Chapter 1
Special Girl
Desclaimer : Naruto by Masashi Khisimoto
Pairing : Kiba/Ino
.
.
Sejak insiden putusnya dengan Karin karena cewek itu lebih memilih Sabakuno Gaara yang tampan dan kaya, Kiba enggan berurusan dengan cewek manapun. Oh ayolah, cewek adalah makhluk paling merepotkan yang kadang-kadang tidak tahu terima kasih. Namun malam itu di rumah Naruto, Sasuke mengusulkan sebuah ide nyeleneh yang Kiba yakin tampak sangat tak masuk akal dibicarakan pada malam minggu seperti saat ini.
"Well, kenapa kau menyuruhku mendekati Yamanaka Ino? Dia benar-benar bukan tipeku." Itu benar, cewek seperti Ino yang modis dan populer benar-benar bukan tipenya. Meski tampak sah-sah saja kapten sepak bola sepertinya memacari model sekolah seperti Yamanaka, tapi tetap saja Ino tak pernah ada dalam daftar cewek yang ingin dikencaninya. Tapi Sasuke dengan ponsel yang tidak berhenti memutar lagu-lagu barat terus saja mendesaknya.
"Bukan masalah tipe Man. Dia baru saja jadian dengan Sabakuno, kau tidak kepikiran soal balas dendam?" Ada senyum licik di balik cengiran kekanankan Sasuke.
"Yang benar, Ino pacaran dengan Gaara? Demi Tuhan, aku tidak habis pikir cowok itu gonta-ganti pacar secepat ganti baju." Naruto dengan mulut penuh kacang menimpali, ekspresinya aneh dan membuat lawan bicaranya nyaris mengabaikannya.
"Maksudmu aku harus merayu Ino, begitu?" Inuzuka mendadak tertawa membayangkan aksi konyolnya menggoda si pirang Yamanaka. Yang benar saja, dia nyaris tak pernah berbicara dengan gadis itu. Cuma sekedar tahu karena wajah menakjubkan yang mirip Barbie itu hampir selalu terpajang di majalah sekolah. "Sialan kau, Sasuke." Memang ia masih sakit hati atas aksi Gaara yang merebut Karin darinya, tapi berusaha merebut Ino dari Gaara kelihatannya bukan ide bagus.
Pemuda Uchiha itu menghela napas, mematikam musik dari ponselnya dan tersenyum meyakinkan. "Ini tidak sungguhan kawan, kau cuma harus merusak hubungan mereka. Dan meyakinkan Ino untuk membenci Gaara." Oh, kedengaran seperti pekerjaan adu domba.
"Kau tahu dari mana jika Gaara dan Ino pacaran?" Naruto mematikan TV yang sejak tadi menyala karena tak satupun dari mereka tertarik dengan film yang terputar.
Sasuke mengerling Naruto dengan ekor matanya. "Tentu saja Sakura, dia teman dekat Ino kan?"
"Tunggu, tunggu. Bagaimana jika itu tidak mempan? Maksudku ayolah apa artinya Ino bagi Gaara? Cowok itu bisa mencari gadis lain setelah putus dari Yamanaka." Kiba berusaha mencari jawaban dari iris cemerlang lawan bicaranya, dan binar semangat menyala-nyala disana.
"Dengar, apa Gaara sebodoh itu? Dari semua cewek yang pernah dikencaninya, Ino paling menakjubkan. Dia idola sekolah, dicintai banyak orang dan Gaara tidak akan dengan mudah melepaskan Ino." Sasuke memgambil jeda untuk memastikan lawan bicaranya benar-benar memperhatikannya. "Bukankah semakin dia tidak rela bakal semakin bagus untuk dihancurkan?"
Ada gambaran bagus di kepala Kiba, dan ia mulai memahami ke arah mana rencana Sasuke ini berjalan. Reflek senyumnya terulas tipis. "Jadi aku harus mulai dari mana?"
Naruto yang masih sibuk dengan kunyahan kacangnya mendadak berhenti dan menahan napas beberapa saat. "Astaga, kau berniat mengiyakan rencana Sasuke?"
