"Sebentar lagi, Sakura!"
"Arrrgggghhhhh!" suaranya terdengar menyakitkan. Tsunade terus menyemangati wanita yang akan menjadi ibu itu.
"Kita kencan, ya Sakura-chan!"
"Boleh saja. Asal kau tidak bicarakan ini pada teman-teman!"
"Ya! Kepalanya sudah terlihat. Bersabarlah dan terus mendorong!"
"Arrrrrghhhh...Naruto!"
"Kau sahabatku. Dan aku akan selalu melindungimu, Sakura-chan."
Wanita itu bercucuran keringat. Penuh tenaga yang besar untuk menjalani sebuah persalinan. Dia terus berusaha, dia ingin segera melihat anak pertamanya.
Tidak. Jangan bercanda di saat seperti ini Sakura. Itu hanya ucapan bocah.
"Arrrgggggggggghhhhhh!" suara kesakitan yang sangat kencang membuat Tsunade semakin bahagia. Inilah akhirnya.
"Oeeeeeeek..." tangisan bayi pertamanya begitu indah. Sakura masih dalam keadaan setengah sadar dari perjuangan itu.
Pada akhirnya, dia sama sekali tidak menepati janji bukan? Dia bahkan tidak menemani perjuanganku disini melahirkan anaknya. Karena memang aku tidak menginginkannya.
"Selamat Sakura. Bayinya laki-laki!" Seru Tsunade sambil menggendong bayi yang masih bermandikan darah ibunya. Wanita berambut merah muda itu tersenyum. Tersenyum bahagia sebagai ibu yang baru.
"Selamat datang...Naoto." perlahan ibu muda itu menutup matanya.
Sincerity
Naruto by Masashi Kishimoto © 1999
Aku membuka mata. Mengingat kejadian itu kembali. Senang dan bahagia. Rasanya 5 tahun yang lalu itu adalah anugrah terindah yang di berikan Kami-sama.
Namaku Sakura Haruno. Lahir di desa Konoha, umurku sekarang 22 tahun. Aku telah menjadi ninja medis di desa Suna selama 6 tahun.
"Aku tidak ingin di rayakan ulang tahunku."
"Kenapa?" tanyaku khawatir. Naoto mulai tumbuh besar sekarang. Dia bahkan berpikir layaknya orang dewasa. Mungkin dia mewariskan kepintaranku.
"Aku hanya ingin bertemu ayah."
Aku memandangi mata hijaunya yang seperti milikku. Dan lagi-lagi dia selalu meminta permintaan ini setiap tahun. Ya, hanya di hari ulang tahunnya saja dia meminta ingin bertemu ayahnya.
"Ayah masih sibuk. Bagaimana jika kita pergi ke toko mainan atau kue dango?" tawarku. Aku masih ingin membujukknya dan menghalangi pikirannya tentang ayahnya.
"Kenapa ayah selalu sibuk, bu? Apa ayah tidak ingin bertemu denganku? Apa karena aku ini jelek?"
Aku menghela napas panjang. Anak ini kian mencari tahu apa yang terjadi. Tunggu dulu, jelek katanya?
"Kau tampan seperti ayahmu." Aku mengacak rambut pirangnya pelan.
"Kalau begitu aku ingin bertemu ayah!" rewelnya anak ini. Bagaimana aku harus mengeluarkan macam-macam alasan agar ia tidak membicarakan ayahnya?
"Tidak sekarang, Naoto!" Aku mulai menegaskan suaraku. Ya, dia agak sedikit terdiam. Ini lebih baik. Itulah yang aku suka darinya. Dia juga mewariskan sifat seperti ayahnya yang takut pada ibunya.
"Kalau begitu, aku ingin bermain ke rumah Kazekage saja!"
Aku menghela napasku lagi, "Baiklah. Kenakan mantel dan sepatu boot mu."
.*.*.*.
"Selamat ulang tahun Naoto!" Gaara berteriak menyambut Naoto. Anak itu membalas pelukannya.
"Maafkan aku, Temari. Naoto selalu merepotkan. Apalagi ini tahun baru." Aku menundukkan kepalaku. Dia tersenyum, "Justru sangat menyenangkan bisa bertemu Naoto." jawabnya.
Aku memperhatikan Gaara dan Naoto yang sedang bermain di halaman yang sangat luas tertutup pasir. Mereka berdua membuat orang-orangan dari pasir itu. Begitu tersipu aku melihat pandangan ini. Andai saja ayahnya ada di antara mereka berdua.
