PAPILON

(Butterfly)

Title:

PAPILON

Author:

Elixir Edlar

Cast :

Main: VMIN

Slight: Yoonmin, Kookmin

Genre:

Romance, Crime

Rate:

Mature (M)

Length:

Oneshoot

Disclaimer:

All cast belong to God, their parents and Bighit. Ent. I do not own the characters.

This story is ORIGINALLY from my OWN mind.

Warning :

Boys Love, Typos, EYD-failed, Unbeta-ed.

Alternate Universe (AU), Out of Character (OOC)

Read on Your Own Consent! Thank You~

.

Elixir Edlar Presents

.

.

Papilon©2016

.

..

Berawal dari pertemuan antara dua anak adam yang saling jumpa pada hingar-bingar upacara penyambutan siswa baru. Seorang pemuda berpostur tinggi dengan tubuh langsing, wajah stoic yang terkesan dingin—serta satu orang lainnya yang lebih pendek, bermanik cantik yang berparas semanis madu.

"Hai, kita sekelas ya? Perkenalkan namaku Park Jimin..." si manik cantik.

"Kim Taehyung," si wajah stoic.

Dari situlah keduanya merajut jalinan persahabatan.

Berdiri bersebelahan di aula sekolah ketika penerimaan murid baru, duduk bersebelahan di satu meja, berada dalam klub ekstrakurikuler yang sama, hingga pembagian kamar asrama—yang dilakukan secara random—pun mereka sekamar.

Mungkin inilah yang disebut takdir.

Mereka berdua ditakdirkan untuk bersama, mungkin.

Park Jimin—menghirup udara pertama kali di Busan, bulan Oktober tanggal tiga belas—adalah pemuda yang enerjik dan ceria. Paras semanis madunya disebut-sebut mengalahkan kecantikan seorang wanita. Di samping parasnya yang menawan, kecantikan hatinya bahkan jauh lebih memesona. Hampir semua orang menyukainya dan tidak sedikit orang yang rela jungkir balik untuk merebut hatinya dan mengklaimnya sebagai 'kekasih'.

"Maaf, tapi aku tidak ingin pacaran dulu..."

Jimin menolak setiap namja maupun yeoja yang mendeklarasikan cinta kepadanya.

Kim Taehyung—melihat bumi pertama kali di Daegu, bulan Desember tanggal tiga puluh—merupakan antitesis Jimin yang berbeda seratus delapan puluh derajat. Sosok pemuda bergaris wajah maskulin tanpa ekspresi yang hampir tidak pernah berbicara kepada siapa pun. Hampir semua orang takut mendekatinya duluan. Takut karena ia begitu berjarak, seolah benteng imajiner terbentang kokoh di sekelilingnya.

"Kim Taehyung hanya mau berteman dengan Park Jimin," begitu kata mereka.

.

.

Musim telah berganti sebanyak empat kali, artinya sudah setahun mereka mengisi hari bersama-sama. Saling mengenal lebih jauh satu sama lainnya.

Bagi pemuda manis bersemat nama Park Jimin, sosok Taehyung adalah pemuda kelewat pendiam yang hanya beresonansi ketika orang lain bersuara melalui lubang vokalnya duluan. Karena hal ini Jimin berperan sebagai jembatan penghubung antara Taehyung dengan teman-temannya yang lain.

"Taehyung-ah, ayo ke kantin..."

Ajakan Jimin itu terjadi hampir setiap hari.

"Taehyung-ah, ayo ke festival taman kota..."

Ajakan Jimin ketika kota mereka mengadakan festival.

"Taehyung-ah, Namjoon sunbae mengajak kita nonton konser malam ini. Ikut ya?"

Ajakan Jimin ketika seseorang mengajak mereka menonton konser.

"Taehyung-ah, Seungcheol bertanya apakah kau bersedia berperan sebagai Robbin Hood untuk pementasan drama sekolah kita?"

Ketika mendapat permintaan tidak langsung dari ketua panitia festival sekolah.

"Taehyung-ah, Sungjae memintamu ikut seleksi tim inti basket sekolah. Kau mau?"

Ketika mendapat ajakan tidak langsung dari kapten tim basket sekolah.

"Taehyung-ah, kau pasti bisa! Semangat ya? Jjang! Taehyungie jjang!"

Ketika Taehyung melakukan sesuatu apapun itu. Jimin selalu menyemangati.

"Taehyung-ah, ajari aku PR matematika. Kau kan jenius, ajari aku ya?"

Permohonan ketika Jimin mati-matian membuat PR matematika.

"Selamat tidur Taehyungie, mimpi indah ya?"

Ucapan Jimin itu hampir terjadi setiap malam.

.

Kim Taehyung adalah sosok yang terkenal sulit untuk ditakhlukkan dan selalu berkata 'tidak' pada semua orang. Tapi hal itu tidak berlaku untuk Park Jimin. Jimin adalah satu-satunya pengecualian.

Selama ini, Taehyung belum pernah sekali pun menolak ajakan maupun permintaan Jimin. Semua yang dikatakan oleh Jimin akan dijawab dengan anggukan kepala dan sepatah kata,

"Baiklah Jiminnie.."

Semua orang heran. Entah mantera atau sihir apa yang digunakan oleh Jimin sehingga stoikal macam Kim Taehyung tunduk kepadanya. Semua kata 'tidak' yang biasanya ia tebar dengan begitu mudahnya—berubah menjadi,

"Ya.."

"Oke.."

"Baiklah.."

"Tentu saja.."

"Boleh juga..."

.

.

Musim semi berganti panas, musim panas berganti gugur, musim gugur berganti dingin, dan musim dingin berganti semi lagi, masing-masing dua kali. Terhitung delapan musim yang artinya dua tahun sudah kebersamaan mereka di sekolah menengah atas.

