Process
Main / HunHan
Rated / M / GS
Warning for sexual content, bromance, etc
.
.
.
Chapter 1
How To Start
.
.
hbkxx
.
.
.
.
.
Ada sekitar ratusan atau bahkan ribuan ketidakadilan. Dan Oh Sehun merasa ia salah satu korbannya. Ia tampan, otaknya cerdas, CEO perusahaan besar, namun, sayangnya seorang bajingan sial.
Bajingan. Yang dapat terpikir pertama kali adalah, berapa wanita yang ditidurinya?
Mohon, jangan tanyakan hal itu. Jujur saja, ia benci wanita.
Kalau begitu berapa pria yang ditidurinya atau mungkin menidurinya? Tidak, belum.
Ia tidak terlalu ekstrem untuk sampai melakukan seks bebas. Pemuda dua puluh tahun itu masih cukup waras untuk tahu seberapa mengerikannya HIV/AIDS atau mungkin penyakit lain karena kebiasaan bajingan macam itu. Namun, sesekali ia mencoba phone sex. Bagaimana pun ia pemuda yang sudah mengerti apa itu kebutuhan seksual. Dan, ia tentu saja membutuhkannnya.
Salah satu efek dari auranya yang damn–sexy–hot, banyak wanita jalang di club tempat ia dan temannya biasa menari seperti gurita dan meminum bergelas-gelas wine, bourbon, vermouth, vodka, dan sesekali gin. Banyak dari mereka yang rela berphone sex ria dengannya selama berjam-jam.
Sehun amat menyukai desahan. Dimana namanya disebutkan dalam suara atau bahkan rangkaian ketikan kata penuh kenikmatan dan gairah. Entah itu pria atau wanita. Ia senang mendominasi. Menjadikannya top di setiap acara phone sexnya.
Pemuda itu tidak terlalu menyukai beronani sambil hanya memikirkan tubuh seksi sekelas model Miranda Kerr dalam kuasanya. Ia perlu sebuah rangsangan. Ia perlu apa yang disebut timbal balik. Dan phone sex adalah jalan keluar terbaik yang bisa dipikirkannya. Well, menyenangkan bukan? Saat kau mendapat kepuasan tanpa perlu bersusah payah menjamah tubuh lawan mainmu.
Setidaknya, itu yang ada dalam pikiran terkontaminasi Oh Sehun.
"Hullo? Matikan ponselmu Sehun, kita masih ada meeting lima belas menit dari sekarang."
"Ah sial! Kau lihat? Aku sedang sibuk!"
"Short messages Shit."
Kim Jongin adalah sekretaris yang buruk, ingatkan Sehun kalau ia perlu memotong jatah starbucks sekretarisnya itu. Memangnya ada sekretaris yang berani melempar ponsel atasannya sampai pecah dan tidak bisa dinyalakan? Kim Jongin jawabannya.
"Kalau ponselku yang rusak karena lemparanmu dikumpulkan aku bisa membuka sebuah toko."
"By the way kau bisa membukanya tanpa harus mengumpulkan–ahh,"
Sehun menarik pinggang Jongin, membuat pemuda yang tiga tahun lebih diatasnya itu terduduk dipangkuannya. Pantat pemuda itu ditekan gundukan besar diselangkangannya. Ia sudah siap tempur. Sampai Jongin menghancurkan fantasi gilanya dalam sebuah pesan singkat bersama seorang model yang tengah naik daun dan kebetulan terpilih mempromosikan salah satu produk perusahaannya.
"Kau bajingan gila Sehun lepaskan aku! Aku normal dan sudah hampir menikah!"
"Kau yang gila Kim Jongin aku masih waras untuk tahu seberapa menjijikannya anal sex." Tangan Sehun lalu merambat, mengelus paha dalam Jongin membuat pemuda itu menahan desahannya.
"Aih ya ini salahku! Aku akan mendesah untukmu! Cepat selesaikan dan pakai celanamu! Aku tidak mau terlalu lama, ini aib besar tuan Oh! Astaga jangan sampai baby soo ku tau,"
"Cerewet! Kau yang harus mulai, ereksi ini sangat menyiksa Jongin."