"Kenapa kau harus pergi ke Suna, Sakura-chan? Tidak ada ninja medis sehebat dirimu di Konoha!" ucap Naruto dengan wajah yang kusut.
"Kau masih tidak ingin memberitahunya?"
Aku cukup terkejut dan sedikit menjauh dari jendela itu. "Sakura?"
"Ma-maaf Temari." aku sedikit panik. Bisa-bisanya aku mengingat kejadian itu lagi. Lalu aku menunjukkan senyum pada Temari.
Dia tidak membalasnya, matanya kini beralih ke jendela. "Aku bahagia melihat Gaara begitu akrab dengan Naoto." Kini dia memandangku, "Tapi, mau sampai kapan terus begini?"
"Aku bisa mengurus Naoto sendiri. Lagi pula, aku tidak begitu peduli lagi. Hidup ini, bebas memilih kan'? Naruto adalah Hokage. Dia juga mempunyai orang yang begitu mencintainya."
Dia terdiam. Benar-benar, Temari selalu memaksaku untuk bertemu pria yang hanya aku temui setahun sekali.
"Bagaimanapun, aku akan kembali ke Konoha untuk melapor pada Hokage." Aku menundukkan kepalaku.
"Kau harus membawanya. Setidaknya kenalkan Naoto pada orang tuamu, Sakura."
.*.*.*.
Ingin sekali aku menguraikan air mata. Apa salah anak ini sehingga aku harus memisahkan dari ayahnya?
Tidak, tidak boleh. Aku tidak boleh mengganggu ketenangan hidup Naruto. Aku yakin dia tidak menginginkan Naoto.
"Ayahmu masih hidup, nak. Hanya saja ayah harus menyelesaikan urusan pentingnya. Suatu hari nanti dia akan kembali."
Akhirnya aku selesai menikmati kue dango di salah satu kedai di Suna. Walau tidak seenak milik Konoha, aku hanya ingin memakannya.
"Lalu kita makan ramen ya, bu? Ayo cepat bu, jalannya!"
Anak ini lincah sekali. "Sudah ibu katakan berapa kali, ramen itu tidak baik untukmu." Dia terus saja menarik-narik tanganku untuk segera keluar dari kedai itu.
"Sakura, ya?"
Suara ini?
Tubuhku mendadak menjadi kaku. Seaakan aku tidak bisa bergerak, mata ku tetap terbuka dan tidak bisa menutupnya. Jantungku seperti berhenti berdetak.
"Sakura? Benar kan'?"
Aku ingin berlari kencang menerpa tajamnya pasir yang menusuk tulangku.
"Sakura, kau mendengarku?" dia mulai menyentuh pundakku. Tubuhku terasa lemas. Kini perlahan aku bisa menutup mata dan membukanya lagi. Naoto menggenggam erat tanganku, tentu saja aku melarang dia berbicara dengan orang asing.
"Shi-Shikamaru..." desahku pelan.
Dia tersenyum, "Sudah lama sekali. Bagaimana dengan pekerjaanmu disini?"
"Baik-baik s-saja. A-aku sangat menyukainya."
"Kau yakin?"
Yang benar saja, seakaan Shikamaru tidak bisa di bohongi.
"Bagaimana denganmu, jenius?"
Shikamaru menghela napasnya, "Aku bosan menjadi penasihat Hokage. Ini menyebalkan."
Seperti dugaanku. Lalu kuberanikan untuk memandang bola matanya yang perlahan menuju ke arah buah hatiku. Dia menyerengitkan alisnya, "Keponakanmu?"
Don't be kidding me, Shikamaru! Ingin sekali aku meninjunya.
"Halo, aku Shikamaru. Kau?"
Dia memberikan tangannya pada anakku. Mengajak putera kecil ku untuk berjabat tangan.
Naoto menarik tanganku, "Ibu, siapa orang ini?"
Aku selalu mengajarkan puteraku untuk tidak berbicara dengan orang asing. Dia sangat penurut.
"IBU?!" Shikamaru terlihat begitu terkejut, "Kau sudah menikah?!"
"Kami sudah memutuskan hubungan kami." aku sedikit berbisik, sama sekali tidak ingin Naoto mendengar hal ini.
Shikamaru memandangku tidak percaya. Dia terdiam sebentar, "Siapa nama anakmu?"
Aku tertawa, "Kau bisa bertanya sendiri padanya, jenius."