"Entahlah, aku hanya penasaran." Kiba mengerutkan kening serius ketika Sasuke membuka mulut untuk mengucapkan sesuatu.
"Begini..."
.
.
"Serius? Kau akan memberiku 25 ribu Yen?" Tayuya bersandar di tembok, mengamati lawan bicaranya yang sibuk menatap keadaan sekitar dengan ekspresi khawatir.
"Yeah, jika rencana ini berhasil kau bisa dapat 25 ribu Yen dariku." Kiba menghela napas, tidak yakin juga dengan apa yang hendak ia lakukan. Oh Man, apa ia sekarang jadi senekat ini untuk bisa balas dendam pada Gaara? "Ingat, harus berhasil."
Lorong dekat taman belakang sekolah memang nyaris tak pernah dilalui murid, dan Kiba pikir mengutarakan maksudnya pada Tayuya di tempat itu adalah yang paling aman. Tayuya cukup cantik untuk dijadikan umpan dalam rencana ini. Dan kalau ini berhasil, semua bakal mudah karena rencana selanjutnya juga sudah ditata dengan rapi.
Senyum gadis itu terkembang sempurna semenjak mendengar nominal uang yang disebutkan. "Well, aku akan berusaha dengan baik."
"Bagus. Itu yang kuharapkan." Sejujurnya ia ingin meminta bantuan Shion, anak kelas sebelah yang pernah tertarik padanya. Namun, karena tak yakin Shion akan mau, ia mengalihkan rencana pada Tayuya , gadis itu lebih mudah untuk diajak kerjasama dengan iming-iming uang. Ia bahkan berpikir gadis liar semacam Tayuya akan melakukan apapun demi uang, bahkan jika harus menjual tubuhnya sekalipun. Well, itu mengerikan, tapi cukup asyik juga dibayangkan.
"Jadi, apa yang harus ku lakukan?"
"Aku sudah memberitahumu garis besarnya kan?" Kiba menelan ludah, nyaris tak bisa memikirkan apa yang bisa dilakukan gadis di hadapannya untuk membantu rencana ini. "Tentang bagaimana kau menjalankan rencananya, semua kuserahkan padamu. Tapi tetap ingat, jangan sampai ada yang tahu."
Gadis itu mengangguk, sepenuhnya paham dengan penjelasan yang didengarnya. Lagipula misi ini terdengar mudah, dan lagi ia mengenal siapa itu Sabakuno Gaara. Sepertinya tak akan ada masalah besar.
Inuzuka merapikan rambutnya yang tertiup angin musim semi. Sasuke dan Naruto pasti sudah menunggunya di kantin sekarang, sebaiknya ia harus cepat kesana. Dia menghela napas berat sebelum berujar, "Aku harus pergi."
Tayuya meresponnya dengan anggukan, dan tanpa senyuman Kiba melenggang duluan tak peduli pada gadis itu yang menatapnya hingga ia menghilang di lorong sebelah.
.
.
Kalau boleh jujur, Kiba luar biasa tak nyaman ketika Naruto maupun Sasuke menatapnya dengan penuh tanda tanya ketika ia sampai di kantin. Sebenarnya itu bukan masalah besar, namun rasanya ia tak siap untuk menceritakan semuanya di tengah keramaian itu.
"Bagaimana?" Tuh kan, Sasuke sudah memulai aksinya ketika Kiba baru saja duduk di salah satu kursi didekatnya.
"Apanya?" Pura-pura tak paham ia berusaha mengalihkan pandangan ke tempat lain. Dan secara tak sengaja tatapannya terpaut pada Ino di meja seberang yang tengah tertawa bersama Sakura. Sial, ia tidak bermaksud mengamati gadis itu, tapi rasanya itulah yang dipikirkan Ino ketika si gadis menatapnya balik. Karena tak ingin menimbulkan kesan aneh, Kiba mengulas senyum tipis. Pria itu sudah yakin kalau Ino bakal mengabaikannya, alih-alih membalas senyumnya disertai anggukan, membuat Kiba tertegun sesaat.
