Lost!
Fandom : Naruto
Story by : Yuuri Uchiha-Namikaze
Rate : T
Disclaimer:
Naruto punya Masashi Kishimoto
Summary:
Naruto yang kita kenal berkepribadian ceria dan selalu tersenyum walaupun semua orang menghinanya. Tetapi bagaimana kalau kepribadiannya berubah? Setting terlepas dari zaman ninja.
Warning:
OOCness, GAJEness, GARINGness!! Bagi yang tidak suka warning tersebut, TINGGALKAN PAGE INI DENGAN MENEKAN 'BACK'!!
have a nice read!^.^
o0o0o0o0o0o0o0o0o0o0o0o0o0
Duk! Sebuah batu ukuran sedang menghantam kepala seorang bocah pirang yang sedang duduk manis di ayunan. Kepalanya mengeluarkan cairan merah kental yang biasa disebut darah.
"Hahaha!! Rasain tuh!!"
"Dasar anak pembunuh!!"
"Kamu cuma bikin malu desa kami!!"
"Pergi dari sini!! Dasar bocah sial!"
Sang bocah tidak membalas, atau lebih tepatnya tidak bisa membalas hinaan, cacian dan perlakuan orang-orang terhadap dirinya. Dia hanya bisa terdiam. Dia ingin menangis, tapi itu akan membuatnya semakin dihina orang-orang. Semua warga desa, baik yang tua maupun yang masih bocah, membencinya karena dia adalah anak seorang pembunuh sadis nan kejam yang dikenal seluruh dunia, Namikaze Minato. Ayahnya dilahirkan di desa Konoha-tempat ia tinggal sekarang- dan dieksekusi di sana pula. Ibunya, Uzumaki Kushina, juga seorang pembunuh bayaran yang sangat terkenal di dunia hitam. Karena gagal menjalankan suatu misi dari atasannya, dia dibunuh dengan cara yang sadis, tubuhnya dipotong-potong menjadi beberapa bagian kecil dan dilemparkan ke laut untuk menjadi santapan ikan di sana. Tentu saja si bocah tidak tau tentang kejadian mengenaskan itu. Ia hanya bisa meratapi nasibnya yang tidak ia inginkan. Dia juga ingin mendapatkan keluarga yang hangat seperti anak-anak seumurannya. Setelah merasa hinaan yang dia dengar hari ini sudah cukup, ia kembali ke rumah peninggalan orangtuanya itu. Di perjalananpun tidak pernah seorangpun absent menghinanya. Tak lupa batu dan terkadang serpihan kaca menghampirinya, dan sudah bisa dipastikan hari ini ia pulang dengan berlumuran darah. Seperti hari-hari sebelumnya.
0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0-0
Naruto POV
Hari ini aku mendapatkan banyak luka disekujur tubuhku. Sakit memang, tapi jiwaku lebih sakit dibandingkan sakitnya raga ini. Aku selalu merasa ingin mati saja. Toh tidak akan ada yang menangisi kepergianku. Malah mereka senang kalau aku mati. Sesampai di rumah, air hangat mengalir di pipiku. Air mata. Ya, itu namanya. Kemudian aku tertawa miris. Haha… aneh sekali aku masih punya air mata. Bukankah setiap hari aku menangis? Air mataku ternyata banyak juga ya? Aneh.
Kemudian aku teringat dengan kata-kata ibuku untuk terakhir kalinya. Dia berkata 'hidup ini indah, nak. Mungkin sekarang kamu merasa tersiksa. Tapi suatu hari nanti, kamu pasti akan menemukan kebahagiaan.' Kalimat yang bagus memang diucapkan dari mulut seorang ibu. Tapi apakah kalimat itu pantas diucapkan oleh pembunuh bayaran kelas kakap? Tapi aku percaya dengan kata-kata ibu. Semoga saja kepercayaanku tidak sia-sia.
Sayangnya, seiring dengan waktu, aku semakin tidak percaya dengan kata-kata itu. Karena aku yang kurang sabarkah atau memang kebahagiaan enggan menghampiriku barang sedetik saja. Entahlah, aku tidak tau dan tidak ingin tau jawabannya. Di umurku yang ke-16 ini, tentu saja aku tidak mempercayai kata-kata basi itu. Sebagai gantinya ada perasaan aneh menghampiriku. Perasaan yang menyakitkan, sangat sakit. Tidak seperti biasanya. Dan anehnya lagi, aku tidak mau mati. Entah kenapa, padahal biasanya aku akan dengan senang hati memilih mati daripada hidup mengenaskan seperti ini. Aneh. Perasaan apa ini?
