Ia berusia tujuh tahun sewaktu mereka pertama kali bertemu—dan semenjak itu, sungguh, seumur hidupnya Hinata tak pernah menemui manusia seindah Gaara.
Ephemera, Ephemera
by: Aya Kohaku
Disclaimer: I just own the story, the original Naruto belongs to Masashi Kishimoto.
Prologue
Tetapi pertemuan itu sendiri sebenarnya tak bisa disebut sebagai sebuah pertemuan dalam arti hierarki, karena dalam cerita ini, Hinata (secara kebetulan) hanyalah satu dari sekian banyak penonton yang menghadiri drama musikal kanak-kanak yang Gaara bintangi. The Secret Garden, Hinata ingat betul judul drama musikal yang ia tonton bersama keluarganya saat itu—Ibunya masih ada, duduk di sebelahnya sembari tertawa dan membopong Hanabi—dan Gaara dengan menawannya berperan sebagai lakon utama pria bernama Colin; Colin yang kikuk, sakit-sakitan, dan kesepian. Betapa malam itu Gaara menekuni porsi aktingnya dengan luar biasa, seakan-akan pria kurus di atas panggung itu benar-benar mengidap penyakit yang entah apa namanya dan rindu akan suasana baru di luar dunia antara ia dan penyakit yang ia derita.
Hinata tak dapat menyangkal bahwa malam itu ia telah jatuh cinta.
Memang, terlalu cepat—ya, untuk anak seusianya, kata sakral semacam cinta memang terlalu cepat diucapkan, lebih-lebih jika tumpuannya hanyalah pertemuan semalam yang dialami secara sepihak. Sayangnya, sekali lagi, Hinata tak dapat menyangkal bahwa malam itu ia telah jatuh cinta, maka minggu depannya, ia kembali mendatangi gedung teater itu bersama keluarganya, berharap menyaksikan kembali bocah kecil—yang ia taksir berusia sepadan dengannya—yang memiliki ciri-ciri pendek, pucat, berambut merah, bermata hijau kebiruan, dan dari desas-desus hangat yang Hinata dengar dari deretan kursi depan dan belakang, ia bernama Gaara.
Siasatnya tak sia-sia.
Ia terus mendatangi gedung teater itu setiap malam minggu, mirip sebuah rutinitas yang perlahan menjelma ritual, lantas mendapati Gaara bermain sebagai berbagai tokoh. Pied Piper, The Jungle Book, The Lion King, Jack and The Giant, Tom Sawyer, hingga Tale of Beauty and The Beast, tak terhitung berapa puluh judul musikal yang sudah ia tonton, duduk histeris di kursi yang sama setiap minggunya (deret ketiga dari depan, kursi nomor tiga puluh enam), pun potret Gaara dalam bermacam kostum dan mimik muka yang mengakibatkan Hinata tak mampu melepaskan tatapannya.
Namun dunia berputar, meski kadang putarannya bukanlah gerakan melingkar perlahan, melainkan putaran cepat seperti gerak gasing.
Alkisah, suatu hari, Gaara tak lagi bermain musikal—berhenti total.
"Maaf, Nona muda," penjaga karcis di depan gedung teater itu mengirimkannya pandangan menyesal ketika Hinata menunjuk-nunjuk poster pertunjukan drama dan tak menemukan wajah Gaara di sana, "tapi tuan Sabaku Gaara sudah tidak bermain musikal lagi."
Penjelasan itu cukup mengirimkan Hinata ke pucuk amarah yang berbuntut pada permintaan maaf ayahnya kepada pengunjung teater karena puterinya—yang malam itu seharusnya merayakan ulang tahunnya yang kesepuluh dengan menyimak kemampuan akting dan vokal Gaara dalam The Advetures of Pinocchio—telah menyebabkan keributan.
"Tapi malam ini, Gaara seharusnya—tersendat—bermain sebagai—tersendat—Pinocchio, dan, dan," ia berhenti, mengusap air mata lalu menuntaskan cegukannya, "dan i-ia seharusnya menyanyikan I've Got No Strings de-dengan make-up mirip boneka kayu, topi, hidung panjang, tarian lincah, serta—"
Yang Hinata tahu, malam itu, tangisannya tak dapat berhenti.
