Eyeshield 21 belongs to Riichirou Inagaki & Yuusuke Murata

Fanfic ini sama sekali tidak diperuntukkan untuk mencari keuntungan komersil.

Warning (s): ShinWaka/Romance-Friendship genre/It's appropiate for teenager/use 3rd POV/abal/absolutely OOC/Typo(s)/and contains many absurd things!

.

.

Carnadeite Present,

AnEyeshield 21 Multichapter FanFic that dedicated for Eyeshield 21 Fanfiction

Indonesian Awards:

Heart Expression

.

"His Way"

[Bagaimanapun juga, dia tetap seorang Shin Seijuro]

Don't like? Don't read, 'key?

.

Chapter 1

.

Matahari sudah tumbang. Langit kini sudah mulai gelap, namun beberapa garis jingga masih terlihat menghiasinya. Langit kini terlihat kosong dengan tidak adanya kapas putih yang menyelimutinya. Maklum, siang tadi awan-awan itu telah menjatuhkan muatannya. Yang tersisa dari hujan tadi siang hanyalah beberapa genangan air yang bisa terlihat di sepanjang jalan. Suhu kota juga semakin rendah, tapi tidak terlalu dingin. Sebagian orang yang berlalu lalang di pusat kota kebanyakan memakai pakaian merah yang dilapisi jaket. Beberapa lainnya masih menggunakan topi dengan lambang kelelawar. Orang-orang itu tampaknya baru saja menonton sesuatu. Namun, ada yang mencolok dari jalanan kota Deimon ini; biru diantara merah.

Seorang lelaki kini tengah berlari menerobos trotoar yang sesak. Beberapa orang mengeluh tertahan saat lelaki berjaket biru itu tak sengaja menyenggol pundak mereka. Tapi lelaki itu tampak dingin-dingin saja. Keringat tampak berjatuhan dari pelipisnya. Namun matanya tetap menyiratkan ketegasan dan ekspresi datar tetap terukir di wajahnya yang basah oleh keringat itu. Jaket biru mudanya itu bergerak selaras dengan gerakan joging yang dilakukan oleh empunya.

Tap tap tap

Suara langkah kakinya itu menambah hiruk pikuk jalanan kota Deimon. Tidak peduli sepatu putihnya kotor tak berbentuk karena terciprat genangan air, Shin Seijuro tetap melangkah membelah jalanan kota Deimon. Ada sesuatu yang mengganjal pikirannya.

Shin yang kebetulan melewati sebuah toko kecil memutuskan untuk berhenti sejenak. Ia hendak membeli sebotol air mineral di toko kecil yang bersebelahan dengan toko elektronik dan butik itu. Setelah memberikan uang kepada penjaga toko, Shin duduk di sebuah bangku di depan toko kecil itu. Ia menenggak air mineral itu dengan pelan seakan-akan air itu sangat berharga dan memang, ya. Air mineral itu sangat berharga bagi seorang Shin Seijuro yang telah melakukan joging sejak tadi sore. Beberapa wanita yang melewati toko kecil itu saling sikut-menyikut saat mata mereka menangkap bayangan Sang Linebacker Oujou itu. Gadis mana sih yang tidak mendadak genit saat melihat seorang lelaki tampan nan kekar yang tengah meminum botol air mineral dengan keringat yang bercucuran dari pelipis dan lehernya? Cekikikan dan tatapan tertarik kemudian mulai ditujukan kepada Shin. Namun, Shin tidak peduli. Ia lebih memilih mengisi kerongkongannya dengan air mineral.

Setelah membuang botol minumannya ke tempat sampah, Shin melakukan peregangan—di pinggir jalan, yang membuat tatapan-tatapan tertarik yang dialamatkan kepadanya tadi berubah menjadi tatapan heran. Tubuhnya terasa sangat lelah. Tapi ada sesuatu yang menyuruhnya untuk tetap berlari setelah peregangan. Ia harus berlatih.