"Wah, Sakura ada disana tuh." Naruto berujar pelan, sedikitpun tak penasaran dengan gadis yang menjadi perhatian Inuzuka.
"Aku tahu kok." Sasuke dan Sakura sudah 5 bulan jadian. Mereka adalah pasangan paling tak wajar yang pernah dilihat Kiba. Entah kapan mereka kencan atau merencanakan pertemuan, tapi setahunya mereka nyaris tak saling mendekat ketika berada di sekolah. 'Aku sih tidak mau mengeksplor hubunganku di depan banyak orang, dan Sakura paham kok soal itu,' yang pernah dikatakan si bocah Uchiha suatu hari, dan Kiba tidak berusaha ingin tahu lebih banyak soal mereka. "Jawab dong, Man. Apa Tayuya menyetujui permintaanmu? Maksudku, dia mau membantumu kan?"
Membantu? Yang benar saja. Tayuya mau mengikuti rencananya karena iming-iming uang, bisa dibilang itu bukan murni bantuan. Tapi alih-alih mendebat, Kiba hanya mengangguk. "Aku punya firasat buruk."
Rasanya gumaman barusan cukup keras hingga membuat Naruto menghentikan acara makan ramennya demi menatap ekspresi Kiba. "Kalau begitu tidak usah dilanjutkan saja, akan lebih bagus kalau kau tidak membuang 25 ribu Yen-mu hanya untuk si jalang Tayuya."
"Tidak, tidak. Ini kesempatan bagus Bung." Sasuke tampak begitu bersemangat mengungkapkan kalimatnya, rasanya dia yang begitu antusias untuk membalas dendam pada Gaara ketimbang Kiba sendiri. "Andai aku tidak terlanjur terikat dengan Sakura, aku pasti sudah berusaha mendekati Ino."
Well, Kiba tahu jika Sasuke juga pernah mengalami insiden tak menyenangkan dengan Gaara. Sewaktu kelas satu Gaara pernah mengencani Matsuri, yang waktu itu adalah pacar Sasuke. Dan sepertinya, dendam itu belum juga menghilang hingga hari ini. "Aku sudah bicara dengan Tayuya, rasanya tidak bisa dibatalkan lagi." Ia mengerjap, mengamati lawan bicaranya yang masih setia mendengar kelanjutan kalimatnya. "Jadi rencana selanjutnya apa?"
Sasuke menghela napas, nyaris mengungkapkan ide brilian yang berhamburan di otaknya tapi urung ketika tatapannya menangkap sosok Gaara yang tengah mendekat ke arah Ino dan Sakura. "Hubungi Tayuya, kita akan mulai rencananya malam ini." Senyumnya terkembang sempurna, sebuah goresan kepuasan yang terasa begitu dekat dan nyata. "Oke, aku harus pergi."
Kiba tidak heran ketika bocah Uchiha itu mendadak meninggalkan kentang gorengnya demi mendekat ke arah Sakura. Anak itu pasti takut jika pacarnya diembat lagi oleh Sabakuno. Ia nyaris tertawa, dan mendadak merasa Sasuke itu lumayan munafik, coba lihat sikap biasanya di hadapan Gaara. Seolah tak pernah ada masalah apapun diantara mereka. Sialan Sasuke.
.
.
Kiba berusaha menahan napasnya ketika menyaksikan Tayuya mendekati Gaara di bagian luar kafe. Ia tidak tahu dengan pasti apa yang akan dilakukan gadis itu, dan alasan kenapa Gaara mau menemuinya disana. Tapi yang jelas, dari pesan yang dikirim Sasuke barusan, dia bersama Sakura dan Ino sedang berada di dalam kafe.
Demi Tuhan, Kiba mulai jengah berdiri di dekat pohon ginko besar dengan topi untuk aksi penyamarannya, sementara para nyamuk mulai berpesta mengerubunginya. Ah sialan, perlu berapa lama lagi ia harus berada di tempat menyedihkan ini.