.
.
.
.
.
Walau sudah mendapat apa yang diperlukannya Sehun masih belum merasa puas.
Jongin tidak mendesah tepat seperti ekspetasinya. Sempat terpikir dibenak pemuda itu untuk memecat Jongin. Namun, sayangnya ia tidak bisa. Kinerja Jongin dapat dikatakan sempurna, sulit menemukan orang loyal sepertinya.
Tambahan lagi, Jongin teman baiknya dan pemuda itu akan menikah tahun depan. Akan jadi apa ia dan kekasihnya yang –omong –omong seorang gadis manis sekaligus menyeramkan disaat yang sama –kalau ia memecat Jongin?
Sehun tidak siap untuk mendapati Jongin mengemis padanya dengan mukanya yang sok polos dan airmata palsu serta cairan hidung di depan rumahnya, ewh.
"Sajang-nim?"
Sehun mengerjap begitu mendengar seseorang memanggilnya serta Jongin yang menepuk pundaknya. Menghentikan Sehun dari fantasi gila kalau mungkin saja ia harus merengkrut seseorang yang kerjanya hanya mendesah untuknya. Well, seseorang itu perlu tubuh dan suara yang bagus kalau begitu.
Sehun berdehem sebelum berujar, "Lanjutkan,"
Gadis seksi yang tadi memanggilnya berpangkat manager marketing, sekaligus pembicara dalam meeting kali ini mengulum bibir bawahnya sendiri. Jujur saja ia ingin menampar wajah tampan atasannya, "Kami menunggumu sajang-nim, jadi apakah Kim Seolhyun tetap dipakai sebagai-"
"Pakai. Pakai lagi."
"Baik terima kasih. Akan saya lanjutkan kembali. Bila nona Seolhyun kembali-"
Fokus Sehun dari gadis itu kembali teralihkan saat Jongin menyenggol lengannya, ia memalingkan wajah menatap Jongin yang tersenyum jahil padanya, "Kau takut kehilangan salah satu donatur voice sex mu, eh?"
Sehun mendengus, ia kembali memperhatikan layar proyektor serta penjelasan tentang angka penjualan produknya, sebelum menjawab, "Tentu saja,"
.
.
.
.
.
Sehun melempar jasnya, meletakannya di sofa empuk ruangannya. Ia memijat pelipisnya, menjadi pimpinan perusahaan besar tidak mudah. Setelah meeting dengan bagian marketing, ia masih harus meeting bersama bagian produksi dan blablabla–shit!
Terkadang, ia berharap untuk terlahir dari keluarga yang biasa-biasa saja tapi memberikan kenyamaan dan kehangatan luar biasa untuknya, daripada, keluarga kaya raya yang hanya untuk makan malam bersama saja sama susahnya dengan menemukan fosil.
Membuka laci disebelah sofa yang didudukinya, Sehun mengambil pigura kecil berisi fotonya bersama seorang wanita. Sehun tersenyum merasa sangat bahagia, namun, disaat yang sama juga merasa pada titik kemarahannya yang terbesar.
"Sehun?"
Begitu mendengar seseorang memanggil namanya, Sehun cepat-cepat memasukan kembali piguranya. Ia membenarkan posisi duduknya yang terlihat aneh, namun, begitu melihat siapa yang datang keruangannya, ia kembali ke posisi aneh yang menurutnya nyaman.
Orang itu menghela napasnya, ia lalu duduk di kursi di belakang meja kerja Sehun, "Kemana Jongin?"
Sehun memejamkan matanya, untuk kemudian menjawab, "Entahlah kau mungkin bisa menemukannya di starbucks manapun, kami melalui hari yang melelahkan,"
Kursinya dibalik. Sehun mendengar saat orang itu membalik kursinya, menghadap ke jendela besar dengan pemandangan langit malam seoul dan jalanan yang masih saja sibuk, "Well, harimu belum selesai."