Dendam.
Ya. Mungkin itulah nama perasaan yang melingkupiku. Dendam kepada warga desa yang tak henti-hentinya menghinaku, mencaciku, melukaiku bahkan ada yang mencoba membunuhku. Sayang sampai sekarang tidak ada yang bisa membunuhku. Aku lumayan senang karena ternyata darah pembunuh sadis mengalir di tubuhku dan membuatku bisa bertahan hidup sampai sekarang. Rasa dendamku semakin hari semakin besar. Dan semakin hari semakin banyak pula korban yang kucabut nyawanya. Sudah tidak terhitung berapa kali aku memotong-motong bagian tubuh manusia yang aku bunuh. Entahlah. Mungkin lebih dari seratus?
Dan hebatnya lagi, aku tidak pernah tertangkap polisi karena mereka tidak menemukan bukti. Dasar polisi bodoh. Tolol kalian semua. Ternyata percuma saja kalian bersekolah tapi tidak bisa menangkapku yang tidak pernah menjejakkan kakiku di tempat yang bernama sekolah. Tidak ada yang mau memberiku ilmu. Mereka mengira kalau aku menjadi pintar, aku akan membunuh semua orang di muka bumi ini. Tapi biarpun begitu, tetap saja kalian tidak bisa menangkapku. Sungguh ironis bukan?
Hari ini agak melelahkan. Seperti biasanya, aku membunuh lagi dan tentu saja polisi-polisi dungu itu tidak bisa menangkapku karena aku sudah menghapus jejak hingga bersih. Tak akan ada petunjuk yang mengarah padaku sebagai tersangka. Mereka memang menduga kalau aku adalah pembunuhnya. Tapi, dasar bodoh. Mereka lebih fokus mencari-cari bukti dan tentu saja usaha mereka sia-sia. Coba mereka lebih mempercayai insting mereka. Mungkin sekarang aku sedang berada di lapangan eksekusi yang sama dengan ayahku dulu.
Hhhh… rutinitasku tidak pernah berubah. Ketika bangun tidur, aku mandi, memasak sarapan dan memakannya, kemudian keluar rumah sambil mendengarkan hinaan warga desa yang sudah biasa di telingaku, mencari target baru yang sekiranya lebih menantang karena aku sudah bosan hanya sekedar menusukkan pisau lipatku ke jantung mereka dan viola! Matilah mereka. Aku ingin bermain dulu dengan korbanku, mendengar teriakan histerisnya yang seperti musik di telingaku, menggoreskan pisau kesayanganku ke tubuhnya yang menyebabkan darah mengalir di sekujur tubuhnya, kemudian kalau aku sudah bosan, kutusukkan pisauku ke organ paling pentingnya, memotong-motong bagian tubuhnya dan membereskannya. Menghilangkan jejak, membuat alibi kuat dan selesai sudah. Kebanyakan korban yang kubunuh adalah pria. Mungkin ini tidak penting, tapi aku malas membunuh perempuan yang lemah itu. Membosankan. Tidak menantang. Hampir tidak ada perlawanan yang berarti dari mereka. Dan karena itulah yang tersisa di desa ini hanyalah para lansia, perempuan, para bocah dan beberapa laki-laki lemah. Membosankan sekali.
Karena bosan dengan lingkunganku yang sangat menyebalkan, kadang aku mampir ke desa Suna yang jaraknya tidak jauh dari sini. Dan tentu saja aku membunuh banyak orang di sana. Desa Suna memang lebih menantang ketimbang desa Konoha. Perempuannya pun juga banyak yang kekuatannya setara dengan laki-laki dari Konoha, jadi aku tidak perlu susah-susah mencari target yang lebih menantang. Sehari aku bisa membunuh maksimal 6 orang. Jarang aku hanya membunuh satu orang dalam sehari, kecuali kalau korbanku agak sedikit merepotkan. Seperti seminggu yang lalu sebelum aku memindahkan targetku ke Suna. Nama korbanku waktu itu adalah Uchiha Itachi. Pemuda kaya dari direktur perusahaan Uchiha Corp. Jujur saja, dia tampan, kuat, pintar dan kaya yang sukses membuat para wanita mabuk kepayang. Tapi aku tidak peduli dengan ciri-cirinya yang pertama dan yang terakhir tadi kusebutkan. Yang kuincar adalah kekuatan dan kepintarannya yang membuat aku senang. Memang mengurusnya sedikit merepotkan, tapi toh dia mati juga. Lelah sekali 'bermain' dengannya, membuatku malas untuk mencari mangsa lagi. Dan tentu saja aku harus membereskan semuanya sampai bersih.