Tayuya dan Gaara tengah melakukan percakapan, namun ia tak bisa mendengar apapun dari jarak yang cukup jauh itu, maka ia berusaha menyipitkan mata agar bisa melihat dengan lebih jelas. Gaara pasti tahu reputasi buruk Tayuya, tapi mau-maunya menemui gadis itu sementara dia itu sudah memiliki Ino. Dasar bajingan. Kalau dipikir-pikir lagi, mungkin Karin menyesal telah meninggalkannya dan memilih Gaara. Tapi itu bukan urusannya lagi, ia tidak akan peduli jika Karin mungkin akan menghubunginya dalam waktu dekat.
'Dengar, Tayuya sudah ada disini. Dia berada di kafe bagian luar bersama Gaara. Kuharap kau cepat melakukan sesuatu.' Kiba mengirim pesan itu pada Sasuke, dan mengerling arlojinya yang kini nyaris menunjuk pukul 9 malam.
Malam ini ia dan Sasuke sengaja tak melibatkan Naruto dalam rencana, karena anak itu tak berhenti ketakutan jika rencananya tak berhasil dan malah membuat mereka celaka. Ayolah, kalau pun rencana ini tidak berhasil Kiba mungkin hanya kehilangan 25 ribu Yen dan selama Tayuya tidak membocorkan rahasianya semua akan tetap aman terkendali.
Ponselnya berdenting dan pesan pendek Sasuke masuk.
'Oke.'
Inuzuka menelan ludah, menggaruk pergelangan tangannya yang baru saja dihinggapi nyamuk sembari tak sabar menanti rencana Sasuke selanjutnya. Beberap detik rasanya bertahun-tahun, dan berbagai bayangan tak menyenangkan mengenai Gaara di kepalanya membuatnya nyaris tak bisa menahan senyuman. Mungkin ini agak jahat, tapi Gaara harus merasakan apa yang pernah dirasakannya dulu, dicampakkan oleh orang yang disayangi. Kalau yang pernah dikatakan Sasuke itu benar, bahwa kehilangan Ino bagi Gaara bakal jadi sesuatu yang mengerikan maka ini akan menjadi awal yang bagus.
Suasana kafe masih seperti biasanya, tenang dan beberapa orang tertawa atau bahkan terlibat pernincangan serius dengan teman satu meja mereka. Namun, tepat pukul 9 malam lebih 5 menit, Kiba menyaksikan pemandangan lain dimana Tayuya yang menyadari kehadiran Ino langsung mendekat kearah Gaara. Gadis itu berusaha mencium bibirnya, dan keterusan hingga melumatnya. Inuzuka yakin jika Gaara berusaha menghindar, namun arah telunjuk Sasuke sudah terlanjur membimbing Ino menyaksikan semua kejadian itu.
Waw, seperti menyaksikan drama konyol favorit ibunya, Kiba merasa jantungnya berdetak kencang. Efek bahagia dan rasa ngeri bercampur aduk membuat perutnya mual. Mampus kau Gaara. Tanpa sadar dia tertawa pelan.
Ino berjalan cepat ke arah Gaara dengan emosi yang sepertinya tak mampu dibendung lagi. Tanpa kata, tangannya bergerak meraih segelas jus di meja dan menyiramkannya pada Gaara yang terkejut parah. Kelihatannya Yamanaka tak mengucapkan apapun sebelum berlari meninggalkan tempat itu. Sementara Gaara yang baru menyadari akibat fatal dari kejadian barusan berusaha mengejar tanpa peduli pada Tayuya yang tersenyum puas dengan hasilnya. Kejadian itu sempat menyita perhatian publik, dan bisik-bisik tak menyenangkan mulai terlontar dari beberapa orang.
Ketika insiden putusnya dengan Karin, Gaara jelas melihat langsung bagaimana pertengkarannya waktu itu. Saling melempar kata-kata kotor, lalu berujung pada kata putus yang menyakitkan. Dan sekarang Kiba lah yang berdiri di balik layar, menyaksikan bagaimana Ino mengatakan putus pada Gaara dengan air mata berderai, dan suara menyedihkan seorang gadis yang penuh emosi. Ia bisa merasakan luapan kekecewaan yang tengah meracuni pikiran Ino, karena ia pernah berada pada situasi yang sama. Kasihan sekali, tapi toh ini bagus buat Ino karena Gaara terlalu berengsek untuknya.
