Author: Halo...! Salam kenal semuanya, perkenalkan saya Asaichi23, Author baru di , dan fic ini juga adalah fic pertama saya. Bagi para author-author yang sudah berpengalaman, mohon bantuannya ya! :D
Miku: Lho kok, Master ada di sini? Bukannya bikin cover song malah nyangkut di fanfiction? (O.o)a
Author: Ya... Kita istirahat dulu lah, masa' bikin cover song melulu, lama-lama kan bosen.:3
Miku: Istirahat sih boleh, tapi kalo semua proyek cover songnya udah selesai semua!
Author: Wah, perasaan udah selesai semua itu proyek *siul*
Rin: Selesai dari mana? Cover Song aku sama Len aja abal-abal, Master!
Len: Sabar kak Rin, mungkin Master belom dapet inspirasi.
Meiko: Kapan datengnya itu inspirasi, Cover song aku belum dibikin malahan!
Gakupo: Cover song punyaku nggak jelas nasibnya, dasar Master how-how!
Kaito: *Njilat-njilat es krim* Sabar-sabar, nanti juga dibikinin kok, tunggu aja.
Miku: Kaito sih enak, Udah banyak cover song yang master bikin buat kamu! Nah kita yang cover song-nya belom kelar gimana?
Kaito: yang penting cover song punyamu udah jadi toh? Itu lho yang nyanyi bareng aku!*Wink*
Miku: Eh? Lagu yang itu? Ng-nggak mau! Aku maunya yang laen, asal ga bareng kamu!*mukul Kaito pake negi raksasa, Kaito langsung teler*
Author: I-iya deh, nanti saya kerjain, tapi tolong bacain disclaimer dulu ya?
Miku: Ogah! Yang laen aja!
Meiko: Lagi bad mood, gak mau!
Gakupo: No song, no order! Got it?
Rin: Len aja tuh, aku sih ga mau!
Len: I-iya deh!
Kaito: ... *masih teler gara-gara dipukul Miku tadi*
Author:ampun dah!, ya udah, Len tolong bacain ya!
Len: OK, OK, Karakter Vocaloid di dalam fanfic ini bukanlah milik si Master, melainkan milik Perusahaan yang menerbitkan mereka dibawah lisensi Yamaha Corp., begitu juga judul fic, alur, maupun karakter selain Vocaloid merupakan milik Sonic/Climax. Master hanya memiliki ide gila untuk merombak setengah alur asli dari cerita ini, sekian.
Dawn23's unCreatives Team Presents
Shining Force CrossOver: Dark Dragon Awakening
Disclaimer:
Original Story and Characters: Sonic/Climax, SEGA
Vocaloid Characters: Crypton Future Media (Miku, Kaito, Rin, Len, Luka)
ltd (Gakupo, Gumi)
Zero-G (Leon)
*Under Yamaha Corp. license*
Fic created by: Asaichi23
Warnings!: Ketidak jelasan alur cerita akibat diubah setengahnya, Minimnya pemakaian vocab japan (Author kagak terlalu paham bahasa jepang), Typo (mungkin masih ada, pake HP bikinnya sih), Bahasa yang terlalu baku (maklum, settingnya jaman pertengahan) dan yang terpenting: "Don't like, dont read it!"
Prologue
Di suatu tempat...
Yang mungkin tidak terlalu jauh dari tempat kita berada sekarang, sebuah kejadian aneh dan mengerikan terjadi. Kekuatan kegelapan, dipimpin oleh Naga Kegelapan, berusaha merebut kekuasaan Dunia Rune. Para pejuang legendaris dari dunia Rune memerangi mereka dengan persenjataan modern maupun kuno, dan menyegel Naga Kegelapan ke dimensi lain. Tapi Naga Kegelapan bersumpah, bahwa dalam 1.000 tahun mendatang, dia akan kembali ke Dunia Rune, dan akan merebutnya kembali.
Seribu tahun kedamaian dan ketenangan sudah terlewati, Orang-orang bahagia akan kehidupan mereka sekarang, bisa memulihkan dan menemukan kembali sihir-sihir dan teknologi yang sudah dihancurkan Naga Kegelapan, dan menggunakannya untuk mensejahterakan para penduduk Dunia Rune
Tapi Kerajaan Runefaust sudah melakukan serangan besar ke semua kerajaan di Dunia Rune, dengan maksud untuk mencari cara membangkitkan Naga Kegelapan dari segelnya. Sekelompok kecil pejuang dikirim melalui sebuah perjalanan panjang dan berbahaya untuk mengantisipasi serangan Kerajaan Runefaust. Dan kisah inipun dimulai!
EPISODE 1
RUNEFAUST'S INVASION
Chapter 1
The Beginning Of A Great Fellowship
Di sebuah kerajaan bernama Guardiana, hari masih sangat pagi, tapi panasnya sudah seperti tengah hari tanpa awan sama sekali. Orang-orang yang ada di kerajaan tak terlalu merisaukan panasnya pagi itu, mereka tetap melakukan aktifitas seperti biasa. Begitu pula dengan dua orang ini.
*tok!*"tahan seranganku dengan benar 'nak!" teriak seorang lelaki tua sambil mengayunkan pedang kayunya. Pedang itu meliuk kesana-kemari dengan cepat, menandakan bahwa yang menggunakannya bukan seorang amatiran.
*prak!*"aduh...aduh! Pedangmu itu mengenai kepalaku, pak tua!" rintih seorang pemuda saat pedang kayu lelaki tua itu menghantam kepalanya. Rasa sakit yang ditimbulkan pedang itu mungkin benar-benar membuat kepalanya mau pecah.