Dan—entah nasib, takdir, atau kebetulan apa yang melingkupi keduanya sehingga mereka terus-menerus bersama. Di kelas yang sama, di meja yang sama sampai keduanya lulus setahun kemudian.

Tampaknya takdir terlalu enggan memutus kebersaman pemuda Kim dan Park tersebut. Sampai-sampai oleh teman-teman mereka dijuluki sebagai Duo Dumb and Dumber—karena kemana-mana selalu bersama.

.

.

"Tae, seseorang mengirimkan setangkai mawar merah padaku..." kata Jimin pada suatu pagi di hari Senin yang cerah.

Setangkai mawar merah segar dengan keharuman yang menguar dari tiap kelopaknya bertengger manis di dalam loker Jimin. Tidak ketinggalan pula sebuah kartu ucapan kecil—bercetakkan 'ich liebe dich'—yang menempel manis di tangkai mawarnya.

"Tae, aku mendapat kiriman mawar merah lagi!" seru Jimin di Senin selanjutnya.

Setelahnya Jimin selalu menemukan setangkai mawar merah yang tergeletak manis di dalam lokernya lengkap dengan kartu ucapan 'Ich liebe dich' yang sama setiap hari Senin. Hal tersebut berlangsung selama dua tahun sampai ia menginjakkan kakinya untuk terakhir kali di sekolah—lulus.

Apabila jumlah hari Senin dalam setahun ada lima puluh tiga, berarti dalam dua tahun Jimin telah mengumpulkan seratus enam tangkai mawar merah yang dikirim secara misterius di lokernya. Ditambah lagi lima tangkai; dua kali di hari Valentine, dua kali di hari ulang tahun Jimin, dan terakhir kali pada hari kelulusannya.

Mawar merah misterius yang diterima Jimin selama dua tahun terakhir ini totalnya berjumlah seratus sebelas mawar. Menurut filosofi, seratus sebelas mawar melambangkan 'keabadian cinta'. Ini sungguh manis bukan?

"Tae, menurutmu pengirimnya yeoja atau namja?" tanya Jimin ketika mendapatkan kiriman mawar terakhir di lokernya pada perayaan kelulusan mereka.

"Namja..." dengan nada yang sangat meyakinkan, Taehyung menjawab.

Semenjak saat itu, Jimin mulai mencurigai sahabatnya tersebut.

.

.

.

Malam terakhir sebelum upacara kelulusan adalah malam terakhir pula bagi Jimin dan Taehyung menjalani kebersamaan mereka sebagai room-mate di asrama sekolah mereka. Esok pagi setelah acara pelepasan siswa tingkat akhir usai, Taehyung akan segera bertolak ke Jerman—meninggalkan segala momentum dan memoarnya bersama Park Jimin—untuk melanjutkan studinya.

Bukit belakang sekolah—yang dikenal angker oleh warga sekolah—menjadi saksi sepasang sahabat yang saling merangkai kenangan terakhir untuk diingat di masa depan. Malam ini malam terakhir mereka merasakan eksistensi masing-masing—embusan napas, detakan jantung, dan desiran darah satu sama lain.

Hamparan rumput hijau yang dingin pun tak dihiraukan oleh mereka. Berbaring berjejer seraya memandang langit yang begitu cerah bertabur jutaan bintang yang terhampar luas di angkasa. Bagai aliran sungai panjang yang gemerlapan bak berlian tertimpa cahaya. Begitu menawan, begitu mendamaikan—meski tanpa ditemani oleh sang rembulan.

"Tae..." lirih Jimin pada Taehyung yang tengah memandang langit tanpa ekspresi.

"Hmm.." dijawab dengan sebuah dengungan.

"Apa kau percaya cinta sejati?"

"Ya.."

"Mm, apa kau.. pernah jatuh cinta?"

"Mungkin.."

"Benarkah? Sudah berapa lama? Kepada siapa? Kenapa kau tidak cerita padaku?"

"Ssstt.." Taehyung meletakkan telunjuk panjangnya pada bibir Jimin. "Kau berisik Chim," lanjutnya datar, lalu menarik telunjuknya kembali.

Jimin mendengus, "Huh, aku kan hanya tanya," katanya.

Hening.

Sebuah atmosfer yang sejatinya tidak digemari oleh Jimin sama sekali.

"Apa orang yang kau sukai itu mengenalmu?" Jimin yang pertama buka suara.

"Ya.."

"Apa kau sudah menyatakan cinta padanya?"

"Tidak.."

Jimin bergeming setelahnya.

Keheningan kembali menyelimuti mereka selama beberapa saat. Yang terdengar hanyalah suara kerikan jangkrik dan orong-orong yang bersembunyi di bawah lapisan bumi.

"Pernikahan..." celetuk Taehyung, entah tersambet apa.

"Apa?!" Jimin tidak benar-benar yakin dengan pendengarannya.

Barusan ia mendengar kata pernikahan?

"Aku akan datang pada hari pernikahannya," ujarnya—masih setia—memandang langit.

"Sebagai suaminya?" suara Jimin berubah bersemangat.

"Tidak.." singkat Taehyung.

"Oh..." hanya itu yang dikatakan oleh Jimin.

Jimin mulai berspekulasi, ia pikir Taehyung telah memiliki tambatan hati. Namun Jimin tidak bodoh untuk tidak mengetahui bahwa cinta Taehyung adalah cinta satu sisi.

Dan orang itu—sepertinya bukanlah dirinya.

'Berarti Taehyung akan datang sebagai tamu undangan?' batin Jimin.