"Dengar, Ino. Dengarkan aku, ini tidak seperti--"
"Lepaskan tanganku. Lepaskan!" Ino menghentakkan tangannya, namun sia-sia karena pegangan kuat tangan Gaara. "Berani-beraninya kau melakukan ini padaku. Apa kau pikir aku ini cewek tolol yang mudah dibodohi?"
"Tidak, kumohon dengarkan aku. Tayuya, cewek itu menciumku dan aku--"
"Dan kau tidak bisa menolaknya? Berengsek kau Gaara." Tangisan Ino semakin menjadi, dia bahkan memukuli tangan Gaara yang tertaut erat di pergelangan tangannya. "Aku benci pada--"
Tangan kiri Sabakuno yang bebas berusaha meraih kepala Ino, dengan cepat mengarahkan bibirnya pada bibir terpoles lipgloss milik si gadis. Kiba berjengit menyaksikan adegan itu, dan tawanya nyaris lolos ketika Yamanaka berusaha melepaskan diri disertai tamparan menyakitkan pada pipi pemuda berambut merah itu.
"Ugh." Kiba mati-matian menahan tawanya agar tidak terdengar siapapun.
"Bajingan!" Tangan mungilnya serabutan menghapus air mata, dan disaat yang sama berlari meninggalkan tempat itu ketika merasa tangannya mulai terlepas.
"Ino tunggu!"
"Tetap berdiri disana!" Sakura berteriak. Entah sejak kapan dia berdiri tak jauh dari tempat Gaara, dengan Sasuke yang mematung menatap kejadiaan itu. Sakura memang tidak terlibat dalam rencana ini, dia tidak tahu apapun dan melihatnya ikut memperkeruh posisi Gaara membuat Kiba diam-diam berterima kasih pada gadis Haruno tersebut. "Jangan coba-coba dekati Ino lagi!"
Kaki Gaara yang nyaris melangkah berhenti kembali. Menghela napas kasar sembari berbalik ke sumber suara. "Dengar, yang kau lihat tidak seperti yang sebenarnya."
"Dasar berengsek! Harusnya aku melarang Ino berpacaran denganmu waktu itu. Ketika dia benar-benar jatuh padamu, kau malah srperti ini. Apa sih yang kau pikirkan? Merasa sok tampan? Atau berpikir Ino bakal takut kehilanganmu?" Sakura memutar bola matanya, tampak kesal sekali. "Yang benar saja. Bajingan tengik sepertimu rasanya perlu dihajar banyak orang."
"Aku tidak melakukannya--"
"Jangan beralibi." Si pinky itu berteriak. Untungnya mereka lumayan jauh dari posisi kafe jadi kemungkinan terdengar sampai kesana agak mustahil.
Sekarang saatnya memulai langkah berikutnya. Kiba berjalan pelan meninggalkan tempat itu, berusaha tak menimbulkan suara agar tak menarik perhatian, dan baru sedikit berlari ketika tak mendapati Ino di penglihatannya. Ah sial, kemana perginya gadis itu?
Malam ini cukup dingin, dan hembusan pelan angin membuatnya menggigil. Tepat ketika ia mengarahkan pandangan pada halte, ia melihat Ino memasuki bis biru yang hendak melaju. Tanpa berpikir dua kali Kiba berlari ke arah bis, membetulkan napasnya ketika memasuki pintu dan berjalan menaiki bis seolah-olah ia tidak memiliki rencana lain kecuali duduk tenang di bis untuk pulang.
Bukan hal bagus rasanya melihat Ino duduk di kursi paling belakang dengan tangan menutupi wajah. Gadis itu pasti sedang menangis, dan Kiba tidak tahu pasti apa yang harus dilakukannya untuk membuat gadis itu berhenti menangis. Sejenak, ia menarik napas, melepas topi dari kepala dan berjalan ke arah belakang-- mengabaikan tatapan beberapa orang yang penasaran melihatnya. Ketika ia duduk di samping Yamanaka, gadis itu bahkan tak sadar dengan kehadirannya, tetap sibuk menangis hingga napasnya tersengal.
