Jimin adalah pemuda yang bahagia.

Tadinya.

Ia berusia 23 tahun ketika kenyataan bahwa dirinya harus dipecat dari posisi kerjanya saat ini dengan alasan terkonyol di dunia:

"Kudengar kau homo, Jimin-ssi. Maaf, tapi aku tidak bisa mempekerjakan pria dengan kemungkinan akan mencintaiku suatu saat nantinya."

Tua bangka konyol, Dasar Sial. Siapa juga yang akan jatuh cinta pada pria gendut botak sepertimu, rutuk Jimin dalam hati.

Karena hei, bukan salahnya bukan jika ia adalah pria tampan dengan rekor belum pernah berpacaran di usianya yang ke 23? Rumor konyol macam apa yang tersebar di kantornya hingga ia dipecat oleh Bossnya yang homophobic itu?

Jimin menendang kerikil di depan kantornya dan menjerit sebal, "Pecat aku tiba-tiba, Sialan! Nanti akan kubeli kantor busukmu ini." Tuding jari telunjuknya pada papan nama kantornya.

"Apa kau lihat-lihat?" Jimin mendelik kesal pada seorang wanita yang melihatnya dengan pandangan horror, "Belum pernah melihat orang yang dipecat, ya?"

Wanita itu mengangkat bahunya ringan, "Aku juga baru saja dipecat. Tapi aku tidak jadi gila sepertimu tuh." Ujarnya sambil berlalu.

"Aish!" Jimin mengacak rambutnya semakin sebal.

Yang paling tidak Jimin duga adalah pemecatan secara tiba-tiba dan sangat tidak terhormat itu hanyalah sebuah awal dari semua kejadian menyebalkan di kehidupannya.

x

x

I AM NOT HIM

(BTS Fict, AU, OOC, typos, tema yang mungkin pasaran, BxB, KookMin/VKook/VMin)

(Cerita ini hanyalah fiktif belaka. Tokoh adalah nyata, mereka memiliki diri mereka sendiri dan pihak agensi memiliki hak cipta atas grupnya. Saya hanya memiliki plot dan isi cerita ini, mereka saya pakai sebagai tokoh adalah sebagai wujud betapa saya mencintai mereka semua. Saya tidak mengambil keuntungan apapun sebagaimana saya berharap saya tidak merugikan pihak manapun.)

(Selamat membaca)

x

x

Jimin memandang peach tea di hadapannya. Mengaduknya kemudian memandangnya lagi, begitu seterusnya.

"Maaf aku terlambat."

Jimin mengalihkan pandangannya dari potongan es di dalam gelas panjang yang tengah berputar ringan, "Aku belum lama sampai, Hyung."

Pria bernama Hoseok yang Jimin panggil Hyung itu tersenyum cerah sebelum duduk di hadapan Jimin, "Ada apa? Tumben sekali kau mengajakku bertemu di hari kerja seperti ini," Hoseok mengangkat tangannya, melambai pada pegawai restaurant dengan maksud hendak memesan, "biasanya kau akan sibuk dengan angka-angka di komputer sialmu itu. Untung hari ini jadwal Taehyung kosong, aku jadi bisa sedikit bersantai."

Jimin mendecak, "Benar. Harusnya aku sekarang sedang mengurut dahi sambil merutuki angka-angka sial itu," Jimin menjatuhkan kepalanya ke atas meja sebelum mengerang, "tapi aku baru saja dipecat, Hyung."

Hoseok mengucapkan terima kasih pada pegawai wanita itu sebelum menatap Jimin tidak percaya, "Kau? Seorang jenius Park sepertimu dipecat?"

Jimin mengerucutkan bibirnya lalu mengangguk lucu, "Lihat saja," ia menggedikkan bahunya pada kardus kecil berisi beberapa peralatan kantor miliknya, "si tua itu memecatku karena rumor aku ini homo, Hyung."

Hoseok tergelak keras, "Astaga, maafkan aku. Bukan maksudku untuk tertawa, tapi ini memang benar-benar lucu," ia mengusap sudut matanya, "konyol sekali alasan itu."

"Nah 'kan, memang konyol. Hyung yang hanya bisa membedakan plus dengan minus saja tahu, masa Bossku ..."

"... ugh maaf, Hyung. Aku tidak bermaksud."

Hoseok tergelak lagi, "Tidak apa-apa, aku memang hanya mendapat nilai lima koma untuk ulangan matematikaku dulu. Tapi apa salahnya dengan homo, maksudku kalau memang kau ini homo. Namun aku tahu jelas kau masih penasaran pada bentuk payudara milik Ahn Jina."

"Anak tertua si tua itu homo, Hyung. Itulah masalahnya. Ia jadi benci homo sejak anak tertuanya kabur ke Amerika karena dipaksa memutuskan kekasih prianya," Jimin menyeruput peach tea yang dipesannya, "aku ini setia pada Jina. Makanya aku masih single dan orang-orang malah membuat rumor konyol seperti itu."

Hoseok mengangguk-angguk.