Perlahan pria berambut hitam itu sedikit menunduk, memandang bocah berumur 5 tahun yang sangat menggemaskan. "Baiklah. Aku Shikamaru. Teman ibumu saat masih di akademi. Jadi tidak perlu takut." Shikamaru tersenyum, "Siapa namamu?"
"Naoto. Naoto Haruno."
.*.*.*.
"Banyak sekali yang telah kau lewatkan di Konoha. Ya, teman-teman kita." Ujar Shikamaru.
"Benarkah?" aku melirik anakku yang sedang makan banyak. Aku tidak bisa melarangnya, dia sedang ingin menikmati mi khas Jepang yang panas. Tentu saja karena Naoto yang mengeluh kelaparan ingin menikmati ramen.
"Entah perasaanku saja. Atau, anak ini mengingatkanku pada seseorang."
Aku tertawa pelan.
"Aku serius Sakura. Lihat saja dari rambutnya. Dan, makanan yang sedang ia makan sekarang."
Aku melirik anakku lagi. Ya, dia percis seperti dirinya. Orang yang sangat aku cintai. Cukup melihatnya setiap hari, hatiku sudah terhibur.
"Tidak masalah jika menggunakan margamu. Tapi boleh kau jujur padaku, apa ayahnya,"
.*.*.*.
Ini salah satu alasan. Begitu mengajak Naoto, orang-orang terpenting dalam hidupku akan menanyakan siapa ayahnya, dan dimana dia. Bukan berarti aku tidak menyukainya, hanya saja orang itu tinggal sejarah.
Setelah pertemuanku dengan Shikamaru yang cukup singkat, aku segera menemui Temari untuk menitipkan Naoto seperti biasa.
Ya, dalam lima tahun ini aku cukup lihai untuk menutupi keberadaan Naoto dengan jurusku. Bagaimanapun ayahnya selalu datang ke Suna setahun sekali untuk membicarakan urusan sesama Kage. Dia juga menyempatkan diri untuk mengetahui laporan dariku, setidaknya juga―mengajakku kembali ke Konoha.
Mataku kembali terpejam.
Dia melakukannya berulang kali dalam satu malam itu. Aku yakin dia tidak sadar, dan memang aku tidak ingin bercerita apapun padanya. Aku cukup bahagia melihat dia tidur pulas di kamarnya yang telah ku rapikan.
Keesokan hari saat aku harus berangkat misi ke Suna. Aku memintanya untuk melupakanku dan mencari gadis lain untuk menemani hidupnya. Memintanya sambil menangis, tentu saja. Dia setuju, walau mengutarakannya dengan berat.
Andai saja Naruto tahu, sejak malam itu dirahimku telah tertanam benihnya.
Aku sangat menyukainya, hanya saja...
Saat umur kandunganku memasuki bulan ke-5, aku bersih keras untuk kembali ke Konoha di temani Kankurou dan Temari. Bagaimana dengan wajahku? Aku terlihat begitu bahagia untuk memberitahu kabar ini. Perutku juga terlihat semakin membesar.
"Cepatlah beritahu Naruto, bagaimana sebaiknya dengan bayi kalian."
Aku tersenyum pekat. Bagaimana cara seorang wanita memberi tahu sahabatnya bahwa ia telah mengandung anaknya? Sebenarnya aku bahagi sekali. Tapi, semua berubah ketika aku menemui Ino lebih dulu...
"Naruto sudah berpacaran dengan Hinata."
Hatiku hancur lebur. Dan aku segera menggelengkan kepalaku dengan cepat. Aku tidak boleh menunjukkan air mataku.
"Hei kau kenapa? Jangan bilang kau menyukainya, ya? Ayolah Sakura, semua orang tahu kalian selalu bertengkar akan hal-hal aneh."
Bukan hanya menyukainya, Ino. Aku mengandung anaknya!
"Setelah kau pergi begitu saja meninggalkan kami, Naruto begitu terpukul. Dia beruntung, ada Hinata yang selalu menjaganya saat sakit. Aku tahu karena aku sering merawat Naruto di rumah sakit juga. Kau harusnya bersyukur akan sahabatmu, Sakura."
Entah kenapa aku merasa kotor sekali.
"Kau tahu sendiri kan', Hinata sudah lama menyukai Naruto. Ya di saat dia sedang terpuruk, Hinata selalu ada disampingnya. Kejadian paling menyedihkan ketika Hinata menyatakan perasaannya saat melawan Pain dulu. Mungkin dia tersentuh akan kebaikannya." Ino menghela napasnya, "Setelah perang melawan Madara berakhir. Semua kembali normal dan hidup damai. Hanya saja kau malah menerima misi ke Suna."