Deg

Rasa tak nyaman itu datang lagi. Perasaan-yang-Shin-tidak-tahu-namanya-itu kembali memenuhi dadanya. Shin menggelengkan kepalanya pelan, berusaha mengusir rasa tak nyaman itu dari dadanya. Ia mengalihkan perhatiannya ke arah jalanan. Berharap pengalihan suasana bisa membuatnya melupakan sesuatu yang membuat dadanya sesak itu.

Kota ini tetap ramai, pikir Shin, berusaha mengindahkan rasa aneh yang menjalar di dadanya itu. Yap, dan Shin berhasil, sesuai dengan hal yang diinginkannya. Namun Shin memang benar. Kota ini tetap ramai walaupun tadi siang hujan deras turun menghujam tanahnya. Lampu-lampu jalan kini mulai dinyalakan, membuat genangan air di jalanan maupun trotoar kota memantulkan sinarnya. Dilihatnya banyak orang yang berkumpul di depan etalase toko elektronik dengan ekspresi datar. Kontras dengan orang-orang yang berkerumun dengan tatapan ingin tahu. Rupanya seluruh televisi di Kota Deimon—entah bagaimana caranya—sedang berbarengan menayangkan video lelaki berambut pirang dengan senjata api yang tersampir di bahunya. Tangannya yang satu lagi tengah menggenggam sebuah buku hitam dengan tulisan 'akuma techou' di sampulnya. Namun Shin tidak terlalu memerdulikannya. Seluruh konsentrasi lelaki itu tertuju pada gerakan peregangan yang sedang ia lakukan.

Lelaki itu kini menyeringai, "KE KE KE KE, Deimon Devil Bats baru saja merebut kemenangan dari salah satu tim terkuat di Kanto! KE KE KE KE KE, awas saja kalau ada yang meremehkan kami lagi!" Sebuah suara cempreng kini terdengar menggelegar di seluruh penjuru kota Deimon. Shin yang merasa kenal dengan suara itu kemudian menatap televisi yang dipajang di etalase dan benar saja, itu Hiruma Youichi. Orang yang beberapa waktu lalu bertarung dengannya di lapangan. Setelah mengambil jeda, lelaki setengah iblis itu melempar-lempar buku ancamannya ke atas dan ke bawah sambil berkata, "kalian tahu kan akibatnya kalau tidak datang mendukung kami di final Turnamen Kanto?"

Helaan nafas pun memenuhi langit-langit kota Deimon. Sementara itu, Shin sudah tidak terlihat di kerumunan itu. Kakinya sudah melangkah ke tempat yang sedari tadi ia tuju.

.

.

Helaan nafas juga terdengar dari sebuah bangunan sekolah yang lebih mirip seperti katedral. Sebenarnya sekolah ini sudah hampir kosong, namun masih saja ada beberapa orang yang bersikukuh untuk tinggal di sekolah ini. Mereka adalah orang-orang dari team amefuto. Namun, suasana tidak ramai seperti biasanya, di ruangan itu hanya terdengar suara helaan nafas dan helaan nafas dan ... helaan nafas.

Ada atmosfir berat yang melingkupi ruangan itu.

Buk,

"Maaf." Sebuah suara kini terdengar dari ruangan itu. Well, keheningan selama dua jam itu berakhir juga. Dari ruangan yang cukup gelap itu rupanya ada dua lelaki yang masih tersisa. Lelaki yang pertama adalah lelaki berkacamata yang kini tengah mengambil sebuah buku yang terjatuh dari lokernya, dan yang kedua adalah lelaki dengan tubuh besar yang sedang duduk membelakangi yang satunya.

Hening, tidak ada suara lain selain helaan nafas.

Lelaki yang memakai kacamata itu hanya bisa menatap sampul buku yang tadi terjatuh. Itupun ia pandang dengan lirih. Wajahnya terlihat murung. Hey, semua orang bahkan bisa mengetahui kalau ia sedang galau walaupun kedua cermin kembarnya ditutupi oleh kacamata. Tapi mungkin sekarang Takami Ichiro juga tidak memerdulikan pendapat orang lain. Ia hanya menghela nafas.