"Lihat," Jimin menyodorkan ponselnya ke hadapan Hoseok, "bahkan wallpaperku foto Jina, bingkai foto yang kusimpan di samping komputer kantor juga fotonya, bisa-bisanya ada rumor aku homo."

"Kau segitu menyukai Jina?" Tanya Hoseok ketika pesanannya tiba, "sejak kuliah dulu kau selalu membicarakan penyanyi seksi itu. Oh, hei, kau tidak pesan makanan?"

Jimin menggeleng, "Aku harus hemat, Hyung. Aku baru saja dipecat."

"Aku yang bayar," ujar Hoseok cepat, "kau pikir aku tega membiarkan seorang pengangguran sepertimu membayar bill?"

Jimin tersenyum cerah, "Terima kasih, Hyung. Kau malaikat penyelamatku," Jimin mengalihkan pandangannya pada pegawai wanita yang masih berdiri di posisinya "samakan saja menunya."

Hoseok menggelengkan kepalanya, "Anak pintar. Kau baru saja memesan steak sirloin wagyu."

Jimin mengerjapkan matanya, menangkup pipinya dengan kedua telapak tangan mungilnya kemudian mengerucutkan bibirnya, "Kasihanilah pengangguran ini, Tuan. Hamba belum makan wagyu sejak lima bulan terakhir."

Hoseok menutup matanya dan menjerit sebal, "Hentikan itu, Park!"

Jimin terkekeh kecil, "Kau 'kan masih bekerja, Hyung. Tidak ada salahnya membayar bill pengangguran sepertiku sesekali."

"Aku memang bekerja, tapi kau pesan wagyu, bocah keparat."

Jimin tergelak, "Inilah kenapa aku sangat mencintaimu."

"Aku benci kau, Jimin."

Jimin menaik turunkan alisnya, "Benarkah?" Lengannya baru saja akan menutupi wajahnya, siap untuk melakukan agyeo episode 2 sebelum Hoseok memekik:

"Baik kau menang. Aku sangat mencintaimu, jadi mari kita habiskan semua makanan ini dan segera pergi ke hotel terdekat, aku sudah tidak sabar ingin mengagahimu." Dengusnya.

"Ow, wow, jangan lupa pada kenyataan biasanya kaulah yang akan menjerit di bawah tubuhku."

"Apa aku tidak salah dengar? Jalang mana yang minggu lalu menjerit-jerit karena gerakanku?"

"Seingatku kaulah jalang yang menjerit itu."

"Si-silakan, T-tuan."

"Ups." Desis Jimin sembari menundukkan kepalanya sementara Hoseok hanya memasang senyum kaku.

"Lihat itu, Park! Kau baru saja membuat pegawai cantik itu berpikir bahwa kita homo." Tuding Hoseok ketika pegawai itu berlalu dengan wajah putih pucat dan berjalan terhuyung-huyung.

"Kau yang mulai, Hyung. Ingat."

Hoseok menusuk asparagus di piringnya keras, "Aku akan membunuhmu, Jimin. Ingat itu."

"Akulah yang akan membunuhmu." Bisik Jimin sembari menelan mashed potatonya.

"Aku menyesal mengenal orang sepertimu."

Jimin mengerjap, "Uh, oke cukup. Maafkan aku, Hyung."

"Aku juga minta maaf, kadang bercandaku keterlaluan."

"Yeah, kita sering dikira benar-benar pasangan homo karena candaan itu, walau sebenarnya aku tidak masalah."

"Aku juga."

Lalu keduanya terbahak keras. Merasa terhibur dengan alasan yang hanya mereka pahami berdua. Semua kalimat kotor berbau canda, atau marah yang hanya pura-pura, sungguh, baik Jimin maupun Hoseok sangat menikmati keduanya.

"Lalu kau mau apa setelah ini?" Tanya Hoseok.

"Aku akan mencoba melamar di perusahaan lain, Hyung."

"Akuntan sepertimu pasti mudah mendapat pekerjaan, aku iri."

Jimin mencibir, "Harusnya aku yang iri pada Hyung, bisa menjadi manager aktor hebat seperti Taehyung."

Hoseok tertawa, "Bocah itu, meh, apa hebatnya."

"Aku akan mengadukannya pada Taehyung."

"Seperti kau bisa saja bertemu dia, fansnya yang sudah bertahun-tahun mengaguminya saja belum tentu bisa bicara dengannya."

"Itulah kenapa aku iri," Jimin menyeka saus di sudut bibirnya, "andai nasibku sepertimu, aku ingin menjadi manager Jina yang selalu bisa bersamanya setiap saat, atau minimal penasehat keuangan Jina begitu."

"Asal kau tahu orang-orang yang bekerja dengan artis itu harus-wajib-mutlak tidak memiliki perasaan kagum atau suka atau cinta apapun pada artis itu, bayangkan saja kalau kau menjadi manager Jina, bisa-bisa kau merekam dia saat sedang fitting pakaian."

"Aku tidak begitu." Sergah Jimin.