"Bukankah sudah kubilang untuk menahan seranganku dengan benar? Kuda-kudamu saja masih kurang mantap, dan caramu memegang pedang masih seperti anak-anak, pasukan Runefaust itu pasti akan menghancurkanmu menjadi bagian-bagian kecil!" teriak pria tua itu lagi, kali ini ia sudah mulai kesal pada si pemuda itu, mungkin karena apa yang ia ajarkan tak diterapkan oleh si pemuda.
"Ah! Kau terlalu banyak khotbah! Ini, rasakan seranganku! Hiaaaat!" pemuda berambut biru itupun menyerang si pria tua dengan cepat, saking cepatnya, dia tidak melihat sekitarnya yang banyak terdapat lubang dan batu yang dapat membahayakan kaki kalau tidak memperhatikannya barang satu detik saja.
Karena si pemuda itu menyerang dengan kecepatan penuh, dia tidak melihat kalau ternyata di dekat kakinya terdapat sebuah lubang kecil yang tertutup sedikit rumput. Alhasil, kaki pemuda itu pun masuk ke dalam lubang, tersandung, dan tubuhnya langsung menghantam tanah dengan keras, si pria tua yang ternyata adalah pimpinan ksatria kerajaan sekaligus mentor si pemuda hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, karena muridnya dikalahkan bukan olehnya, tapi oleh sebuah lubang di tengah area latihan mereka.
"Kaito, Kaito, hei bocah kau dengar aku?" ucap pria tua itu sambil mengguncang tubuh muridnya yang pingsan. Walaupun agak kesal, ia sangat mengkhawatirkan murid yang ia didik secara khusus itu.
"Uhhh... Sakit sekali" jawab Kaito yang baru saja siuman. Ia mengelus kepalanya pelan, berharap sakit yang tadi menghinggapi kepalanya segera menghilang.
"Kau bisa berdiri 'nak?" tanya pria tua itu sambil mengulurkan tangannya pada Kaito, bermaksud untuk membantunya berdiri.
"Bisa... Bisa, bagaimana kalau kita latihan lagi, pak tua?" tanya Kaito, ia mengambil tangan gurunya dan berusaha berdiri walau agak sulit.
"Tidak, kurasa sudah cukup untuk hari ini" jawab pria tua itu sambil menaruh pedang kayunya. Ia tak mau melanjutkan latihan mungkin karena khawatir muridnya terluka lagi akibat kebodohannya sendiri.
Pria tua yang menjadi mentor Kaito bernama Varios, seorang veteran perang yang masih dipercaya oleh kerajaan untuk menjadi pimpinan ksatria sekaligus pelatih mereka. Kaito mendapat pelatihan khusus dari Varios karena dia melihat sesuatu yang lain dari dirinya, walaupun sampai saat ini Kaito masih belum menunjukkan perkembangannya, Varios percaya suatu saat dia pasti akan menunjukkan kehebatannya. Guru dan murid itupun berbincang sedikit membahas latihan mereka, sampai seorang penjaga istana datang dan memotong pembicaraan.
"Selamat pagi Tuan Varios, Paduka Raja ingin bertemu anda, sekarang." ucap si penjaga istana tanpa basa-basi. Beberapa butir keringat jatuh dari dahi yang tertutup helm baja yang ia kenakan, pertanda kalau ia sangat kelelahan.
"Yang Mulia memanggil? Baik, aku segera ke sana!" ucap Varios sambil mengambil pedang dan tameng yang diletakkan di bawah pohon, lalu langsung pergi tanpa mengucapkan apa-apa pada muridnya. Wajahnya menunjukkan ekspresi kalau ia sangat khawatir. Khawatir pada sesuatu yang tak diketahui oleh Kaito, muridnya.
"Apa yang terjadi di kalangan istana saat ini ya? Si penjaga istana terlihat sangat serius dan tegang, si Pak Tua juga kelihatan sangat khawatir." pikir Kaito sambil membersihkan bajunya yang penuh debu. Untuk kali ini Kaito heran, kenapa ia mengkhawatirkan kerajaannya, padahal sebelumnya tidak pernah sama sekali. Biasanya ia lebih sering memikirkan dirinya sendiri ketimbang kerajaannya, apakah ini suatu pertanda?
Kaito berjalan menuju jalan setapak yang merupakan satu-satunya jalan keluar keluar dari tempat latihannya. Sambil memikirkan apa yang sedang terjadi di istana, Kaito terus berjalan dan tanpa sadar ia memasuki gereja yang tepat berada di ujung jalan setapak yang ia lewati. Karena merasa tidak punya kepentingan di tempat tersebut, Kaito berputar arah bermaksud keluar dari gereja, sampai langkahnya tertahan karena seseorang memanggil namanya.
"Kaito! Hei teman! Apa yang kau lakukan di sini? Kau tidak latihan bersama Lord Varios?" teriak seorang berpakaian besi layaknya ksatria, pedang tergantung di pinggang kirinya, tameng terpasang di pangkal lengan kirinya, dan rambut ungu panjang terikat tersembul dari balik helmnya yang berkilau terkena cahaya matahari.
"Oh, Gakupo? Kukembalikan kata-katamu tadi padamu, sobat." gumam Kaito sambil terus berjalan keluar. Ia terlalu sibuk untuk menanggapi pertanyaan teman baiknya itu, jadi dikembalikannya lah pertanyaan itu pada pemiliknya.
"Hei.. Hei, setiap siang aku jaga di sini, masa' kau lupa? Kelihatannya kau sedang memikirkan sesuatu? Mau kubantu memikirkannya?" ucap Gakupo sambil mengejar temannya yang sudah berada di luar gereja.
