It's Only My Secret – New School

Len Kagamine berbaring di atas kasur lipatnya—futon. Dia sedang mempelajari secarik kertas lusuh berwarna putih. Kertas itu menggambarkan sebuah denah peta dari rumahnya menuju sebuah rumah besar. Alisnya terangkat ke atas dan matanya membaca sebuah pesan tulisan di dalam kertas tersebut: kalau kamu ingin mengetaui wasiat ayahmu, kamu harus datang ke rumah ini.

Len menguap, tangannya menutup mulutnya yang tengah terbuka lebar. Tangan itu kemudian mengusap-usap matanya. Dia melipat kertas denah tersebut dan meletakkannya di sebelah bantalnya. Dia melipat tangannya ke belakang kepalanya, menjadikannya bantal untuk kepalanya. Aku akan melakukan apa saya demi ayah! gumamnya bertekad dalam hatinya.

.

Keesokan paginya, Len yang berambut pirang berjalan mendekati sebuah rumah besar. Kepalanya menoleh-noleh ke sekitar. Len kemudian berhenti di depan pintu gerbang rumah besar bertingkat. Dia memasukan tangan kanannya ke dalam saku celana pendek kanvasnya. Dari dalam saku itu ia mengeluarkan selembar kertas peta yang ia pelajari kemarin malam. Gambaran tangan pada petanya tidak begitu jelas, seperti memang digambar oleh orang yang amatiran dalam seni. Tapi, kalau dilihat dari gambar itu, rumah di depannya inilah yang dimaksud oleh gambar. Matanya menilik-nilik rumah tesebut, menjelajah dan mempelajari sekitar. Lehernya menjulur ke depan, membuat kepalanya mendekati jeruji besi pagar yang menjulang tinggi. Kakinya melangkah mendekati pagar besi tersebut. "Hmm… mungkin rumah ini yang dimaksud tuan rambut terong itu," gumamnya sambil membanding-bandingkan peta dengan rumah di depannya.

"Anda pasti Len Kagamine bukan?" seorang pelayan laki-laki datang menghampirinya. Pelayan itu berdiri di depannya, di belakang gerbang jeruji besi hitam besar nan tinggi yang memisahkan mereka.

Kakinya spontan melangkah mundur, badannya dan kepalanya mengayun ke belakang. "Whoa! I-iya… darimana kamu muncul?" pekik Len. Matanya membulat ketika ia melihat pelayan itu menunjukkan jika dirinya muncul dari balik semak-semak yang membatasi jalan berbata—jalan yang menuntun ke rumah utama, dengan rerumputan. Len mengernyitkan dahinya lalu mengangkat satu alisnya. Dia tidak pernah memberitahukan namanya kepada laki-laki itu. Rasa curiga dan perasaan yang sedikit terusik mulai muncul dalam dirinya. "Darimana kamu mengetahui namaku?"

Lelaki itu tampak sigap, matanya tajam tapi tatapannya sedingin es. Senyum tak tampak dari bibir tipisnya. Alisnya tegap lurus kokoh. "Tuan muda sudah menceritakan semuanya tentang anda," jawab pelayan itu. Pelayan itu kemudian mengangkat tangan kanannya kemudian menjentikkan jarinya. Gerbang besar pun bergeser ke samping dengan sendirinya.

Alis Len terangkat sebelah. Dia diam dan membungkam mulutnya. Matanya terbelalak, pupilnya mengikuti gerbang yang bergeser. Tubuhnya tak bergeming sama sekali, hanya rahangnya yang jatuh ke bawah membuka mulutnya lebar-lebar. Ha-hah? Len hanya bisa terkejut dan tidak bisa bicara apa-apa dengan segala keanehan yang ada di depan matanya. Len mempelajari wajah dan penampilan pelayan misterius tersebut. Pakaiannya yang mirip dengan mendiang ayahnya membuatnya mengingat sosok ayahnya. Sesaat, sosok ayahnya muncul di sebelah pelayan tersebut dengan. Ayahnya tersenyum tipis kepada Len. Ia terperangah, matanya lalu memerjap dan ilusi ayahnya kemudian menghilang. Melihat ilusi tersebut rasa sesak muncul dalam dirinya. Kematian ayahnya belum lama, tentu saja rasa sakit akibat ditinggal orang yang paling dicintai Len masih sangat melekat dan membekas dalam hatinya.