"Bohong." Ucap Hoseok.

"Aish, tidak."

"Aku tahu kau mengoleksi Jina versi gadis dengan ripped hotpants."

Jimin segera mengantongi ponselnya yang tergeletak di atas meja, "Kau membajak ponselku!" Tuduhnya.

"Salahmu tidak menggunakan password."

Jimin merengut, sebelum memotong daging besar-besar dan mengunyahnya dengan penuh perasaan seolah yang ia kunyah adalah wajah Hoseok yang menyeringai.

"Omong-omong Jim, kau sungguh menyukai Jina?"

"Tentu saja." Jawab Jimin cepat dengan nada kesal yang kentara.

"Aku punya kenalan yang sedang membutuhkan seorang MUA, yah kalau kau mau menjadi MUA-nya mungkin ada kemungkinan kau bisa bertemu dengan banyak artis, tidak menutup kemungkinan dengan Jina juga. Lagipula kau sedang menganggur, hanya pekerjaan jenis ini yang bisa kutawarkan." Ucap Hoseok.

"Apa itu MUA?"

"Kau siap tidak terjun ke dunia sepertiku? Yang penuh dengan blitz kamera, teriakan fans, atau hujatan haters?"

"Hyung, please, yang artisnya itu Taehyung bukan kau."

Hoseok menyeruput orange juicenya, "Tetap saja kau akan merasakan hal yang sama. Lagipula wajahku ini cukup menarik perhatian para fans Taehyung tahu."

"Aku percaya," jawab Jimin sembari memutar pandangan, "tapi aku ini akuntan, Hyung."

Hoseok menggeleng dramatis, "Aku tahu kau akuntan. Pertanyaanku kau siap tidak masuk ke dunia yang tidak banyak berhubungan dengan grafik dan angka?"

"Kau terlalu berbelit-belit," Jimin memijat pelipisnya, "aku pusing, Hyung. Katakan saja."

Hoseok tertawa ringan, "Tinggal jawab saja susah." Gerutunya kemudian.

"Ya sudah, aku siap."

"MUA itu lho, make up artist."

"HAH?"

"Nah 'kan, kau malah kaget begitu."

"Hyung, kau jangan bercanda."

Hoseok mengedipkan sebelah matanya, "Kau mau bertemu Jina tidak?"

"Tidak." Jawab Jimin cepat, "Apa itu make up artist. Aku tidak mau seperti itu, memang aku terlihat banci?"

"Jimin, tidak semua make up artist seperti itu ..."

"Kebanyakan iya." Sergah Jimin cepat.

"Ingat waktu SMA kau salah satu orang yang diminta untuk merias anak-anak drama sebelum pentas?"

"Itu karena anak-anak itu tidak menghitung budget untuk make up. Bisa-bisanya."

"Yang penting 'kan kau bisa menggunakan kuas blush on."

"Tapi aku tidak pernah ikut kelas make up, Hyung. Tidak mungkin aku bisa jadi MUA."

"Jangan remehkan kekuatan referensi. Ini," Hoseok menyodorkan kartu nama berwarna silver, "jika kau berminat hubungi aku dulu, nanti orang ini akan kuhubungi. Aku akan memberimu referensi." Ucapnya sembari mengetuk kartu nama itu.

"Aku tidak mau."

"Ambil saja, siapa tahu kau berubah pikiran."

"Tidak akan. Aku akan melamar pekerjaan di kantor lain saja."

Hoseok mengangkat bahunya ringan, "Kita lihat saja nanti. Aku yakin akan sulit mencari pekerjaan di zaman seperti ini, walaupun kau akuntan paling berbakat yang kukenal."

"Memang cuma aku akuntan yang kau kenal di dunia ini."

x

x

x

Jimin ingin mengutuk Hoseok sebenarnya.

Entah pria itu titisan paranormal atau barang kali ia lahir pada malam bulan purnama ketika badai atau mungkin diam-diam pria itu pernah bertapa selama 100 hari di Gunung Fuji.

Entah.

Ini sudah 2 minggu dan Jimin tidak melihat tanda-tanda adanya panggilan interview arau sekedar resume yang dilirik.

Nihil.

Tidak ada sama sekali.

Atau mungkin Boss lamanya itu sudah menyebarkan rumornya ke seluruh koleganya? Atau mungkin nama Jimin sudah tercoret hitam di bursa kerja Korea?

"Arrrggh!"

Jimin mengacak rambut hitamnya kesal. 2 minggu tanpa pekerjaan, ia bisa gila jika harus menggunakan uang tabungannya yang ia kumpulkan keping demi keping.

Jemarinya mengetik dengan cepat di atas keyboard laptopnya, mengirim lamaran ke perusahaan lain dengan harapan mungkin saja akan diterima.

Bukankah akuntansi adalah jurusan kuliah paling aman sepanjang masa?

Itu yang dikatakan Dosennya dulu. Nyatanya apa, seaman apapun jurusan yang dipilih jika bukan nasibmu untuk bekerja ia akan tetap seperti ini.