"..." Kaito tak menjawab, dia terus berjalan ke arah pusat kota. Di pikirannya masih saja tentang pemanggilan Varios ke istana tadi.
"Aku tahu, kau pasti sedang memikirkan rencana penyerangan Kerajaan Runefaust ke Kerajaan kita, dan kau lihat wajah Lord Varios 'kan? Sepertinya situasi makin serius sekarang" ucap Gakupo sambil membuka helm yang membuatnya kepanasan. Diletakkannya helm itu di bawah pohon yang berada tepat disampingnya, dan ia menyandarkan dirinya di batang pohon itu sambil melipat tangannya di dada.
"Penyerangan? Runefaust? Kerajaan Kita? Mungkin itulah yang membuat Lord Varios langsung dipanggil ke istana!" ujar Kaito sambil menepukkan kepalan tangannya ke telapak tangan yang satunya, rasa penasaran yang tadi menumpuk di kepalanya seketika menghilang.
"Benar 'kan? Kenapa tidak kau lihat saja ke istana? Siapa tahu ada sesuatu yang menarik di sana" usul Gakupo yang sepertinya mengetahui bahwa akan ada sesuatu yang hebat menunggu di istana.
"Baiklah, aku akan ke istana, ayo ikut Gakupo, mungkin saja ada sesuatu yang menarik di sana!" ucap Kaito yang sudah termakan omongan temannya, ia pun bersiap untuk segera pergi menuju istana.
"Maaf teman, jam jagaku belum selesai, aku masih harus menjaga gereja ini!" ucap Gakupo sambil berbalik menuju gereja. Ia segera mengambil helmnya yang berada di bawah pohon, berjalan menuju pintu gereja, dan berdiri dengan tegap layaknya ksatria-ksatria yang sedang menjaga sesuatu yang sangat penting.
"Baiklah, aku ke sana sendiri saja" gumam Kaito sambil mengingat-ingat jalan menuju istana. Walaupun Kaito sudah lama tinggal di kerajaan itu, ia masih agak-agak lupa jalan ke istana kerajannya sendiri, mungkin karena jarang mengunjunginya.
Kaito berjalan menyusuri jalan menuju pusat kota, sesampainya di kota, Kaito tak memperdulikan sekitarnya, di kepalanya hanya ucapan Gakupo mengenai penyerangan itu. Rasa penasarannya makin besar ketika ia melihat sekumpulan ksatria dan prajurit kerajaan yang berlatih dalam jumlah besar di alun-alun kota, tak pernah Kaito melihat begitu banyak yang berlatih seperti ini. Ia pun mempercepat langkahnya dan memasuki gerbang istana, sesampainya di aula istana, Kaito melihat Lord Varios dan Paduka Raja sedang berdiskusi mengenai sesuatu yang Kaito tak mengerti, dari jauh ia menguping pembicaraan antara Paduka Raja dan Lord Varios.
"Jadi begitulah Paduka, hamba sarankan kalau kita mengirim sekelompok kecil pasukan untuk mencari tahu apa yang sebenarnya mereka incar dari kita, dan di sisi lain, kita siapkan pula pasukan besar untuk menahan serangan mereka" ucap Varios dengan wajah serius.
"Hmm... Tapi apakah tindakan ini benar-benar yang terbaik? Benarkah mereka akan menyerang dan merusak perdamaian?" ucap Raja setelah mendengar saran dari pimpinan ksatrianya. Raja memang agak khawatir kalau perdamaian benar-benar rusak. Beliau memang sangat mencintai perdamaian.
"Hamba yakin yang mulia, sekelompok kecil pasukan Runefaust terlihat di Gerbang Kuno, mencari sesuatu yang sepertinya sangat penting." timpal Nova, penasihat kerajaan, yang sedari tadi hanya menjadi pendengar pembicaraan Raja dan Varios.
"Baiklah, aku akan... Tunggu, pemuda berambut biru? Anak itukah yang tadi kau ceritakan, Varios?" tanya Raja sambil menunjuk ke arah Kaito yang berdiri di dekat pilar aula istana.
(menengok ke belakang)"Kaito? Sejak kapan kau berada di sana 'nak? Kemarilah, Paduka Raja ingin berbicara padamu!" Teriak Varios pada Kaito, yang masih saja mematung di tempat ia berdiri.
"Eeee... Iya...iya Pak Tu... Eeee maksudku Guru" jawab Kaito yang agak terbata-bata, wajar saja, Kaito baru pertama kali ini berhadapan langsung dengan Rajanya, jadi Kaito pastilah agak gugup.
"Jadi kau murid yang selama ini dilatih secara khusus oleh Varios, anak muda?" Tanya Raja pada Kaito. Ia penasaran bagaimana kehebatan anak muda yang dilatih secara khusus oleh ketua ksatrianya itu.
"Be-benar Mulia, hamba adalah murid khusus Lord Varios" jawab Kaito yang masih agak gugup. Ia terus mencoba untuk mengurangi kegugupannya dengan menarik nafas sebanyak-banyaknya.
"Dasar bodoh! Berlutut dulu, kalau beliau sudah menyuruhmu berdiri, baru kau bisa bicara padanya" bisik Varios dengan nada kesal. Wajahnya memerah karena menahan emosi.
"Tidak apa Varios, jangan terlalu formal, lagipula ini pasti pertama kalinya dia berhadapan denganku, dia pasti belum tahu tata caranya" ucap Raja, senyum lembut terlukis di bibirnya, perkataan yang keluar dari mulutnya terdengar penuh wibawa. Emosi Varios pun seketika itu lenyap.
