Hinata menatap layar ponselnya dengan mata berbinar. Setelah tugasnya selesai dikerjakan, ia memutuskan untuk langsung tidur. Setidaknya itu rencana awalnya sekitar dua jam yang lalu. Namun di sini lah Hinata, berbaring menyamping dengan selimut menutupi tubuh hingga lehernya sementara satu tangannya menyangga benda persegi panjang yang menjadi kebutuhan pokok manusia jaman sekarang.

Masih membuka halaman yang sama, ia kembali men-scroll down postingan-postingan sebuah akun pengirim pesan rahasia pada salah satu sosial media yang saat ini sedang banyak dipakai orang, khususnya para remaja di Jepang. Wajah imutnya sesekali bersemu merah kala terdapat postingan seperti surat rahasia kepada pujaan hati yang dikirimkan orang dengan nama samaran, atau pun curhatan dari orang-orang anonim mengenai wanita ataupun laki-laki dambaan mereka.

Nama akun itu Tokyo Draft. Sebuah akun yang awalnya dibuat dua tahun lalu oleh admin iseng yang tidak disebutkan namanya. Akun itu menerima pesan dari siapa pun di seluruh Jepang dan mengirimkannya ke timeline agar dibaca oleh orang lain yang menjadi pengikut Tokyo Draft. Isinya beragam, bisa surat cinta, curhatan dengan tema apapun, bahkan cerita horor pengalaman pribadi pengirimnya sendiri. Sejak awal akun itu masih tidak terlalu ramai hingga sekarang bahkan satu postingan bisa mencapai ratusan ribu likes, Hinata selalu mengikutinya. Ditambah akun itu kerap mengirimkan postingan baru di malam hari.

Puas membaca seluruh postingan hingga sampai pada postingan yang ia telah baca pada malam sebelumnya, Hinata menutup aplikasi media sosial itu dan meletakan ponselnya di samping bantal. Matanya tidak mengantuk sama sekali walaupun kini waktu telah menunjukkan pukul satu dini hari. Namun mengingat ia harus berangkat sekolah besok pagi-pagi sekali, maka mau tidak mau Hinata memaksakan dirinya untuk tertidur.

Berharap ia bangun keesokan paginya dengan keberanian untuk menyampaikan perasaanya kepada seseorang.

.

.

.

3 Shoots Fiction for NaruHina Fluffy Day #8

Disclaimer

Masashi Kishimoto

Story by

Oryko Hyuuzu

Rated

T

Pairing

NaruHina

Genre

Romance

Like = Comment / Fave + Follow

No Flamming

Enjoy!

Tokyo Draft

.

.

.

"Hyuuga!"

Jantung Hinata seolah berhenti berdetak saat itu juga. Ia menghentikan langkahnya di ujung tangga dan berbalik perlahan untuk memastikan pendengarannya. Seingatnya di sekolah ini hanya dirinya yang bermarga Hyuuga, selain kakak sepupunya yang telah lulus tahun lalu. Lalu suara ini.. suara yang sangat ia kenali ini.

"Na... Naruto-se..senpai," cicit Hinata dalam hati saat sosok laki-laki tampan yang semakin terlihat tinggi karena masih berada di tangga teratas itu menghampirinya. Hinata tidak sadar pipinya telah merona yang itu mengundang senyum kecil dari bibir Naruto.

"Begini—ah! Sebaiknya kita menyingkir, kita menghalangi jalan," ucap Naruto segera setelah ia sampai di hadapan gadis yang masih terpaku menatapnya. Hinata sedikit tersentak saat Naruto refleks menarik pelan lengannya untuk menjauhi tangga itu.

"Kami-sama... aku tidak akan mencuci baju ini..." inner Hinata dalam hati, melihat sentuhan ringan tangan kanan seniornya itu pada lengan kiri Hinata yang berlapis sweater musim dingin. Seolah sweater itu sepuluh kali lebih menghangatkannya yang pusatnya berasal dari sentuhan Naruto pada lengan kirinya. Namun sayangnya tangan itu segera kembali masuk ke kantung jumpernya, membuat Hinata kembali pada kenyataan.

"Begini. Aku berencana ke rumahmu sepulang sekolah nanti."

Tiga.