"Ayo kembali, ini sudah terlalu malam.." Taehyung bangkit dari posisinya. Bersiap berjalan untuk menuruni bukit, meninggalkan Jimin yang masih betah larut dalam lamunannya.

"Kau tidak mau kembali?" tanya Taehyung, posisinya sudah agak jauh dari Jimin.

Jimin tersadar dari lamunannya, "Eh? Kenapa kau sudah ada di situ? Yah, tunggu aku Taehyungieeee~"

.

.

Sinar mentari digantikan oleh cahaya rembulan, cerahnya langit siang pun digantikan oleh gelapnya malam. Keempat musim telah berganti sebanyak tiga kali. Bunga yang kuncup pun bermekaran lalu layu dan jatuh berguguran. Setiap awal pasti akan menemui akhirnya. Setiap hal baik pasti akan menemui akhir riwayatnya. Every good thing must come to an end, katanya.

Begitu pula kebersamaan dua sahabat yang mau tidak mau harus menjumpai perpisahan. Waktu—ya, waktulah yang mempertemukan mereka dan waktu pula yang memisahkan keduanya. Park Jimin dan Kim Taehyung yang telah merangkai persahabatan mereka selama tiga tahun pun akhirnya harus terpisah juga oleh waktu.

"Ini untukmu..." sebuket bunga chrysanthemum dari Taehyung untuk Jimin.

Artinya—'kau adalah sahabat yang luar biasa'.

"Terima kasih Tae. Aku juga punya ini untukmu..." sebuket periwinkle putih untuk Taehyung.

Artinya—'memori yang membahagiakan bersamamu'.

"Mm, thanks, Jimin," adalah kata-kata terakhir Taehyung sebelum mereka benar-benar berpisah.

Kemudian Taehyung segera masuk ke dalam mobilnya hingga yang nampak hanya punggunya saja. Dan mobilnya pun menghilang dari pandangan di pertigaan ujung jalan.

"Sunbae..." panggil seorang adik kelas Jimin yang hidungnya bangir, wajahnya sepintas mirip Taehyung.

"Ya?" Jimin menoleh, tersenyum ramah. Meski manik kelamnya nampak berkaca-kaca.

"Ada titipan dari seseorang.." katanya.

Setangkai bunga spiderflower dan sebuah kartu ucapan mini yang bertuliskan,

'Mein leben ist ohne dich nicht abgescholessen.'

(Hidupku takkan berarti tanpamu).

Dan Jimin pun tersenyum entah pada siapa.

.

Papilon©2016

.

Bumi terus-menerus berotasi terhadap sumbunya dan berevolusi mengelilingi pusat tata surya. Hari demi hari berganti, pun bulan demi bulan, dan tahun demi tahun. Tujuh tahun sudah Jimin berpisah dengan Taehyung semenjak hari kelulusan keduanya. Tujuh tahun pula ia telah kehilangan seluruh koneksinya terhadap sahabat 'tak terpisahkannya' semasa SMA.

Taehyung mengganti nomor ponselnya, tidak memberikan alamat barunya di Jerman, dan menonaktifkan seluruh akun media sosialnya. Ia seolah menghilang ditelan bumi dan seolah berpindah dimensi ke semesta yang sama sekali asing. Bahkan kediaman keluarga Kim di Seoul pun telah dipindahtangankan. Sulit sekali untuk menapaktilasi jejak Taehyung apalagi menemukan keberadaannya.

'Sepertinya Taehyung tidak akan pernah kembali', pikir Jimin.

"Tae, apa kau benar-benar sudah melupakanku..." kata Jimin pada udara kosong di suatu malam yang hawa dinginnya begitu menusuk tulang.

.

.

Jimin telah menginjak usianya yang kedua puluh lima. Setelah lulus dari Universitas Yonsei dan menyandang gelar sarjana ekonomi, ia kini bekerja sebagai seorang karyawan di sebuah perusahaan terkemuka yang bergerak di bidang manufaktur.

Meski begitu Park Jimin yang sekarang tetaplah sosok yang sama dengan Park Jimin tujuh tahun yang lalu. Semuanya masih tetap sama. Kelembutan hatinya, kepeduliannya terhadap orang lain, maupun perilakunya yang begitu menyenangkan bagi orang-orang di sekitarnya—membuat hampir semua orang di lingkungan kerjanya tidak ada yang tidak menyukainya. Sama halnya ketika ia masih bersekolah dahulu.

Satu-satunya hal yang membedakan antara Jimin saat ini dengan Jimin tujuh tahun yang lalu adalah eksistensi dari seseorang yang berstatus sebagai kekasih Jimin.

Namanya Min Yoongi. Kakak angkatan Jimin ketika berkuliah di Universitas Yonsei. Mereka mulai menjalin hubungan terhitung sejak wisuda kelulusan Jimin sebagai seorang sarjana ekonomi.

Pada saat itu Yoongi datang ke auditorium universitas mereka dengan membawa sebuah karangan bunga berukuran besar yang bertuliskan, "Congraduation! Park Jimin, be mine okay?"

Dan Jimin bagaikan terhipnotis oleh Yoongi dengan mudahnya mengatakan,

"Okay, I'm yours hyung..."

Hubungan Yoongi dan Jimin telah terjalin selama hampir tiga tahun lamanya. Selama tiga tahun itu pula Jimin merasa hidupnya jauh lebih bahagia dari sebelumnya—sebelum ada Yoongi dalam garis nasibnya. Meskipun tak bisa dipungkiri bahwa dasar nuraninya yang terdalam masih mendamba sosok lelaki yang seolah merampas hatinya dengan sekonyong-konyong dan tidak pernah mengembalikannya lagi.

"Taehyungi.. aku merindukanmu.."

.

.

.

"Would you marry me, Park Jimin?"