Sehun hanya bergumam tidak jelas, ia terlalu ingin tidur untuk menanyakan maksud adiknya. Baru beberapa detik sejak ia merasa berada pada alam sadarnya yang paling bawah, gadis itu sudah berteriak mengejutkannya, "Ibu ingin bertemu denganmu!"
"Kau bercanda!" Sehun langsung terbangun, duduk tegak, dan menatap adiknya seolah gadis itu sudah sinting "Menemui saja aku sudah untung-untungan,"
Gadis itu hanya angkat bahu, ia masih sibuk melihat kepadatan kota seoul yang menurutnya lebih menarik daripada harus sibuk melihat wajah kakaknya yang menyebalkan, "Aku agak tidak suka kau menggunakan Seolhyun,"
"Jangan mengalihkan pembicaraan," Sehun lalu berdiri, merapikan pakaiannya dan memakai kembali jasnya "Seolhyun partnerku."
Pemuda itu kemudian melangkah mendekati adiknya, memutar kursi agar menghadapnya dan menemukan adiknya yang menatapnya tidak suka, "Aku ingin pergi."
Sehun mendekatkan wajahnya, mencium sayang kening adiknya, "Kau bisa pergi,"
Begitu merasakan pelukkan erat adiknya Sehun tersenyum sedih, ia mengelus rambut sepundak kecoklatan gadis itu. Sehun menyayangi adiknya, sangat. Terlebih wajah gadis itu menyerupai perpaduan wajahnya dan wanita yang berfoto bersamanya di pigura tadi, membuatnya terkadang menganggap adiknya sebagai anaknya sendiri.
"Semoga ibu tidak menyakitimu," Sehun merasakan tangan kecil adiknya mengelus punggungnya, ia tahu, gadis kecil itu mengkhawatirkannya.
"Tak apa, selama kau tidak ikut disakitinya." Sehun mencium kepala adiknya, sejujurnya, ia merasa kasihan pada gadis yang baru menginjak usianya yang ke enam belas, namun, sudah mendapat beban menumpuk di pundaknya.
Oh Shella gadis yang malang.
Shella melepaskan pelukan mereka, terkekeh sebelum berujar, "Well, kau terlambat mengatakannya Sehun, beliau sudah membuatku jadi gadis enam belas tahun terkaya di Korea Selatan,"
Sehun ikut terkekeh bersamanya, "Begini begitu," ia menirukan gaya ibu mereka saat wanita itu menuntut kehendaknya pada kedua anaknya, "Pulang lah, aku akan pulang besok dan menemui ibu."
Adiknya mengangguk, Shella berjinjit, mencium pipi Sehun. Anggap saja seperti ciuman selamat malam, "Ku tunggu kalau begitu, sampaikan pada Jongin aku menannyakan kabarnya."
.
.
.
.
.
Jongin tersedak green tea frappe nya.
Sehun datang dengan wajah seolah ia sudah menghabiskan berbotol-botol wine. Pemuda itu duduk dihadapannya dan meraung-raung persis orang sinting dan bukannya seorang CEO perusahaan besar.
"Sialan! Bagaimana kau bisa menemukanku?"
"Starbucks di depan kantor adalah markasmu."
Jongin akui ia salah. Sehun tidak mabuk. Pemuda itu hanya depresi, dan butuh pelampiasan.
"Kau tahu Shella datang?" Sehun memanggil seorang pelayan, ia terlalu malas untuk memesan sendiri, mungkin, segelas amerricano "Aku yakin kau tahu."
Jongin tidak menjawab, ia termenung, terbongkar juga, "Ya, aku lihat mercedesnya dari sini saat akan membawa bergelas-gelas green tea frappe yang barangkali bisa kuminum denganmu,"
Sehun mendengus keras "Kenapa kau tidak masuk?"
"Kupikir-" Jongin meminum seteguk green teanya sebelum menjawab, "kalian bakal membicarakan soal nyonya Oh yang sinting."