Malam-malam minggu seterusnya berjalan monoton. Hinata akan mengantri di depan gedung teater, berharap poster pertunjukan musikal kanak-kanak akan menyertakan wajah Gaara, kecewa, pulang diantarkan sopir pribadi keluarganya, kemudian memutar rekaman musikal yang pernah ia tonton di kamar seraya melempar-lemparkan sobekan kertas ke lantai. Kebiasaan ini berjalan terus-menerus selama satu tahun—ayah dan ibunya sama sekali tak dapat berbuat apa-apa—hingga akhirnya putaran gasing kehidupan bergerak di luar batas kewajaran dan menarik nyawa Hinata lebih dalam.
Di usianya yang kesebelas, ibunya meninggal.
oOoOo
Tidak, sebenarnya tidak sesimpel itu.
Hinata tidak ingin membicarakan bagaimana, semenjak ibunya tiada, kehidupan keluarganya mendadak berputar satu lingkaran penuh—seandainya saja kenangan pahit adalah hal yang gampang untuk tak diingat. Tetapi tak ada yang bisa berkelit dari guratan nasib. Mungkin memang sudah jalannya—Hinata sempat berpikir begini—mungkin sudah jalannya bahwa ibunya dipanggi oleh Kami-sama, bahwa, bahwa—bahwa kesehatan ayahnya juga ikut terpengaruhi dan bisnis mainan anak-anak keluarga Hyuuga (yang sempat meniti posisi puncak di antara pesaingnya) lantas gulung tikar, meninggalkan beberapa set koper yang mesti ia bopong pagi-pagi bersama Neji-nii ke sebuah apartemen berukuran lima puluh lima tatami.
"Hari ini, anggota keempat rookie boyband Shinobi yang juga memegang posisi sebagai main vocalist kedua,resmi diperkenalkan oleh Konoha Ent—"
Hanya saja, waktu terus berjalan.
Jika ditanya apa hal yang paling Hinata inginkan di usianya yang kini genap tujuh belas tahun, maka, barangkali, tanpa pikir panjang ia akan meminta kesehatan jangka panjang untuk ayahnya, doa agar Neji-nii dapat menyelesaikan tugas akhir kuliahnya dengan baik, doa agar Teuchi-san—pemilik rumah makan Ichiraku Ramen tempat ia bekerja sambilan—akan kembali menaikkan gajinya (karena Hinata ingin membeli beberapa hadiah tahun baru untuk keluarganya, seperti mantel baru untuk Hanabi, barangkali), doa agar Hanabi lolos kualifikasi beasiswa yang ditawarkan yayasan Kage, serta doa agar roda kehidupan yang sudah berputar terlalu curam selama enam tahun belakang tidak kembali membuat ulah—seandainya memang ia harus bergerak, maka Hinata ingin kembali berada di sisi atas dan tak usah turun.
"Hinata, pesanan untuk meja empat, satu porsi curry ramen, ika-yaki, dan soda!"
"Ah, ba-baik!"
Ya, enam tahun sudah berlalu, tersibak begitu saja.
Langit mendung, dan jam dinding di rumah makan Ichiraku Ramen menunjukkan pukul lima sore—Hinata menambahkan satu lagi daftar keinginan di hari ulang tahunnya, yang merupakan doa agar hujan tak usah turun sebelum shift kerjanya habis, lalu meneruskan racikan ramennya sambil sesekali melirik tayangan infotainment yang disiarkan di layar televisi. Belakangan, dunia hiburan Jepang sedang terpusat pada boyband pendatang baru bernama Shinobi yang kabarnya tergabung dari trainee terbarik di perusahaan Konoha Ent.—salah satu perusahaan entertainment yang menduduki tiga peringkat atas dunia hiburan Jepang. Sejauh ini, anggota yang diperkenalkan baru tiga—lagi-lagi, kabar lalu-lalang mengatakan bahwa boyband ini akan terdiri atas enam personil—yaitu Shikamaru Nara selaku leader, Namikaze Naruto selaku main vocalist pertama, dan Uchiha Sasuke selaku main dancer pertama.
