"Kau masih marah padaku?" Chen menatap dalam mata gadis di sebelahnya. Mereka berdua duduk bersisian di sofa di depan tivi seusai makan malam.

"Sedikit," gumam Irene. Chen menghela nafasnya pelan dan merangkulkan lengannya di bahu Irene.

"Babe, sorry."

Irene mengalihkan pandangannya dari Chen. "Kau menghilang selama 6 bulan tanpa memberiku kabar, Jongdae. Yixing bahkan tidak tahu kau dimana. Bagaimana mungkin aku tidak marah padamu." Kesal, Irene melipat tangannya di depan dada.

Chen tersenyum tipis melihat emosi yang akhirnya keluar dari mulut Irene. Wanita manapun pasti akan bereaksi sama apabila lelaki yang menjadi kekasihnya pergi tanpa kabar.

"Apa aku berbuat salah padamu? Apa ada hal yang membuatmu membenciku? Itu yang terus kupikirkan, Jongdae-ssi."

Chen menggelengkan kepalanya. "Tidak ada satu pun yang salah dan yang dapat membuatku membencimu, Rene. Kau sempurna untukku."

"Lalu?"

"Actually, Hyung tahu kemana aku pergi. Tapi aku meminta Hyung tidak memberitahumu dan Reina. Dan sepertinya Reina juga sudah tahu namun mereka tetap bungkam."

"Chen~"

"Okay okay. Aku ke Jepang. Sebuah fashion street magz mengajakku bergabung dengan mereka. Awalnya aku menolak tapi Sajangnim tempatku dan Yixing hyung bekerja mendukung dan terus menawarkan. Aku mencoba menjalaninya. Setahun masa training-nya."

Irene berpaling mendadak ke Chen. "Tapi...ini baru 6 bulan.."

Chen tersenyum. "Aku mengundurkan diri. Aku masih belum siap bekerja di negara lain dan meninggalkanmu disini. Aku tidak mau menjadi Yixing hyung yang kembali bertemu Reina setelah 10 tahun berlalu. 6 bulan tanpa dirimu cukup membuatku tersiksa, Rene." Ia mengelus pipi kekasihnya lembut.

"Paling tidak Yixing jujur bilang ketika dia pergi. Kenapa kau tidak?"

"Aku tidak ingin hubungan kita berakhir seperti Yixing hyung dan Reina. Dan juga aku tidak sanggup melihatmu menangis."

"Perbuatanmu selama 6 bulan ini juga menguras air mataku, Jongdae. Paling tidak kau meninggalkan pesan untukku."

Chen menghela nafas panjang. "Sejujurnya, itu hal yang paling kusesalkan. Aku seharusnya menghubungimu. Memberitahumu dimana aku berada dan tidak membuatmu tersiksa. Tapi setiap kali aku ingin menghubungimu, aku takut kau akan langung menutup telfon dan mengacuhkanku. Aku tidak sanggup diperlakukan dingin olehmu."

"Tapi kau berani datang kesini dengan wajah tanpa dosa."

Chen tersenyum, membuat ujung matanya turun. "Aku lebih memilih berhadapan langsung denganmu ketika kau marah dibanding mesti di sambungan telfon."

Irene mendesah. "Jadi, kau benar-bnar akan melepas tawaran itu?"

Chen mengangguk yakin. "Aku memikirkan kuliahku selain memikirkan karir. 6 bulan di Jepang cukup membuatku sadar bahwa pendidikan jauh lebih penting."

"So?"

"Aku tidak akan meninggalkanmu lagi. Kalau pun aku ditawari, aku akan memberitahumu dan kalau perlu aku akan membawamu serta." Chen menarik Irene masuk dalam pelukannya.

Irene tersenyum didalam pelukan Chen. Senang mendengar perkataan pemuda itu.

"Rene, boleh aku menginap malam ini?" Chen bertanya sambil mencium ubun-ubun kepala Irene.

"Tidur di sofa tidak seenak tidur di ranjang, Jongdae."

Chen tersenyum. "Siapa bilang aku ingin tidur di sofa." Ia menggendong Irene ke kamar gadis itu.

"C-c-c-c-chen!" Irene berseru menyadari maksud Chen.

Chen merebahkan Irene dan dirinya di ranjang gadis itu. Ia mengatur suhu pendingin kamar itu, mengganti lampu kamar dengan lampu duduk yang lebih redup dan merapatkan bedcover di badannya dan Irene.

"Tidur," gumamnya di ubun-ubun kepala Irene dan memeluk gadis itu dari belakang. Irene memejamkan matanya erat, wajahnya merah padam menahan malu.