Adalah kalimat yang diucapkan Yoongi pada waktu makan malam tepat di hari ulang tahun Jimin yang kedua puluh lima. Cincin lamaran Yoongi terbuat dari emas putih dengan lapisan berlian yang bertabur di sekeliling lingkaran cincin. Cantik dan elegan—seperti Jimin.

"Sayang, kau melamun lagi?" tanya seorang lelaki berkulit pucat pada Jimin.

Itu Min Yoongi, kekasihnya.

"Hm.. tidak kok hehe. Aku hanya sedikit lelah," jawab Jimin sekenanya.

"Kau perlu istirahat sayang. Jangan terlalu memaksakan diri. Kau harus tetap prima sampai hari pernikahan kita," sarannya pada Jimin.

Ya, Yoongi dan Jimin akan segera menikah.

"Pernikahan kita tinggal seminggu lagi, Yoongi hyung," Jimin memandang ke atas, menerawang langit-langit apartemennya.

"Ya, seminggu lagi sayang. Apa kau bahagia Jiminnie?" Yoongi meraih tangan Jimin dan mengecupnya lembut.

Saat ini mereka berdua tengah menyamankan tubuh masing-masing di empuknya sofa kulit berwarna putih di ruang tamu apartemen Jimin.

"Aku bahagia. Bahkan sangat bahagia hyung," jawabnya sambil tersenyum manis.

Palsu.

Kau tidak bahagia Park Jimin. Jauh di palung hatimu yang terdalam masih tersimpan sebuah nama. Sebuah nama yang selalu kau harapkan kehadirannya. Sebuah nama yang selalu kau igaukan dalam tidurmu.

Sebuah nama—Kim Taehyung. Satu-satunya orang yang kau cintai sampai saat ini.

"Sayang, aku pamit pulang. Ini sudah terlalu larut," kata Yoongi, beranjak dari sofa dan melirik sekilas arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Jam dua belas malam.

"Eum, hati-hati hyung.." ucap Jimin yang segera mendapatkan ciuman hangat dari Yoongi di bibirnya—tepat sebelum ia menghilang dari balik pintu apartemen Jimin.

Satu jam setelah Yoongi pulang Jimin masih berkutat sendirian dengan beberapa tetek-bengek pernikahan yang harus ia siapkan. Di antara barang-barang yang berserakan di ruang tamunya, ia meraih sebuah undangan yang bertuliskan nama, 'Kim Taehyung'.

Undangan itu berwarna scarlet yang hurufnya ditulis dengan tinta perak. Undangan ini jauh berbeda dengan undangan yang ia bagikan kepada khalayak umum. Undangan yang disebarnya untuk umum berwarna putih gading dengan tulisan yang berwarna emas.

Undangan uniknya untuk Taehyung—yang takkan pernah ia kirimkan.

Mungkin juga yang akan ia kirimkan tanpa adanya alamat yang menyertainya.

Atau bahkan yang ia kirimkan dengan alamat—tanpa sedikit pun boleh berharap untuk mendapatkan balasannya.

Karena Jimin yakin undangan itu—NO RSVP—no reply.

"Taehyung-ah, datanglah di pernikahanku..."

.

.

.

Hari pernikahan yang ditunggu-tunggu oleh Jimin dan Yoongi akhirnya tiba. Upacara pernikahan diselenggarakan di sebuah gereja berornamen klasik yang jauh dari hiruk pikuk nuansa metropolitan.

Di luar gereja, hamparan tanah hijau luas disulap menjadi lokasi cantik untuk sebuah Garden Wedding Party. Dipenuhi dengan meja dan kursi yang berbalut kain warna putih, dilengkapi ornamen bebungaan yang tersusun rapi oleh mawar putih, lili putih, dan juga baby's breath. Semua serba putih dan tampak cantik sekali.

Jimin berdiri di luar gereja mengenakan setelan jas putih yang senada dengan rambut pirangnya yang menawan. Di saku kirinya tersemat bunga rose tudor merah dengan tambahan sedikit baby's breath. Kedua tangannya berbalutkan sarung tangan putih, begitu pula dengan kakinya yang tertutup sepatu kulit berwarna putih mengkilat.

'Bolehkah aku berharap Taehyung datang...' batin Jimin pilu.

Segera ia tepis harapannya jauh-jauh karena ia tahu bahwa Taehyung telah menghilang dari kehidupannya sama sekali sehingga mustahil ia kembali.

"Aku akan datang di hari pernikahannya..." kata-kata Taehyung terngiang-ngiang di kepala Jimin.

Jimin tersenyum kecut mengingat hal tersebut.

Taehyung akan datang di pernikahan orang yang dicintainya.

'Bolehkah aku berharap, orang yang kau cintai itu aku, Tae?'

Alunan musik khas pernikahan dimainkan. Kedua daun pintu gereja dibuka lebar—menampakkan figur cantik seorang pria yang menggandeng lengan ayahnya dan siap berjalan menyusuri karpet merah menuju pengantin lelaki lainnya di depan altar.

Pasangan ayah dan anak ini melangkah perlahan. Disaksikan ratusan tamu undangan yang menghadiri upacara pemberkatan. Suasana gereja benar-benar khidmat oleh alunan musik dan tak ada seorang pun yang bersuara.

Semua orang tampak terpesona akan kecantikan pengantin lelaki yang berbalut setelan jas putih yang tengah melangkah menuju pengantin lelaki—yang mengenakan jas pernikahan berwarna hitam yang begitu kontras dengan kulit pucatnya. Di sakunya juga tersembul bunga carnation putih dengan sedikit baby's breath yang sama seperti milik Jimin.