Tiga kali dalam lima menit belakangan Naruto berhasil membuat jantung Hinata seolah berhenti berdetak lalu berdetak lebih cepat dari seharusnya. Mungkin ia harus pergi ke klinik bibi Kurenai setelah ini untuk memeriksa apakan jantungnya masih berfungsi dengan normal atau tidak. Hinata bahkan tidak berani bersuara untuk sekedar bertanya maksud kedatangan pangeran pujaannya itu secara tiba-tiba ke rumahnya. Ia terlalu terkejut. Apakah Naruto ingin melamarnya? Bukankah ini terlalu cepat? Mereka bahkan belum berpacaran. Naruto bahkan belum lulus SMA, begitu juga dengan Hinata. Lantas mengapa terburu-buru? Neji bahkan belum... –ah omong-omong soal Neji...

"Neji ada di rumah kan?"

Perasaan kecewa tiba-tiba memasuki relung jiwanya yang retak walau hanya sedikit. Setidaknya dirinya telah dibuat senang oleh interaksi kecil Naruto dengannya hari ini. Hal yang sangat jarang terjadi walaupun mereka menuntut ilmu di sekolah yang sama selama dua tahun.

Hinata hanya bisa memberikan satu anggukan dengan senyum yang dibuat sopan walau ingin sekali rasanya ia memberikan senyum manis andalannya. Namun Hinata begitu takut jika seniornya ini menganggapnya gadis aneh karena tersenyum lebar dalam menanggapi hal sekecil itu. Jangan panggil Hinata putri bulan jika tidak bisa menyembunyikan ekspresinya dengan baik.

.

.

Tokyo Draft

.

.

Hinata masih tersenyum tipis di depan Naruto yang memberikan senyum tiga jarinya di hadapan gadis itu. Sementara hening melanda mereka di antara hiruk pikuk siswa lain di jam istirahat itu. Naruto berdumal dalam hati, gadis ini benar-benar cocok menyandang gelar putri bulan. Hinata begitu misterius dan terlihat begitu jauh dari jangkauan, siapapun pasti frustasi meghadapi tingkahnya yang sangat kalem namun tampak menyimpan begitu banyak hal.

Beruntung bagi Naruto, bel pertanda jam istirahat sudah usai berbunyi nyaring. Membuat mereka berhenti dari acara saling-melempar-senyum-dari-jarak-kurang-dari-setengah-meter itu. Berawal dari Hinata yang berhasil memutus kontak mata dengan ber-ogiji pada senpainya itu untuk izin kembali ke kelasnya lebih dulu. Kemudian gadis itu berjalan pergi dan menghilang di balik belokan koridor menuju kelasnya.

"Kami-sama, dia semakin cantik saja," gumam Naruto dalam hati. Walaupun hatinya sedikit teriris melihat sikap biasa yang Hinata tunjukkan padanya. Dirinya sempat bahagia tadi karena begitu ia menyapa, rona merah menghiasi pipi gembil yang diam-diam ia gemari—ingin sekali menyentuh, mencubit, bahkan menghisap buntelan daging itu—namun ia teringat jika rona itu memang selalu ada pada Hinata yang notabene memang mudah sekali memerah.

Dulu sekali, saat rumahnya masih berada di samping rumah keluarga Hyuuga, Naruto sangat sering bermain dengan Neji dan Hinata. Namun Hinata begitu pemalu bahkan pada Naruto kecil yang sangat ramah kepada siapa saja. Naruto dan Neji akan bermain di halaman belakang rumah mereka yang hanya terpisah oleh pagar yang hanya setinggi satu meter. Sementra Neji dan Naruto bermain berbagai macam permainan, Hinata akan tetap bermain sendirian dengan istana mini miliknya bersama boneka-bonekanya.

Ia ingat hari dimana Neji dengan tidak sengaja menendang bola ke arah istana milik Hinata hingga roboh, gadis kecil itu tidak menangis. Neji bahkan tidak peduli dan hanya mengambil bolanya yang mental ke arah semak-semak saat Naruto justru menghampiri Hinata untuk menolong gadis itu mendirikan lagi istananya yang rubuh. Saat itulah Naruto kecil mulai mengaggumi pipi merona Hinata. Mereka sama sekali tidak pernah mengobrol karena Hinata tidak pernah meresponnya. Entah pemikiran dari mana, namun Naruto berpikir bahwa gadis itu sangat membencinya. Oleh sebab itu ia tidak pernah berani untuk memanggil Hinata dengan nama kecilnya.

