Kuroko no Basuke by Fujimaki Tadatoshi

Story by Mel

DLDR

Cerita ini diilhami dari dari banyak kisah sebelumnya, maaf bila banyak kesamaan - mohon tidak di-flame :)

Please enjoy

Chapter 1 : That person

Angin bulan Desember begitu dingin, seakan menusuk sampai ke tulang, salju turun setipis gerimis, butiran putih ringan beterbangan melayang-layang berputar tertiup angin yang berhembus kencang. Para mahasiswa yang belajar di kampus itu harus memakai pakaian ekstra hangat, sarung tangan serta syal, topi atau hoodie bertengger dibanyak kepala.

Uap dari masing-masing hidung yang bernafas itu mengepul, membentuk awan tipis. Sementara jejak-jejak kaki tertoreh pada lapisan putih, seolah memecah lapisan salju di sepanjang jalan kecil yang menghubungkan gedung-gedung di University of Tokyo, salah satu universitas terbesar dan ternama di kota itu bahkan seantero Jepang.

Hari ini perkuliahan sudah selesai, dua matakuliah tentang ekonomi makro dan investment, dengan dua orang dosen yang titel profesor, cukup menyita perhatian para mahasiswa yang ber IQ di atas rata-rata. Mereka membayangkan perekonomian dunia yang saat ini gonjang ganjing, tentang nilai saham yang naik turun tidak stabil, atau sebuah negara di Asia yang bisa menjadi kiblat perekonomian saat ini dengan produksi barang-barag yang berteknologi tinggi yang dilempar ke pasaran dengan harga yang dibandrol murah. Mungkin bisa menjadi salah satu bahan tugas akhir nanti.

Hari masih sore tapi langit berwarna suram, dua orang mahasiswa menenteng tas punggung mereka, seorang membawa buku dengan subyek tentang invesment yang tebal. Mendekapnya didada, berharap mengurangi hembusan angin yang menerpa tubuh.

"Hei Akashi, jadi 'kan kau traktir aku minum" suaranya sedikit dikeraskan agar tidak terbawa angin yang mulai berputar. Sudutnya matanya menangkap anggukan dari lelaki di sebelahnya. Mereka berjalan menuju area parkir yang lumayan jauh. Sambil terkadang menunduk menghindari angin yang menerbangkan salju, menuju sebuah kendaraan roda empat berwarna hitam, keluaran terbaru. Salju mulai menumpuk pada atap dan kap mobil, sedikit menyembunyikan warna aslinya.

Sang empunya mengibaskan tangannya yang tertutup sarung tangan kulit berwarna kecoklatan pada kaca depan yang ditutup salju tipis, sebelum membuka sarung tangan untuk menempelkan sidik jarinya pada handel pintu. Seketika bunyi klik tertangkap telinga pertanda kunci telah dibuka. Mobil dinyalakan, pemuda bersurai merah itu, memencet tombol di sebelah kanan untuk menggerakan wiper pada kaca depan, juga menyalakan heater agar salju yang menempel pada kaca mencair, tidak berapa lama kaca menjadi bening.

Satu orang memegang kemudi dan seorang lagi duduk menyaman diri di kursi sebelahnya. Deru halus yang dikeluarkan mengantar mereka menuju sebuah destinasi.

Sebuah kafe menjadi tujuan mereka. Suasana hangat dan tenang menjadi ciri khas kafe ini, bertemakan semi tradisional, dengan kayu-kayu yang melapisi dinding divernis natural, menampikan kualitas tinggi lembaran kayu yang dipasang, beberapa kipas kertas bertuliskan kanji ditempel di dinding. Dari flafon bercat putih menggantung lampu-lampu khas Jepang, terbuat dari bilah-bilah kayu berwarna coklat tua, dengan lapisan kertas tebal berwarna putih, gambar sebaran daun bambu kecil yang halus tercetak pada kertas putih. Lampu TL putih sedikit kemerahan terpancar dari lampu-lampu yang mengantung di atas setiap meja. Cahaya yang mengantarkan kehangatan pada ruangan yang ditata apik ini.

Saat kedua lelaki itu melewati pintu memasuki ruangan, sebuah genta hijau yang menggantung pada plafon rendah berdenting nyaring, jernih tertangkap gendang telinga, selembar kertas berbentuk persegi panjang yang diikat pada bandulnya bergoyang-goyang membuat bandul berayun membentur dinding dalam genta.

Kafe ini tempat yang biasa mereka kunjungi, pemiliknya merupakan salah satu kenalan mereka, segera seorang waiter menyambut keduanya.

"Selamat datang Akashi-san, Nijimura-san" katanya dengan sopan seraya setengah membungkukkan tubuhnya yang sedikit gempal. Diperutnya sehelai apron berwarna abu-abu tua melilit, tali kecil diikatkan dipunggungnya membentuk sebuah simpul pita.

Akashi yang disebut hanya mengangguk, sedangkan Nijimura tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Mereka memilih duduk di sudut yang bersisian dengan jendela yang mengarah ke jalan. Kaca jendela lebar disamping mengembun membuat pemandangan di luar sana memburam, hanya menunjukan bentuk siluet benda-benda yang ada.

"Aku mau sushi dan sake seperti biasa" ujar Nijimura pada sang waiter, kembali Akashi mengangguk menyetujui pesanan rekannya.