Sesampainya di depan altar, Jimin segera melepas tautannya dari lengan ayahnya untuk menyambut tangan Yoongi yang terjulur manis di hadapannya. Kemudian keduanya berdiri berdampingan menghadap seorang pendeta yang siap memberkati mereka.

"Sebelum saya memberkati kedua pasangan ini. Adakah di antara para hadirin yang merasa keberatan dengan pernikahan ini?" Pendeta itu menyapukan pandangannya ke seluruh tamu undangan.

Hening.

Tak ada yang buka suara.

Sang Pendeta menghela napas lega lalu melanjutkan ucapannya, "Baiklah, kalau begitu saya mulai pemberkatannya sekarang."

"Apakah kau Min Yoongi, bersedia menerima Park Jimin sebagai pasangan hidupmu, dalam suka maupun duka, dalam sehat maupun sakit, dalam susah maupun senang, dalam kaya maupun miskin?"

"Ya, aku bersedia," ucapnya mantap. Tak ada keraguan sedikit pun dalam nada ucapannya.

Pendeta itu mengangguk kecil dan beralih kepada Jimin.

"Apakah kau Park Jimin, bersedia menerima Min Yoongi sebagai pasangan hidupmu, dalam suka maupun duka, dalam sehat maupun sakit, dalam susah maupun senang, dalam kaya maupun miskin?"

Jimin terdiam sejenak sementara Yoongi memandang Jimin dengan sorot penuh harap. Jimin terlihat sedikit menggigit bibir bawahnya lalu ia mengambil napas dalam-dalam dan mengembuskannya pelan.

"Ya, aku berse..."

DHUAARRRRR!

Terdengar suara ledakan yang amat keras di luar gereja.

Semua orang mendadak panik dan kalang kabut. Berlarian untuk menyelamatkan diri dengan mencari akses keluar terdekat. Dari arah kapel kanan dan kiri muncullah segerombolan laki-laki berpakaian serba hitam dengan topeng yang menutupi seluruh wajah mereka.

DORRR! DORRR! DORRR! DORRR! DORRR! DORRR!

Komplotan orang bertopeng itu menjinjing senjata laras panjang yang mereka tembakkan ke segala penjuru gereja. Suasana saat itu benar-benar kacau. Semua orang berada pada situasi dimana ego melambung pada titik tertinggi sehingga satu-satunya hal di otak mereka adalah—bagaimana caranya menyelamatkan nyawanya sendiri.

Teriakan dan tangisan para wanita dan anak-anak pun menggema di seluruh bangunan gereja. Derap kaki terdengar di sana-sini selagi orang-orang berlari menyelamatkan diri. Suara letusan demi letusan senjata begitu memekakkan telinga siapa saja yang berada dalam situasi chaos tersebut.

Di tengah keadaan genting dan kalut seperti itu—Yoongi sang pengantin lelaki yang notabene juga calon suami Jimin, tiba-tiba mengeluarkan sebuah revolver dari balik saku jasnya.

Ia tampak tersenyum miring dan bergumam, "Sudah dimulai rupanya. Lebih cepat dari perkiraanku ternyata..."

Dan secara tak dinyana, Yoongi menarik Jimin ke pelukannya lalu mengunci lehernya dengan lengan kirinya. Ujung revolver di tangan kanannya ia letakkan persis di pelipis kanan Jimin—bersiap untuk menembaknya. Jimin yang belum menyadari bahaya yang sedang mengintainya hanya bisa membelalakkan mata seraya menahan napasnya.

"Yoo-Yoongi.. hyung.. a-apa yang k-kau la-kukan.." Jimin terbata. Ia kesulitan berbicara karena lehernya terhimpit kuat oleh lengan Yoongi.

"Diamlah! Kau hanya perlu mati dan—dia akan hancur! Hahahaha!"

"A-a-pa m-mak-sudmu..hyung?"

"Cih! Dasar bodoh! Asal kau tahu—kau adalah satu-satunya kelemahannya!" Yoongi menyentak lengannya keras-keras di leher Jimin, membuatnya semakin tercekik dan kesulitan bernapas.

"Sekarang, katakan selamat tinggal pada dunia.. calon istriku yang cantik.." Yoongi menyeringai. Perlahan ia tarik hammer revolver-nya dan bersiap menekan pelatuknya ke belakang lalu—

DOOORRR!

Sebuah tubuh terkulai tak berdaya di lantai gereja. Dari kepalanya mengucur cairan kental berwarna merah yang berbau amis. Matanya terbelalak dengan mulut menganga lebar. Dari mulutnya keluar darah segar yang mengalir membasahi dagu beserta lehernya. Dapat dipastikan saat ini ia tengah meregang nyawa dan akan segera menuju ke alam baka.

.

.

Papilon©2016

.

.

Jimin terbangun di sebuah kamar yang begitu asing di matanya. Sebuah kamar dengan dominasi warna putih pada dinding, lantai, langit-langit, perabotan, beserta kasur dan tempat tidurnya.

'Apa aku sudah mati?'

Jimin berusaha bangun dari tempat tidurnya namun kepalanya serasa dihantam godam begitu ia menegakkan kepalanya. Ia mencoba mengingat-ingat kejadian yang terjadi padanya dan mendadak perutnya terasa sangat mual.

Ya, sangat mual karena ia mengingat adegan demi adegan berdarah yang ia saksikan dengan mata kepalanya sendiri tiga hari yang lalu.

Tiga hari yang lalu?

Tiga hari yang lalu akibat Jimin pingsan selama tiga hari setelah pingsannya di altar gereja. Dan ia baru terbangun hari ini ketika sinar mentari yang begitu terang mengusik ketenangan tidur panjangnya.

.