"Paling tidak butuh waktu dua minggu untuk memproses hasil interview, dua minggu untuk training bahkan bisa lebih. Lalu berapa bulan aku harus bertahan dengan uang gajiku? Aku butuh pekerjaan secepatnya kalau tidak mau diusir dari sini." Erangnya.

Ia mulai mengkalkulasi pengeluaran yang ditanggungnya selama tidak bekerja, lalu sisa uang yang ia punya terlepas dari uang tabungannya. Dikurangi uang sewa tempat tinggal, lalu air, listrik, makan, ongkos melamar pekerjaan.

"Mamaaa," erangnya nelangsa, "aku mau pulang ke Busan sajaaa."

Lalu ia menggeleng keras. Tidak, orangtuanya tidak boleh tahu ia sedang tidak bekerja. Ia tidak boleh membebani orangtuanya. Namun ia terlalu sayang pada uang yang mati-matian ia sisihkan.

"Baiklah, Hyung. Kau benar," ia mengetik pesan singkat sebelum tersenyum miris, "tidak apa-apa Jimin, ini hanya untuk sementara. Setidaknya sampai kau mendapat pekerjaan."

Hyung, apa tawaranmu masih berlaku?

Ponselnya berdering tidak lama kemudian. Nama Hobie Hyung berkedip-kedip.

"Jimin," suara di sana bising sekali, "aku sedang di lokasi shooting Taehyung. Maaf aku tidak bisa mengantarmu, tapi aku sudah menghubungi Seokjin Hyung, ia akan segera menghubungimu."

"Seokjin siapa?"

Gemuruh sebentar, "Kau tidak melihat kartu nama yang kuberikan? Astaga."

"Memang apa pentingnya? Hyung bilang aku tinggal menhubungimu saja."

"Untung kau adiknya teman baikku, kalau tidak mana mau aku mengurusimu." Gerutu Hoseok.

"Hyung, bulan lalu kau bilang aku adik kecilmu." Ucap Jimin dengan nada sedih dibuat-buat.

"Hentikan, Park. Aku bisa muntah."

"Hyung sayang padaku."

"Yeah, sangat. Beruntunglah kau menjadi adik kelasku dulu."

Jimin terkikik.

"Sudah ya, aku sedikit sibuk. Kau tunggu saja telfon dari Seokjin Hyung, pastikan kau menjawab semua panggilan. Jangan kekanakkan, bersikaplah profesional."

"Ya-ya-ya."

"Belajarlah menggunakan make up sedikit, mungkin Seokjin Hyung akan memintamu mendandani salah satu staffnya."

"Iya."

"Jangan mempermalukan aku. Lakukan yang terbaik seperti yang biasanya."

"Iya."

"Jangan lupa sarapan dulu, aku tahu kau berniat untuk sarapan sekalian makan siang."

"Iyaaa. Astaga, cerewet sekali. Kadang aku sampai berpikir Hyung ini sungguh kakak kandungku."

Hoseok tertawa, "Bye, Chim."

"Semangat, Hyung." Ucap Jimin sebelum memutus sambungan.

Jimin termangu menatap ponselnya, berharap benda itu segera berbunyi.

Dalam hati Jimin sedang menghitung uang tabungannya ketika ponselnya berpendar terang dengan nomor tidak dikenal berkedip-kedip.

"Halo, selamat," Jimin melirik jam wekernya yang menunjukkan pukul 8 pagi, "pagi." Ujarnya kemudian.

"Selamat pagi, benar saya berbicara dengan Park Jimin-ssi?" Ujar suara pria di sambungan telfon itu.

"Ah, iya saya sendiri. Ada yang bisa saya bantu?" Kata Jimin formal.

"Saya Kim Seokjin manager dari salah satu artis yang Hoseok-ssi rekomendasikan nama Anda untuk menjadi MUA, apa hari ini Anda sibuk?"

Jimin tersenyum senang, uang semakin dekat dengan matanya, "Tidak. Saya tidak ada acara apapun hari ini."

"Baguslah kalau seperti itu. Bisa Anda menemui saya hari ini?" Jeda sejenak, "sebelum makan siang mungkin sekitar pukul sepuluh. Saya akan kirimkan alamatnya jika Anda bersedia."

Jimin mengangguk sebelum sadar tindakannya barusan tidak terlihat oleh seseorang bernama Kim Seokjin itu, "Baik, saya bersedia."

"Akan saya kirim alamat kantor melalui e-mail, harap Anda membawa berkas Anda dan mengenakan pakaian yang rapi, juga bawa kartu nama saya yang Hoseok-ssi berikan dan tunjukan pada receptionist."

"Baik saya mengerti."

"Terima kasih, Park Jimin-ssi. Selamat pagi."

"Selamat pagi, Kim Seokjin-ssi."