Setelah keluarga Namikaze pindah dari rumah itu, ia dan Neji masih sangat akrab dan Naruto masih sering berkunjung ke rumah keluarga Hyuuga. Namun hubungannya dengan Hinata masih saja kaku layaknya orang yang baru kenal satu sama lain. Gadis itu tidak pernah bersikap ketus padanya, tidak. Malah Hinata sangat baik, sopan, dan manis. Hal itu yang membuat Naruto takut untuk mendekat, gadis itu seperti menyimpan sesuatu yang entah itu apa dan Naruto begitu takut untuk mencari tahu.

Naruto bahkan merahasiakan ini dari semu orang, siapa pun itu. Kedua orangtuanya pasti akan kecewa jika tau anak semata wayang mereka begitu pengecut untuk mendekati gadis yang bahkan telah ia dambakan sejak kecil. Sahabat-sahabatnya pasti akan mengejeknya habis-habisan begitu mengetahui dirinya menyukai gadis yang bahkan tidak sudi memanggil namanya. Neji? Lupakan saja, lelaki itu mengidap sister complex. Bisa-bisa ia memaksa Hinata untuk pindah sekolah dan melarang dirinya untuk menginjakkan kaki di masion Hyuuga.

Mengacak surainya frustasi, ia bahkan tak sadar bahwa Sakura dan Sasuke tengah menatap aneh dirinya yang tidak juga beranjak dari kursinya. Padahal siswa kelas mereka yang lain sudah bersiap di kantin atau parkiran karena jam terakhir mereka hari ini kosong tidak ada guru.

"Hei dobe, kami duluan," ucap Sasuke langsung beranjak dari kursi menuju ke pintu kelas bahkan tanpa menunggu respon orang yang bersangkutan.

"Kau makin terlihat bodoh jika seperti itu Naruto no baka. Cepatlah cari pacar, atau pilih salah satu dari fans yang kau abaikan itu," nasihat Sakura sukses membuat Naruto menatap mereka dengan pandangan tidak suka.

"Tidak tertarik."

"Baka."

Sakura benar, sebaiknya ia memiliki pacar karena dirinya begitu iri melihat teman-temannya yang terlihat bahagia bersama pasangan mereka. Bukannya Naruto kurang tampan, ia bahkan sangat populer di kalangan wanita karena ketampanan dan sikap ramah dan baik hatinya kepada semua orang. Namun ia merasa jika ia memiliki kekasih maka Hinata akan semakin membencinya. Entahlah, mungkin ia mengalami kecemasan dan obsesi berlebihan pada gadis kesayangannya itu.

.

.

Tokyo Draft

.

.

"Senpai."

Setelah menyamakan kembali irama jantung serta meredakan rasa gugupnya, Hinata bersuara. Saat bel berbunyi tadi ia tidak langsung keluar dari kelas karena masih memikirkan kata-kata Naruto tadi. Satu menit setelah kelas kosong baru ia melangkah keluar dan berhenti di ambang pintu begitu melihat seseorang yang begitu ia kenal berdiri memunggunginya.

"Hei," sapa Naruto begitu berbalik lalu menyunggingkan senyum ramahnya seperti biasa. "Aku pikir karena aku akan ke rumah, kita bisa pulang bersama."

Entah apa yang Hinata makan saat jam istirahat tadi namun perutnya terasa aneh sekarang. Seperti ada jutaan kupu-kupu terbang di dalam sana dan itu terasa menyenangkan! Apakah dirinya bermimpi? Ia dan Naruto pulang bersama? Apakah mereka akan naik kendaraan umum lalu bersempit-sempitan di kereta dan Hinata bisa dengan jelas mencium aroma pemuda yang kini berdiri dua meter di hadapannya?

Atau mereka akan pulang naik sepeda dengan berlatarkan salju yang turun dan karena terlalu dingin Hinata akan berpegangan erat pada seniornya itu sehingga tidak sadar jika ia telah memeluknya dari belakang sepanjang perjalanan.

Mungkin juga Naruto membawa motornya lalu karena ingin cepat sampai ia akan melajukannya dengan kencang hingga Hinata terpaksa memeluknya erat sehingga dadanya menempel pada punggung lelaki pujaannya itu.

Bisa juga mereka pulang dengan mobil pribadi Naruto lalu mereka akan terjebak macet sehingga lelaki itu akan menepikan mobilnya dan mengajak Hinata ke kedai teh untuk sekedar mengobrol dan menghangatkan diri sampai jalanan kembali lancar.

