Hanya karangan fiksi belaka, choco cuma pinjem nama mereka aja karena pada dasarnya mereka adalah milik God dan keluarga mereka.
"tidak ada yang berubah..." aku menghela nafas untuk yang kesekian kalinya dalam satu hari ini.
Musim semi ini aku kembali, tempat yang bisa kubilang sangat menyedihkan, tidak ada kenangan yang berarti disini yang bisa membuatku tertarik. Datang karena paksaan orang tuaku untuk menetap seterusnya disini, kalau bukan karena perkataan nenek tempo hari yang bagiku sangatlah aneh mungkin saat ini aku masih bisa menghabiskan waktu bersama teman-temanku juga dia.
Di hadapanku,, rumah berlantai 3, berdinding coklat muda, dan lebar yang hampir sama seperti lapangan bola ini membuatku jengah. Dulu aku memang tinggal disini sampai umurku 5 tahun. Kadang aku berpikir kenapa kakekku dulu membangun rumah sebesar ini, apa dia ingin menampung sejumlah warga di sekitar komplek kami jika sewaktu-waktu ada bencana datang? Ahh entahlah.
("aku ini sudah tua juga tidak sesehat dulu,, aku takut bila nanti sewaktu-waktu aku meninggal di sudut ruangan tempat ini, tidak ada orang yang melihat dan mengetahuinya Han.",) yang benar saja nenek itu? alasan yang menggelikan bukan? Tapi jika dilihat memang rumah ini sangat... ck aku benar-benar tidak menyukai ini.
Tiga belas tahun hidup di New York dengan semua kebebasan yang ku lakukan, mungkin tidak bisa ku rasakan lagi mulai hari ini. Seoul, kuakui negara ini memang keren terlebih lagi negara ini tempat berkembang biaknya para boyband dan girlfriend yang dipuja puja para kaula muda itu termasuk beberapa temanku di New York. Aku? Tentu saja, tapi tidak sefanatik mereka. Aku berjalan memasuki rumah ini, dan itu mereka para maid yang sudah berdiri di tempatnya masing-masing untuk menyambut kedatangan kami. Aku berjalan dengan terus menatap punggung ayah dan ibu, tidak peduli dengan tatapan para maid yang dapat kulihat dari ekor mataku.
"aaah akhirnya kalian datang" itu neneku berjalan menghampiri kami dengan senyum ramahnya.
"Bagaimana perjalanan kalian? Oohh apakah ini minnie little princess ku?" oh ayolah nek, masihkah pantas aku dipanggil princess? Pikirku sambil memutarkan kedua bola mataku. Aku hanya tersenyum untuk menanggapinya, menghormati orang yang lebih tua itu wajib bukan.
"Kau cantik sekali minseok-ah, manis seperti ibumu" ucap nenek sambil memegang pipiku.
"tentu saja bu, keturunan keluarga kita tidak ada yang tidak sempurna" wanita itu berkata dengan senyum manis atau bisa kukatakan smirk manis menyebalkannya. Nenek tertawa mendengar perkataan ibuku, aku dan ayahku hanya mampu menghela nafas melihatnya.
"terima kasih hangeng-ya kau mau menuruti keinginanku" ucap nenek tersenyum kepada ayah.
"menghuni rumah besar ini seorang diri benar-benar membuatku gila, aku kesepian disini semenjak kakekmu sudah tidak ada minseok-ah". Dia menatapku dengan tatapan menyedihkannya itu. Oh tuhan memang buah jatuh tidak pernah jauh dari pohonnya, tidak ibu tidak nenek mereka memang berjiwa queen drama.
"Tapi karena kalian sudah disini, aku jadi tenang setidaknya sampai aku meninggal nanti" hal itu lagi, apa nenek benar-benar ingin meninggalkan kami.
"ibuu, apa yang ibu katakan" ucap ayah sambil memeluk pundak nenek yang kini terlihat ingin menangis. Aku tidak tahu apakah itu akting atau tidak, yang jelas seperti yang kubilang nenek adalah queen drama.
"ibu berhentilah berkata seperti itu, apa kau tidak ingin melihat cicit mu. Teruslah hidup dengan sehat dan ingatlah minseok sudah besar, ia akan memiliki anak nantinya, apa kau ingin meninggal terlebih dahulu sebelum melihatnya" kalimat macam apa itu? Aku menatap horror ibuku. Bisa-bisanya dia berkata seperti itu, oh god sepertinya akan banyak cerita selama aku tinggal disini.