"Baiklah kalau anda berbicara demikian, tapi jangan diulangi lagi ya, Kaito" ujar Varios, ia menggelengkan kepala, seluruh emosinya sudah hilang karena ucapan raja tadi.
"Baik, guru tak akan saya ulangi" jawab Kaito sambil menyapu keringat di dahinya. Akhirnya Kaito sudah bisa menghilangkan rasa gugup yang dari tadi menyelimuti dirinya.
"Baiklah Kaito, kau tentu belum tahu kenapa aku panggil Varios kemari bukan?" tanya Raja pada Kaito.
"Belum, Yang Mulia." jawab Kaito singkat. Padahal ia sudah tahu dari Gakupo untuk apa Varios dipanggil, tapi ia berbohong agar mendapat keterangan langsung dari raja.
"Kalau begitu, Nova, bisa kau jelaskan padanya apa yang terjadi baru-baru ini?" ucap Raja pada penasihatnya yang berdiri di sebelah kanannya.
"Baik, Yang Mulia, dengarkan baik-baik anak muda. Kerajaan kita, Guardiana diberi tugas oleh leluhur untuk menjaga pintu gerbang kuno bagian barat, yang sampai saat ini belum diketahui apakah yang berada di baliknya, mungkin para leluhur tidak mau memberitahu karena di dalamnya terdapat sesuatu yang berbahaya. Baru-baru ini pasukan dari kerajaan Runefaust sering terlihat di sekitar pintu gerbang kuno bagian barat, dan kelihatannya mereka mencari sesuatu. Karena sudah merupakan tugas kita untuk menjaga gerbang kuno tersebut..."
"Aku akan menugaskan beberapa pemuda untuk mengusir mereka dari gerbang kuno dan sekaligus mencari tahu apa yang sebenarnya mereka cari, dan murid khusus Varios lah yang menjadi pimpinan mereka!"potong Raja sebelum Nova menyelesaikan kata-katanya.
"Saya? tapi Yang Mulia, saya tidak punya pengalaman berperang sungguhan! Dalam latihan saja Lord Varios masih sering bilang kalau saya masih belum bisa bertempur!" jawab Kaito yang sangat terkejut karena ia dijadikan pimpinan pasukan, wajar saja Kaito begitu terkejut, toh kemampuan bertempurnya saja masih buruk, sekarang tiba-tiba saja ia dijadikan pimpinan, yang notabene harus memiliki kemampuan di atas anak buahnya.
"Kau bisa! anggap ini ujian bagimu, Kaito. Aku yakin kau bisa menunjukkan bakat terpendammu dengan ujian ini! Berusahalah Kaito!" ujar Varios, ia begitu yakin bahwa murid yang ia latih dapat mengeluarkan kemampuan hebat yang dulu pernah ia lihat dalam diri muridnya itu.
"Ba-baiklah, kalau ini perintah langsung dari Yang Mulia, saya akan lakukan yang terbaik!" ujar Kaito yang masih memendam keraguan di hatinya, tapi ia akan coba yang terbaik karena raja dan Lord Varios memberikan kepercayaan padanya.
"Bagus, anak muda. Tunjukkanlah pada gurumu apa yang telah kau pelajari!" Raja memberikan semangat pada Kaito yang ia lihat sangat ragu akan kemampuannya.
"Tapi, manakah pasukan yang harus saya pimpin itu, Yang Mulia? Hamba tidak lihat sedikitpun tentara di sini, hanya ada beberapa penjaga saja" tanya Kaito, kepalanya menengok ke kanan dan kiri mencari pasukan yang harus dipimpinnya.
"Kau bisa mengajak teman-temanmu 'nak! Pilihlah teman-temanmu yang terbaik!" ucap Varios kepada muridnya.
"Teman-temanku, aku tak tahu siapa saja yang mau bergabung, Gakupo mungkin mau ikut, atau..." pikir Kaito yang masih bingung ingin mengajak siapa untuk menjalankan tugas dari Raja.
"Kau bisa memikirkan siapa saja yang mau kau ajak bergabung. Kembalilah ke kota, begitu teman-temanmu sudah terkumpul, kembalilah kemari, kau kuberi waktu 3 hari!"ucap Raja kepada Kaito yang masih berpikir.
"Baiklah Yang Mulia, hamba akan kembali kemari begitu mereka sudah terkumpul." jawab Kaito seraya meninggalkan aula istana. Di kepalanya masih saja terpikir siapa saja yang mesti ia ajak. Kaito pun hilang dari pandangan para pimpinannya, dengan penuh kebingungan dan keraguan, ia menuju pusat kota.
*Tak seberapa jauh dari gerbang kerajaan Guardiana*
"Kak, aku capeeek...!" keluh seorang anak laki-laki berambut kuning kepada saudari kembarnya yang berjalan santai di depannya.
"Len, kamu bisa diam nggak sih? Sebentar lagi sampai di Kerajaan Guardiana nih!" balas si kakak pada adiknya, ia melanjutkan langkahnya sambil sesekali menyapu keringat di dahinya.
"Tapi... Tapi..." jawab anak laki-laki tersebut, tak bisa melawan kakaknya, dengan langkah berat, ia pun kembali melanjutkan langkahnya yang tadi terhenti, walau dengan berat hati.
"Len, Rin, jangan ribut terus!. Rin, bawa sendiri tas milikmu, jangan menyuruh Len membawa semuanya, dan Len, tahan sedikit lagi ya!, kita hampir sampai. Ujar perempuan berambut merah muda yang berjalan paling depan. Sesekali ia menyapu keringat yang ada di dahinya.
"Ma-makasih, kak Luka, aku masih bisa jalan kok" jawab Len sambil meneguk air dari tas airnya yang terbuat dari kulit dan memantapkan tubuhnya agar bisa mengangkat semua tas yang dibawa olehnya.