"Gomenasai, apa kau ada kegiatan klub hari ini?"

Lamunan Hinata seketika buyar saat suara Naruto kembali menarik atensinya. Ia segera menggeleng namun segera berhasil menghentikan gerakan kepalanya sehingga gelengannya tidak terkesan berlebihan. Entah mengapa dirinya mendadak bisu jika berhadapan dengan Naruto, selalu begitu sejak dulu.

"Lalu?"

Mata biru itu menatapnya, lagi-lagi Hinata mengutuk dirinya sendiri atas suasana canggung yang ia ciptakan seperti ini. Tentu Naruto membutuhkan kofirmasi yang jelas atas ajakannya untuk pulang bersama, mengingat Hinata baru mengeluarkan satu patah kata pada Naruto hari ini. Ia pasti terlihat sangat bodoh.

"Kita bisa pulang bersama."

Apa-apaan itu.

Respon itu terdengar seperti kalimat seduktif daripada persetujuan yang sopan terhadap senior yang berbaik hati ingin mengajakmu pulang. Hinata merasa seperti gadis yang menyedihkan sekarang, Naruto pasti semakin menjauhinya dan berencana menjadikan ini sebagai kali pertama dan terakhirnya mengantar Hinata pulang. Namun Hinata terlalu gugup untuk memperbaiki kalimatnya, bisa saja bukannya membuat keadaan menjadi lebih baik justu membuatnya menjadi lebih terlihat memalukan.

Hinata tidak tahu mengapa acara pulangnya bisa mejadi serumit ini sekarang.

Namun disini ia sekarang, berada di kursi samping pengemudi dengan Naruto yang serius menatap jalanan yang ternyata sama sekali tidak macet seperti khayalannya tadi. Tidak ada pelukan atau pun jarak yang tipis, apalagi teh beserta obrolan hangat. Justru yang ada hanya dirinya yang sibuk memperhatikan jalanan dan tidak berani membuka ponselnya.

.

.

Tokyo Draft

.

.

Naruto memasukkan mobilnya di garasi kediaman Hyuuga yang begitu familiar baginya. Hanya ada satu mobil terparkir di sana dan ia yakin itu milik Hinata. Gadis itu memang lebih suka naik kendara umum atau diantar oleh sepupunya daripada membawa kendaraanya sendiri. Jangan tanya mengapa Naruto tau, bukankah ia merupakan pengagum rahasia si putri bulan yang merupakan primadona sekolah itu?

Bahkan tadi ia rela mengusir seorang pemuda yang hampir saja memasuki kelas Hinata untuk mengajak gadis itu pulang saat jam pulang sekolah tadi. Ia juga tau pemuda itu, kalau tidak salah namanya Netori... Toreni atau.. terserah. Satu-satunya laki-laki yang paling gencar mendekati Hinata meski gadis itu tetap menunjukkan sikap biasa saja pada semua orang. Mendapat predikat jagoan karate dan basket di tingkat provinsi membuat lelaki itu tidak perlu pikir dua kali untuk berurusan dengan Naruto yang dengan jelas menyuruhnya pergi.

"Senpai."

Oh.. suara itu. Tidak bisakan suara merdu itu menyerukan namanya satu kali saja? Naruto bisa gila hanya karena membayangkan suara kesukaannya itu menyebut namanya lambat-lambat setiap malam.

"Neji-niisan bilang ia akan pulang terlambat, jadi senpai bisa menunggu di kamarnya," ucap Hinata sambil kembali tersenyum tipis. "Aku ada di kamarku, jadi jika senpai butuh sesuatu ketuk saja."

"Hm. Arigatou."

Naruto kembali menjambak rambutnya frustasi. Hinata bahkan langsung naik ke lantai atas dan menghilang di balik pintu kamarnya yang berada di seberang pintu kamar Neji. Apakah gadis itu begitu membencinya? Atau memang dia berada di saat yang tidak tepat sehingga Hinata merasa risih dengan keberadaan dirinya di rumah ini?

Sebenarnya Naruto sudah tau kalau Neji akan pulang larut malam sekali karena ada rapat di kampusnya. Namun yang tidak ia tau adalah bahwa ternyata rumah ini kosong sama sekali karena kedua orangtua Hinata sedang pergi ke luar kota untuk mengunjungi tetua Hyuuga di Konoha dan Hanabi ikut bersama mereka. Ia bahkan baru tau tadi saat ia menelpon Neji untuk mengatakan bahwa ia sudah berada di kamar sahabatnya itu.