Otawara Makoto juga sepertinya tidak akan memerdulikan pendapat orang lain soal penampilannya. Hey, wajah konyol yang biasa ia tampakkan itu kini hilang entah kemana. Matanya menerawang kosong, rambutnya berantakan dan ... dia tidak memerosotkan celananya seperti biasa. Namun, sedetik kemudian dia tersenyum tipis dan melirik temannya.

"BA HA HA HA HA, Takami, apa yang sedang kita lakukan di sini?" tanyanya dengan nada yang aneh. Terdengar ceria dan Otawara banget, tapi terasa pahit.

Yang ditanya hanya bisa mengangkat bahunya sambil menghela nafas, "Aku kan mengajakmu mengambil beberapa benda."

"BA HA HA HA! Berapa banyak benda yang mau kau ambil, sih? Sudah malam, nih," sahut Otawara sambil mengupil. Rupanya ia sudah kembali ke sifat aslinya. Hal itu sedikit membuat Takami senang. Daritadi Takami sudah memanggil Otawara, namun lelaki yang hobinya kentut di muka umum itu sedang 'zoning out'. Jadilah Takami hanya menghabiskan waktunya dengan membaca buku. Itupun sambil sesekali melirik Otawara, siapa tahu dia sudah selesai melamun. Kini, melihat senyuman—cengiran—sahabatnya kembali, Takami bisa sedikit bersyukur. Lelaki bertubuh tinggi itu lebih menyukai sahabatnya yang tersenyum lebar daripada sahabatnya yang merenung tidak karuan.

"Ah, baiklah ... kita pulang saja kalau begitu, aku sedikit lelah," sahut Takami sambil mengangkat tas selempangnya. Bohong. Sebenarnya lelaki itu berbohong. Dia sebenarnya kelelahan. Ya tentu saja dia lelah. Bagaimanapun juga, bertanding selama satu jam di lapangan yang sedang diguyur hujan itu bisa membuat hari siapapun menjadi lelah. Berbeda dengan Takami, Otawara sebenarnya sangat kelelahan. Namun, dia merasa kelelahan itu biasa saja. Karena sikap positifnya itulah Otawara tidak ambruk di tengah jalan.

Otawara kemudian mengangguk sambil mengikuti langkah Takami. Setelah mematikan lampu dan mengunci pintu ruangan klub, sosok-sosok berkaus putih-biru itu melangkahkan kakinya pulang. Dari lorong sekolah itupun kini bisa terdengar suara langkah kaki dan obrolan kedua lelaki itu.

Tap tap tap

Takami menyipitkan matanya sambil menengok ke belakang. "Kau dengar itu?" tanya Takami. Ia mendengar suara langkah lain selain langkah mereka. Tapi saat melihat ke belakang, ia hanya bisa melihat lorong gelap yang baru saja dilewatinya bersama Otawara.

"—makanan di sana sangat—eh, apa?" Otawara menatap Takami heran. Bukankah tadi mereka sedang membicarakan rasa makanan kedai langganan Oujou? Kenapa Takami membicarakan pendengaran? Apa jangan-jangan Takami tahu sesuatu yang buruk mengenai kedai itu? Apa jangan-jangan kedai itu ditutup? Pemiliknya ditangkap? Dipenjara? Dan kedainya tidak akan dibuka lagi? Otawara tidak mengerti apa yang dibicarakan oleh Takami. Untungnya Takami tidak tega melihat otak sahabatnya dipakai untuk memikirkan masalah sepele seperti itu. Maka, ia memutuskan untuk menghentikan pikiran aneh Otawara yang—menurutnya—pasti sudah melebar kemana-mana. Lagipula, itu mungkin penjaga sekolah yang tengah memeriksa gedung.

"Tidak, ayo pergi sebelum kedai itu tutup." Takami menepuk pundak sahabatnya yang sepertinya masih bingung. Otawara hanya bisa mematung sambil mengupil.

Takami kemudian tersenyum sambil melangkahkan kakinya, "Kau bilang kekalahan dari Deimon harus dirayakan dengan makan-makan. Kau mau merayakannya atau tidak?"

