Disclaimer : Seandainya Draco milik gw… :P. Seluruh karakter dan setting cerita adalah hak milik tante J.K. Rowling tapi ide murni milik gw.


Pansy meletakkan dokumennya secepat kilat saat mendengar berita tersebut. "Apa yang kau bilang?" Dia menatap tajam lelaki yang berdiri di depannya. Kepada pemilik celana kashmir gelap tersebut.

"Ya ampun, Pans, sudah kubilang. Ini akan menjadi jamuan biasa. Jamuan normal. Jangan berlebihan seperti itu."

"Dengan para muggle dan mudblood itu?"

"Sekarang Pansy, kita sudah meninggalkan masa-masa itu setelah bertahun-tahun perang terakhir terjadi. Dan kita, sudah berjanji akan menghormati mereka dan belajar untuk mengenal mereka. Benar kata Goofrey, kita tak akan bisa mengembalikan kemakmuran kita jika tidak bisa menyatu. Jadi jaga bicaramu."

"Oh, Drakie, sejak kapan kau jadi terdengar seperti orang-orang di Kementrian?" ejeknya. Draco hanya berjengit tak acuh. "Dan kau tahu, Drake. Aku tak akan datang jika ada perempuan itu, mengerti?" tekannya lagi.

"Kau masih menaruh dendam padanya, eh?" Draco menggaruk hidungnya. Tidak bisa menemukan kata yang tepat. Karena dia tahu betul Pansy tak akan pernah menerima keberadaan perempuan itu. Jangan bayangkan jika Pansy akan menggelak tawa dengan perempuannya. Bahkan untuk meliriknya saja tidak akan dia lakukan. Hanya keajaiban yang bisa menyatukan mereka.

Pansy mendengus jengah. "Menaruh dendam, katamu? Tidak. Tidak, Malfoy. Aku tidak pernah dendam padanya. Hanya dia tidak pantas mendapatkanmu, dan kau juga terlampau gila untuk mencintainya. Otakmu konslet?"

"Dengar, Pans. Aku ingin kau mendengarnya dengan jelas dulu, aku masih dalam tahap pendekatan. Belum tentu aku mencintainya. Tapi kuharap begitu," Draco menekankan kata terakhirnya yang ditujukan untuk memenuhi tatapan menantang Pansy. "Lagipula, sejak pertempuran Hogwarts, banyak sekali penyihir-penyihir yang berguguran. Dan Kementrian menyarankan agar mencari pasangan secepatnya."

"Tapi bukan dari mudblood, Drake. Kau bisa mencari siapa kek yang lain, Astoria misalnya. Kupikir kau akan bersamanya. Yah, walaupun perkataannya banyak membuatku jengah. Tapi setidaknya dia masih seorang yang murni," ujar Pansy.

Kristal abu-abu itu berputar dalam kantongnya. Draco menggeleng dan mendengus bosan dengan ocehan Pansy. "Terserah kau, Pans. Aku tak peduli. Aku punya caraku sendiri dan begitu pula kau. Jika kau masih ingin hidup makmur, hadirilah undangan itu. Jika tidak.. Well, ratapilah masa depanmu dengan sebotol Ogden tengik."

"Tak ada hubungannya pekerjaanku dengan pesta bisnis-men sialan ini, DRAKE!" Pintu berdebam menutup dengan suara yang agak keras. Draco keluar dari ruangan itu tanpa menoleh sedikit pun paada Draco.

Pansy menghempaskan kembali tubuhnya ke atas kursi putarnya. Mencoba berkonsentrasi lagi kepada artikel-artikel yang berserakan dimejanya, tapi tetap tidak bisa. Pikirannya melayang pada Draco sepenuhnya. Masih teringat saat-saat mereka masih dengan bangganya menjadi seorang pureblood. Menatap jauh rencana indah kedepan, menjadi yang teratas. Siapa sangka kekalahan pihak Kegelapan menjadi boomerang bagi mereka sendiri.