Suna benar-benar menyenangkan! Banyak mangsa yang aku bunuh di sana. Tentu saja aku ke sana menggunakan kendaraan pribadi. Kalau aku sampai ketahuan pernah berada di sana, para polisi dari Suna pasti langsung mencurigaiku. Yah, walaupun mereka tentu tidak menemukan bukti kuat, tapi aku tidak mau kalau sampai ada alibiku yang tidak kuat. Bisa-bisa mereka akan memperketat pengawasan mereka padaku dan habislah sudah. Pembunuhan otomatis berhenti dan kecurigaan mereka padaku semakin bertambah. Sayangnya aku sudah mengantisipasinya, kejadian itu tidak akan pernah menimpaku. Tentunya kalau aku tidak ceroboh.
Aku menjatuhkan tubuhku ke kasurku yang empuk. Di kamarku tidak ada yang istimewa. Hanya ada kasur berukuran king size, lemari pakaian dan rak buku. Walaupun aku tidak sekolah, sedikitnya aku bisa membaca dan aku banyak belajar dari buku yang sangat banyak di kamarku. Biasa saja bukan? Tentu saja kamu akan beranggapan seperti itu. Tapi, coba kamu lihat lebih ke dalam. Di dinding-dinding kamarku terdapat beberapa tombol. Jika aku menekan tombol itu, maka akan muncul alat pendeteksi sidik jari serta kornea mata agar tidak ada yang bisa mengaksesnya selain aku. Setelah selesai acara pendektisian, akan muncul sebuah ruangan rahasia. Udara sangat dingin di dalam sana. Ruangan itu kubuat khusus untuk menyimpan senjata-senjata pembunuhku yang kebanyakan adalah benda-benda tajam. Ada beberapa pistol yang sangat jarang aku gunakan untuk membunuh mangsa. Tentunya dengan alasan tidak menantang sama sekali kalau memakai pistol. Tinggal menarik pelatuk, habis sudah. Kapan aku bisa bermainnya? Tapi benda itu ada gunanya untuk mempertahankan diri dari serangan mendadak.
Hidupku… mungkin bisa dibilang membosankan. Terserah sajalah. Toh aku masih menikmati masa-masa ketika aku membunuh mangsaku. Aku tidak pernah menganggap mangsaku sebagai manusia. Aku lebih suka menganggap mereka tidak lebih dari seekor binatang, seperti mereka menganggapku dulu.
Aku memejamkan mataku, mencoba untuk pergi ke alam mimpi. Sialnya aku tidak bisa. Tiba-tiba bel pintu rumahku berbunyi. Dengan malas aku pergi ke sana. Sedikit perasaan aneh berkecamuk. Siapa yang mau mengunjungi rumah seorang pembunuh? Yah walaupun tidak ketahuan bahwa akulah pembunuhnya. Tapi tetap saja tidak ada alasan untuk mengunjungiku.
Ketika kubuka pintu, tampak seorang lelaki tua berdiri di depan pintu. Aku tersenyum, senyum palsu. Tanpa bicara dia menyodorkanku sebuah surat. Aku menerimanya dengan perasaan bingung. Tapi kucoba mengendalikan emosi wajahku. Tanpa aba-aba, lelaki itu pergi meninggalkanku yang kebingungan. Kututup pintu sampai terdengar dentuman keras. Otomatis pintu rumahku terkunci. Aku membuka surat itu dengan merobek amplopnya kemudian membacanya. Ternyata isinya adalah tawaran menjadi pembunuh bayaran dari Organisasi bernama Akatsuki. Cih! Sampai kapan mereka terus mengajakku. Padahal aku selalu menolak ajakan mereka. Aku tidak suka diperintah. Aku membunuh untuk bersenang-senang! Bukan untuk mencari uang. Apalagi kebanyakan target mereka adalah para pengusaha yang sama sekali tidak menarik minatku untuk membunuhnya. Mereka lemah, walaupun mereka pintar. Tapi tetap saja aku tidak tertarik.