Pada hari-hari biasa, Hinata tidak akan ambil pusing soal tayangan infotainment yang diputar Ayame, puteri pemilik Ichiraku Ramen, saat jam-jam kerja—namun hari ini ia berulang tahun (usia ketujuh belas, bukankah ini usia paling mendebarkan dalam fase kehidupan remaja) dan keinginannya seputar kenaikan gaji benar-benar diwujudkan oleh Teuchi-san. Tambahan lagi, Teuchi-san masih berbaik hati memberikannya bonus upah sebagai pengganti kado ulang tahunnya—yang sebenarnya sama sekali tidak apa-apa andaipun beliau tidak memberikannya, sebab pada akhirnya Hinata sudah terbiasa tidak menerima kado ulang tahun semenjak usianya yang kedua belas.
Dengan kondisi sebaik ini, Hinata tidak dapat menahan dirinya untuk kelewat bahagia dan tersenyum sepanjang shift kerja, termasuk memberi perhatian lebih terhadap acara entah-apa-pun-namanya yang ditonton Ayame hampir setiap hari, dan membuat mental note bahwa ia harus menarik kembali ucapannya soal aku-tidak-akan-pernah-tertarik-dengan-grup-idol-at au-boy-band-atau-kumpulan-pria-cantik-dan-imut-yan g-menyanyi-sambil-menari-heboh-di-atas-panggung-at au-semacamnya kepada Tenten tempo hari silam karena, well, salah satu member Shinobi yang kalau tidak salah bernama Namikaze Naruto ini rupanya tidak jelek-jelek amat—tapi, pria emo berkulit pucat di sebelahnya yang saat ini sedang memeragakan pirouette (siapa tadi namanya? Sasumi? Sasuke?) agak membuat Hinata bergidik tak nyaman, entah mengapa—dan lagi, seusai ia mendemokan kemampuan bernyanyinya, Hinata bisa paham mengapa pria bermata biru koral itu dipilih sebagai main vocalist pertama. Suaranya begitu powerful dan mencakup range yang besar. Ia bahkan tidak terlihat kesulitan sama sekali saat mencakup nada-nada tinggi pada lagu Madness milik Muse yang barusan ia nyanyikan. Di samping pria blonde ini, si emo berkulit pucat di sebelahnya—walau Hinata masih agak tidak nyaman setiap meletakkan pandangan ke arahnya—serta si rambut nanas yang sedari tadi menyebarkan aura malas dan jauh dari kata berwibawa, juga memiliki bakat yang harus diacungi jempol. Kabar bahwa mereka merupakan trainee terbaik yang dimiliki Konoha Ent. bisa jadi bukan isapan jempol belaka. Lagipula, lagipula, bukankah tadi pembawa acara sempat berkata bahwa hari ini mereka akan mengumumkan anggota keempat yang notabene merupakan main vocalist kedua? Mungkin kemampuan vokalnya tidak sebaik Naruto Namikaze, namun ia tetap penasaran seperti apa gerangan pria yang—
"Ohayō gozaimasu, watashi wa Sabaku Gaara-desu. Watashi wa Shinobi no second main vocalist desu. Hajimemashite."
.
.
.
"Sa… Sabaku Gaara?"
Hinata tidak yakin berapa kali Teuchi-san memanggil namanya setelah itu.
oOoOo
Di luar dugaannya, putaran kehidupan rupanya telah bergerak tanpa ia sadari.
Bergerak begitu cepat dan jauh.
"Jadi, kapan kira-kira kita bisa mengerjakannya?"
Hinata terpaku di tempatnya.
Tolong, berkati dia—berkati dia karena telah berhasil menerima beasiswa untuk melanjutkan kuliah di universitas swasta ternama milik yayasan Kage, berkati dia karena telah mengambil jurusan Bahasa dan Kesusastraan Jepang yang mengharuskan mahasiswanya mengikuti beberapa mata kuliah campuran dengan mahasiswa fakultas lain—tidak, tidak, berkati saja Hinata dan segala keberuntungannya (atau kesialannya, tergantung dari sisi mana kau mau menilai) dan kenyataan bahwa seorang Sabaku Gaara, cinta konyolnya yang tak pernah bersemi, juga—kejutan, kejutan—melanjutkan studi di universitas ini, tepatnya di fakultas musik jurusan Ilmu Musikal dan Lingkungan, dan dari segala kemungkinan yang ada, dengan skala satu banding infinity, mereka dipertemukan oleh sebuah kelas sejarah—freaking, history class.