Dalam sedetik, kabel di otak Otawara yang tadinya terputus kini mulai tersambung. Rupanya kata 'makan-makan' dan 'perayaan'lah yang membuat konslet di otaknya berhenti.

.

.

Tepat.

Dugaan Shin Seijuro tepat seratus persen; gerbang sekolahnya belum dikunci. Dengan wajah datar, ia masuk ke dalam area sekolahnya itu. Dari luar, lampu bangunan klasik itu tidak ada yang dihidupkan. Tentu saja karena proses kegiatan belajar-mengajar telah usai. Namun kedatangan Shin kesini juga bukan untuk belajar, jadi Shin melangkahkan kakinya ke dalam ruangan gim Oujou. Malam memang sudah merangkak naik, tetapi Shin tahu, ruangan gim tidak dikunci. Tidak ada yang memberitahunya, tetapi ia bisa merasakannya. Sudah terlalu menyatu dengan gim, eh? Entahlah, Shin sendiri tidak terlalu memikirkannya. Ia sedang sibuk mencari saklar lampu. Maklum, ruangan tersebut ditinggalkan dalam keadaan gelap, mungkin hanya diterangi sinar bulan yang menelusup dari jendela.

Tangan Shin meraba tembok, menyentuh dan merasakan tektur tembok yang halus sekaligus dingin. Matanya memang bisa melihat dalam gelap, namun terbatas. Tapi setidaknya ingatan Shin tentang tata letak ruangan klubnya masih bisa menuntunnya untuk menemukan saklar lampu. Lelaki yang menjadi ace di Oujou itu terus berjalan sampai di suatu sudut yang ia yakini sebagai tempat saklar itu berada. Jemarinya meraba dinding dan indra perabanya menyentuh sesuatu. Itu memang saklarnya. Tanpa pikir panjang, ia tekan saklar itu dan sebuah percikan api—yang sangat kecil—muncul dari saklar itu. Kedua cermin kembarnya hanya membulat sebentar kemudian tampak datar lagi. Shin menghela nafas dan melepas jaket birunya sehingga nampaklah badan bagian atasnya yang atletis.

"Baiklah," gumam Shin. Ia kemudian mengambil sikap push-up.

Shin kembali berlatih, itulah tujuannya. Ia akan latihan disini. Di gim ini. Saat ini juga. Saat dimana ia sendirian di gedung sekolahnya tanpa cahaya lampu selain dari cahaya alami yang meneranginya—tentu saja karena saklar itu rusak bahkan sebelum bola lampu di tengah ruangan menyala.

.

.

Jam menunjukkan pukul sebelas malam. Setidaknya itu angka yang dilihat Shin tanpa bantuan cahaya. Sudah beberapa jam ia berlatih, entah itu push-up, sit-up, mengangkat barbel, ataupun joging—lagi. Empu dari trident tackle itu kini sudah bermandikan peluh. Tubuh kekarnya kini ia sandarkan ke dinding ruangan. Ia sudah lelah. Sudah cukup lelah. Entah itu karena latihan ekstrim yang ia lakukan sejak pertandingan melawan Deimon selesai. Atau karena ia lelah akan sesuatu yang mengendap di hatinya itu.

Tidak! Batin Shin memberontak hipotesa itu. Tidak ada sesuatu-yang-mengendap di hatinya. Ia masih sehat-sehat saja. Ia seharusnya masih sehat-sehat saja. Kembali, ia hiraukan rasa sesak yang memenuhi dadanya itu. Sambil mengatur nafasnya yang masih memburu, Shin mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan.

Tepat saat dia—samar-samar—melihat foto anggota tim amefuto-nya yang ada di dinding, rasa sesak datang lagi. Boleh jadi malah lebih sesak dari sebelumnya karena bisa membuat seorang Shin Seijuro tersengal. Kembali, Shin berusaha mengatur nafasnya. Untuk beberapa saat dadanya naik-turun secara konstan. Hembusan nafas dan detak jantungnya menjadi duet yang terdengar di gim itu. Pelan-pelan Shin memejamkan matanya. Ia sudah memakai kembali jaket biru dan sarung tangan favoritnya. Ia sudah siap untuk memutuskan kontak dengan dunia luar.

