"Mas, ini, sih, bukan traktir namanya."
Angkringan langganan mereka sudah siap sedia ketika matahari ingin menenggelamkan dirinya. Iya, Warung Oden Chibita. Mereka berdua sambil lalu melihat Chibita yang sedang meracik bahan untuk makanannya.
"Aku tenanan nraktir, ok. Tenan. Iki, loh, aku duwe dhit." Ia menepuk saku celananya yang tampak berisi. Karamatsu cuma menyahut malas.
"Nampani, nanging ora nutup utang, yo, kowe wae, So," kata Chibita ketika tubuhnya menghadap mereka, hendak menata masing-masing makanan yang tertusuk pada tempatnya.
"Nek utang beda crita, tho, Chib." Osomatsu membalas santai.
"Kudune kowe isin wes ditampani setengah karo dulurmu." Chibita menunjuk Karamatsu dengan dagunya.
"Ngopo kudu isin?" Lelaki merah itu memosisikan dua tangannya menyilang di belakang kepala. "Kudune seneng, tho."
"Ora ana gunane ngomong karo wong ora duwe isin, Chib," timpal Karamatsu. Kedua alis Chibita naik. Ia memutuskan untuk mengatakan pemikirannya blak-blakan.
"Oi, So, koyok'e adekmu kudu dihibur," katanya agak pelan, tapi tentu saja Karamatsu masih bisa mendengarnya. Osomatsu tak menjawab, seakan tahu memang itu yang mestinya ia lakukan.
"Chib, aku njalok bir." Ia melantur.
"Dhurung meneh wengi, kowe wes meh ngombe wae!"
"Emang'e ngoplos kudu ngerti waktu?"
Tak lama Chibita memberi gelas berisi cairan di hadapan Osomatsu.
"Ki, banyu putih."
Osomatsu tak protes. Chibita kembali menyibukkan diri dengan masakannya. Lelaki di samping Karamatsu itu menatap gelasnya sebentar, lalu menoleh pada Karamatsu.
"Kar." Ia memanggil.
"Hm." Karamatsu langsung membalas dan menoleh padanya. Ia menopang pipi kanannya sembari masih berwajah datar.
"Ngapuro." Osomatsu tak tahu lagi ingin mengucap kata apa selain itu. Ia juga tak mengerti. Karamatsu menjadi sosok yang ia cukup tahu, tetapi terkadang ia tidak bisa menduga sesuatu di balik perbuatannya. Di saat yang sama, adik pertamanya ini membingungkan. Namun, ia tak mau lama-lama larut dalam kebingungannya itu, makanya—Ia cukup tahu.
"Aku ki … yo bingung ngopo Choromatsu ujuk-ujuk ngono." Osomatsu beralasan. Karamatsu lebih dari sekadar tahu. Chibita yang mendengar pembicaraan keduanya tidak ingin ikut campur. Karamatsu belum merespons.
"Aku yo ora mudeng kowe karo deknen ngopo tenan, dadi …." Osomatsu menjeda ucapannya. Ia kembali pada posisi menyilangkan tangan di belakang kepala tadi. "Nek kowe emang ora salah, yo, ora usah ngeroso koyo ngono."
Sayangnya, seberapa keras pun Osomatsu berusaha meyakinkannya, rasa itu akan tetap ada. Bisa hilang pun, sedikitnya tetap ada yang membekas. Kali ini Karamatsu tidak bisa menampiknya.
Karamatsu tak membalas kakaknya, alih-alih meminta segelas air mineral pada Chibita. Dua tegukan masuk ke dalam mulut Karamatsu ketika Chibita sudah memberikannya. Setelah menaruh gelas, ia menatap kakaknya.
Namun, ia diam saja.
"Ngopo?" tanya Osomatsu wajar. Masih ditatapnya wajah yang persis seperti miliknya itu. Kepala Karamatsu mundur sedikit.
"Aku ora ngerti meh ngomong opo." Karamatsu merenung pada gelas di depannya.
"Yo, ora usah ngomong," ucap Osomatsu benar-benar menghadapnya, yang kini giliran menopang sebelah pipinya di atas angin.
Lelaki merah itu bisa melihat kedua sudut bibir adiknya yang tertarik ke atas, membuatnya ikut melakukan hal yang sama. Senyum Osomatsu lebih kentara. Bahagianya sederhana.
Hari sudah gelap. Masakan Chibita sudah sepenuhnya tersaji di hadapan dan keempat saudaranya menyusul datang menggantikan makan malam di rumah.
Udah dibilang kalo nggak suka jangan dibacaaaaaaa! X"""""D
