Summary: /AU. NejiSasu./ Aku dapat mengerti. Mereka semua tidak sanggup menangganiku. Seorang pemuda dengan emosi labil yang mempunyai penyakit mengerikan. Sirosis stadium 4 akhir…/

Dislaimer: Naruto © Mamashi Kishimoto-sensei.

Warning: Fic ini mengandung alternative universe, shonen-ai dan OOC. Bagi yang alergi dengan bahan-bahan(?) tersebut harap segera klik tombol back ;)

Happy reading! ;)


And Love Never Dies

© CherryCho79

Chapter 1: The First Time I Met With Him


Aku membuka mataku saat kurasakan sinar mentari yang hangat menyapaku, menerobos melalui celah-celah gorden kamarku. Aku menguap lebar. Dengan malas kulemparkan pandang ke arah jam yang berdiri tegak terhadap bidang horizontal di meja belajarku. Jarum pendek jam yang berwarna perak menunjuk angka 8.

Aku bangkit, setelah sebelumnya menyingkirkan selimut yang membalut tubuhku, lalu berjalan gontai ke arah jendela yang terletak di samping tempat tidurku. Kusingkap gorden yang berwarna krem pucat itu hingga cahaya sang surya dapat leluasa memasuki kamarku. Menerangi segala sesuatu yang tertangkap retina mataku. Kubuka jendela, merentangkan kedua daun jendela lebar-lebar.

Kupendarkan pandangku menyapu sekeliling. Warna hijau yang mendominasi, sesekali diselingi warna putih yang menyegarkan mata. Kamarku ini memang berhadapan langsung dengan taman depan rumah, jadi jangan heran jika hijaunya rumput dan rimbunnya dedaunan pohonlah yang terpantul di mataku. Tak hanya itu, mawar putih—yang merupakan bunga favorit ibu—turut meramaikan suasana…

Kutatap kesemuaannya itu lekat-lekat. Entah kenapa aku tak pernah jemu meski hampir setiap saat aku memandangnya. Karena bagiku, itulah satu-satunya hal yang membuatku—yang terpuruk dalam kematian semu yang membelenggu ini—merasa kembali hidup. Warna hijau dari lukisan alam itu membuatku tenang dan nyaman.

Aku menarik nafas dalam-dalam. Membiarkan udara pagi yang sejuk memenuhi rongga paru-paruku.

Pagi yang cerah, aku menarik kesimpulan.

Bertolak belakang dengan hidupku, yang semakin hari semakin memudar, kehilangan cahayanya tuk terus berada di dunia ini.

Aku membuang nafas panjang. Aku lelah dengan semua ini…

Tiba-tiba saja pandanganku teralih pada jalan setapak yang menuju ke rumah. Di sana aku mendapati aniki tengah berjalan bersama seseorang dengan rambut coklat tergerai. Seutas pita putih pengikat rambut melilit ujung rambut panjangnya. Seorang gadis sepertinya. Aku tak tahu pasti, karena aku melihatnya dari belakang.

Dahiku mengkerut. Siapa orang itu? Rasanya aku belum pernah melihatnya sekalipun,

Aku berpikir sejenak. Ingatanku melayang ke dua hari yang lalu. Saat aku dan aniki sedang berbicara…

Flashback—

"Sasuke." panggil aniki.

"Hn?" aku menjawab acuh tak acuh.

"Besok dokter Kakashi akan mengundurkan diri, dan dokter penggantinya akan tiba lusa."

"Lantas?" aku menyahut tak minat.

Aniki menarik nafas panjang. Ia terlihat geram dengan tingkahku. "Sasuke, bisakah kau tak bersikap seperti itu lagi? Kau tahu, kau telah merepotkan mereka. Mau sampai kapan kau terus seperti ini? Jujur, aku kasihan pada mereka."

"Aku tak peduli!" sergahku dingin.

Ya, aku benar-benar tidak peduli. Toh ini bukan pertama kalinya dokter pribadiku mengalami pergantian. Bahkan, dapat dipastikan dokter pribadiku hanya mampu bertahan selama seminggu saja. Aku dapat mengerti. Mereka semua tidak sanggup menangganiku. Seorang pemuda dengan emosi labil yang mempunyai penyakit mengerikan. Sirosis stadium 4 akhir…

Kadang aku benar-benar tak habis pikir, mengapa ayah dan ibu selalu menyediakan dokter pribadi untukku? Padahal aku sendiri sudah lelah. Aku tak peduli lagi dengan hidupku yang kutahu akan segera berakhir ini. Yang ingin kulakukan hanyalah menanti detik-detik kematian yang terus bergulir.

End of Flashback—

Oh, aku ingat!

Jadi orang itu yang dimaksud aniki. Dokter pengganti Kakashi. Tapi, dia terlihat lebih mirip pacar aniki jika melihat mereka berjalan berdua seperti itu.

Aku terdiam sejenak. Termangu, meletakkan sebelah tanganku untuk menyangga dagu. Sibuk berpikir. Tumben sekali seorang gadis yang menjadi dokter pribadiku? Ketika sedang asik bergelut dengan pikiranku sendiri, aku tersentak. Aku merasakan ada pandangan yang menusukku, membuyarkan lamunanku.

Aku menoleh, dan kudapati gadis itu tengah menatapku. Aku terperangah, terkejut bukan kepalang. Mataku bertautan dengan bola mata peraknya yang berpendar keunguan. Sorot matanya tajam dan tegas, namun ada ketenangan yang bersembunyi di sana. Dan aku lebih kaget lagi saat menyadari kalau dia adalah seorang pemuda. Ya, seorang pemuda—yang tak dapat kupungkiri—sangat tampan.