Mereka terdiam cukup lama, hingga Jongin sadar kalau mungkin kata-katanya menyinggung Sehun "Maaf maksudku ibumu hanya-"
"Benar-benar sinting," Sehun mengeluarkan dompetnya, membayar kopinya dan memberikan uang tip untuk pelayan yang baru saja mengantar kopinya, sebelum melanjutkan "ia ingin bertemu denganku, aku tidak tahu apa yang mau dibicarakannya, tapi yang kutahu itu bukan hal baik."
"Sama tidak baiknya saat beliau memanggilmu untuk berdiskusi cabang mana yang perlu dipegang adikmu yang masih empat belas tahun, saat itu."
"Hampir seperti itu Jongin," Sehun meminum kopinya, ia mendesah saat mengecap rasa kopi yang entah mengapa membuatnya sedikit rileks. "kupikir aku tidak akan pulang sebelum besok."
"Maksudmu ke rumah orang tuamu atau ke apartemenmu?"
"Apartemen. Aku tidak gila untuk pulang ke rumah mereka dalam keadaan mabuk."
Jongin kemudian menyeringai, ide Sehun bagus juga. Ia lalu berdiri dan berbicara dengan suara keras "Ayo ke club dan minum sedikit vodka!"
.
.
.
.
.
Kalau boleh bertanya, sekiranya, apakah semua orang didunia juga merasakan sebuah ketidak adilan?
Orang bilang itu adalah proses dari kehidupan.
Namun, Luhan berpikir kalau mungkin sebaiknya ia mempercepat proses kehidupannya. Ia ingin mati saja. Dahulu, hidupnya luar biasa menyenangkan, orang tua yang menyayanginya, kehidupan mewah, banyak teman, cantik, dan para pria memujanya.
Tapi, lihatlah sekarang.
Ia hanya perempuan miskin yang bekerja di toko roti untuk menopang hidup keluarganya. Ayahnya seorang pemabuk dan ibunya berubah menjadi pelacur murahan. Mereka tidak lagi hidup bergelimang harta, dengan pakaian glamour dan parfum mahal. Jangan kan membeli parfum, makan daging saja mereka harus bersusah payah.
Semuanya berawal dari ayahnya yang terlalu naif. Pria itu terlalu ingin berkuasa. Ia menyerahkan segalanya hanya untuk berakhir menjadi gelandangan.
Sialan!
Luhan sudah dua puluh lima tahun. Ia sudah mengerti kalau ayahnya ditipu habis-habisan. Entah lah darimana ayahnya menemukan seorang pengkhianat bajingan yang bisa-bisanya mendapat kepercayaanya.
Pada akhirnya, mereka malah jadi sampah masyarakat.
Mereka menghabiskan sisa tabungan untuk membeli rumah –yang lebih tepat disebut gubuk –dipinggiran Seoul. Hidup penuh kekurangan bersama penyesalan yang menyedihkan.
Luhan juga tidak mengerti darimana ayahnya mendapat uang untuk membeli berbotol-botol soju setiap malam, atau, kemana uang hasil hasil menjual diri ibunya. Mengapa kehidupan mereka tidak bisa sedikit lebih baik? Apakah ayahnya mencuri setiap malam? Apa ibunya menjajakan tubuhnya tanpa dibayar?
Teman-temannya entah menghilang kemana. Begitu mereka tahu, ia sudah menjadi gelandangan miskin yang tinggal di gubuk kecil nyaris rubuh tidak satupun dari mereka yang bisa, jangankan dimintai bantuan, di hubungi saja tidak ada yang bisa.
Namun, setidaknya, walau harus melepas mimpinya menjadi seorang jaksa, Luhan cukup bersyukur masih bisa menikmati masa Senior High School nya dengan bahagia dan memuaskan. Kehidupannya mulai berubah drastis saat ia berada di semester pertama kuliahnya.
Sempat terpikir olehnya kalau mungkin saja dengan nilai-nilainya yang memuaskan, Luhan bisa saja mengambil beasiswa.