Aku merobek surat itu, mengambil korek api dan membakarnya, kemudian membuangnya ke luar. Sebenarnya aku malas melakukan itu, tapi aku harus karena kalau sampai ada orang yang melihat surat itu, habislah sudah. Mungkin bisa saja aku membunuhnya, hanya saja aku malas kalau aku harus menguber-nguber orang lain. Jadi lebih mudah kalau aku membakar suratnya saja.
Aku menuju ruang senjataku. Sesekali kubersihkan dan kuasah pisauku sampai menjadi sangat tajam. Aku terseyum. Puas dengan hasil kerjaanku. Kuletakkan pisauku kembali ke tempatnya semula. Kemudian aku membuka brankas yang berisi banyak uang, mengambil beberapa lembar, kemudian pergi meninggalkan ruangan itu. Darimana aku mendapatkan uang? Uang yang ada di brankas itu adalah warisan orangtuaku. Selama lebih dari 16 tahun aku menggunakan uang itu dan sampai sekarang jumlah uang itu masih bisa dibilang banyak. Walaupun begitu, aku juga mendapatkan uang dari hasil membunuhku. Kalau kebetulan yang kubunuh adalah orang kaya berdompet tebal, setelah kubunuh uangnya kuambil. Tapi tetap saja pada dasarnya aku membunuh bukan karena uang, melainkan untuk bersenang-senang.
Bosan. Kalau aku masih bosan, aku membaca buku sampai aku tertidur. Menunggu hari esok. Sambil mengumpulkan tenaga untuk membunuh lagi.
XxxXxxXxxXxxXxxXxxX
Hari yang baru datang. Aku terbangun di pagi buta, membaca sebentar kemudian mandi, memasak lalu memakan sarapanku. Hari ini aku akan pergi ke Suna lagi. Semua senjata sudah kusiapkan. Dari rumah aku memakai softlens berwarna merah dan wig berwarna merah darah. Tidak lupa aku menutup tiga garis tanda di setiap pipiku. Sekarang penampilanku berubah. Tidak akan ada yang mengira bahwa aku adalah Namikaze Naruto, seorang anak dari pembunuh tersadis sepanjang masa.
Setelah persiapan selesai, aku masuk ke dalam mobil sportku yang berwarna orange-hitam. Segera aku menancap gas, melaju dengan kecepatan tinggi. Beruntung jalanan masih sepi, aku bisa melaju semauku. Tidak sampai 15 menit, aku sudah sampai di perbatasan desa Suna. Senang rasanya mengingat hari ini aku akan membunuh lagi.
Aku berkeliling desa sambil melihat orang-orang yang lalu-lalang. Lebih tepatnya aku sedang mencari mangsa. Kemudian mataku terhenti pada seseorang berambut merah darah dan bermata hijau emerald, Sabaku no Gaara. Kulihat dia cukup menantang untuk dibunuh. Kulangkahkan kakiku mengikutinya. Sejak beberapa lama, akhirnya dia tiba di rumahnya. Kudengar dia tinggal seorang diri. Mangsa yang mudah untuk dibunuh. Ketika aku melangkahkan kakiku menuju rumahnya, tiba-tiba ada orang yang menghalangiku. Cih! Mengganggu saja!
"Mau apa kau?" tanyaku kepada orang yang berada di depanku. Rambutnya berwarna orange dan memiliki model rambut yang hampir sama denganku. Matanya yang berwarna orange menatap tajam padaku. Kemudian dia tersenyum, senyum licik. Kenapa dengan orang ini? Apa dia minta dibunuh olehku?
"Namikaze Naruto, bisa ikut denganku sebentar?" tanyanya kemudian. Aku kaget. Dia mengenaliku! Padahal aku sudah menggunakan penyamaran dengan sempurna. Tidak mungkin ada orang lain yang mengenaliku. Apakah penyamaranku terbongkar?
"Maaf. Kau salah orang." Kataku sambil berusaha bersifat tenang. Bisa gawat kalau identitas asliku ketahuan.
"Tentu saja aku tidak salah. Aku sudah tau banyak hal tentangmu, Namikaze-san. Saya mohon anda ikut saya sebentar." Katanya dengan percaya diri. Sial! Apa yang harus aku lakukan? Apa aku bunuh saja orang ini?