Perlu dicatat bahwa, kenyataan bahwa Hinata masih dikejutkan dengan kemunculan Gaara yang sama sekali tak dinyana, delapan bulan yang lalu bersamaan dengan debutnya di Shinobi, sama sekali tidak membantu.
Kenyataan bahwa Hinata masih amat, sangat, menyukai laki-laki berambut merah yang seumur hidupnya bahkan—sepertinya—sama sekali tidak sadar dan tidak peduli atas keberadaan dirinya, lantas dosen sejarah yang terlalu malas mencari hari pengganti demi menutupi absennya yang banyak kosong karena jadwal seminarnya yang padat—sehingga mengharuskan wanita nyentrik bernama Anko tersebut secara semena-mena membagikan tugas pengganti kepada seluruh mahasiswa yang, sialnya, mengambil kelas sejarahnya, berpasang-pasangan berdasarkan nomor absen (di mana nomor absen diurutkan berdasarkan huruf pertama nama mahasiswa, bukan nama marga keluarga), dan dari segala kebetulan yang berbanding satu lawan tak hingga, kelas berisi enam puluh empat orang itu hanya memiliki satu nama pengisi konsonan H dan G, Hinata dengan huruf H sebagai awal namanya dan Gaara dengan huruf G—lebih sangat tidak membantu.
Katakan, wanita lain di kelas sejarah itu (ah, di seisi universitas itu) pasti rela menukar jatah makan siang mereka selama sebulan demi berada di posisi Hinata. Bagaimana tidak, kapan lagi kau bisa bekerja kelompok dengan the great Sabaku Gaara, main vocalist kedua dari boyband terkenal yang belum ada setahun terbentuk namun sudah tersohor sampai manca negara?
Bukannya Hinata tidak bahagia sewaktu pertama kali mendengar suara keras Anko-sensei yang menggemakan namanya dan Gaara di seisi kelas—bila memungkinkan, Hinata tentu sudah berlari pulang dan bergantian memeluk ayahnya, Hanabi, serta Neji-nii. Sayangnya, di universitas papan atas ini, uh, Hinata—yah, ia hanyalah penerima beasiswa. Reputasi semacam ini sudah memberikannya kesan buruk di hadapan mahasiswa lain yang, well, merupakan orang-orang penting dan berduit, entah itu artis, idol, atau sebatas tuan dan nona muda dari keluarga konglomerat. Maka ketika di suatu sore yang berawan dan Gaara tiba-tiba mengajaknya bicara di depan umum, menanyakan soal kejelasan tugas sejarah mereka—sebab apa lagi yang akan ia bicarakan kepada Hinata, ramalan cuasa?—yang mengundang beberapa tatapan tajam dari sejumlah pria dan wanita di sekitarnya, Hinata mengerti betul bahwa hal yang harus ia katakan adalah, "Bi-biar aku saja yang mengerjakannya—ka-kau tidak perlu memusingkan tugas ini."
"Kau yakin?" pria dihadapannya menekukkan kening. "Baguslah, jadwalku sebulan ke depan sangat padat. Hn, terimakasih, sampai jumpa."
Tetapi tidak.
Alih-alih mengutarakan hal yang mirip dengan bayangan Hinata barusan, Gaara justru melipat tangannya di depan dada, mengirimi Hinata tatapan yang dapat membuat anak berusia di bawah dua belas tahun menangis seharian. "Kau tahu, ini bukan saatnya untuk menggoda—"
Astaga.
"Astaga," sepotong kata ini tanpa sadar Hinata ucapkan terlalu keras, "aku sa-sama sekali tidak bermaksud demikian, Sabaku-san."
Ia dapat merasakan jumlah mata yang memandang mereka semakin menjadi.
"Ta-tapi," gadis berambut indigo itu berdeham, kedua tangannya berpegangan erat pada tali ransel yang ia kenakan, "ka-kalau kau tidak keberatan, kita—kita bisa mengerjakannya mulai dari sekarang."