Perempuan itu pernah mencobanya dan berakhir dipukuli hingga memar di seluruh tubuh oleh ibunya. Wanita itu menganggap ia sudah kurang ajar. Masih berani mencoba meneruskan pendidikan disaat keadaan mereka tidak memungkinkan membayar, setidaknya, sedikit keperluan kuliah Luhan diluar beasiswanya.
Ia masih sembilan belas tahun saat mendapatkannya.
"Kau! Apa tidak mengerti? Kita sudah berubah Luhan, kami tidak sanggup membayar keperluanmu." Kata ibunya saat itu, dengan rotan ditangannya yang dipakai untuk memukul Luhan yang duduk lemah di lantai dingin rumah mereka. Wanita itu menangis meraung-raung. Terasa begitu menyedihkan dan terlihat kotor. Karena faktanya, ibunya hanya memakai handuk serta bau khas sperma menguar pekat dari tubuhnya. Beliau baru saja melayani seorang pria yang entah siapa, namun, terlihat bisa membayar mahal untuk pelayanan yang diberikan ibunya.
"Bukan begitu maksudku –akh ibu!" Luhan ingin menjelaskan sekali lagi, bahwa beasiswa yang didapatnya sudah mencakup seluruh biaya untuk pendidikannya, namun, tentu saja tidak termasuk barang yang berlabel pribadi –seperti laptop, atau buku refrensi–untuk menunjang pendidikannya. Sebelum, ibunya memukulnya lebih keras dari pukulan wanita itu sebelumnya.
Ayahnya tiba-tiba datang, membanting kasar pintu rumah mereka. menyebabkan kacanya bergetar dan hampir pecah. Dalam diri pria itu masih tersisa sedikit, bukti bahwa ia pernah menjadi seorang konglomerat gagah dan pria yang dihormati, walau dengan gelas soju di tangannya. "Apa yang terjadi? Kenapa kau memukulinya?"
Luhan cepat-cepat bangun dari lantai selagi ibunya lengah dan beralih menatap ayahnya penuh dendam. Tubuhnya sulit bergerak akibat dari rasa sakit hebat yang dideritanya. Luhan menggenggam tangan ayahnya yang sudah melupakan botol sojunya dengan isi yang terbuang sia-sia di lantai rumah mereka. Tangan besar pria itu menangkup pipi Luhan, menatapnya khawatir. "Ada apa nak?"
"Aku mendapat beasiswa ayah! Aku ingin kuliah." Ujar Luhan, terlalu jujur samapi membuat air wajah ayahnya berubah "Ijinkan aku ayah, kumohon."
Ayah Luhan memasang ekspresi yang menunjukan pendapat bahwa keinginan Luhan adalah keingin terkonyol yang pernah didengarnya saat ini. "Menurutmu itu penting?" tanyanya.
"Sangat penting." Jawab Luhan dengan suara tegas nyaris seperti milik ayahnya, disaat air mata masih mengalir deras dari matanya yang berkilau. Menegaskan kalau ia tetap mempunyai fisik seorang gadis terhormat.
Ayahnya sangat berang, ia berkata dengan suaranya yang tegas serta tajam menusuk. "Tidak sepenting kalau kau bisa menghasilkan uang! Uang Luhan, kita butuh uang bukannya membuang uang."
Saat itu ayahnya juga menyakitinya. Tangan pria itu tidak lagi menangkup pipinya seolah Luhan adalah hartanya yang paling berharga, ia menampar keras-keras pipi Luhan. Termasuk juga, menghancurkan hati Luhan. Membuat gadis itu perlahan-lahan membenci kedua orang tuanya.
"Bekerja lah, itu akan lebih berguna." Tidak ada penyesalan sama sekali yang dirasakan ayahnya. Beliau hanya sedikit terkejut dan berlalu begitu saja, meninggalkannya bersama ibunya yang tidak lama meninggalkannya setelah mengucap kata yang sama seperti yang diucapkan ayahnya.
Mereka meninggalkan Luhan bersama kebencian yang semakin berkembang besar di dalam hati gadis itu, serta air mata yang perlahan mengering bersama perasaannya. Tidak bisa untuk mengalir lagi.