"Huuuh! Kakak selalu memanjakan Len! Sini, kemarikan tas ku!" teriak gadis bernama Rin itu pada Len, adiknya. Ia mengulurkan tangannya dengan maksud agar Len memberikan tas miliknya.
"Biar aku bawa saja sampai ke kerajaan Guardiana kak, nggak terlalu berat kok!" ucap Len pada Rin. Walaupun Rin sudah meminta tasnya kembali, Len tetap tidak mau memberikannya, ia pun tidak tahu kenapa. Mungkin Len hanya tidak mau melihat Rin tambah kelelahan karena membawa tas yang memang sangat berat.
"Nggak berat bagaimana? Lihat kakimu sampai gemetaran tuh!" Rin menunjuk kaki Len yang gemetar. Kekhawatiran memenuhi pikirannya, bagaimana kalau nanti Len tiba-tiba sakit? Rin tak bisa memaafkan dirinya kalau memang Len menderita karenanya.
"Nggak apa-apa, buat kakak, semua akan kulakukan!" ucap Len sambil tersenyum. Sebuah senyum tulus yang sukses membuat wajah Rin merona merah.
"Ya... Ya sudah, jangan sampai pingsan cuma gara-gara bawa tas ya!" ujar Rin dengan wajah yang memerah. Hatinya berdebar, tapi ia mencoba untuk tak menghiraukannya.
Ketiga bersaudara itu menyusuri jalan besar ke arah pintu gerbang kerajaan Guardiana, matahari bersinar dengan teriknya, membuat mereka semakin kelelahan. Setelah beberapa lama, sampailah mereka di depan pintu gerbang kerajaan Guardiana. Pintu gerbang masih dalam keadaan tertutup, jembatan masih terlipat rapi, dan parit dalam menganga tepat di hadapan mereka.
"Tahan, kalian yang di sana!" teriak salah seorang penjaga dari menara penjagaan yang berada di sisi gerbang. Ia memerintahkan beberapa pemanah untuk bersiap menembak.
"Kami datang dengan damai, pak penjaga. Kumohon izinkanlah kami masuk!" teriak Luka pada si penjaga yang tadi meneriaki mereka bertiga.
"Tidak bisa, kalau kalian datang dengan damai, kenapa bocah itu membawa busur dan pedang, hah?" ucap penjaga sambil menunjuk Len yang membawa pedangnya dan busur milik Rin.
"Jalan yang kami lalui sangat berbahaya, maklum saja kalau kami membawa senjata pak!" teriak Luka lagi, suaranya sudah serak karena kelelahan. Pengelihatannya mulai berkunang-kunang, tapi ia berusaha untuk tetap berdiri.
"Tidak bisa, kembalilah ke tempat darimana kalian berasal!" teriak penjaga gerbang itu lagi.
"Tapi..." Luka tak bisa berkata-kata lagi karena sudah terlalu lelah untuk memikirkan alasan agar mereka bisa masuk ke dalam kerajaan.
"BUKA GERBANG! TURUNKAN JEMBATAN!" Teriak seorang ksatria berbaju besi berwarna perak kepada para penjaga. Semua mata tertuju pada ksatria berambut pirang yang berdiri tegap tepat di belakang istana.
"Tapi pak, kami tidak boleh membukakan pintu pada siapapun untuk saat ini." ucap penjaga yang berada di menara pada si ksatria itu.
"Apa kau tega melihat perempuan dan anak-anak menderita, penjaga? Kenapa hatimu begitu dingin?" ksatria itu berteriak pada penjaga yang berada di menara.
"Tapi, perintah yang kami terima..." jawab penjaga, agak ragu dengan tindakan yang akan ia lakukan selanjutnya.
"Bilang saja Ksatria Leon yang menyuruh membuka gerbang, biar saja saya yang dihukum nanti!" ujar Leon jengkel, ia menggelengkan kepalanya.
"Ba-baiklah pak, hei! Lakukan perintah Pak Leon tadi! Buka gerbang lalu turunkan jembatan!" teriak penjaga pada teman-temannya yang berada di gerbang.
Tak seberapa lama, gerbang pun dibuka, Luka beserta adik-adiknya memasuki Kerajaan Guardiana, Leon mendampingi mereka masuk ke dalam kota, mereka berbincang-bincang sedikit di jalan menuju kota.
"Pertama, izinkan saya memperkenalkan diri, nama saya Leon, ksatria kerajaan Guardiana, maafkan perlakuan mereka tadi ya, nona..."
"Luka, Megurine Luka, tuan." jawab Luka dengan suara agak serak karena kelelahan.
"Tak usah pakai 'Tuan', kesannya saya seperti orang yang sudah berumur. Nah, kalau kalian? Bisakah kutahu nama kalian?" tanya Leon dengan tawa kecil mengiringi pertanyaannya.
"Namaku Kagamine Rin, dan adikku Kagamine Len, senang berkenalan denganmu, Kak Leon" jawab Rin singkat, karena sibuk melihat Len yang berjalan dengan susah payah di belakangnya.
"Kak, Luka nggak apa-apa? Kakak kelihatan pucat?" tanya Len yang khawatir melihat wajah kakaknya yang pucat pasi.
"Iya, kakak kelihatan nggak sehat, dari kemarin kakak belum istirahat ya?" Rin menimpali, ia berjalan mendekati kakaknya dan mencoba untuk membantunya berjalan.
"Cuma sedikit lelah... Aku..." belum Luka menyelesaikan kata-katanya, ia terjatuh, tapi ditangkap lebih dulu oleh Leon.