Lelaki itu membungkuk kemudian bangkit kembali, tangannya mengayun melewati pinggangnya, mempersilahkan Len masuk. "Silahkan masuk Tuan, mari ikut dengan saya untuk menemui tuan muda." Dia kemudian berbalik dan melangkahkan kakinya ke dalam halaman depan rumah. Lelaki itu berjalan di atas jalan berbata.

Len menganyunkan badannya ke depan, menyigapkan badannya. Len mengikuti pelayan berambut biru-hijau. Pelayan itu lebih tinggi darinya, dia juga terlihat lebih maskulin dan jauh lebih tampan. Wajah Len masih seperti anak-anak dan juga seperti perempuan, mungkin karena usianya yang masih lima belas tahun. Ia merasa seperti kacang di antara berlian, perbandingan yang jauh. Len mengikutinya masuk ke dalam rumah besar tersebut.

Pelayan membuka pintu besar berlapis emas. Ganggang pintu itu berkilau-kilau bagai dilapis emas puluhan karat, kilauannya menyilaukan mata Len. Mungki saja, ganggang pintu itu memang berbahan emas, siapa tahu? Len sendiri belum pernah melihat emas secara langsung.

Dari balik pintu tersebut terdapat sebuah ruangan yang sangat mewah. Karpet merah terbentang dari depan pintu hingga menuju tangga. Di anak tangga tersebut juga terbentang karpet merah di tengah-tengahnya. Kayu yang di cat emas memoles pagar pembatas tangga yang melingkar melengkung mengikuti arah dan bentuk anak tangga. Meskipun berwarna emas, serat-serat kayu masih terlihat jelas di pagar-pagar tangga.

Para pelayan dengan seragam yang sama menyambut Len di depan pintu. Mereka berdiri berjajar di antara sisi-sisi karpet merah dan membungkkan badan secara bersamaan. "Selamat datang di Kamui Mansion."

Mata Len membulat, pupil matanya sedikit mengecil dan rahangnya jatuh membuka mulutnya. Lehernya menjulur ke belakang, satu kakinya melangkah ke belakang.

Seorang pria dengan pakaian mewah berjalan menuruni anak tangga, langkahnya cepat. Atau mungkin karena Len sedang terkesima dengan rumah tersebut sehingga ia tidak sadar lelaki itu telah berdiri di hadapannya. Tapi lelaki itu mendorong jubahnya ke belakang layaknya super hero.

Mata Len terbelalak. Tubuhnya mengayun ke depan, mulutnya semakin menganga dengan mata yang kian melebar juga. Ia pernah melihat pria asing itu di toko swalayan, dua hari setelah kematian ayahnya dan juga saat pemakaman ayahnya. Tapi penampilan yang dulu dilihatnya dengan yang sekarang sedikit berbeda, meskipun sama-sama terlihat mewah. Dulu lelaki itu hanya dibalut jas hitam, dengan berbagai hiasan yang menempel di bajunya. Mungkin hiasan itu bertanda pangkat atau semacamnya, pikir Len. Len juga melihat lelaki itu hadir dalam pemakaman ayahnya. Len tiba-tiba teringat kejadian saat pemakaman ayahnya. Dia melihat laki-laki berpakaian mewah itu dan juga pelayan berambut biru-hijau tersebut.

Laki-laki itu bertubuh tinggi, rambutnya panjang berwarna ungu terong. Laki-laki itu menggunakan baju dengan model kuno. Mungkin dia orang yang suka dengan budaya abad pertengahan, tapi bajunya sangat mewah, baju bangsawan abad pertengahan. Tapi laki-laki itu aneh, dia menggunakan kacamata hitam, topi kerucut, dan juga kumis palsu. Len mengernyitkan dahinya dan mengangkat satu alisnya.