Keluarga Parkinson sebenarnya bukan termasuk para pengikut yang setia. Mereka lebih karena sekedar takut. Mereka menyumbangkan uang mereka untuk biaya operasional kelompok bertopeng Pelahap Maut itu. Mereka berpihak kepada siapa yang menang. Apapun yang menurut mereka menguntungkan. Sementara pandangan Pansy sedikit berbeda. Tak heran karena selama bertahun-tahun dia hidup dengan Malfoy, Crabbe, Goyle yang notabene orangtua mereka adalah pengikut Voldemort.

Sejak perang yang berakhir dengan penghabisan nyawa sang Lord, kehidupan para ex Pelahap Maut dan kroni-kroni yang mendukungnya (seperti halnya orangtua Pansy) menjadi hancur berantakan. Beberapa Pelahap Maut yang sangat fanatik dijebloskan ke Azkaban. Sementara mereka yang cerdik (atau bisa dibilang pengecut—seperti Lucius Malfoy) memberikan alasan bertele-tele bahwa mereka selama ini berada dibawah kutukan Imperius. Sedangkan beberapa keluarga yang senasib seperti keluarga Parkinson mendapat dampak negatif. Bisnis mereka secara drastis jatuh. Tidak ada yang mempercayai mereka.

Dan disinilah Pansy membanting tulang untuk memenuhi semua kebutuhan hidupnya dan tentu saja orang tuanya. Membuang rasa bangga akan status darahnya, mencoba untuk bekerja sebagai wartawan tabloid Witch Weekly. Karena disana satu-satunya tempat yang setidaknya menerima orang-orang seperti Pansy.

Ambisi Pansy adalah menjadi direktur dari sebuah perusahaan yang bergerak di bidang fashion atau hal-hal yang berhubungan dengan itu. Ingin merasakan bagaimana uang bekerja untuknya, dan tidak berada dibawah suruhan atasan, melihat bagaimana semua bekerja untuknya, bukan dia yang bekerja untuk mereka. Terinjak-injak dibawah kuasa orang lain, meh! Tapi toh, dia tetap harus bertahan. For pride and glory, dia harus mendapat posisi tertinggi di Witch Weekly, selagi impiannya menjadi Direktur perusahaannya sendiri—atau paling tidak Nyonya besar (maunya sih Nyonya Besar Malfoy, tapi itu sudah sirna sekarang).

Draco sendiri meneruskan bisnis keluarganya yang sudah ada sejak bertahun-tahun lamanya. Bersyukurlah lelaki pirang itu, karena hanya nama ayahnya lah yang tercoreng di muka publik. Tidak ada lagi yang memberikan rasa hormat bagi keluarga Lucius Malfoy, tapi tidak untuk perusahaan yang didirikan oleh kakek buyut Draco. Dan bagi Draco, ini adalah jalan terbaik untuknya membersihkan namanya sendiri. Persetan dengan Lucius Malfoy, yang telah membuatnya ikut turut campur dalam perang yang seharusnya tidak diikutinya. Yang penting dia harus bisa menaikkan derajatnya lagi sebagai orang yang terpandang.

Pansy mendengus kesal. Diusapkannya telapak tangannya keseluruh muka, menyisir rambut hitam jet-nya yang masih dipotongnya sebahu. Jika dia memikirkan Draco, pikirannya langsung melayang kepada si wanita busuk salah satu pahlawan dunia sihir. Siapa lagi kalau bukan Hermione Granger.

Hubungan Draco dan Hermione menjadi topik terpanas sepanjang enam bulan ini. Hermione Granger bekerja di Kementrian Sihir dalam Departemen Penegakan Hukum dan Undang-undang Sihir sebagai pengacara. Dan dia terikat kontrak dengan perusahaan Malfoy, apalagi kalau bukan sebagai penasihat di dalam perusahaannya. Memikirkan kenapa seorang pengacara bisa menjadi penasihat membuat Pansy pusing, apalagi jika orang itu Hermione Granger. Perusak hubungan orang.

Pansy dan Draco tetap bersama baik setelah perang Hogwarts itu. Mereka memutuskan untuk mengakhiri hubungan ini setahun yang lalu (Draco yang meminta) dan lebih baik hanya menjadi saudara saja. Draco diberitakan dekat dengan beberapa penyihir ex-Slytherin, seperti Astoria Greengrass. Tapi hubungan itu tidak berlangsung lama, malah Draco menjalin hubungan dengan wanita kutu-buku itu.