Jimin nyaris terjungkal dari kursinya ketika ia secepat kilat menyambar handuk di balik pintu dan berteriak pada penyewa kamar lainnya yang sedang mengantri giliran mandi bahwa ia sedang terburu-buru.

x

x

x

Jimin mengerang kesal. Tidak menyangka jika kantor yang dimaksud oleh Kim Seokjin berada di Gangnam-gu, butuh waktu cukup lama dari kamar sewa Jimin yang berada di pinggiran Seoul. Ia sampai melewatkan sarapan paginya dan berlari seperti orang gila mengejar subway karena ia belum menyiapkan berkas apapun untuk melamar pekerjaan hari ini.

"Graaah!"

Seorang wanita paruh baya yang duduk di samping Jimin sampai terlonjak kaget mendegar teriakan kesal Jimin, sebagai permintaan maaf Jimin menganggukkan kepalanya kecil sambil tersenyum menahan malu.

Jimin merapikan jas yang dikenakannya ketika ia berada di hadapan petugas receptionist di lobby lantai 2.

"Ada yang bisa saya bantu, Bapak?" Sapanya ramah.

"Saya diminta untuk menemui Bapak Kim Seokjin, ini." Ujarnya sambil menyodorkan kartu nama milik Seokjin yang berwarna silver.

"Baik. Mohon maaf dengan Bapak siapa saya berbicara?"

"Jimin. Park Jimin." Jawab Jimin diakhiri dengan deheman kikuk karena ia dipanggil Bapak di usianya yang menurut Jimin masih muda.

Hei, apa wanita ini tidak tahu arti dari kata Oppa? Bukankah ia masih layak dipanggil Oppa? Tetapi ini dunia kerja, benar ia juga harus bersikap profesional seperti wanita ini.

"Ditunggu sebentar ya, Bapak. Saya hubungi Bapak Kim Seokjin terlebih dahulu," ujarnya dengan senyum semanis madu, "silakan duduk terlebih dahulu." Lanjutnya kemudian sembari menunjuk sofa di sudut lobby tidak jauh dari tempak Jimin berdiri.

Jimin berjalan dan mengangguk sopan pada beberapa orang yang juga duduk di sofa itu, rata-rata mengenakan headphone atau menggumamkan sesuatu dan pakaian mereka, tidak ada yang seformal Jimin. Jimin berdehem kikuk lagi, semua orang yang duduk di situ dengan rambut warna-warni atau make up tebal seolah tidak peduli dengan Jimin yang masih melirik ke arah jas lama yang biasa ia gunakan bekerja.

Ia merasa seperti ia salah menggunakan dresscode ketika pesta.

"Park Jimin-ssi?"

"Y-ya?" Jimin bangkit dari duduknya ketika salah satu receptionist itu mendekat padanya.

"Mari ikuti saya, Bapak Kim Seokjin telah menunggu Anda."

Jimin menurut mengikuti langkah wanita itu, hingga wanita itu berhenti pada salah satu pintu kayu dan menghadap Jimin dengan wajah ramah, "Silakan masuk, Bapak."

"A-ah, iya. Terima kasih."

Wanita itu mengangguk sebelum undur diri. Membuat Jimin seketika gugup melihat gagang pintu yang secara imajiner berubah seperti lilitan ular yang membuat Jimin ngilu. Ia menarik nafas panjang, mencoba memunculkan keberaniannya walau hanya secuil.

"Kau pasti bisa, Park Jimin. Kau pasti bisa." Rapalnya.

Jimin mengetuk beberapa kali sebelum mendorong pintu itu karena seseorang yang bernama Kim Seokjin di dalam sana tidak menjawab ketukannya.

"Permisi."

Seseorang yang terlihat sedang sibuk dengan ponselnya itu sedikit terlonjak, "Ah."

"Maaf saya lancang masuk."

Pria bernama Kim Seokjin itu sungguh tampan. Demi dewa-dewi Yunani yang tidak Jimin kenal, bagaimana bisa ada pria setampan itu di dunia? Bahunya bidang, tubuhnya tinggi tidak kurus tidak juga gemuk, rambutnya dicat coklat hangat dan kulitnya putih bersih, jangan lupakan keseluruhan wajahnya yang tanpa cacat, atau senyumnya yang begitu memikat. Terlihat ramah dan seketika mengingatkan Jimin pada Ibunya.

Padahal sebelumnya Jimin sempat mengira jika Kim Seokjin ini adalah seorang pria berusia nyaris 50 tahun dengan tubuh tambun, kepala botak dan perut buncit ditambah dengan kacamata yang menggantung di pucuk hidung.

Tolong salahkan pekerjaan lama Jimin yang mengisi otaknya dengan omelan manager dengan visualisasi seperti yang Jimin bayangkan sebelumnya.

"Aku yang tidak mendengar ketukanmu," lalu ia berdiri, "silakan duduk, Park Jimin-ssi. Kau terlihat lebih muda dariku, aku tidak akan terlalu formal." Katanya sembari menunjuk kursi di hadapannya.

Jimin menurut, dan menyambut uluran tangan Seokjin sebelum ia mendudukan dirinya sendiri.

"Kita sudah berkenalan tadi," Seokjin memakai kacamata bingkai hitamnya, "santai saja, Jimin-ssi. Bisa aku lihat berkasmu?"