Aku perlahan mengusap perutku. Entah bagaimana rasanya sakit sekali. Ekspresi wajahku berubah-ubah. Ino malah memperhatikan perutku dibalik baju yang sangat lebar ini.
"Sakura, perutmu?"
Ino bukan gadis yang bodoh, tapi apa dari tadi ia tak menyadarinya? Ya, mungkin kurang dari pencahayaan di toko bunga ini dan juga chakra yang belum di hasilkan bayi kecilku.
"Sakura, ini alasanmu pakai baju yang sangat longgar?"
"Ya?"
"Kau hamil?!"
"Sudah lima bulan. Sebenarnya aku ke Konoha ingin berobat ke Tsunade-shisou." aku tersenyum, menahan sakit yang menjalar di perutku.
"Kau melakukan hubungan bebas di sana? Apa kau gila?!"
Aku tidak ingin Ino mengetahuinya lebih dalam lagi. Aku benar-benar ingin menanggungnya sendiri.
"Ya, begitulah. Aku tidak ingin menggugurkannya. Jadi bairkan saja. Ino, setelah kupikir-pikir...aku tidak bisa memberitahukan hal ini pada orang tuaku. Aku akan segera kembali ke Suna, biarkan aku menetap sebentar disini."
Sedangkan Kankurou dan Temari memang sedang ada urusan untuk menyiapkan ujian para Chuunin.
Ino mendenguskan napasnya kesal, "Terserah kau saja. Tapi jangan menyesal ya."
.*.*.*.
Aku melangkahkan kakiku bersama Shikamaru yang mengajakku untuk berbicara serius lagi. Kenapa dengan pria jenius ini? Dulu dia bahkan tidak peduli dengan urusan pribadiku. Atau karena ini menyangkut anak sahabatnya?
"Aku ingin kau jujur sekarang. Dia, anak Naruto kan?!" suara itu bahkan terdengar membentak. Jantungku mulai berdetak kencang lagi. Pipiku memerah menahan marah. "Memang apa urusanmu?!" teriakku.
"Pantas saja," Shikamaru menggantungkan kalimatnya. Aku semakin menatapnya dengan serius. "Dia selalu bermimpi mempunyai anak laki-laki."
Aku terkejut, rasanya seperti petir menyambar hatiku. Bulir air mata perlahan keluar dari kelopak mataku.
"Kau tahu, Sakura. Kau tidak hanya membuatnya menderita saat di akademi, setelah kau pindah dari Konoha kau tetap saja membuatnya semakin menderita. Memisahkan Naruto dengan anaknya!"
Lututku lemas, air mataku semakin banyak berhamburan keluar. Shikamaru tidak tahu apa-apa tentang kehidupanku.
"Jadi ini alasan Tsunade-sama benar-benar memaksakan diri untuk pergi ke Suna waktu itu. Untuk membantu persalinanmu?"
Shikamaru menatapku kasihan, ia banyak mendecak. Berjalan bolak-balik, berusaha berpikiran jernih.
"Cepatlah, cepatlah pergi ke Konoha!"
"M-maksudmu?" aku keheranan dengan ekspresi Shikamaru sekarang.
"Ajaklah anaknya, beritahu dia selama ini yang ia impikan adalah nyata!"
Aku mengelak cepat, "Tidak. Aku tidak bisa."
Shikamaru mencengkram kedua bahuku, pandangannya begitu tajam.
"Naruto. Akan. Menikahi. Hinata. Besok."
Tubuhku semakin lemas. Air mataku semakin bertumpah ruah. Aku memang sudah membuang perasaan itu jauh-jauh, namun kenapa di dalam lubuk hatiku yang terdalam aku semakin menginginkannya lagi?
Shikamaru mulai melepaskan kedua tangannya, "Lima tahun itu bukan waktu yang singkat. Selama itu, kau dan dia bertahan dalam ketidak pastian. Kalian berdua seperti orang bodoh yang tersesat di lingkungan sendiri. Dan lima tahun juga, kau menyimpan itu semua dengan rapi."
Shikamaru memundurkan dirinya, menatap wanita yang sedang menangis pilu.
"Aku akan mengantarmu, kita harus berangkat sekarang."
To be continued...