Yeah, Kiba belum pernah menyaksikan seseorang menangis semenyedihkan ini, dan mendadak ia merasa jadi orang kejam. "Butuh ini?" Ia memberanikan diri bertanya sembari mengulurkan sapu tangan abu-abu ketika si gadis menyedot ingusnya.
Meski tangisnya belum sepenuhnya berhenti, Ino tetap mengangkat kepalanya untuk tahu siapa yang mengajaknya bicara, dan sedikit terkejut karena dia tahu jika Kiba satu angkatan dengannya di sekolah, meski mereka tidak berada dalam satu kelas. Ino nyaris menggeleng karena malu ketahuan menangis, tapi pada akhirnya dia menerima uluran sapu tangan itu dengan ucapan terima kasih pelan.
Sejujurnya Kiba tidak tahu apa yang harus dia lakukan atau bahkan dia katakan. Maka setengah perjalanan itu ia hanya diam mendengarkan isakan pelan Ino sembari berpikir mengenai sesuatu yang bisa dia katakan pada gadis itu. "Uhm, Yamanaka jika kau butuh bantuan. Maksudku, jika kau tidak berani pulang sendiri aku bisa mengantarkanmu." Kalimat itu berhasil terucap dengan lancar, namun ia tidak sejalan dengan jantungnya yang rasanya menjerit di dalam sana. Bukan berarti ia memiliki perasaan pada Ino, tapi kenyataan bahwa ini pertama kalinya mereka berbicara membuatnya kikuk mendadak. Dan kedengarannya kalimat itu terdengar konyol, bagaimana mungkin ia menawarkan diri mengantar gadis itu pulang sementara nyaris 2 tahun berada di satu angkatan tak pernah saling bicara.
Seolah tak paham dengan kalimat lawan bicaranya, gadis pirang itu hanya diam dan menatap Kiba. Bibirnya bergerak ingin bicara, namun selalu urung dan pada akhirnya memilih tetap diam sepanjang perjalanan.
Kiba mendapati nyaris pukul 10 malam ketika bis berhenti di halte dan Ino mulai berdiri dari kursinya. Gadis itu mengucapkan terima kasih sekali lagi, dan entah bagaimana Kiba mengikutinya keluar dari bis.
"Aku bisa pulang sendiri." Ucap Ino pelan, mereka benar-benar sudah turun sekarang, sementara bis biru itu kembali melaju meninggalkan keduanya yang saling berdiri kikuk di halte.
Dan, yeah memang seharusnya begitu kan? Pikir Kiba. Ia tidak ingin bersusah-susah mengantarkan si pirang itu karena kakinya sendiri juga nyeri luar biasa karena latihan sepak bola sepanjang pagi. Yang baru disadarinya ketika Ino telah berlalu bahwa ia perlu menempuh sekitar 4 KM untuk sampai rumahnya. "Ah sial, ini jauh sekali dari rumah. Harusnya aku berhenti di halte sebelumnya saja."
Mungkin malam ini rencanaya berjalan seperti seharusnya, tapi ada sesuatu yang terasa mengganjal di hatinya dan firasat aneh mendadak membuat jantungnya berdetak tak teratur. Namun, ketimbang memikirkan sesuatu yang membuatnya sedikit gelisah itu Kiba lebih memilih memutar langkah kakinya untuk mencari tumpangan pulang. Mungkin ia bisa bertemu taksi dan pulang dengan perasaan lega, alih-alih was-was tidak jelas.
Rasanya ia harus mengirim pesan pada Sasuke dan bertanya mengenai rencana selanjutnya. Meski ini mulai menjadi beban, Kiba tidak bisa berbohong jika sesuatu yang kecil di dalam hatinya terasa berpendar-pendar menyenangkan. Mungkin semacam perasaan memenangkan lotre. Entahlah, perasaannya campur aduk, dan ia tidak benar-benar tahu perasaan mana yang lebih dominan. Semuanya membentuk satu-kesatuan yang aneh.
TBC
Ada yg mau lanjut?