Tak lama kemudian sake dihidangkan dalam dua botol porselen berwarna putih polos berlekuk pada bagian lehernya, lengkap dengan cangkir mungil tanpa gagang terhidang dalam baki kayu berwarna kecoklatan. Terhidang pula kacang edamame yang tampaknya masih mengepulkan asap tertangkup dalam mangkuk keramik berwarna putih senada botol sake. Sebuah piring dari melamin berwarna merah melengkapi untuk menampung kulit kacang yang isinya telah disantap. Kacang itu dimasak dengan cara direbus dan sedikit ditaburi garam untuk menambah rasa gurih.

Dengan punggung tegak Nijimura menuangkan cairan beralkohol itu pada dua buah cangkir yang tersedia.

"Otanjoubi omedetou, Akashi" cangkir mungil itu diangkat mengajak yang sedang berulang tahun bersulang. Seulas senyum menghias wajah aristokrat di depan Nijimura. Cangkir putih berisi cairan fermentasi beras itu pun diangkat dengan kedua tangan, tiga pasang jarinya bertemu, cangkir mengudara sejajar hidung mancungnya. Sejurus kemudian bibir cangkir bertemu dengan bibir masing-masing, meneguk likuid campuran pahit manis dengan aroma yang sangat khas. Rasa hangat merambat mulai dari ujung lidah, tenggorokan, batang lehernya dan terus turun menuju lambung.

"Sake di sini memang yang terbaik!" puji Nijimura, sambil memandangi isi cangkir yang tandas menyisakan tetes terakhir, menilai layaknya seorang juri pada acara lomba kuliner. Dan kembali meraih botol mungil itu untuk menuangkannya lagi.

Hari ini adalah tepat Akashi Seijurou berusia 20, usia yang dapat dikatakan dewasa.

"Ne…Akashi aku berdoa untukmu, panjang umur, happy, sukses, dan… tidak jomblo lagi" dilanjutkan dengan kekehan. Akashi hanya mendengus sebal untuk perkataan yang terakhir. Tangannya mengibas angin.

"Aku tentu sukses, Shuuzou" sahut Akashi,

"Aku bos di perusahaan keluargaku yang paling besar di Jepang, IPK ku sempurna" empat jari terangkat. Atau seluruh matakuliah yang ia tempuh bernilai A semua. Sempurna. Nijimura Shuuzou mengangguk-angguk setuju.

"Berarti tinggal yang jomblonya, apa aku jadikan kau pacarku saja ya" goda Nijimura setengah serius. Iris berwarna rubi berotasi, bibirnya menekuk, dan bahunya menggedik, pernyataan sebal level tinggi. Yang hanya dibalas dengan derai tawa.

"Kurang apa aku ini Sei? Tinggi, tampan, mapan, kaya, pintar, coba kurang apa lagi Sei? Sorot mata beriris sepekat jelaga itu menatap lurus.

"Kurang…ajar" suara Akashi lirih namun masih sampai ke gendang telinga yang sebagian tertutup sebagian surai senada pupil matanya. Seakan jawaban yang sangat lucu, Nijimura memajukan bibir seksinya lalu kembali terbahak. Akashi meraup beberapa edamame, mengupas dan memakan kacang serupa kedelai itu, rasanya gurih dan empuk.

"Hey, enak saja mengatai orang" bersamaan dengan itu hidangan sushi dalam dua piring melamin hitam dihantarkan. Kudapan langsung mereka santap. Sushi yang dihidangkan dengan kuah asin pada mangkuk mungil yang juga berwarna hitam dan wasabi pada mangkuk mungil lainnya tandas hanya dalam hitungan menit. Sepertinya hawa dingin tadi telah membuat keduanya kelaparan. Akashi memilih sushi yang berbalut telur ikan berwarna oranye, sama sekali tidak ada lembaran nori dalam gulungan nasi itu.

"Masih belum kenyang, Shuuzou?" pertanyaan Akashi dijawab dengan anggukan, dan lambaian tangan pada sang waiter, memesan sushi lagi dengan rasa yang berbeda.

Dari jendela tampak di luar sana lebih terang, salju sudah reda. Beberapa kendaraan melaju walau tidak kencang. Trotoar yang mengapit jalanan sudah mulai ditapaki orang. Pada jam-jam seperti ini biasanya orang-orang yang bekerja di kantor mulai menapaki jalan pulang, begitu pula para pelajar telah selesai berkutat dengan pelajaran.

Nampak dari kaca yang sedikit buram segerombolan anak sekolah di trotoar seberang sana, berseragam hitam-hitam, menarik atensi Akashi, mengingatkan dia akan masa sekolah menengah atasnya di Kyoto. Para remaja itu tampak gembira terlihat dari gerakan mereka yang saling tertawa kepala yang terkadang menoleh ke belakang, lalu tertawa. Walaupun tampak sedikit blur, mata Akashi bisa melihat tinggi mereka tidak sama, bahkan ada yang tinggi besar dengan surai merah, sedikit di depan remaja itu ada sosok bersurai biru muda bertubuh mungil, diantara mereka ada yang berurai coklat, hitam, berkaca mata….tunggu. Tunggu! Biru muda! Seketika mata Akashi membulat. Wajahnya mengeras.

"Akashi, kau kenapa?" seru Nijimura hampir tersedak, selembar nori menempel di tenggorokan, diputarnya leher mengikuti direksi sepasang mata rubi. Akashi berdiri melangkahkan kakinya setengah berlari keluar kafe, tepat saat itu sebuah bis berhenti, sekelompok anak-anak SMA itu pun menaikinya, bersamaan dengan Akashi yang sampai di tepi trotoar, bis melaju, membawa mereka menjauh, kakinya masih berlari sampai akhirnya bis berbelok di persimpangan jalan.

"Tetsuya…"

- TBC –