Jimin mengangguk dan menyerahkan berkas yang dibawanya di dalam tas kantornya dengan tangan gemetar menahan gugup.

Seokjin menerimanya sebelum matanya terlihat serius memindah kata demi kata yang tertera, "Kau lulusan Akuntasni Seoul University?"

"Benar, Pak."

Seokjin tergelak, "Astaga, Jimin-ssi. Santai saja, kau bukan sedang melamar di perusahaan keuangan, importir, atau semacamnya. Panggil aku Seokjin saja."

Jimin mengangguk, "Baik, maafkan aku, Seokjin-ssi."

"Tidak apa," Seokjin membalik kertas yang dipegangnya dan melihat kertas lainnya, "kau pernah juara popping dance? Bahkan kau bersekolah di Busan Senior High School? Jurusan seni tari modern?" Seokjin membalik kertas-kertas itu cepat, "banyak sekali penghargaan yang kau terima ketika SMA."

"Benar."

"Wow," decak Seokjin, "kau pasti berbakat. Lalu kenapa mengambil jurusan akuntansi ketika kuliah?"

"Aku," Jimin menggigit bibir bawahnya, "sepertinya aku lebih berbakat dengan angka."

Seokjin mengangguk 2 kali, "Baiklah. Coba ceritakan mengenai dirimu."

"Pengalaman bekerja saya maksud Anda?"

Seokjin mencebik, "Kau kaku sekali. Santai saja, perusahaan ini tidak seserius itu, kok. Ceritakan padaku tentang SMA-mu atau mungkin lomba tari yang kau juarai, aku tidak berniat mendengar dongeng penuh angka." Jelasnya dengan senyum jenaka.

"Ah," Jimin meremas jemarinya gugup, "tidak ada yang menarik dari masa SMA saya. Mungkin beberapa kali saya sempat menjuarai lomba tari, tetapi tari hanya sekedar hobi bagi saya. Saya pertama kali menari sejak saya SMP, lalu menjuarai popping dance di tingkat delapan, menjalani pendidikan dengan jurusan seni ketika SMA membuat saya beberapa kali mendapatkan penghargaan di seni tari modern dan beberapa kali juga sempat mementaskan pertunjukan."

"Apa hobimu selain menari? Dan ah, aku sudah bilang jangan terlalu formal padaku."

"Um, mungkin menyanyi?"

"Yang aku lihat kau begitu menyukai tari, kenapa tiba-tiba menyukai angka itu menjadi pertanyaanku. Tapi biarlah, yang lebih penting dasar apa yang kau miliki hingga melmar posisi ini?" Seokjin membaca berkasnya lagi, "Bisa tolong kau jelaskan? Aku tidak melihat ada satupun berkas yang menunjukkan kau memiliki dasar pendidikan atau mungkin kursus make up."

Mati kau Park Jimin, rutuknya dalam hati.

"Aku," Jimin meremas jemarinya ragu-ragu.

"Tidak apa, katakan saja."

"Aku dulu sering di minta anak kelas seni peran untuk membantu merias mereka sebelum pentas ketika masih SMA bersama ssaemku."

"Hm, begitu."

Jimin mengangkat dagunya, seketika rasa percaya dirinya meluap ketika ia mendengar nada bicara Seokjin yang terdengar meragukan kemampuannya, "A-anda bisa melihatku merias kalau Anda mau, aku tahu aku tidak pernah menjalani pendidikan tentang merias wajah, namun aku cukup percaya diri pada kemampuanku."

Seokjin tersenyum kecil, "Kau bahkan tidak mengenakan make up saat ini dan juga tidak terlihat seperti seseorang yang bisa membedakan blush on dengan eye shadow."

Jimin membuang nafas keras, "Aku bisa menunjukkan kemampuanku."

"Baiklah. Karena kau mendapat rekomendasi dari Hobie-maksudku Hoseok-ssi, aku akan melihat kemampuanmu nanti. Kali ini," Seokjin mengeluarkan sesuatu dari laci mejanya, "apakah kau mengenal orang-orang ini?" Tanyanya sembari menata beberapa foto pria di atas meja.

Jimin membawa tubuhnya lebih dekat pada meja dan melihat pria di foto-foto itu, "Beberapa aku tahu."

"Siapa saja?"

Jimin menunjuk foto pertama, "Ini Bi Rain 'kan?"

"Benar, lalu?"

"Ini, seperti pernah lihat tapi siapa, ya?"

Seokjin menunjuk wajah pria itu, "Huang Zitao. Ini salah satu model yang bernaung di bawah agensi ini."

Jimin mengangguk, "Ini seperti Kim Taehyung, tapi ini bukan Taehyung. Aku tidak tahu tapi aku yakin ini bukan Taehyung."

Seokjin tersenyum kecil, "Byun Baekhyun. Anggota EXO, astaga kau tidak tahu?"

Jimin menggeleng.

"Ia sangat terkenal dan kau tidak tahu?"