Sejurus kemudian, ia tahu, cinta konyolnya selama satu dasawarsa kepada Gaara selama ini bukanlah langkah yang harus disesali.
Raut wajah Gaara agak mengendor seusai Hinata menyelesaikan kalimat terakhirnya. Walau pria di hadapannya itu tetap enggan menyunggingkan senyuman barang sedetik, toh, Hinata memakluminya—karena meski ingatan akan bocah laki-laki bertubuh kurus yang selalu tersenyum bahagia setiap turun dari panggung dan menyapa penonton masih segar di memori Hinata, ia tidak dapat menyangkal bahwa kehidupan berjalan, enam tahun bukanlah waktu yang singkat untuk mengubah kepribadian dan gerak-gerik seseorang.
—Sebaliknya, enam tahun juga bukanlah waktu yang lama untuk menghilangkan suatu perasaan yang kehadirannya saja tidak diundang, tumbuh begitu saja membawa akar dan serabut, menempel, melekat, membelah diri.
"Aku mencintaimu."
"Jangan bercanda."
Hinata tahu, banyak skenario lebih buruk yang bisa saja terjadi seandainya ia benar-benar mengucapkan dua patah kata itu, karenanya ia berusaha diam, menahan mulutnya agar tak mewujudkan kata-kata yang selama enam tahun ini terus bermain di kepalanya, lantas sekedar memberi jawaban dalam bentuk gesture saat Gaara memberi usul untuk mengerjakan tugas tersebut di perpustakaan universitas. Saran yang tepat, sebenarnya, karena lewat pukul empat sore, perpustakaan universitas biasanya sudah mulai sepi (mahasiswa lebih sering berkumpul di area fakultas atau jurusan masing-masing), yang tandanya mereka akan lebih terhindar dari pandangan tajam dan gunjingan—yang seratus persen akan ditujukan kepadanya, bukan Gaara. Ia juga masih belum membuka suara ketika Gaara sibuk keluar-masuk di sela gang yang terbentuk antara rak, melompat sesekali untuk mengambil buku yang ada di sisi atas (sampai di sini, Hinata baru sadar bahwa Gaara tidak bisa dibilang cukup tinggi untuk ukuran seorang laki-laki), dan dengan sigap meletakkan beberapa tumpuk buku di lipatan lengannya, seolah-olah itu merupakan suatu kebiasaan yang sudah ia lakoni sehari-hari.
"Aku tidak mengerti, ini kelas sejarah, tetapi Anko-sensei memberi tugas analisis cerita rakyat."
Maafkan Hinata—namun ia sungguh tak dapat mengedipkan matanya.
"Ah?" ia mengambangkan tanggapannya, tidak mengerti apakah gumaman Gaara barusan termasuk gumaman yang mesti dibalas atau tidak. "Ku-kurasa, i-ini berhubungan dengan seminar beliau belakangan mengenai fokltales…"
"Hn, bagaimana kalau Tanabata?" Gaara menyodorkan buku kumpulan cerita rakyat Jepang ke hadapan Hinata.
Apapun, terserah, kau bahkan boleh mengambil hatiku secara percuma.
"Tanabata usul yang bagus, ceritanya mudah dibuat esai dan—dan Anko-sensei sepertinya lebih tertarik dengan cerita melodrama semacam ini."
"Kau tahu banyak soal hal semacam ini?" kali ini sepasang mata Gaara berhenti tepat pada Hinata, membuat wanita Hyuuga itu sejenak tercekat.
"Y-ya, tentu saja—ma-maksudnya, ya, a-aku mahasiswi sastra, ja-jadi...," Hinata menggerakkan bola matanya, berusaha mencari kata-kata yang mampu meredakan kekikukan di antara mereka. Di lain pihak, sang lawan bicara tampaknya tidak terlalu peduli (atau memang tidak peka) dengan suasana yang ada, alih-alih justru sibuk membalikkan tangan lentiknya di beberapan lembar halaman buku Tuck Everlasting—mungkin ia memang sudah terbiasa berkunjung ke sini dan membaca novel-novel asing, pikir Hinata. "Kau terlihat mengantuk, Sabaku-san."