"Maaf. Tapi saya sama sekali tidak mengerti apa yang anda bicarakan." Kataku lagi dengan sikap seperti orang yang sedang kebingungan. Tentu saja dengan sedikit bumbu 'kepolosan' di dalamnya. Seperti orang yang tidak tau apa-apa.
"Huh! Memang susah mengajak orang sepertimu baik-baik." Desisnya. "Begini, Namikaze-san. Apakah anda mendapatkan surat dari organisasi Akatsuki?" tanyanya dan tentu saja sangat sukses membuatku terkejut. Walaupun wajahku juga menyiratkan expresi terkejut, tapi tetap saja tidak seperti keterkejutanku yang sebenarnya. Melihat tingkahku, dia tersenyum sinis. "Aku adalah orang dari organisasi tersebut. Tentu saja kami tau banyak tentangmu, Namikaze-san. Atau boleh aku memanggil dengan Naruto?" lanjutnya lagi.
"Cih! Baiklah. Sepertinya rahasiaku selama ini sudah terbongkar. Jadi, apa ancamanmu?" kataku sinis. Sepertinya dia ini tipe orang yang harus kubunuh sekarang juga.
"Tenanglah. Aku ke sini bukan untuk mengancammu. Aku bermaksud untuk mengajakmu bekerja sama." Jawabnya sambil tersenyum keji. Sepertinya aku kalah dengannya hari ini.
"Bukankah sudah kukatakan bahwa aku tidak mau bergabung dengan kelompok kalian." Kataku sambil berusaha mengontrol emosi wajahku. Tentu saja batinku penuh dengan emosi.
"Kami menyerah mengajakmu bergabung, tapi kami tetap membutuhkan keahlianmu itu. Tentunya keahlian membunuh yang sangat cerdas itu." Katanya lagi. Sial! Lama-lama aku tidak tahan ingin membunuhnya.
"Langsung saja katakan apa maumu." Kataku. Kali ini aku sudah bisa mengendalikan emosiku yang sedari tadi meluap-luap.
"Tidak enak berbicara di sini. Lebih baik kita pindah ke tempat lain, Naruto-sama." Katanya sambil berjalan meninggalkan tempat tadi. Mau tidak mau aku harus mengikutinya.
Setelah lumayan lama berjalan, akhirnya kami sampai di sebuah restoran yang bisa dibilang mewah. Akat (sebutanku untuknya karena aku belum tau namanya) langsung masuk dan berbicara sebentar dengan salah satu pelayan. Sebenarnya aku bisa mendengar percakapan mereka. Tapi aku tidak tertarik untuk mencuri dengar. Setelah selesai berbicara denga si pelayan, Akat mengajakku untuk pergi ke lantai atas menggunakan lift. Dia menekan tombol bertulisan angka 25. Lantai paling atas kurasa.
Begitu pintu lift terbuka, kami keluar dan pemandangan pertama kali aku lihat adalah Merah. Ya, dinding ruangan itu semuanya dicat dengan berwarna merah. Tak hanya itu, semua barang-barang di sana juga berwarna merah. Kemudian aku melihat beberapa orang duduk di sana. Mereka mengenakan kemeja merah dan celana jins berwarna hitam. Cukup sederhana. Lalu aku diberi tanda oleh Akat agar aku mengambil tempat duduk yang berhadapan dengannya.
"Pertama-tama saya perkenalkan diri saya terlebih dahulu. Nama saya Pain Rikudou, ketua dari organisasi Akatsuki." Kata Pain dengan sangat formal menurutku. Aku langsung yakin bahwa itu bukan nama yang sebenarnya. "Saya mengundang anda ke sini karena ada yang perlu saya bicarakan dengan anda." Lanjutnya masih dengan kalimat formal. Aku memutar bola mataku. Tentu saja dia mengajakku ke sini untuk membahas sesuatu.
"Langsung saja! Apa yang mau kau bicarakan denganku?" kataku dengan sinis. Aku sudah muak bersabar seperti ini. Aku juga muak padanya karena telah membuatku melepaskan mangsaku dengan paksa. Sial!
"Terlebih dahulu kami ingin tau, mengapa anda selalu menolak ajak kami untuk bergabung dengan organisasi ini?" tanya seseorang berambut biru yang duduk di sebelah Pain.
"Jawabannya adalah karena aku tidak mau diperintah." Jawabku dengan tenang dan dingin.