Suara Dor! menyambar, memecah keheningan, keheranan di kepala Len. Laki-laki aneh itu menembakkan confetti kearah Len. "Selamat datang Len Kagamine!" teriak lelaki aneh itu.

Pelayan di sebelah Len menundukkan kepalanya kepada lelaki tersebut. "Saya telah membawa tuan Kagamine, saya permisi," ucap pelayan itu. Dia mengangkat kepalanya lagi.

Bulir keringat mengalir dari kepala Len. Dia merasa ada yang tidak beres dengan kejadian ini dan mengambil langkah mundur sambil matanya menilik-nilik melirik pelayan dan pria aneh.

Mata lelaki itu tertuju pada Len. "Ha!" pekik laki-laki itu, dia mengambil tangan Len, dan menarik Len kearahnya.

Len berteriak tapi lelaki itu kemudian menutup Len dan juga dirinya dengan jubah, mereka pun menghilang dari ruangan itu. Para pelayan yang berjaga hanya diam saja dan bersikap seperti tidak terjadi apa-apa.

.

Len terbaring di sofa merah. Sofanya itu begitu nyaman, tidak seperti bangku keras di sekolahnya. Bahkan dia tidak belum pernah duduk di sofa meskipun itu di rumahnya sendiri. Rumahnya hanyalah rumah tipe kecil yang sangat sederhana. Bayangan akan rumahnya menghilang bersamaan dengan kedua matanya yang mulai terbuka. Dia mengedipkan matanya berkali-kali, berusaha memfokuskan pandangannya yang buyar menatap langit-langit ruangan yang terlihat indah dengan ukiran-ukiran burung angsa. Matanya menatap lemat-lemat dan mempelajari ukiran burung angsa tersebut. Setelah mengedipkan matanya berkali-kali, ia terkejut dengan ukiran yang dilihatnya. "A-aku dimana?! Kenapa aku tiba-tiba duduk disofa ini?!" Len bangkit dari tidurnya dan berdiri dari sofa itu, kakinya mengangkang dan tangannya membentang sedikit melebar. Kepalanya menoleh-noleh dengan cepat mempelajari ke sekitar ruangan.

Di depan sofa itu ada sebuah meja kerja yang terbuat dari kayu jati kokoh yang dipoles dengan pernis coklat tua. Pinggiran meja itu diukir dengan ukiran melingkar. Di belakangnya terdapat kursi putar dengan model campuran modern dan klasik, terlihat ukiran sulur yang halus di punggung kursi. Kursi itu berputar, ternyata laki-laki misterius itu duduk di kursi tersebut. Dia tidak berpenampilan konyol lagi, hanya saja dia masih memegang kumis palsunya. "Tenang dulu nak," ucap lelaki misterius itu. Wajahnya serius, tidak konyol seperti yang tadi Len lihat.

Alis-alis Len terangkat, matanya melebar. "Ah! Ka-kamu laki-laki rambut terong yang aneh itu kan! Ada maksud apa kamu menyuruhku datang kesini?" tanya Len sambil menunjuk-nunjuk lelaki tersebut.

Lelaki itu menggerakkan tangannya ke atas-bawah. "Duduk dulu," pinta lelaki tersebut.

Len menoleh ke kursi tersebut dan Len pun duduk di sofa tadi. Jantung Len berdebar dengan kencang, dia sudah berfikir yang bukan-bukan. Bibir tipisnya bergetar tapi kemudian dia mengigit bibir bawahnya. Matanya menyipit dan kakinya terasa sedikit lebih dingin. Jangan-jangan om-om ini itu om-om yang doyan sama anak kecil… seperti yang ada diberita-berita… jangan-jangan dia mau menjualku! pikir Len. Alisnya terangkat lagi dan dia tersentak, dia menjulurkan kepalanya ke belakang. Pikirannya sudah kemana-mana.

Lelaki itu menutup matanya. Sebelah alisnya terangkat dan bergerak naik turun. Urat-urat seketika menonjol di keningnya. Satu ujung bibirnya terangkat menunjukkan gigi-giginya yang sedikit menggertak. Dia dengan pelan menepuk meja di depannya. "Jangan berfikir yang aneh-aneh, aku masih normal…" ucap lelaki itu.