Karena itulah, Luhan memutuskan untuk menuruti perintah orang tuanya saja–selagi ia tidak punya hal berguna lain untuk dikerjakan selain membersihkan rumah–dan bekerja di sebuah toko roti. Hanya pekerjaan itu yang bisa dicapainya. Sedikit-sedikit ia menabung untuk membetulkan beberapa bagian rumahnya. Luhan berhasil, dengan tabungan yang dikumpulkannya bertahun-tahun, ia bisa membuat rumahnya dalam kategori "layak tinggal" daripada sebelumnya.
Setelah mencuci piring bekas ia dan ibunya makan, Luhan mencuci tangannya dan berjalan ke kamarnya. Gadis itu lalu menemukan ibunya memakai baju, sepatu, dan parfum mahal. Mungkin saja, hadiah dari salah satu pelanggannya.
Ibunya membuka pintu, sedikir, namun, Luhan melihat sedan hitam mahal terparkir di rumah mereka. "Aku akan menemani tuan Lee kepesta koleganya. Jagalah rumah sampai ayahmu pulang."
Luhan mengangguk kaku, omong-omong ayahnya kini bekerja sebagai buruh bangunan dan pulang larut malam untuk mendapat upah besar. Enam tahun berlalu, dan sepertinya kedua orang tuanya sudah mulai bisa berpikir untuk kehidupan mereka. Ayahnya sudah mulai mengurangi botol soju yang diminumnya, ibunya berhenti melayani pria dengan kenikmatan bersetubuh, ia hanya menjadi teman kencan untuk pria-pria yang merasa bosan dengan istrinya. Atau wanita bayaran untuk pergi ke pesta menemani pria tua yang masih melajang.
Satu situasi yang tidak pernah dimengerti Luhan selama ini hanyalah, ayahnya setuju-setuju saja mendapati istrinya bekerja melayani pria lain atau bahkan suami orang.
Entahlah Luhan lebih memilih pergi ke kamarnya, mengistirahatkan tubuh lelahnya daripada harus berpikir alasan ayahnya tidak menceraikan ibunya. Luhan mengambil smartphonenya, bukan keluaran terbaru, namun setidaknya satu-satunya saksi kalau ia pernah menjadi gadis kaya yang dihormati dan dicemburui gadis-gadis seusianya. Perempuan itu membuka satu situs chatting, menyeringai begitu menemukan banyak akun pria tidak dikenalnya mengajak ia mengobrol.
Toh, walau sudah jadi gelandangan, Luhan tetaplah Luhan. Gadis kaya yang cantik, berotak pintar, dan binal.
Itu baru Luhan.
.
.
.
.
.
Sehun meneguk habis gelas cocktail nya yang ke tiga. Ia tidak berniat untuk mabuk. Pemuda itu masih cukup sadar untuk mengendarai mobilnya pulang, berbeda jauh dengan Jongin. Jongin menghabiskan –entah berapa gelas–vodka dan justru terlihat lebih frustasi dari pada Sehun.
"Hei bung kau tidak pulang?" Jongin bertanya diselingi cegukan dan aroma vodka yang pekat dari mulutnya.
Sehun meludah pada wajah seorang gadis cantik dibawahnya–kalau tidak salah bernama Krystal–yang asyik memberi blowjob pada penis delapan inci nya, hell Sehun bangga pada ukuran penisnya. "Ini baru setengah satu malam Jongin, mungkin aku pulang jam dua nanti." Jawab Sehun, sambil membenamkan penisnya semakin dalam ke kerongkongan Krystal, kalau bisa, sampai gadis itu tidak mampu bicara.
Ini kesempatan langka, Sehun memberikan penisnya untuk 'dimainkan'. Sehun biasanya hanya membiarkan mereka mendesah dan menggodanya, tidak untuk menyentuh tubuhnya. Well, gadis-gadis itu melakukannya dengan kehendak mereka sendiri, Sehun tidak pernah memaksa, meminta, atau lebih parah lagi, memohon pada mereka.