"Aku terlalu banyak melihat layar komputer berisi angka daripada menonton televisi, dan telingaku lebih sering mendengar gerutuan Managerku mengenai anggaran yang minus daripada mendengar lagu-lagu populer saat ini." Gerutu Jimin tanpa sadar.

Seokjin tertawa, "Kau sangat pekerja keras dan lugas. Aku suka."

"Ini aku tidak tahu juga."

"Jeon Jungkook, ia baru debut setahun belakangan dan ia sangat populer dan kau tidak tahu lagi."

"Begitulah."

"Lalu ini? Ini? Atau ini?"

Jimin menggeleng, "Aku cuma tahu Bi Rain karena dramanya populer sekali ketika aku masih SD dan Kim Taehyung karena Hoseok Hyung adalah managernya."

Seokjin tertawa, "Siapa penyanyi atau aktris aktor apapun yang kau sukai?"

Jimin menggaruk dagu, teringat pada ucapan Hoseok mengenai ia tidak akan bisa bekerja dengan artis yang disukainya. Ia ingin berbohong saja, namun Seokjin terlihat terlalu baik untuk ia bohongi.

Siapapun itu, terserahlah. Aku siap menjadi pengangguran lagi.

"Aku mengagumi Ahn Jina, juga BigBang terutama Taeyang sunbaenim."

"Woaaah, sama! Aku juga menyukai Jina."

Jimin ingin tertawa melihat reaksi Seokjin yang terlihat seperti fanboy yang bertemu sesame fanboy.

"Selain itu?"

Jimin menggeleng, "Tidak ada. Aku bahkan tidak punya cukup waktu untuk melihat chart Music Bank terbaru."

Seokjin tertawa renyah, "Baiklah. Saatnya kita bertemu dengan artis yang kumanageri."

Jimin mengangkat alis bingung, baru kali ini ia mendapat interview kerja langsung oleh manager lalu di hari yang sama ia dipertemukan dengan usernya.

Hei, apa perusahaan ini tidak tahu apa itu HRD? Batinnya.

Ah tetapi ini adalah agensi, mungkin akan berbeda dengan PT kebanyakan. Lagipula nama Jeon J. Entertainment adalah nama agensi yang asing di telinganya. Jimin akan mencari tahu mengenai agensi ini nanti.

"Jungkook-ah!"

Adalah pekikan pertama yang diserukan Seokjin ketika mereka memasuki ruangan lain yang lebih terlihat seperti ruang keluarga. Dengan sofa gading dan kulkas serta pantry di salah satu sisi.

Seseorang yang merasa bernama Jungkook adalah seseorang pria dengan wajah paling terganggu di antara wajah lainnya yang memandang Jimin dengan penuh tanya.

"Lihat siapa yang kubawa?" Ucap Seokjin ceria.

Jimin mengekori Seokjin yang mendekati sofa di dekat jendela besar yang langsung menyuguhkan pemandangan Seoul. Ada beberapa pria di sana, satu orang dengan wajah dingin namun berambut emerald yang terlihat manis dan wajah mengantuk, ada pula seorang pria dengan rambut dicat blonde dan memiliki lesung pipi, lalu seorang pria berambut hitam dengan raut wajah keras yang tadi bernama Jungkook dan di sofa lainnya duduk pria dengan wajah yang cantik dan rambutnya dicat sama persis dengan milik Seokjin.

"Petugas audit pajak lagi? Bukankah kita sudah membayar pajak awal bulan lalu?" Ujarnya sengit dengan mata menatap Jimin seksama, membuat Jimin merasa seperti ia sedang dinilai penampilannya.

"Aish, bukan. Dia yang direkomendasikan Hobie."

"APA?" Pria cantik itu menjerit refleks.

"Kau bilang dia calon MUA baru?" Tanya pria berlesung pipi.

Seokjin menangguk ceria, terlihat tidak menyadari wajah-wajah dengan raut sangsi itu.

"Ah, Jimin-ssi, dia bernama Yoongi, dia produser lagu-lagu di sini." Kenalnya sembari menunjuk pria dengan rambut emerald dan pakaian serba hitam, jangan lupakan beani hutnya yang juga hitam.

"Ini Namjoon, dia composer juga penulis lirik, juga public speech, juga asisten, atau apapun itu. Ia paling multi talent di antara yang lain." Katanya diakhiri dengan tawa sambil menunjuk pria berlesung pipi dengan yang memakai pakaian serba hitam pula.

"Yo, Jimin-ah." Sapanya sembari mengangkat sebelah tangan.

"Ini Jungkook, aku sudah mengatakannya padamu tadi siapa dia ini."

Yang bernama Jungkook dengan kaus putih, jeans dan timberland boots itu tidak menunjukkan ekspresi lain selain memindai Jimin menggunakan pandangannya yang membuat Jimin merasa ia sedang ditelanjangi.

"Dan ini Luhan. Dia stylist." Terang Seokjin.

Yang bernama Luhan tersenyum, mengenakan kemeja kotak-kotak hitam dengan celana hitam robek-robek dan sebuah topi, "Panggil aku Lulu, Jijim."