Mulut Len langsung menganga ketika mendegar perkatannya. Pikir Len, lelaki itu bisa membaca pikirannya. Dia menutup mulutnya dengan kedua tangannya, lalu memegang keningnya dengan kedua tangannya

Lelaki itu semakin menggertakan giginya. "Cih, dasar imajinasi bocah ternyata mengerikan. Tenang, aku bukam om-om gay yang doyan sama anak kecil."

Len mengistirahatkan tangannya pada sofa. Dia menyipitkan matanya menatapnya. "Terus kamu sukanya sama gay yang seumuran…?" tanya Len sambil memicingkan matanya.

Lelaki aneh itu langsung membulatkan matanya dan mulutnya juga menganga. "Ya tidak! Aku laki-laki normal!" teriak lelaki aneh itu. Dia memegang kepalanya, kemudian meremas-remasnya. Uratnya semakin menonjol dan wajahnya mulai memerah, mulai menghitam. "Aaah sudah! Kenapa pembicaraannya jadi seperti ini?" pekik lelaki aneh itu sambil mengerenyitkan alisnya.

Laki-laki itu kemudian melemaskan urat-uratnya yang menonjol, kemudian mengistirahatkan tangannya pada meja dan saling bertautan. Matanya melembut sambil tertutup menyentak. Dia mengambil nafas panjang-panjang dan mengeluarkannya perlahan. Matanya dengan cepat terbuka, ekspresinya dingin dan tajam, keintelektualan terpancar dari mata indahnya. Intelektual yang mengalahkan otak biasa Len. Intelektual yang mampu mengahasilkan jutaan lembar uang dalam satu kali jentikan jari. Dan kini mata itu mempelajari Len. "Ada yang ingin aku beritahu padamu," lanjutnya. Suasana ruangan itu langsung berubah menjadi dingin, dan keringat kembali mengucur di punggung Len melewati garis tulang punggungnya. "Namaku Kamui Gakupo, dan aku adalah majikan dari ayahmu, Rinto Kagamine," ucap Gakupo yang langsung berterus terang kepada Len.

Alisnya menyentak, mulutnya terbuka lebar, tapi bergerak terbata-bata. "A-apa? Majikan? Memangnya ayahku kerja apa? Pelayan? Setauku dia seorang pegawai. Kalau dia berangkat juga pakaiannya selalu rapih," tanya Len. Tapi pakaian ayah sama seperti pelayan itu. Len mengerenyitkan alisnya, dia sedikit tidak terima ketika Gakupo mengaku sebagai majikan ayahnya. Rasanya seperti ada yang menginjak-injak harga dirinya dan juga ayahnya.

Tapi kalau diingat-ingat lagi, pakaian yang dipakai ayahnya memang mirip dengan pakaian yang digunakan oleh pelayan berambut hijau-biru yang ia temui di gerbang tadi.

"Dia adalah pelayan pribadiku, pelayan pribadi dari aku baru dilahirkan," jawab Gakupo.

Len pun terkejut melihat om-om yang di depannya itu benar majikan ayahnya. Dia masih sedikit tidak percaya dengan ucapan Gakupo. Len menatapnya lemat-lemat, mempelajari mimik wajahnya, takut jika lelaki itu telah berbohong untuk mengambil keuntungan dari Len. Tapi, wajah itu benar-benar serius. Meskipun timbul rasa sedikit percaya, sebagian dari dirinya terus menyangkal rasa percayanya.

Gakupo mengeluarkan beberapa lembar foto dirinya dari laci mejanya dan menunjukkan itu kepada Len.

Len berjalan mendekatinya agar ia bisa melihat foto itu dengan jelas. Matanya melebar melihat hasil foto yang jernih. Jantungnya sedikit berdebar lebih cepat ketika ia melihat sosok ayahnya berada dalam foto, ekspresinya telihat terlihat sama dalam semua foto.