Flashback

Jimin melotot horor mengalami peristiwa berdarah yang ia lihat dengan mata kepalanya sendiri. Beberapa detik yang lalu ia berada di ambang kematian dan beberapa detik kemudian calon pembunuhnya tewas seketika di depan matanya sendiri—tertembus selongsong peluru tajam tepat di dahinya yang bahkan hampir tembus sampai ke belakang tengkoraknya.

Jimin shock berat. Seluruh tubuhnya bergetar hebat dan bulir keringat dingin bermunculan di dahinya. Tubuhnya terasa sangat kaku dan hampir tidak bisa digerakkan sementara napasnya terputus-putus hingga ia kesulitan meraup pasokan oksigen untuk parunya.

Ia mengalami hipoksia.

Jimin sama sekali tidak menyangka bahwa Yoongi yang merupakan calon suaminya sendiri ternyata hanya berpura-pura mencintainya selama ini. Karena sejatinya Yoongi hanya berniat membunuhnya tepat di hari pernikahan mereka berdua. Sungguh ironis.

Di tengah kekacauan yang semakin menjadi-jadi yang diiringi dengan teriakan, tangisan, suara tembakan, dan orang-orang yang berlarian untuk menyelamatkan diri, Jimin merasakan pandangannya tiba-tiba menggelap dan ia tak bisa mengingat apa-apa lagi. Dan akhirnya ia pun kolaps sepenuhnya.

End of flashback

.

.

.

Ceklek

Pintu kamar tempat dimana Jimin berada terbuka dari luar, menyingkap sesosok lelaki muda berhidung bangir, berperawakan tinggi dengan bahu lebar serta wajah—yang sepertinya tidak asing bagi Jimin. Ia yakin bahwa ia pernah melihat orang ini. Tapi dimana? Jimin tak mampu mengingatnya.

"S-siapa kau?" didera rasa panik, suara Jimin bergetar dalam tanyanya.

Jujur saja, Jimin merasa takut dan mulai berspekulasi macam-macam. Ia bahkan telah memenuhi isi kepalanya dengan berbagai kalimat negatif seperti—

'Apakah aku diculik psikopat?'

'Apakah aku akan dibunuh?'

'Apakah aku akan dijual?'

'Apakah organ-organ tubuhku akan diambil?'

'Apakah aku akan dijadikan budak seks?'

Namun semua hal tersebut tampaknya berada di luar dugaan Jimin.

Lelaki itu membungkuk sopan seraya memberi hormat dan menjawab, "Selamat pagi Jimin-ssi. Anda tidak perlu takut karena anda aman bersama kami di sini," serunya tanpa menyebutkan nama.

"Me-mengapa aku bisa ada di sini?" tanya Jimin lagi. Rasa paniknya mulai berkurang karena lelaki di depannya tadi begitu halus dan sopan terhadapnya.

'Sepertinya lelaki ini bukan orang jahat,' pikir Jimin.

"Mm, saya rasa ketua Kim saja yang akan menjelaskannya pada anda," jawabnya penuh misteri.

Siapa itu ketua Kim? Mengapa ia membawaku kemari? Jimin kembali bertanya-tanya dalam hati. Dilihatnya lelaki misterius itu membungkuk lagi kepadanya lalu keluar begitu saja dari kamar yang ditempati olehnya.

Setelahnya Jimin mencoba memeriksa keadaan tubuhnya sendiri. Ia sudah tidak berada dalam balutan jas putih pernikahan miliknya. Ia saat ini hanya mengenakan kemeja putih kebesaran tanpa dalaman—yang ia yakin seratus persen bukanlah miliknya. Sedangkan untuk menutupi bagian bawahnya ia terlihat mengenakan celana yang sepertinya terlalu pendek untuk dikenakan oleh seorang pria. Pahanya yang putih mulus itu bahkan terekspos dengan begitu seksi.

Jimin mendelik horror. 'A-apa aku baru saja diperkosa?' batinnya.

Namun ia rasakan tubuh bagian atasnya tidak terasa nyeri sama sekali. Seluruh permukaan kulit dada dan perutnya pun masih mulus tanpa noda kemerahan. Selain itu di bagian bawah tubuhnya juga tidak ada rasa perih maupun terbelah yang artinya—ia bisa bernapas lega sekarang.

Jimin masih sibuk mematut tubuhnya sendiri sampai tidak menyadari bahwa seorang lelaki dengan postur tinggi ramping telah berdiri di sebelah tempat tidurnya.

"Jimin..." sebuah suara menyapa pendengaran Jimin.

Suara berat yang begitu familiar dan ia rindukan selama bertahun-tahun. Suara yang hanya didengarnya lewat mimpi dan imajinya semata—kini benar-benar menjadi nyata. Dan pemilik suara itu hadir di ruangan yang sama dengannya.

Sosok lelaki yang begitu ia cintai dan ia pikirkan sepanjang waktu.

Sosok yang begitu pendiam dan misterius.

Sosok sahabat lamanya.

"Tae.. Taehyung?" hanya itu kata-kata yang keluar dari bibir plump Jimin. Matanya mulai berkaca-kaca dan bibirnya berkerut menahan agar tangisnya tidak pecah. Ditangkupkan kedua telapak tangannya untuk menutupi mulutnya agar tidak bersuara. Jimin benar-benar tidak tahu apa yang harus dilakukannya lagi selain menangis saat ini.

Taehyung mendekat dan mendudukkan dirinya di kasur Jimin. Kemudian ia menurunkan telapak tangan yang menutupi mulut Jimin. Dibelainya lembut air mata yang mengalir di pipi Jimin perlahan-lahan dan dipandanginya wajah Jimin lekat-lekat dengan manik tajamnya yang menawan—meskipun masih tetap dengan ekspresi datarnya yang tidak berubah sejak terakhir kali mereka bertemu.

