tengah penonton.
Temari mengamati langkah Sasuke. "Kau tahu, Sakura. Ada banyak pertunjukan seperti ini di sudut kota Emyrlis, dan aku sangat menyukainya." Jelasnya.
"Aku ingin kau juga melihatnya. Mungkin suatu saat, aku dapat mengajakmu untuk melihat pertunjukan musik. " Sambungnya dengan senyuman lebar.
"Aku tidak akan pergi meninggalkan Istana lagi." Jawab gadis itu sarkastik.
Temari terdiam.
"Kau tidak menyukainya?" wajah Temari berubah sedih, sedetik kemudian gadis itu mencoba kembali tersenyum. "Kau tahu, Aku dan Gaara lahir di sudut kota ini. Kota ini sangat indah, dan aku ingin membaginya denganmu. Aku tahu kau tidak suka berada di keramaian. tapi hari ini, kau mau menemaniku. Hal ini sangat berarti bagiku, terima kasih, Sakura." Terang temari.
"Aku tidak datang dengan keinginanku sendiri." Sakura kembali membuka suara. "Semua karena Raja yang memerintahkanku." Jelasnya.
Temari menggenggam erat ujung dress-nya. "Aku hanya ingin berusaha dekat denganmu, Sakura. Aku ingin menjadi temanmu." Lirihnya.
Sakura mendesah lelah. "Aku tak butuh ikatan pertemanan." Ucapnya dingin.
Temari tersentak kaget mendengarnya. Mata gadis itu berkaca-kaca.
Melihat Sang kakak yang terluka, Gaara yang semula diam kini turun tangan. Pemuda tersebut menarik pergelangan tangan Sakura agar gadis itu menjauh dari kakaknya.
"Hentikan!" geramnya marah seraya menatap tajam Sakura.
"Lepaskan tanganku!" sentak Sakura kasar hingga genggaman Gaara terlepas. "Kalian semua, pergi! menjauh dariku!" Sakura berteriak sebelum akhirnya berlari meninggalkan mereka.
"Sakura-hime!" Shikamaru sedikit melirik ke arah dua saudara tersebut, sebelum kembali mengejar Sakura.
.
Sakura menghembuskan napasnya kasar.
Ini adalah hari terburuknya.
Ketika gadis itu mengamati orang-orang yang melewati dengan tatapan takut. Sakura mendengar percakapan samar dari dua orang yang berada tak jauh darinya.
Kedua orang itu tak menyadari keberadaan Sang Putri Mahkota kerajaan Emyrlis.
"Kau dengar, Katanya Ino diberhentikan dari pekerjaannya." Ucap sang gadis.
"Ah, itu. Aku juga mendengarnya. Kasihannya, padahal dia anak yang rajin dan pekerja keras." Sahut gadis satunya.
"Kau benar. Kudengar, dia ahli meracik obat-obatan sama seperti neneknya."
"Hmm ... gadis yang malang. Dan kudengar, dia dipecat langsung oleh Putri Mahkota."
"Maksudmu? Putri es dari musim semi itu?"
'putri es dari musim semi?' Sakura membatin mengerti. Jadi selama ini, itu adalah julukan yang ditunjukkan untuk dirinya.
"Siapa lagi?"
"Ah, dia benar-benar kejam. Temanku yang bekerja di Istana bilang, dia sangat tertutup dan tak pernah tersenyum. Sangat berbeda dengan Putri Temari."
"hahaha ... Kau benar. Seharusnya, Putri Temari yang menjadi Putri Mahkota."
Gadis satunya mengangguk setuju.
Sakura terdiam. Gadis itu nampak tak mengerti kenapa orang-orang begitu membencinya. Dan lagi tentang ino, Sakura ingat bahwa gadis itulah yang merusak pakaian Shizune. Dia bekerja begitu lamban dan ceroboh. Jadi, apa salahnya memecat pekerja yang seperti itu?
Sakura kembali menerawang jauh ketika kedua gadis itu telah pergi dari sana. Pikiran Sakura melayang jauh sampai sebuah suara membuyarkan lamunannya.
"Sakura-hime? Akhirnya ketemu ...," Shikamaru muncul dari kerumunan masyarakat tersebut dengan napas ngos-ngosan.
Sakura menatapnya datar.
"Ayo kembali. Ini sudah terlalu telat untuk kita kembali ke Istana. Terlalu lama berada di luar juga tidak aman untukmu."
Sakura mengangguk paham.
"Ayo pulang." Sahutnya kemudian.
.
.
Sesampai mereka di Istana, Sakura segera menuju kamarnya dan merebahkan diri. Hari ini sungguh melelahkan baginya.
Digulirkan netra klorofilnya ke Shizune yang berada di sampingnya.
"Aku harap Ibu ada disini." Gumamnya sebelum menutup matanya.
.
Tidur damai Sakura terusik, ketika samar-samar di mendengar sebuah nyanyian. Netra hijau itu terbuka pelan dan mengerjap cepat ketika mendapati Shizune yang berdiri dihadapannya.
Emerald itu membeliak kaget.