.

.

Berada di tengah lapang, Shin Seijuro kini bersalaman dengan rivalnya, Kobayakawa Sena. Setelah berikrar akan menantang Sena di Christmast Bowl tahun depan, dia melepas genggaman tangannya dan berjalan menuju bench. Namun Shin tidak bisa menemukan Takami Ichiro. Ia mengedarkan pandangannya.

Stadion masih dipenuhi oleh orang-orang yang tengah bersorak bahagia. Tentu saja yang bahagia adalah kubu penggemar Deimon Devil Bats. Merah nampak bergelora, biru nampak tidak percaya. Papan skor menunjukkan kemenangan bagi tim yang dikomandoi oleh Hiruma Youichi itu. Yang artinya menunjukkan kekalahan bagi Shin dan kawan-kawannya. Mata Shin bahkan sempat menangkap ekspresi muram dari pelatihnya—yang kemudian berganti saat Doburoku menghampirinya. Sakuraba juga hanya bisa menunduk—begitu pula dengan mantan manajernya. Telinga Shin juga bisa mendengar isakan dari Otawara. Dan sesaat kemudian Shin ingat kalau ini adalah tahun terakhir bagi Takami dan Otawara.

Dan ...

Itu berarti ...

Karena ia tidak mampu menghentikan Sena ...

Ia—secara tidak langsung—menghentikan mimpi seluruh anggota tim-nya untuk bertanding di final.

.

.

"Shin-san?"

Dengan satu sentakan, Shin terbangun dari tidurnya. Awalnya matanya perih untuk dibuka karena silau akan cahaya mentari. Namun, lambat-laun, Shin bisa menyesuaikan diri. Masih dengan wajah-tanpa-ekspresinya, ia mengerjapkan matanya. Perlahan, kesadarannya pun kembali. Termasuk kesadaran kalau manajer tim amefuto-nya tengah duduk di sebelahnya.

Shin melirik gadis itu. Tentu saja dengan tatapan datar yang terkesan dingin—yang ia sendiri tak sadari. Gadis yang bernama Wakana Koharu itu hanya bisa menunduk saat Shin meliriknya. Membuat poni ratanya sukses menyembunyikan wajahnya yang sedikit memerah. "Kenapa kau di sini?" tanya Shin irit, tidak berniat basa-basi.

"Err ... sudah waktunya aku membereskan ruangan klub," jawabnya dengan suara pelan sambil memberanikan diri menatap wajah Shin. Yang ditatap hanya memalingkan wajahnya untuk melihat ke arah jendela. Cahaya mentari memang sudah membungkus kota. Bahkan beberapa garis sinarnya iseng menyelinap melalui jendela, membuat mata Shin silau. Lelaki itu menatap pemandangan di luar ruangan. Namun pikirannya tersedot ke mimpi yang baru ia alami. Mimpi tadi itu mirip benar dengan kejadian kemarin, pikir Shin.

Melihat Shin yang diam saja, Wakana bingung. Di satu sisi ia merasa bersalah karena membangunkan Sang linebacker. Namun di satu sisi lagi ia merasa sudah biasa dengan tanggapan seperti itu—walaupun ia seringkali berharap lebih.

"Hn," gumam Shin tidak jelas setelah jeda beberapa saat. Ia kemudian berdiri dan mengambil tas selempangnya. Hendak pergi. Namun, saat ia melirik Wakana, gadis itu tengah menatapnya dengan tatapan yang membuat rasa tak nyaman kembali memenuhi dadanya. Itu tatapan yang sama dengan yang ditunjukkan anggota timnya kemarin. Namun entah kenapa, Shin tidak bisa menerjemahkan tatapan itu dengan baik. Yang ia tahu, tatapan itu membuat dadanya terganggu. Terganggu oleh rasa sesak. Shin meletakkan telapak tangannya di bagian dadanya yang terasa tidak enak.

"Manajer, hari ini kau ada waktu?"

To be Continue—