"Tae-Taehyung! Huks huks huks huks..." tangis Jimin akhirnya pecah.

Mendadak Jimin mengalungkan lengannya di leher Taehyung dan memeluknya erat sambil menangis tersedu. Ia benar-benar merindukan Taehyung. Air matanya merupakan manifestasi luapan kerinduannya pada Taehyung yang tak pernah tersampaikan selama tujuh tahun terakhir ini.

"Iya Jim..." jawab Taehyung singkat.

Ia balas memeluk Jimin namun tidak terlalu erat. Sepertinya Taehyung merasa canggung mendapat pelukan mendadak dari sahabatnya lamanya itu. Meskipun pelukan Taehyung terasa kaku tapi Jimin dapat merasakan kehangatan menguar dari dalam tubuh sahabatnya itu.

"A-Aku merindukanmu Tae. Sangat-sangat merindukanmu..." ucap Jimin di tengah sedu-sedan tangisnya.

"Hmm..." seperti biasa. Taehyung hanya menggumam sebagai jawabannya.

"K-kau tidak merindukanku?" tanya Jimin dengan nada sedih yang begitu kentara.

"Sssttt.. kau berisik Chim," seloroh Taehyung tanpa ekspresi dengan tatapan tajam yang begitu menusuk ke hati Jimin, membuatnya jatuh lebih dalam ke dalam pesona seorang Kim Taehyung.

Jimin tersenyum lebar. 'Taehyung tidak berubah...' benaknya.

Mereka berdua saling berpandangan cukup lama. Dua pasang manik kelam tampka saling menghipnotis pemiliknya satu-sama lain. Membuat debaran jantung semakin cepat dan desiran darah semakin kuat.

Akhirnya keduanya pun mengikis jarak yang ada di antara mereka lalu mempertemukan belahan bibir satu sama lain.

"Mmhhh.. mmhhh.." lenguhan terdengar di antara tautan bibir mereka. Jimin pelakunya.

Semakin lama ciuman mereka semakin menuntut, lumatan kecil berubah menjadi pagutan kasar yang menggairahkan. Hembusan napas pun jadi semakin panas, sepanas gairah yang membara di dalam dada keduanya. Jimin mengisap kuat bibir atas Taehyung sementara Taehyung menggigit lembut bibir bawah Jimin. Seolah meminta akses untuk menjelajahi kehangatan rongga mulut Jimin, melesakkan lidahnya, mengabsen deretan gigi lelaki yang lebih pendek, menyapu langit-langit mulutnya dan mendominasinya dengan membelit lidah Jimin kuat-kuat.

"Mmrrghhh..." geraman Taehyung lolos di antara tarikan napasnya.

Keduanya saling mengisap lidah masing-masing dan sesekali menggigit pelan. Setelahnya mereka saling mengulum belahan bibir satu sama lain dan memagutnya lembut. Kepala mereka berputar ke kanan dan ke kiri menyelaraskan irama pagutan bibir mereka dengan hantaman keras sang pada tulang rusuk masing-masing. Seakan-akan jantung mereka bisa meledak kapan saja karena terlalu bergairah.

Sampai akhirnya salah satu dari keduanya kehabisan pasokan oksigen sehingga harus memukul-mukul dada lelaki lainnya agar segera melepaskan pagutan mereka untuk meraup oksigen sebanyak mungkin. Dan lagi-lagi Jiminlah pelakunya.

Wajah keduanya kini tampak memerah, pun napas mereka masih terengah-engah dan masih saling menatap netra satu sama lain lekat-lekat. Tubuh mereka masih berpelukan dengan jarak yang sangat dekat. Dan dapat Jimin rasakan sesuatu yang keras dan menonjol terasa menyodok di bagian perutnya. Ia sadar kalau pusat gairah Taehyung telah terbangun dari tidurnya.

"Maafkan aku..." ucap Taehyung seraya melepas pelukannya dari tubuh Jimin.

Seketika Taehyung berlalu meninggalkan Jimin dengan seribu pertanyaan yang tidak ia ketahui jawabannya. Jimin bingung dan pikirannya memburam. Ia tidak tahu bagaimana menafsirkan kata 'maafkan aku' yang Taehyung katakan kepadanya barusan.

Apakah Taehyung meminta maaf karena telah mencuri ciuman darinya? Atau Taehyung menyesal telah berciuman dengan sosok yang selama hanya ini ia anggap sebagai sahabatnya saja? Jimin benar-benar tidak mengerti.

Untuk saat ini ia memiliki hal lain yang perlu diurus daripada sekadar memikirkan pertanyaan yang tidak ada habisnya itu. Ini tentang bagian selatan tubuhnya yang telah menegang sempurna. Sebuncah gairah yang tak tersalurkan berserta sedikit cairan yang perlu diejakulasikan.

Dan akhirnya Jimin pun bermain solo di kamar mandi dengan tangannya sendiri.

"Ahhh.. Taehyungieeeh...!"

.

.

.

Apabila Jimin adalah sebuah novel remaja yang mudah dibaca sejak halaman pertama hingga halaman terakhir, Taehyung bagaikan sebuah prasasti kuno bertatahkan batu yang ditulis dalam huruf pallawa dan bahasa sansekerta. Sulit dibaca dan tidak mudah dimengerti.

Taehyung begitu penuh misteri, pikir Jimin.

Dan salah satu misterinya adalah setiap pagi setelah Taehyung mandi, ia akan beranjang sana ke kamar Jimin melakukan ritual pagi hari mereka.

Bercumbu.

Ya Taehyung akan melahap belahan manis kedua labia tebal milik Jimin lalu melumatnya dengan penuh gairah sampai-sampai Jimin melenguh keenakan dibuatnya.