Shizune bonekanya, berdiri dihadapannya dengan sosok manusia.
"Siapa kau!?" Sakura berseru lantang.
"Oh my, Kau tahu siapa aku?" balas sosok itu dengan senyuman miring.
"Shizune?" gumamnya. "Kau penyihir?" lanjutnya tak percaya.
"Tepat sekali! Seperti yang diharapkan dari seorang Putri mahkota." Ucapnya mengejek.
"Apa maumu!" Sakura menggeram marah.
Shizune tetap memasang seringainya. "My ... my ... Jangan terlalu terburu-buru, Hime-sama. Masih sepuluh detik lagi sebelum jam berdentang tengah malam."
"Apa mau-."
Ding ... Dong ...
Suara gema jam tengah malam memutuskan kalimat Sakura. Sebelum dia mengerti apa yang terjadi, Shizune menjetikan jarinya.
Ctak.
"Mimpi yang indah, Cinderella."
.
.
.
Sakura kembali memejamkan matanya diiringi hembusan napas frustasi.
Sungguh, dia selalu berharap ini hanyalah mimpi buruknya. Akan tetapi, tuhan sepertinya tak ingin mendengarkan harapannya. Karena pada dasarnya, Inilah kenyataannya.
Saat ini, semua orang melupakan keberadaannya sebagai seorang Putri Mahkota tak terkecuali Sang Ayah yang menatapnya asing dan menganggapnya sebagai salah satu rakyatnya.
Pria tersebut bahkan memberikan uang-karena menganggap keluarga Sakura dalam kendala ekonomi yang sulit-dan meminta penjaga untuk mengawalnya hingga dia pulang ke 'rumah' dengan selamat.
Sakura kembali menelan pil kekecewaan. Bahkan, disaat seperti ini, pun Ayahnya tetap tak mempercayainya. Dan selalu meninggalkannya, lagi.
.
Kini, langit telah beranjak gelap dan sang mentari telah kembali ke tempat peristirahatannya. Bulan yang nampaknya tengah memaparkan keagungan dirinya bercahaya penuh hingga membuat sinar bintang-bintang di sekitarnya meredup.
Seperti hati Sakura.
Gadis itu terlalu bingung untuk pergi kemana dan melakukan apa guna menghilangkan kutukan yang dia terima.
Gadis itu memandangi sekantong uang yang tadi sore diberikan Sang Raja kepadanya. Sekarang dia mengerti, uang bukanlah segalanya saat ini.
"Hai, gadis manis." Sapa seorang pria dihadapannya.
Sakura melirik tajam, "Apalagi sekarang?" gumamnya.
Dua orang itu tersenyum misterius.
"Jangan menatap kami seperti itu. Kami tak akan menyakitimu jika kau ... mau memberikan uangmu." Balas pria satunya.
Sakura segera beranjak dari duduknya.
"Tidak akan!" serunya sebelum berlari menjauh dua pria itu.
"Kau! Jangan kabur kau, gadis sialan!" maki dua pria yang tengah mengejarnya.
Kepanikan melanda Sakura. Gadis itu terlalu bingung untuk meminta tolong dan perlindungan kepada siapa. Dan dipercabangan jalan di depannya, tanpa pikir panjang Sakura lagsung berlari ke arah kanan.
"Cepat kemari, Hime-sama!" sesosok anak kecil meraih tangannya dan menariknya secepat mungkin.
"Kau-."
Perkataan Sakura terhenti ketika mereka mendapati jalan buntu.
"Sekarang kalian tak bisa lari." Ucap pria yang mengejar mereka.
Sakura terduduk lemas dengan kaki yang berdenyut nyeri.
Melihat Sakura yang nampak tidak bisa melanjutkan langkahnya membuat Sasuke maju seraya merentangkan tangannya, berusaha menghalau langkah pria tersebut.
"Menjauh dari hadapan kami, bocah!"
"Bocah?" Sasuke menggeram marah.
"Kau pikir kau bisa menghadapi kami, hah!" salah satu dari mereka melayangkan pukulan ke arah sasuke dan terhalau oleh sebuah pedang yang berasal dari kegelapan.
"Yo, Sasu-kyun!" sapa pemuda berambut tajam itu dengan cengiran lebar.
"Kau terlambat! Dan apa katamu tadi!" Sasuke menggeram marah.
"My ... my ... jangan memasang wajah menyeramkan seperti itu, Teme." Rutuk pemuda spike itu.
"Jadi, apa yang harus aku lakukan kepada mereka, Little boy?" Pemuda itu sedikit bercanda sambil mengayunkan pedangnyanya main-main. Sasuke mendelik tajam.
Kedua pria yang semula hendak melawan tadi nampak ketakuan, ketika pemuda itu melangkah mendekati mereka. Dan sebelum, pedang itu terhunus ke mereka, keduanya sudah lari terlebih dahulu.
Sakura merasakan seluruh tubuhnya sakit, terutama perut dan kakinya. Dan tanpa tahu kelanjutannya, manik emerald itu tertutup hingga menimbulkan pekikan kaget dari dua pemuda yang menolongnya.
t.b.c