"Kami tidak memerintah anda-mungkin iya, tapi bukankah akan menguntungkan juga untuk anda? Anda akan mendapatkan bayaran yang besar dan tidak perlu repot-repot mencari korban lain kan?" kata Pain.
"Aku tidak menginginkan uang kalian. Kurasa tidak masalah kalau aku mencari korban dengan mataku sendiri. Lagipula kalian hanya akan menyuruhku untuk membunuh para pengusaha yang lemah itu. Jujur saja, aku tidak tertarik." Jawabku dingin. Rasanya aku ingin segera pergi dari sini. Secepatnya.
"Hhhhh… sepertinya anda sedikit salah paham. Memang kami membunuh para pengusaha yang mengganggu berjalannya perusahaan kami. Tapi kalau mereka sangat mudah dibunuh, untuk apa kami sampai harus berkali-kali menghubungi anda agar bergabung dengan kami? Tentu saja calon korban sangat sulit untuk dibunuh oleh orang-orang kami. Untuk itu kami menghubungi anda agar anda dapat membantu kami." Kata Pain. Benar juga apa yang dikatakannya. Untuk apa mereka menghubungiku berkali-kali kalau korbannya sangat mudah dibunuh? Mereka tentu saja bisa mencari pembunuh lain yang bersedia membantu mereka daripada mengajakku.
"Apakah si 'calon korban' sangat sulit dibunuh?" tanyaku. Sepertinya aku mulai tertarik dengan tawaran mereka ini.
"Harus berapa kali saya mengatakannya, Naruto-sama." Jawab Pain sambil menghela napas.
"Hmmm… mungkin aku mulai tertarik dengan tawaran kalian. Boleh aku tau siapa korbanku?" tanyaku diiringi dengan napas lega dari mereka semua. Kemudian Pain mengeluarkan beberapa lembar kertas dari lacinya. Setelah sudah berpindah ke tanganku, aku langsung membacanya. Nama korbanku selanjutnya adalah Uchiha Sasuke. Hmm.. sepertinya aku pernah berurusan dengan keluarga Uchiha. Kulihat fotonya, memang agak mirip dengan Itachi Uchiha yang kubunuh beberapa waktu lalu. Kupikir mereka memiliki ikatan keluarga yang cukup dekat. Semoga Uchiha tidak mengecewakanku.
"Terserah kau membunuhnya kapan. Tetapi kusarankan sebaiknya kamu menyusup ke perusahaan itu, atau lebih tepatnya mendekatinya. Bodyguard-nya agak menyusahkan. Dan juga tugasmu bukan hanya membunuhnya." Katanya. Yah, sepertinya sekarang aku sudah resmi menjadi bawahannya sehingga dia mulai memerintahku seenaknya. Dan lagi aku harus menyusup untuk bisa membunuhnya dan melaksanakan 'tugas' yang lain. "Cari dokumen rahasia perusahaannya."lanjutnya lagi.
"Kenapa? Bukankah kalau dia sudah mati habis perkara?" tanyaku.
"Bisa saja dia mewariskan perusahaannya itu pada seseorang .Dan jika benar, sama saja bohong kalau hanya membunuhnya tapi perusahaan itu tidak hancur." Jawab Pain tenang.
"Baiklah. Aku terima tugas ini. Dan pastikan kau sudah menyiapkan semuanya agar aku menyusup dengan sedikit lebih mudah." Kataku, sedikit memerintah sang leader.
"Tentu semuanya sudah disiapkan, Naruto-sama. Kami akan menjemput anda besok untuk memulai tugas anda." Kata Pain. Aku bisa menangkap ada nada senang dan lega didalamnya.
"Baiklah. Terserah kau."
-
Tbc
Gimana kesannya?? Gaje?(jelas!) Garing?(banget!!) OOC?(ya iyalah!!). tentu banyak kekurangan di penpik ini dan saya menyadari sesuatu bahwa...BIKIN ONESHOT ITU AMAT SANGAT SUSSAH!! padahal maunya buat oneshot, tapi jadinya malah multichapter. hiks..hiks..T,T
bagi yang mau review, silahkan. bagi yang mau nge-flame, boleh aja. tapi ada syaratnya! harus disertai alasan logis dan saran yang membantu.
akhir kata: ARIGATOU, MINNA-SAAAAAAAAAAANN!!!