"Kau sudah tak kuat berjalan, Luka. Biar kugendong ya?" ujar Leon sambil mengangkat tubuh Luka. Tanpa susah payah, Leon bisa mengangkat tubuh Luka.
"E... Eh? Tidak usah! Aku bisa jalan kok!" teriak Luka, wajahnya merah padam karena malu.
"Bisa jalan bagaimana, tadi kau hampir pingsan kok!" jawab Leon datar, ia tersenyum kecil lalu melanjutkan langkahnya.
"..." Luka hanya diam, wajahnya makin memerah, jantungnya berdegup kencang, hatinya bertanya-tanya, perasaan apakah ini? 'Apa aku suka padanya? Tidak mungkin, baru kali ini bertemu, masa' langsung suka?' batin Luka.
"Kak Luka sekarang demam? Wajah kakak merah sekali!" tanya Rin dengan senyum mengejek.
"Kalau boleh tahu, kalian mau ke mana? Orang tua kalian ada di kerajaan ini?" tanya Leon yang penasaran dengan tujuan mereka bertiga ke kerajaan Guardiana.
"Ayah dan Ibu sudah tidak ada, Kerajaan Runefaust menghancurkan desa dan rumah kami." jawab Luka dengan nada datar, masih teringat di pikirannya bagaimana mereka melihat dari kejauhan seluruh desa dibakar dan diratakan dengan tanah.
"..." Len dan Rin terdiam, mereka tak mau membayangkan kejadian mengerikan yang mengambil nyawa orang tua mereka walau hanya satu kedipan mata.
"Oh, maafkan saya, kalian punya kenalan di kerajaan ini?" tanya Leon mengalihkan pembicaraan.
"Tidak apa-apa, bisakah kau tunjukkan jalan ke gereja kota ini? Pendeta di sana sudah tahu kalau kami akan ke sini." tanya Luka pada Leon.
"Gereja ya? Baiklah, akan kuantar kalian ke sana." jawab Leon. Ia pun menunjukkan jalan ke gereja pada mereka.
Mereka berempat menyusuri jalan setapak menuju ke gereja. Sesampainya di halaman gereja, mereka bertemu seorang gadis berambut hijau yang sedang membaca buku di bawah pohon besar yang tumbuh di halaman gereja. Gadis itupun sadar akan kedatangan Leon dan menyapanya.
"Oh, Ketua Leon, ada apa datang kemari? Dan siapa mereka?" tanya gadis berambut hijau itu penasaran melihat Leon datang bersama beberapa orang yang tak dikenalnya.
"Hai Gumi, tidak ada apa-apa kok, saya hanya mengantar mereka ke gereja ini. Oh iya, pak pendeta ada?" jawab Leon sambil menengok ke kanan dan ke kiri mencari pendeta.
"Pak pendeta? Mmmm... Tadi terakhir kulihat beliau ada di belakang gereja sedang mengobrol dengan Kak Gakupo, sebentar akan kupanggilkan!" jawab gadis itu seraya meninggalkan mereka.
"'Ilmu pengobatan, penawar racun, dan menangkal kutukan', siapa gadis tadi kak Leon? Kenapa dia baca buku seperti ini?" tanya Rin yang sempat membaca sampul buku yang Gumi baca tadi.
"Gadis tadi, Gumi namanya, dia calon 'Healer' yang biasa belajar di gereja ini, kenapa? Kau tertarik dengan buku itu, Rin?" jawab Leon.
"Jangankan tertarik, baru baca halaman depannya saja aku nggak mengerti!" jawab Rin sambil menutup buku yang tadi Gumi baca.
"Coba, aku lihat kak!" ujar Len yang dari tadi penasaran dengan buku tersebut.
"Nih! Kamu bisa baca buku yang rumit seperti itu Len?" tanya Rin pada adiknya yang mungkin lebih tertarik pada buku yang rumit itu.
"Ya aku coba baca dulu ya" jawab Len, mulutnya komat-kamit membaca buku itu.
"Leon? Kau kah itu?" tanya seorang tua berpakaian hitam yang datang dari dalam gereja, Gakupo dan Gumi mengiringi di belakangnya.
"Ehmm.. Leon, bisa kau turunkan aku? Aku mau bicara pada pak pendeta." bisik Luka pada Leon.
"Baiklah, tapi kau masih bisa berdiri kan?" tanya Leon yang masih khawatir.
"..." Luka hanya mengangguk menaggapi pertanyaan Leon.
"Ah, selamat siang pak pendeta, ada yang ingin berbicara dengan anda" jawab Leon sambil menunjukkan ketiga bersaudara itu pada pendeta.
"Mereka? Oh ya! Aku ingat, Luka, Rin dan Len bukan? kupikir kalian datang esok hari, ternyata kalian datang lebih cepat. Dimana orang tua kalian?" tanya pendeta kepada mereka bertiga.
"Ayah dan Ibu sudah tiada pak pendeta, mereka memberikan surat ini kepada saya sebelum desa kami diserang, mungkin hanya anda yang mengerti isi dari surat ini" jawab luka sambil memberikan surat dari orang tuanya.
"Ya Tuhan, semoga mereka tenang di alam sana. Saya sudah mengenal orang tua kalian saat mereka masih kecil, mereka orang yang baik, saya baca surat itu sekarang ya?" ujar pendeta seraya mengambil surat yang Luka berikan.