Artinya hanya ada mereka bedua saja di rumah besar ini karena semua maid Hyuuga tidak tinggal di sini melainkan hanya datang di pagi hari dan bekerja sampai sore kecuali ada acara khusus yang memerlukan kerja ekstra para maid. Dengan terpaksa Naruto berbohong dengan mengatakan bahwa dirinya hanya akan meminjam buku untuk persiapan ujian akhir dan akan segera pulang agar sepupu Hinata itu tidak menaruh curiga padanya.

"Apakah dia tau? Lantas kenapa dia tidak melarangku untuk pulang bersamanya?" tanya Naruto frustasi dalam hati.

Naruto berusaha menahan gejolak dalam dirinya. Menyadari bahwa Hinata hanya berjarak dua pintu di depannya saja sudah membuatnya gerah. Ia duduk di atas kasur Neji dan memainkan gitarnya namun pandangannya tetap menatap daun pintu itu dengan tajam seolah tatapannya akan menembus ke kamar Hinata agar ia tau apa yang sedang gadis itu lakukan.

Berusaha mengalihkan pikiranya, Naruto meraih ponselnya. Membuka sosial media yang menjadi kegiatan sampingannya sejak dua tahun belakangan ini. Beberapa pesan membanjiri chat box nya yang itu merupakan hal biasa. Sejenak ia memilih-milih chat yang akan ia buka untuk ia tindak lanjuti. Kegiatan yang cukup mengasyikan karena bermula dari sekedar iseng kini ia menjadi sosok yang dipuja di dunia maya berkat jasanya.

Berkat official account yang dibuatnya, jutaan orang telah berhasil mengirimkan pesan, isi hati, bahkan cerita tersuram mereka sekali pun untuk disebarkan ke khalayak ramai. Naruto terkadang mendapat chat personal seperti ucapan terimakasih karena berkat akun bertajuk Tokyo Draft itu banyak orang yang berhasil melampiaskan rahasia dan perasaan terpendam mereka ke khalayak ramai tanpa takut identitas mereka terbongkar.

Dengan senang hati Naruto melakukannya. Karena ia pun memiliki masalah yang sama. Perasaan dan rahasia terpendam yang telah ia simpan sejak lama. Namun ia tidak pernah sekali pun memposting pesan pribadinya sendiri. Tokyo Draft sangat populer di sekolah, ia begitu khawatir Hinata akan membacanya dan semakin membencinya.

Jadi untuk melindungi identitasnya, ia bertekad bersikap profesional sebagai admin dan hanya menjadikan akunnya itu sebagai sarana bagi orang banyak untuk mengungkapkan perasaannya. Walau dirinya sendiri tidak bisa melakukan hal itu.

Ia baru saja akan membuka chat selanjutnya, namun chat baru yang masuk ke chatbox nya itu begitu menyedot perhatian. Naruto yang semula telentang menjadi terduduk, seolah tersambar petir ia mematung di sana cukup lama hingga kaki jenjangnya memutuskan untuk melangkah ke luar.

.

.

Tokyo Draft

.

.

Hinata makin bergerak gelisah. Ia pikir dengan mencurahkan hatinya akan membuatnya tenang dan memutuskan untuk tidur lebih awal meski waktu kini baru menunjukkan pukul tujuh malam. Padahal ia sudah melakukan banyak hal sejak ia masuk ke kamarnya tadi seperti membereskan kamar, menyusun buku-buku berdasarkan tingginya, mengganti sprei dan sarung bantalnya, membersihkan diri, bahkan mengepang rambutnya.

Hal itu ia lakukan untuk membuat dirinya lupa kalau di sini, di rumah ini, tepat sejarak dua pintu dari lokasi ia berdiri, berada sosok pemuda yang ia cintai sejak dulu. Hanya mereka berdua di rumah besar keluarga Hyuuga dan ditambah Neji baru mengabari kalau dirinya tidak akan pulang malam ini dan memutuskan untuk menginap di apartemen temannya yang berada dekat dengan kampus.