Tiba-tiba aku tersadar. Aku sudah terlalu lama bertatapan dengannya. Karena itu aku cepat-cepat membuang mukaku, lalu berjalan menjauhi jendela. Aku mendudukkan diri di pinggir tempat tidur.

Entah kenapa, aku merasa kalau ia berbeda dengan dokter-dokter sebelumnya…


Pagi yang indah untuk memulai hariku dengan pekerjaanku yang baru, menjadi dokter pribadi untuk putra bungsu keluarga uchiha.

Aku bergegas turun dari taksi seraya mengangkut koperku yang tak terlalu besar. Aku menghela nafas panjang sebelum mengayunkan kaki menuju gerbang Uchiha Mansion yang besar, dilengkapi dengan jeruji-jeruji besi berwarna hitam, membuatnya terlihat kokoh.

"Selamat pagi. Apa anda yang bernama Hyuuga Neji?" tanya seorang satpam—yang kubaca dari tulisan yang dijahitkan di seragamnya—bernama Kabuto seraya menyunggingkan senyum di sudut bibirnya. Aku mengangguk.

"Silahkan masuk. Uchiha-sama telah menanti anda .." Kabuto berujar ramah. Ia membuka pintu gerbang perlahan. "Mari, lewat sini!" Kabuto membetulkan posisi kacamatanya yang turun beberapa senti.

Aku tersenyum, lalu melewati gerbang itu setelah sebelumnya menggumamkan terima kasih pada Kabuto. Baru beberapa langkah aku menelusuri jalan setapak, kakiku berhenti mengayun. Di depanku berdiri seorang pemuda dengan mata black pearl.

Uchiha Itachi, putra sulung keluarga Uchiha.

"Itachi-san?" gumamku diliputi tanda tanya.

"Ah, pagi Neji-san!" serunya ramah sambil tersenyum lebar.

"Selamat pagi, Itachi-san." aku membalas sapaannya seraya sedikit membungkukkan badanku.

Itachi-san tertawa kecil. "Tak perlu seformal itu. Biasa sajalah…" ucap Itachi-san santai. Ia membalikkan tubuhnya, lalu melangkah pergi. "Ayo, aku antar ke rumah kediaman Uchiha."

Aku tidak menjawab, hanya mengikuti jejak langkahnya dengan canggung. Pertanyaan tadi masih bersarang di pikiranku, untuk apa seorang tuan muda seperti Itachi-san ada di sini?

"Um, maaf... Itachi-san?"

"Ya?" Itachi-san menoleh dan menatapku.

"Apa anda sengaja menjemput saya?" aku menyuarakan pikiranku dengan ragu-ragu.

"Ya. Kebetulan hari ini adalah minggu. Dan aku sedang tidak ada kerjaan. Jadi kuputuskan untuk menjemputmu saja. Ng, ada yang salah dengan itu?"

Aku menggeleng cepat. "Tidak. Tidak ada yang salah dengan itu. Hanya saja, terima kasih. Maaf merepotkan anda…"

"Tak masalah." sahut Itachi-san. Kami pun melanjutkan perjalanan dalam diam.

Srak!

Ponsel yang berada dalam saku celanaku tiba-tiba saja terjatuh. Aku berbalik dan membungkuk untuk mengambil ponselku yang kini tergeletak di jalan. Ketika aku mendongkak, secara tidak sengaja aku melihat seorang pemuda yang mirip Itachi-san, bermata black pearl—yang merupakan ciri khas keluarga Uchiha—dengan rambut biru gelap berantakan tengah berdiri di samping sebuah jendela yang terletak di lantai dua. Sebelah tangannya menopang dagu. Matanya menerawang, namun tatapannya kosong. Seolah tak ada cahaya kehidupan di sana.

Tiba-tiba dia tersentak dan balas menatapku, sepertinya dia tahu kalau sejak tadi aku memperhatikan dia. Mataku bertemu dengan matanya. Sorot matanya dingin dan angkuh, namun semua itu malah menyiratkan luka dan kesepian yang mendalam.

"Ah!" tanpa sadar aku terpekik kecil saat pemuda Uchiha—yang tidak kuketahui namanya itu—membuang muka dan melangkah menjauhi jendela, lalu menghilang. Tidak terlihat lagi.

"Ada apa, Neji-san?" tanya Itachi-san. Kulihat sebelah alisnya terangkat naik, mengisyaratkan ketidakpahaman.

"Tidak ada apa-apa, Itachi-san." aku berbohong. "Maaf…"

Aku segera menyusul Itachi-san yang ternyata sudah berada jauh di depanku. Itachi-san hanya diam, sejenak memandangku bingung, lalu kembali berjalan.

Aku membuang nafas. Lalu kembali mengekori Itachi-san, setelah sebelumnya aku menengok ke tempat pemuda tadi berada.

Entah kenapa aku merasa ada sesuatu yang lain dengannya...


To be continued


Huwaa … akhirnya liburan jugaaa~~! XDDDDDD Setelah sebelumnya terpuruk dalam neraka "penderitaan ulum". Ide fic ini muncul pas Cho lagi belajar buat ulangan fisika. Jadi, salahkan fic ini yang bikin nilai fisika Cho jelek, dan... salahin nilai fisika Cho yang jelek yang bikin fic ini ancur T^T

Oh ya, aneh gag pke dua POV kayak gini? Rencananya sih gitu sampai ending. Biar bisa menggali perasaan keduanya gitu =3

Makasih banget buat yang udah nyempetin diri buat baca. Terakhir…. Ripyu? Ripyu? Ripyu? X) *ketularan iklan 3*

Love,

CherryCho79