Pendeta membaca surat yang diberikan Luka, Len yang sedari tadi membaca buku milik Gumi, mengembalikan buku itu pada pemiliknya, dan mereka berdua berbincang mengenai isi buku yang baru Len baca. Rin yang bosan meminta Leon untuk menemaninya jalan-jalan, Gakupo masih mematung di sebelah pendeta sambil sesekali matanya melirik ke arah Luka. Sementara itu, di pikiran Luka masih terbayang bagaimana ia dan adiknya kehilangan orang tua mereka, walaupun tidak melihat secara langsung. Semakin mengingat penyerangan ke desa mereka beberapa bulan lalu membuat dada Luka semakin sesak, dan tanpa ia sadari, beberapa tetes air mata jatuh dari ujung matanya.
"Eh, hei, kenapa kau menangis? Adakah sesuatu yang membuatmu sedih?" tanya Gakupo sambil berjalan ke arah Luka.
Luka yang sadar kalau ia mengeluarkan air mata, langsung menyapu air matanya dan mundur beberapa langkah dari tempat ia berdiri.
"Tidak, hanya debu saja yang masuk ke dalam mataku, tidak ada yang perlu kau khawatirkan." jawab Luka dengan kebohongan membumbui kata-katanya.
Sebenarnya Gakupo tahu kalau Luka berbohong, ia ingin menanyakan apa yang membuat Luka sedih, tapi Gakupo tak menanyakannya, ia berusaha untuk tidak memperdulikannya. Mereka berdua terdiam lama sekali, pendeta masih sibuk memahami surat yang dibacanya, Len dan Gumi asyik dengan perbincangan mereka. Keheningan pun terpecah saat pendeta memanggil Luka.
"Nah, Luka, aku sudah selesai membaca surat dari orang tua kalian, dan mereka berpesan kalau kalian harus tinggal di gereja ini untuk sementara waktu." ucap pendeta menerangkan surat yang diberikan oleh Luka.
"Sementara waktu?lalu kami harus tinggal di mana lagi? Apakah ayah dan ibu punya tempat tinggal lain untuk kami?" Pikir Luka yang masih bingung dengan dua kata terakhir di surat itu.
"Dan aku izinkan kalian tinggal di gereja ini, bersama Gumi dan Gakupo. Kalau kalian berminat, aku bisa menjadikan kalian bertiga 'Healer', seperti Gumi." ujar pendeta pada Luka, ia melipat surat yang baru dibacanya dan memberikan surat itu pada Luka.
"Mmm... Anda sangat baik, tapi terima kasih pak, saya sekarang ini sedang mendalami profesi 'Mage', sama seperti ibu dahulu. Beliau mewariskan setengah kemampuannya pada saya, Rin sepertinya sudah terlalu tertarik untuk mendalami tehnik panah-memanah, sedangkan Len, dia sangat terobsesi untuk menjadi ksatria suatu saat nanti, jadi maaf kami tak bisa menerima tawaran anda." jawab Luka.
"Oh, begitu. Baiklah, saya juga tidak berhak untuk memaksa kalian. Bagaimana kalau kalian istirahat dulu? Sepertinya perjalanan dari desa ke sini sangat tidak bersahabat, iya kan?" tanya pendeta lagi, ia menunjuk deretan kamar kosong di samping gereja.
Luka hanya mengangguk menanggapi pertanyaan pendeta, Len yang sudah selesai berbincang dengan Gumi segera berjalan menuju kakaknya, ia sepertinya penasaran dengan yang orang tuanya tulis di surat itu.
"Bagaimana kak? Apa yang ayah dan ibu tulis di surat itu?" tanya Len yang penasaran dengan isi surat dari orang tuanya.
"Ayah dan ibu bilang kalau kita harus tinggal di gereja ini untuk sementara waktu. Oh iya, ke mana Rin?" Ucap Luka yang sadar kalau Rin tidak berada di sekitar mereka. Luka menengok ke kanan dan kiri berharap bisa menemukan adiknya itu, tapi hasilnya nihil.
"Dia sedang jalan-jalan ke kota dengan ketua Leon." jawab Gakupo singkat, ia menunjuk ke arah kota yang berada tidak jauh dari gereja.
"Gakupo, tolong bantu Luka masuk ke kamarnya di samping gereja." perintah pendeta yang melihat kalau Luka sudah tidak mampu berjalan lagi.
"Ti-tidak usah, saya bisa berjalan sendiri." ujar Luka sambil bergerak ke arah samping gereja.
Walaupun Luka bilang ia bisa berjalan sendiri, tubuhnya tidak sependapat dengan apa yang mulutnya ucapkan, Luka pun lagi-lagi hampir terjatuh. Gakupo yang tidak menghiraukan ucapan Luka, langsung membantunya berdiri dan memapahnya ke kamarnya.
"Jangan memaksakan dirimu, bilang saja kalau memang sudah tidak kuat. Pasti akan ada yang bersedia berbagi derita denganmu, aku tahu pasti sakit kehilangan orang tua, aku dan Gumi pun demikian, orang tua kami meninggal tepat di depan mataku dan aku..." Gakupo tak melanjutkan kata-katanya, wajahnya yang dingin menatap lurus ke depan dan melanjutkan langkahnya menuju ke kamar yang diberikan pendeta.
"..." Luka tak berbicara apa-apa, ia terlalu lelah untuk bicara lagi, terlalu lelah untuk memikirkan penderitaan mereka.
Len dan Gumi mengikuti mereka sampai ke kamar yang diberikan oleh pendeta, sesampainya di sana, Luka langsung merebahkan tubuhnya di ranjang, Len menaruh semua perlengkapan yang ia bawa di pojok kamar, sesekali ia melihat sekelilingnya, berusaha menyesuaikan diri dengan kamar barunya. Gumi memeriksa keadaan Luka, sambil mengira-ngira obat yang harus ia berikan. Gakupo berdiri di ambang pintu, tangannya dilipat di atas dadanya, tubuhnya menghadap ke luar, tak ada yang tahu apa yang ia pikirkan.