Sepasang mata yang menggemaskan itu sekali lagi berhenti tepat di arahnya.
"Ah, maaf," Hinata sekonyong-konyong membelalakkan matanya, tak menyangka pria kaku di hadapannya akan tiba-tiba meminta maaf, "aku terlena dalam duniaku sendiri."
Setitik bagian di hati kecil Hinata kontan menjerit—apa Gaara sama sekali tidak sadar bahwa dirinya adalah penyanyi terkenal dan merupakan satu dari enam pria yang paling diincar banyak wanita di Jepang? Serius, apa ia sama sekali tidak berpikir bahwa tindak-tanduknya yang barusan itu bisa saja menimbulkan kesalahpahaman bagi banyak pihak? Tanpa ada angin dan hujan, meminta maaf begitu saja dengan tetap memasang wajah serius—bagaimana Hinata tidak merasakan degup jantungnya seketika berdetak dua kali lebih cepat?
"Nee, kita bisa melanjutkannya esok hari, Sabaku-san," jika kau tidak jadwal kuliah atau kegiatan bersama Shinobi, "ja-jadi lebih baik kau beristirahat dulu. Aku akan menyelesaikan bagian kasarnya di rumah."
"Tidak apa-apa seperti itu?"
Ha, ha.
"Tidak apa-apa," tawa Hinata tertahan di ujung lidahnya.
"Kau tidak sedang menggo—"
"Astaga, tidak Sabaku-san, tidak," lalu benar-benar lepas, menyamarkan sepasang bola mata lavendernya dalam bentuk lengkungan bulan sabit, "pulanglah lebih dulu, ka-kau terlihat sangat lelah."
Dan jika kau tidak lekas pergi, aku tidak akan dapat berhenti memandang tato merah di keningmu itu—ia menambahkan dalam hati.
"Terima kasih, Hyuuga-san," Hinata merasakan jiwanya siap melompat keluar akibat terlampau bahagia, "tapi aku akan tinggal sebentar untuk," ah, dan ia bahkan turut menyertakan alasan—yang sebenarnya bukan hak Hinata untuk diperlakukan demikian, "meminjam beberapa bahan musikal—sekali lagi, terima kasih atas kerja samanya."
Ia sempat menyesal karena buru-buru mempersilakan dirinya pulang terlebih dahulu, bukannya mencari dalih agar bisa lebih lama tinggal bersama Gaara di deretan sofa lantai tiga perpustakaan universitas—meski ada atau tidaknya Hinata barangkali tidak akan membawa perubahan besar, sebab Gaara hanya akan kembali sibuk keluar-masuk celah antar rak buku, dan Hinata sekedar mampu berakting kecil-kecilan tanpa sanggup menciptakan dialog lebih lanjut kepada laki-laki agak tak peka itu. Lagipula, Hinata masih sadar bahwa perbedaan status sosial di antara mereka amat besar, dan mana mungkin ia semaunya saja berkata, hei, kau tahu, sewaktu masih berusia tujuh, aku selalu menonton drama musikal yang kau bintangi tiap malam minggu—dan sejak saat itu, rasanya aku telah—berdeham—jatuh cinta, hingga sekarang, dan, oh, kau sungguh tampan, sangat tampan sampai-sampai aku ingin membawamu ke altar pernikahan secepatnya.
—Yang benar saja.
Ia belum sepenuhnya sakit jiwa.
oOoOo
Atau memang sudah, entahlah.
"Hei Gaara, kau tidak seharusnya tidur di sini."
Tak ada jawaban.
"Hei, bangun, Temari dan manajer mencarimu, kau tahu."
Hinata menempelkan tubuh kecilnya pada sebidang rak buku, berharap tak menimbulkan suara gaduh dan memperjelas keberadaannya—sial, seandainya dompetnya tidak tertinggal di atas meja tempat Gaara sedang tertidur dengan nyenyaknya, Hinata tidak akan bertemu pria berwajah pucat dengan potongan rambut emo yang selama delapan bulan belakangan ini terus melakukan fanservice dengan mendekati Gaara di depan publik dan membuat penggemar wanita (juga pria) menjerit tak berdaya, terbukti dari banyaknya fandom, rekap foto, video, dan fanfiction berlabel embel-embel GaaSasu yang tersebar di berbagai situs dunia maya.