Jimin ingin protes pada cara Luhan memanggilnya namun urung ketika Jungkook melontarkan kalimat, "Kau serius melamar menjadi MUA dengan jas kantor resmi?" Ia membaca berkas milik Jimin sebelum mendesis, "akuntan yang ingin menjadi MUA? Bagaimana bisa aku tidak mencurigaimu sebagi ssaengfans? Tidak peduli Hoseok Hyung yang merekomendasikanmu atau tidak."

"Aku tidak," Jimin menelan ludah, "aku bukan ssaengfans. Dan maaf Jungkook-ssi, bahkan aku tidak tahu kau ini artis. Dan ada apa dengan jas kantor? Aku hanya mencoba bersikap profesional."

"Wow, dia berani sekali pada Jungkook." Bisik Namjoon pada Yoongi yang langsung diamini oleh Yoongi.

"Profesional? Kalau begitu melamarlah sesuai dengan kemampuanmu itu, aku tidak melihat sedikitpun kemungkinan kau bisa menggunakan kuas foundation. Aku bisa bertanya pada pihak agensi apakah mereka membutuhkan satu akuntan tidak berdikari yang dipecat dari DG Group bahkan tanpa paklaring."

Jimin mengangguk, persetan dengan siapa orang di hadapannya, ia tidak suka diremehkan, "Baiklah aku pamit undur diri," Jimin membungkuk hormat ke arah Seokjin, "terima kasih. Selamat siang."

Jimin menyesal telah datang, melihat bagaimana Jungkook merendahkannya. Mungkin ia sudah bersikap tidak sopan pada orang yang mungkin akan memperkerjakannya, ia harus minta maaf pada Hoseok setelah ini karena pasti Jungkook akan mengadukan kejadian ini pada Hoseok.

Namun mengingat apa yang diucapkan Jugkook membuat ia ingin menangis rasanya.

Merasa konyol sekali datang melamar sebagai MUA dengan jas resmi hanya karena kata-kata "mengenakan pakaian yang rapi" yang diucapkan Seokjin. Namun bukankah pakaian seperti ini yang biasa dikenakan orang yang melamar pekerjaan?

"Beri aku bukti jika kau memang pantas untuk tidak diremehkan, Jimin-ssi." Ucap Jungkook ketika Jimin hendak membuka pintu.

Jimin mematung, "Aku batal melamar."

"Lari seperti pecundang, eh? Takut tidak bisa memberiku bukti? Atau kau orang bayaran ssaengfans?" Pancing Jungkook.

Dada Jimin memanas, tangannya mengepal kuat ketika ia berbalik dan memandang Jungkook penuh kebencian, "Akan kutunjukkan bahwa aku tidak sesampah yang kau ucapkan, Jungkook-ssi."

Jungkook menyeringai senang, "Baiklah," ia bangkit dari duduknya, "tunjukkan padaku," Jungkook menoleh ke arah sofa di mana teman-temannya masih memandang tidak percaya, "buatlah Luhan tampil maskulin dan Namjoon terlihat girly. Aku penasaran kenapa Hoseok merekomendasikan orang sepertimu."

Mendengar nama Hoseok disebut membuat Jimin geram, ia tidak suka nada bicara Jungkook yang seolah menyangsikan Hoseok pula, "Baiklah. Akan kubuat mereka seperti apa yang ingin kau lihat."

Jungkook menyunggingkan senyum miring yang terlihat tampan namun mengesalkan, "Aku tidak punya banyak waktu. Kuberi kau waktu tigapuluh menit untuk make over penampilan mereka, dan kau bisa pakai make up milikku karena sepertinya kau tidak membawa apapun selalin berkas omong kosongmu itu."

Jimin mengetatkan dagunya, luar biasa geram. Sebelum menatap wajah Luhan yang kental dengan kehalusan wajah seorang gadis dan beralih pada wajah Namjoon yang identik dengan badboys.

Tanpa sadar Jimin membuang nafas keras. Ini akan sulit.

"Well, ini akan menarik." Bisik Yoongi yang kehilangan wajah mengantuknya pada Seokjin yang kebingungan melihat situasi di hadapannya.

x

x

to be continue

x

x

Saya malah bikin fict baru, ampuuuun.

Saya udah ngetik lanjutan Headshot sih, tapi udah 3 kali juga saya hapus. Ngerasa luar biasa gapede karena saya gatau harus nulis apaan di adegan yang berbau rumah sakit yang jelas-jelas melenceng jauh dari keseharian saya dan saya juga gabisa ngarang, googling tentang praktisi kesehatan itu susah, ga segampang nyari artikel "Cara menggambar alis ala Korea" huhu ToT

Mohon bersabar menunggu saya pede dengan hasil karangan saya tentang tek-tek bengek rumah sakit yang asing untuk saya atau kalau ada yang bersedia membantu, saya akan senang sekali lho..

Last, mind to RnR?

Yours,

December D.

(Twitter: @DecemberD_ppie)