Harusnya Hinata berhenti khawatir, karena Neji berkata kalau Naruto hanya mengambil buku dan akan langsung pulang. Lagipula waktu sudah berjalan dua jam setelah ia terakhir meninggalkan Naruto di ruang tamu tadi. Seniornya itu pasti sudah pulang dan memutuskan untuk langsung pergi karena mengabari Hinata bukan hal yang terlalu penting.

Memikirkan hal itu pun Hinata mendadak merasa sedih. Namun hasratnya tetap saja merasa takut, ia bahkan enggan keluar kamar hanya untuk mengambil buah-buahan di dapur sebagai diet malamnya. Jadi ia memutuskan untuk berselancar dalam media sosialnya dan menemukan dirinya makin frustasi seperti sekarang.

Setelah menenggelamkan wajah meronanya dalam telapak tangan kecil itu, Hinata beranjak. Mematikan ponselnya karena entah mengapa ia jadi membenci ponsel itu lalu memasukkannya ke dalam laci. Dengan langkah mantap Hinata keluar dari dalam kamar menuju dapur demi memenuhi hak perutnya untuk diisi potongan apel dan anggur kesukaannya.

Hinata tergoda untuk melihat keluar, ingin hati memastikan ke garasi apakah mobil Naruto masih di sana atau tidak. Namun ia begitu takut. Takut menelan kecewa bahwa jika mobil itu sudah tidak ada artinya Naruto sudah pergi bahkan tanpa berpamitan dengannya, atau jika ternyata mobil itu masih ada... Hinata bahkan tidak berani memikirkan hal selanjutnya. Jadi ia memutuskan untuk mengambil kesimpulan bahwa ia benar-benar sendirian di rumahnya malam ini. Membawa mangkuk kecil berisikan penuh dengan potongan apel dan anggur, gadis itu melangkah kembali ke kamarnya. Mengerjakan tugas sekolah adalah pilihan tepat untuk menghindari pikiran absurdnya saat ini.

.

.

Tokyo Draft

.

.

Naruto melihat ke sekeliling ruangan yang baru pertama kali ia masuki itu. Dirinya mendadak gugup melihat ruangan bernuansa feminim yang sangat khas. Atau mungkin karena ini pertama kalinya ia memasuki kamar wanita? Ayolah, Naruto memang pria idaman semua gadis namun dirinya terlalu sibuk dengan turnamen untuk sekedar bermain-main dengan wanita.

Lalu kemana perginya pemilik kamar itu? Apa Hinata begitu merasa gugup dan memutuskan untuk pindah ke kamar lain daripada harus berada sedekat itu dengannya? Atau gadis itu mengira Naruto sudah pulang dan kini ia ternyata sedang pergi ke luar bersama teman-temannya?

Ah yang kedua itu sangat tidak mungkin, karena mobilnya terpampang jelas di garasi keluarga Hyuuga jadi Hinata pasti tau kalau dirinya masih berada di rumah itu. Lalu jika Hinata pergi pasti Naruto mendengar suara mobil ataupun gesekan pagar besar rumahnya, lagipula yang ia tau Hinata bukanlah tipe gadis yang suka keluar malam.

Setelah puas mengamati satu persatu perabotan yang ada di kamar itu—bahkan mengecek kamar mandinya entah untuk apa—ia beralih pada ranjang berukuran sedang milih Hinata. Lebarnya sepertinya cukup untuk dua orang namun jika kasur itu menampung tubuhnya yang tinggi pasti kakinya akan sedikit menyembul di pinggir. Naruto merona tipis membayangkan setiap malam Hinata tertidur pulas di atas ranjang ini.

Tidak banyak pigura yang terpajang di sana. Fotonya pun hanya berisikan gadis itu, keluarganya, dan teman-teman terdekatnya yang semuanya wanita. Namun satu bingkai yang tertutup di atas nakas samping ranjang begitu menggugah rasa penasarannya. Naruto tidak peduli jika kini ia terlihat seperti laki-laki mesum yang tidak sopan karena masuk tanpa izin ke dalam kamar seorang gadis bahkan mengamati setiap benda di sana untuk ingatan pribadinya. Toh sosok dalam bingkai yang tadinya tertutup itu membuatnya semakin sumringah. Lihat saja, apa-apaan kekehan lucu yang bahkan membuat wajahnya semakin tampan itu. Kalau Hinata melihatnya, gadis itu pasti akan—

PRANG!

.

.

Tokyo Draft

.

.

TBC