Gakupo kemudian menceritakan semua cerita yang ada di dalam foto itu, foto Gakupo dengan ayah Len. Foto mereka saat berada di taman, di ruang makan, saat Gakupo masih bayi, saat dirinya baru bisa berjalan, dan saat dirinya duduk di kursi ruangan ini. Foto kursinya sangat mirip dengan kursi yang diduduki Gakupo saat ini. Bahkan ornamen lainnya tidak ada yang berbeda. Hanya saja wajah Gakupo tampak lebih muda dan kekanakan dengan rambut yang belum begitu panjang.

Timbul sedikit rasa iri dalam hati Len. Hatinya seperti ditekan dan dihantam ketika melihat ayahnya berada dalam foto dengan orang lain. Len bahkan tidak memiliki foto momen kebersamaan dengan ayahnya, hanya memori dalam otaknya yang menyimpan kenangan-kenangan itu. Itupun hanya sebagian yang dia ingat saat ini, karena sebagaian memori tersebut telah hilang tergantikan dengan yang lain. Dan kenangan dalam otaknya bisa saja hilang sewaktu-sewaktu karena berbagai alasan. Dia bahkan tidak ingat bagaimana ia pertama kali belajar berjalan dengan ayahnya, kapan ayahnya menggendongnya waktu bayi, kapan ayahnya menyupainya pertama kali. Ia hanya tahu dari cerita-cerita yang diceritakan ayahnya, tapi tidak mengingatnya. Dia merasa iri, Gakupo memiliki semua foto bersama ayahnya—Rinto, sementara Len tidak.

Yakin dengan wajah ayahnya yang ada di dalam foto. Len akhirnya percaya setelah mendengar ceritanya dan juga foto-foto ayahnya. Ayahnya tidak pernah menceritakan pekerjaannya, sekalipun Len bertanya ayahnya selalu menjawab kalau dia adalah seorang pegawai. Mungkin Rinto malu, atau tidak ingin membuat Len kecewa dan khawatir karena pekerjaan ayahnya hanya sebagai pelayan dari seorang tuan muda yang kaya raya. Tapi, apa yang dilaukan Rinto mungkin ada benarnya, meskipun kini Len berkata dalam hatinya, aku tidak masalah dengan pekerjaan ayah. Tapi kalimat itu keluar dari mulut Len karena Rinto sudah tidak ada di dunia ini. Keadaannya mungkin akan berbeda jika Len mengetahui pekerjaan Rinto ketika Rinto masih hidup.

Gakupo merapihkan foto-fotonya tapi meninggalkan satu foto.

Len menunjuk foto Gakupo yang mengenakan popok putih dan mengigit jari Rinto. Len mengambil foto itu dan memberikannya pada Gakupo. "Jadi berapa umur paman…?" tanya Len. Dia mulai mengira-ngira usia ayahnya dan memperkirakan usia Gakupo.

Gakupo melirikan matanya ke atas, melihat Len sambil mengangkat sebelah alisnya. "Umurku sembilan belas tahun, memangnya kenapa?" tanya Gakupo. Dia kembali memasukan foto-foto tersebut ke dalam laci mejanya.

Len menggaruk pipinya dengan telunjuknya dan mulutnya terbuka kebawah. "Kupikir tiga puluhan," jawab Len sambil sedikit mendengus.

Gakupo menyentakkan alisnya. "Hei! Aku tidak setua itu! lihatlah! Wajahku belum ada keriputnya! Dasar bocah!" teriak Gakupo sambil menunjuk-nunjuk area wajah yang bisa keriputan.

Len hanya diam ketika Gakupo mengatainya bocah. Dia tidak mau mencari gara-gara dengan majikan orang tuanya, dia harus menjaga nama ayahnya.

Melihat Len hanya diam, Gakupo menghela nafasnya kemudian ia kembali serius dan meluruskan pembicaraan ke topik sebelumnya. "Sebenarnya tuan Rinto adalah pelayan terbaik di rumah ini. Dia juga yang mengajari Mikuo banyak hal untuk menjadi pelayanku yang selanjutnya. Kamu tadi bertemu dengannya di gerbang kan? Nah nama dia adalah Mikuo," jelas Gakupo.