Main dancer pertama Shinobi, Sasuke Uchiha.
"Aku tidak kuat membopongmu sekarang, kau lupa lututku masih belum pulih dari cidera?"
Dari posisinya, Hinata mampu melihat punggung Gaara bergerak sedikit, namun dari sepasang matanya yang masih terkatup erat, Hinata tahu bahwa ia masih belum terjaga.
Desahan berat Sasuke bergema di langit-langit perpustakaan.
"Berada di kampus sampai sesore ini dan tertidur sembarangan," jemari lentiknya memungut setumpuk buku yang jatuh dari genggaman Gaara, "bagaimana kalau ada yang menyerangmu tiba-tiba atau lebih-lebih, menculikmu?"
Pfft.
"Seisi Jepang bisa panik jika itu terjadi, dasar merepotkan."
Ujung bibir Hinata perlahan-lahan tertarik ke atas begitu mendengar kata-kata yang baru saja diutarakan Sasuke. Pendukung pasangan GaaSasu tentunya akan membayar mahal demi melihat adegan ini—Sasuke yang bermonolog manis terhadap sosok Gaara yang pulas tertidur tanpa dosa, di suatu sudut perpustakaan tanpa ada siapa pun selain mereka, dan sinar oranye matahari senja masuk dari lubang memanjang ventilasi—dibandingkan sentuhan-sentuhan kecil sepihak di atas maupun di belakang panggung yang selama ini telah terekam dan terpotret diam-diam di kalangan para penggemar. Hinata dapat membayangkan sorakan-sorakan berbunyi, "Apa kubilang, GaaSasu is real!" yang kerap ia baca di timeline twitter milik Ayame jika para penggemar itu berada dalam posisi Hinata sekarang, tapi ayolah, dalam keadaan seperti ini, Sasuke tidak perlu repot-repot meneruskan akting fanservice-nya, kan? Toh, tidak ada penggemar yang melihat. Kecuali kalau, Sasuke sadar bahwa sedari tadi Hinata telah bersembunyi di balik deretan rak sambil, tanpa izin, memerhatikan gerak-geriknya. Kecuali kalau—
"Dan aku bisa saja cemburu, kau tahu?"
.
.
.
Astaga.
Tentu saja.
Kecuali kalau, selama ini, Sasuke Uchiha—
"Hei, Gaara, jangan diam saja."
Kecuali kalau, kecuali kalau—
"… Hei," Hinata tidak tahu apakah ia harus diam di tempat, atau berlari pulang tanpa memedulikan dompetnya, atau menghalangi Sasuke gerakan tangan Sasuke yang sibuk memainkan helaian rambut Gaara, atau menampakkan dirinya dan menuntut Sasuke untuk berhenti menyapukan bibirnya di sekujur permukaan kepala Gaara, atau justru cukup berteriak kecil sewaktu Sasuke pelan-pelan memindahkan letak bibirnya dari kening Gaara ke telinga kanan laki-laki yang semakin keras mendengkur itu dan berkata, "aku mencintaimu."
Maka ia memilih option terakhir.
Hanya saja Hinata tidak menyangka bahwa jeritan kecilnya akan terdengar sampai di telinga Sasuke Uchiha.
To be continued
A/n
Jadi, saya kembali setelah lama hiatus :') ini karya kasar sih, coba-coba publish siapa tau laku (he he he). Jadi laptop saya sedang diservice, dua minggu belum balik-balik, dan data Saihate sama From Y to Y ada di sana. Semoga bisa lekas dikembaliin sih, jadi libur semester selama 2 bulan ini saya biar bisa nyelesaiin fic dulu-dulu yang sampai sekarang belum juga kelar huaaa :''
Akhir kata, saya sekali lagi minta maaf atas keteledoran dan janji manis saya yang sudah-sudah, terimakasih karena telah berkenan mampir, dan selamat beribadah puasa bagi yang menjalankan :)
Yogyakarta, 2013
Aya Kohaku