"Bangun kan aku kalau kau sudah selesai dan mau pulang.. hun," sahut Jongin, sebelum mulai tidur pulas di sofa empuk yang ada di pojokan club tempat mereka biasa minum atau berkencan sebentar bersama gadis-gadis kesepian –tentunya, jalang–disini dan mendapat sedikit pelayanan mereka.
Sehun hanya bergumam, ia sibuk menekan-nekan kepala Krystal. Ia biasanya tidak sejahat ini. Sehun selalu mendapat tekanan besar begitu mendengar sesuatu tentang ibunya, dan biasanya untuk sedikit menenangkan pikirannya Sehun akan melakukan hal ini.
Blowjob, maksudnya. Sekali lagi, Sehun menegaskan kalau, ia belum pernah memasuki lubang seseorang.
"Akh!" Krystal mengerang, terpaksa memuntahkan penis Sehun… well, saat Sehun sama sekali belum mendapat cum-nya. Gadis itu tersedak dan merasa hampir mati. Krystal terbatuk-batuk cukup lama, bibirnya yang bisa dibilang indah tampak seperti baru ditinju oleh seseorang.
Sehun mengangkat dagu Krystal, mengusap air mata gadis itu. "Jangan memaksakan dirimu,"
Walau masih terbatuk hebat, Krystal tersenyum menatap Sehun. Ini lah salah satu alasan mengapa gadis-gadis yang pernah memberi voice sex atau blowjob pada pemuda itu tidak bisa untuk tidak ketagihan. Karena, sekeras apapun Sehun menghujam tengorokan mereka atau memberi mereka kata-kata kasar dan kotor, di akhir Sehun tetap memberi mereka perlakuan lembut.
Krystal merapikan celana Sehun. Gadis itu memberi sentilan nakal sebagai salam perpisahan pada balls Sehun sebelum memasukan kembali penis pemuda itu ke dalam celananya yang terlihat sesak. Sehun menarik pinggang Krystal, membuatnya terduduk tepat di selangkangan Sehun. Krystal mendesah begitu vaginanya bersentuhan langsung dengan permukaan celana Sehun yang terasa kasar.
Omong-omong sejak tadi, Krystal ada dalam keadaan bottom less.
"Kau gadis tercantik yang ku lihat disini," Sehun berujar, ia mengerti begitu Krystal mencium pipinya, Gadis itu bertanya.
"Ehm… semua gadis cantik sir."
"Sudah tidak sakit, eh?" Sehun mengangkat dagu Krystal, menatap matanya dalam-dalam.
Krystal mengangguk, tangan gadis itu menyentuh lembut dagu Sehun. "Sedikit. Kau tahu? Ada sebuah situs chatting dimana kau bisa mengajak salah satu–atau kalau mau, seluruh– pengguna situs itu untuk , yah, kau tahu seperti yang biasa kau lakukan."
Sehun menepis tangan Krystal, ia mengangkat pinggang gadis itu, mendudukannya di celah kecil sofa, yang memisahkannya dan Jongin. Sebelum menjawab, "Menarik, apa banyak peminatnya?"
"Lumayan, aku salah satunya. Kau benar Sehun, phone sex itu menyenangkan." Sahut Krystal, ia mencondongkan tubuhnya. Mengambil botol vodka yang masih tersisa sedikit milik Jongin di meja tepat didepan mereka.
"Benarkah? Apa mereka juga menyediakan pesan suara?" tanya Sehun.
"Tentu saja! Kau pikir mereka bodoh dengan mau-mau saja hanya memakai ketikan? Kau gila. Itu bukan phone sex." Jawab Krystal, gadis itu menyeringai kearah Sehun, mengedipkan matanya nakal. "Mau coba bergabung?"
.
.
.
.
.
TBC
God aku tahu bersambungnya ga etis banget-_-
Ini my first hunhan's fanfic karena buat satu alasan aku ga pernah buat ff HunHan haha. So, aku butuh masukan dari kalian semua. Review, fav, foll/? jadi ya? Haha. Aku selalu butuh kritikan buat jadi lebih baik.
Enjoy guys!