Len mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Tapi sayangnya umur Rinto-san tidak panjang. Orang bilang Tuhan memanggil orang-orang baik dengan cepat," lanjut Gakupo.

Len menundukkan kepalanya, alisnya melengkung ke bawah dan matanya menjadi sayu, turun ke bawah. Ujung-ujung bibirnya sedikit turun membentuk cemberut. Hatinya bagai dihantamkan besi mengingat kejadian yang tak lama ini baru saja menimpanya. Senyuman ayahnya muncul dalam bayangannya. Matanya membasah dan mulai merah, nafasnya terisak berusaha menahan air mata yang akan jatuh.

Ayah Len belum lama ini meninggal dunia. Rinto meninggal karena sakit, penyakit paru-paru basah. Itulah yang dokter jelaskan pada Len, mungkin penyakit lama ayahnya. Meskipun, Len tidak pernah melihat ayahnya kesakitan karena penyakitan, sesak nafas pun tidak pernah Len lihat.

Ayahnya terlalu ahli, ahli dalam menyembunyikan semuanya. Len bahkan tidak tahu pekerjaan ataupun latar belakang ayahnya. Ia hanya tahu kalau dia hanyalah ayah yang sebatang kara, tanpa keluarga ataupun teman. Dia tidak pernah bertemu dengan teman kerja ayahnya. Ayahnya juga pandai menyembunyikan ekspresinya. Ia hanya bisa melihat ayah yang selalu tersenyum lembut padanya, meskipun kadang mengisyaratkan kesedihan dalam senyuman itu. Hanya sekali, Len melihat ayahnya menangis karena uang bulanannya menipis. Itu terakhir kalinya Len melihat ayahnya menangis, tapi kejadiannya sudah lama sekali, mungkin saat Len masih di sekolah dasar. Meskipun sebesar apapun masalah yang mereka berdua hadapi ayahnya selalu menanggapinya dengan wajah dingin dan tenangnya. Ia belum pernah melihat ayahnya berteriak atau memarahinya. Ketika ayahnya marah pada Len, ayahnya hanya menasihati Len dan memberi Len tatapan dingin. Ketika ayahnya menatapnya dingin, Len tidak bisa apa-apa. Orang bilang, kalau orang sabar sedang marah itu seram, dan mungkin itulah ungkapan yang cocok untuk Rinto. Tapi setelah Len meminta maaf, dia kembali menjadi ayah lembut yang Len biasa lihat.

Len berusaha untuk tidak menitikkan air matanya ketika ia mengingat ayahnya yang baru saja dimakamkan seminggu yang lalu. Len sudah berjanji pada ayahnya kalau dia akan menjadi anak yang kuat. Di pemakaman ayahnya, Gakupo datang dan memberinya sebuah peta menuju rumahnya, Gakupo bilang Len harus datang ke rumahnya kalau dia ingin melanjutkan sekolah.

"Nah sekarang ke inti pembicaraannya, sebelum ayahmu meninggal dia menceritkan sebuah rahasia besar kepadaku," ucap Gakupo, kalimat Gakupo membuat Len berkeringat lagi.

Hatinya sedikit sakit ketika ia mendengar Gakupo mengetahui rahasia ayahnya. Ayahnya bahkan tidak pernah menceritakan apa-apa kepadanya, anaknya sendiri.

Apa mungkin aku bukan anaknya? lagi-lagi pikiran Len sudah berimajinasi ke kemungkinan terburuk yang bisa saja terjadi.

Mata Gakupo dingin menatap Len. "Sebenarnya kamu itu punya saudara kembar," lanjut Gakupo.

Len tersentak ketika Gakupo menyelesaikan kalimatnya. Alisnya menyentak. "Saudara kembar?! Bagaimana bisa?!" tanya Len sambil menggebrak meja Gakupo.