Pansy sendiri masih merasa Draco adalah miliknya. Apapun yang menjadi milik Pansy sangat sulit untuk menjadi milik orang lain kecuali Pansy mengijinkannya.

Sebuah ketukan membuyarkan pikiran Pansy, dia buru-buru membenahi rambut dan blouse-nya. "Masuk," ujarnya.

"Miss Parkinson, ada dokumen dari Direktur untuk anda," ujar Stella—sekretarisnya—dan menyerahkan sebuah amplop kepadanya. "Terimakasih, Stella."

"Katanya harus cepat anda baca, Miss. Dan menyuruh anda untuk mengirimkan memo balasan padanya." Stella menambahkan sebelum dia keluar dari ruangan itu.

Pansy membuka amplop cokelat lusuh yang bertuliskan nama direktur Witch Weekly, Lou Smith. Matanya memeriksa dokumen itu dengan teliti.

Kepada Editor Witch Weekly,

Nona Pansy Parkinson.

Semoga tidak mengganggu ketenangan anda bekerja, Miss Parkinson. Tapi saya mendengar akan ada acara besar yang diselenggarakan oleh Kementrian kepada para pebisnis penyihir di aula besar Kementrian. Dan saya mendengar selentingan berita bahwa ada pebisnis baru di dunia kita, yang tidak kita sangka-sangka –atau bahkan sudah diprediksi sejak lama, Mr. Harry Potter.

Saya harap anda bisa bersama unit anda untuk membuat artikel pilihan Mr. Potter ini menjadi pebisnis untuk kolom business profile di Witch Weekly. Ini adalah topik yang sangat panas, dan aku yakin bisa menaikkan omzet penjualan tabloid kita. Karena Mr. Potter sendiri belum membuat pernyataan publiknya untuk bisnis yang akan dijalankannya ini. Saya yakin Witch Weekly dapat menjadi orang pertama yang mengulasnya dengan melihat kinerja anda.

Sekian dari saya. Saya menunggu respon anda secepatnya.

Lou Smith.

Pansy meletakkan dokumennya keatas mejanya. Potter si Anak Emas itu berganti pekerjaan menjadi pebisnis? Apakah gajinya menjadi Auror kurang? Apa kurangnya anak itu? Apa menumpuk harta menjadi hobinya kali ini? Kalau bukan karena si Aigenheerz yang menyuruhnya dia tidak akan repot-repot memikirkan agar si anak ini bisa nampang lagi di majalah-majalah, koran atau tabloid.

Benar-benar gila perhatian.

Pansy mendengus kesal. Demi agar bisa makan dan memenuhi kebutuhan hidupnya, Pansy menekan bel yang secara sihir terkoneksi kepada anak buahnya.

"Reagan disini," ujar suara lelaki yang terdengar dari balik pengeras suara mini. "Aku ingin kau mengumpulkan tim sepuluh menit lagi. Ada yang harus dibahas," sahut Pansy kearah micropohone mini yang diberi mantra melayang diatas speaker mini itu.

"Baik, Miss Parkinson."

Pansy membenahi dokumen-dokumennya, merapikan baju kerjanya dan menunggu saat-saat dia memberi tugas untuk para bawahannya, menyerahkan sepenuhnya tanggung jawab kepada orang-orang yang pantas. Menunjukkan wibawa sebagai Parkinson, walaupun dia belum menjabat sebagai direktur. Hah, tunggu saja nanti, dia akan bekerja keras untuk mengembalikan wibawanya. Pansy sekarang tidak seperti Pansy jaman sekolah dahulu yang bodoh dan semaunya sendiri. Dan demi itu semua, dia harus mau berurusan dengan masalah pemberitaan si Kepala Besar yang haus perhatian ini.


(( A/N ))

Akhirnya! Akhirnya!! *tebar-tebar confetti*

Akhirnya gw buat juga fanfic multichapter (AMIIIN!) HarPans. Semoga bisa bertahan terus sampe epilog nih fanfic. Doain ya! Maka dari itu gw bener-bener berharap kalian mau komen, review, mengumpat apa aja tentang fanfic gw. Karena kata-kata dari kalian-lah yang membuat fanfic ini dapat berlangsung terus. Oke!