Taehyung adalah seorang pencium yang sangat andal, begitu kata Jimin.

Bagaimana tidak? Setiap sentuhan Taehyung akan mengantarkan Jimin ke dalam letupan gairah yang begitu menggebu di dalam dadanya sehingga otaknya seakan meleleh sehingga ia tak kuasa berpikir jernih lagi. Semuanya menjadi buram terhalang oleh kabut nafsu.

Tangan Taehyung akan melesak ke dalam yukata Jimin, mengelus seluruh permukaan kulit sehalus pualam milik Jimin dan memainkan kedua tonjolan di dada Jimin dengan terampil hingga keduanya menegang sempurna. Menghantarkan arus elektron dari syaraf putingnya mencapai ke pusat gairahnya hingga ke ujung kakinya. Membuat kejantannya mengeras pula meneteskan cairan pre-cum yang merembes di sekitar permukaan celana dalamnya.

"Mmmhh..mmhh.."

Sedangkan 'milik' Taehyung pun akan 'tergugah' hanya dengan mendengar lenguhan seksi dari bibir yang lebih pendek, memandang wajah memerahnya yang seolah minta dijamah lebih, serta dengan sedikit meremas gundukan keras yang berada di bagian selatan tubuh Jimin. Sesuatu yang berada di balik celana dalamnya.

Namun—setelah keduanya terangsang hebat. Taehyung akan menghentikan aksinya, meminta maaf, lalu segera pergi dari kamar Jimin. Meninggalkan Jimin dengan 'urusannya' yang belum selesai beserta seribu satu pertanyaan yang tidak pernah ada habisnya dalam benak Jimin.

'Kenapa Tae?' tanya Jimin dalam hatinya.

Yang Jimin ketahui hanya satu. Taehyung suka bercumbu, bukan bercinta.

Semua hal yang berkaitan Taehyung adalah sekumpulan teka-teki. Dan Jimin begitu penasaran terhadap semua tentang Taehyung. Seluruh misteri yang sama sekali menemui jalan buntu ketika ia coba pecahkan. Bahkan sebuah titik terang dalam labirin gelap jalan pikiran Taehyung pun Jimin tak mampu temukan. Semuanya begitu gelap dan tak tersentuh sama sekali. Tidak ada petunjuk sedikit pun.

Dan hal ini sungguh membuat Jimin penasaran setengah mati.

Berbagai pertanyaan yang kerap kali muncul di pusat syarafnya benar-benar membuat jiwanya terusik. Selama ini Taehyung hanya akan datang di pagi hari untuk mencumbunya hingga mereka berdua terangsang hebat namun—segera meninggalkan Jimin dan membuatnya melepas cairan kenikmatannya sendirian.

Setelahnya Taehyung akan pergi bekerja—yang entah apa pekerjaannya pun Jimin sama sekali tidak tahu—lalu pulang mendekati tengah malam kemudian mampir ke kamar Jimin hanya sekadar untuk memberinya kecupan selamat malam. Dan paginya akan terulang rutinitas yang sama—setiap harinya.

"Siapa kau sebenarnya, Kim Taehyung?" Jimin bertanya pada udara kosong ketika pandangannya menangkap sosok lelaki di halaman mansion yang baru saja masuk ke dalam mobil untuk pergi bekerja dari balkon kamarnya di lantai tiga.

'Sebenarnya bagi Taehyung—aku ini apa?'

adalah pertanyaan yang paling sering menghantui pikiran Jimin. Taehyung memang begitu hangat dan romantis ketika mencumbunya. Semua yang Taehyung lakukan merupakan 'acts of a real gentleman' baginya. Namun ada satu hal yang krusial, Taehyung tidak pernah mengatakan sepatah kata cinta pun untuk memberikan sedikit pencerahan terhadap hubungan mereka.

Pertama, dimulai dari pernikahan Jimin yang penuh kekacauan. Mantan calon suaminya ternyata berniat membunuhnya tanpa ia ketahui alasan logis mengapa ia perlu dibunuh. Seingatnya ia hanya menangkap sebuah kalimat,

"Kau hanya perlu mati dan—dia akan hancur..."

Dia siapa? Apakah dia yang disebutkan oleh Yoongi merujuk pada Taehyung?

Tapi mengapa?

Kedua, tiba-tiba saja ia terbangun di salah satu kamar sebuah mansion yang alih-alih diketahuinya adalah milik Taehyung. Tiga hari setelah peristiwa berdarah yang menewaskan mantan calon suaminya. Tiga hari pula ia pingsan di mansion Taehyung.

Siapa orang yang menyelamatkannya dari Yoongi saat itu?

Mengapa ia diculik dan disandera di mansion Taehyung?

Ketiga, dari kedua fakta di atas Jimin mengambil kesimpulan bahwa semua hal ini berkaitan dengan satu nama—Kim Taehyung. Ia berasumsi bahwa Taehyung datang ke pesta pernikahannya, menyelamatkannya, dan membawanya ke mansionnya semata-mata untuk melindunginya.

"Jadi, apakah Taehyung mencintaiku?" Jimin lagi-lagi berspekulasi sesuka hati.

.

.

End of Part 1

.

.

REVIEW FOR THE NEXT CHAPTER

.

.

Chapter 2 END

NOTE:

Ini adalah extended-version dari Schmetterling dengan sedikit-banyak perubahan.

(Perubahannya itu dari 5k jadi 10k)

Aslinya oneshoot tapi karena 10k jadinya aku bagi dua.

Besok JK ultah—nanti malem mau bikin FF Oneshoot special ultah JK, judulnya CANVAS—semoga jadi ya? Soalnya lagi in a mood for boredome sih.