"Nah,sekarang kamar ini adalah kamar kalian, kalau perlu apa-apa panggil saja aku dan kak Gakupo di kamar sebelah ya?" ujar Gumi pada Luka dan Len.
"Makasih, kak Gumi. Biar aku yang jaga kak Luka sekarang." jawab Len. Yang walaupun sangat lelah, masih mencoba untuk tak beristirahat agar bisa menjaga kakaknya yang terbaring lemah.
"Baiklah, aku masak makan siang dulu, lalu membuat obat untuk kak Luka ya!" Gumi berbalik dan menuju keluar.
"Bagaimana kalau aku bantu?" ujar Len yang biasa membantu masak di desanya dulu.
"Kau di sini saja Len, itu kan namamu? Jaga Luka, biar aku yang bantu Gumi." potong Gakupo sambil berjalan ke arah gereja, ia menutup pintu setengah, dan sosoknya menghilang dari pandangan Len.
Mereka berdua pun pergi, Len duduk di atas ranjang kosong di sebelah Luka, berusaha untuk menghilangkan lelah yang dari tadi menyelimuti tubuh kecilnya. Luka yang kelelahan, menutup matanya. Mencoba untuk tidur walaupun kepalanya masih memikirkan banyak hal yang tak bisa disebutkan satu-persatu.
"Kak, kenapa aku lihat kakak berbeda sekali dari yang biasa ya?" tanya Gumi yang sedang mencuci wortel di dapur gereja.
"Hm? Berbeda bagaimana?" tanya Gakupo sambil memotong daging. Ia agak bingung dengan pertanyaan adiknya ini.
"Aku juga bingung bagaimana bilangnya, tapi aku lihat kakak berbeda sekali waktu bersama kak Luka." ujar Gumi sambil meletakkan ujung telunjuknya di bibir.
"Aku hanya menemukan seseorang yang..."Gakupo tak melanjutkan kata-katanya, bingung dengan jawaban apa yang mesti ia berikan untuk memuaskan adiknya itu.
"Yang apa?" tanya Gumi dengan nada menggoda. Ia menghentikan kegiatannya mencuci wortel.
"Senasib denganku, sudah jangan dibahas lagi, ayo cepat masak makan siangnya!" jawab Gakupo sambil bersiap-siap menyalakan api.
"Iya-iya, tidak akan dibahas lagi kok!" ucap Gumi sambil tertawa kecil.
*Sementara itu di kota*
"Siapa lagi ya yang mesti kuajak, Meiko bilang kalau dia mesti menjaga kota, takut kalau Runefaust menyerang, yang lain pun juga menjawab demikian, kira-kira Gakupo mau tidak ya? Masih belum ada anggota untuk menghajar pasukan Runefaust itu, bagaimana ini?" pikir Kaito yang dari tadi pagi mencari anggota untuk pasukannya, tapi belum mendapat satu orang pun.
"Hei, kakak berambut biru, kau bilang tadi mau menghajar pasukan Runefaust?" tanya seseorang di belakang Kaito.
"Hm? Ya, tapi masih belum ada anggotanya" jawab Kaito tanpa membalikkan badannya karena masih terlalu sibuk berpikir.
"Aku tahu siapa yang mau bergabung!" ucap suara itu lagi.
"Benarkah? Siapa mereka?" jawab Kaito sambil menoleh ke arah suara itu!
"Sudah, ikut saja denganku!" jawabnya.
*To Be Continued*
Miku: Itu fic kepanjangan, Master! Nanti orang males bacanya lho!
Author: Itu udah dikurangin, ntar kalo pendek-pendek, chapternya kebanyakan!
Miku: Terserah lah, tapi aku kok ngga muncul di sana sih?
Author: Sabar, belom giliran kamu, masih agak lama.
Meiko: Aku juga belom muncul nih! Kalo cover song lama banget bikinnya, tapi kalo fanfic, sehari udah selesai!
Author: Yah, jangan dibahas lagi dong, masih dalam proses nih!
Meiko: OK lah, ga bakalan dibahas lagi!
Luka: A-anu, Author boleh aku panggil 'Master' nggak? Soalnya yang lain manggilnya begitu sih.
Miku: Tapi si Master kan belom punya soundbank Luka, gimana boleh gak 'ter?
Author: ng.. Boleh-boleh aja sih tapi saya prefer dipanggil 'Author' aja, kan posisinya lagi di , gimana?
Rin: Lah, baru sehari nyangkut di fanfiction aja udah mau dipanggil 'Author'! Nanti aja kalo ficnya udah makin bagus, kita panggil situ 'Author'!
Kaito: Udah kebiasaan panggil 'Master' gak usah di ubah lah!
Len: Iya-iya bikin repot aja *sambil makan pisang*
Author: Y-ya udah lah terserah. akhir kata, terima kasih banyak buat para reader yang mau meluangkan waktu berharga dan quota internetnya(?) untuk membaca fic crossover ini m(_ _)m. Bro' Leon, tolong bacain disclaimer tambahan dong!
Leon: Huh? Me?, okay. The Author doesn't get any profit from this fic. This fic made just for his hobby and not for sale. If someone would like to read this fic in English, and want Author to translate it, he is happy to do so, I think.
Gumi: Oh iya ada yang ketinggalan*baca surat dari Author* "bagi reader yang ingin karakter Vocaloid/Utauloid favoritnya muncul di fic ini, silakan katakan namanya, tapi saya pelajari dulu gimana sifat dan kelakuannya di fic-fic yang lain ya!"