Gakupo sedikit kaget dengan gebrakan dari Len tapi dia kemudian melanjutkan ceritanya. "Di hari terakhir sebelum dia dirawat di rumah sakit, tuan Rinto menceritakan semua rahasia yang membebaninya, dan meminta bantuanku. Dulu Rinto terlilit hutang yang sangat besar dengan perusahaan saingan ayahku. Sebenarnya hutangnya belum lunas sampai sekarang. Setelah menjual perusahaannya Rinto mulai bekerja sebagai pelayan di rumah ini, ayahku menunjuknya sebagai pelayan pribadiku. Rinto bilang dia bercerai dengan istrinya karena hutang itu. Istrinya pergi membawa anak perempuannya yang masih bayi, kembaranmu." Gakupo berhenti sejenak mengambil nafas dan membuangnya lagi. "Dia kemudian meminta bantuanku untuk mencari anak perempuannya yang bernama Rin. Setelah mencarinya cukup lama, akhirnya aku menemukan anak perempuan Rinto," jelas Gakupo.

Rahangnya jatuh ke bawah membuka mulut Len, menganga. Bahunya juga jatuh membuatnya bungkuk, tapi kemudian dia menegangkan kembali tubuhnya dan mengangkat tangannya separuh. Dia melambai-lambaikan tangannya dengan cepat. "A-apa benar aku punya kembaran? Ayahku tidak penah cerita apa-apa!" bantah Len, dia sedikit tidak percaya dengan penjelasan Gakupo.

Gakupo membuka lacinya lagi dan menunjukkan foto seorang gadis yang memiliki wajah yang hampir mirip dengannya. Warna rambut pirangnya juga sama. Hanya saja, mata gadis itu lebih bulat darinya dan bibirnya sedikit lebih kecil. Gadis yang imut, pikir Len. Foto-foto itu membuat Len sedikit percaya, tapi dilihat dari baju yang Rin kenakan. Sepertinya kembarannya itu berada di kelas sosial yang berbeda dengannya. Kelas sosial yang sangat jauh. Kelas sosial yang langsung membuat Len berkeringat karena gugup jika membayangkan berapa banyak kekayaan yang mereka miliki.

"Rin Kagamine, nama keluarganya masih belum berganti. Dia tinggal dengan ibunya, ibumu juga dan ayah tirinya. Ibumu menikah dengan seorang konglomerat," jawab Gakupo, jawabnnya sedikit tidak sesuai dengan pertanyaan Len, tapi Len hanya menganga.

Len membungkam mulutnya. Ayah tidak pernah menceritakan apapun padaku... tapi kenapa? pikirnya. Matanya mempelajari foto gadis bernama Rin. Tapi kalau aku tahu..., aku bisa apa? Mulutnya sedikit terbula menunjukkan giginya yang menggertak, dia menundukkan kepalanya sambil mengepalkan tinjunya. Ingatannya terbuka akan kenangan buruk di sekolahnya, yang membuatnya sering berfikir negatif. Aku bisa apa? selama ini aku hanyalah anak yang bergantung pada ayah. Apa aku sanggup? Ayah bahkan meminta orang lain untuk mencari anaknya yang lain, bukan aku. Tapi permintaan terakhir ayah untuk bertemu dengan anaknya yang lain.

"Mungkin ayahmu tidak menceritakan ini kepadamu karena tidak ingin kamu memikirkannya dan itu akan mengganggu sekolahmu," ucap Gakupo, kemudian senyuman tipis terbentuk dari bibir tipisnya.

Gakupo melipat kakinya. "Rinto sering menceritakanmu padaku. Dia sering bilang: Len adalah anak yang pintar, dia sangat baik, aku ingin dia menjadi anak yang sukses, aku tidak ingin semua masalahku membuat sekolahnya terganggu, begitulah," ucap Gakupo. Len kemudian teringat kepada sosok ayahnya yang tidak pernah menceritakan masalahnya kepada Len. Sesaat, kalimat yang keluar dari mulut Gakupo terdengar seperti suara ayahnya.

Bayangan ayahnya muncul dalam kenangan Len. Kenangan saat Len masih kecil. Kenangan yang selalu membuatnya bertanya-tanya apa dia memiliki keluarga yang lain selain ayahnya.

Len duduk dan bergeser mendekati ayahnya yang sedang termenung.

Ayahnya menoleh kepada Len sambil tersenyum, ekspresi sedih itu langsung menghilang. "Len, ayah tidak apa-apa, kamu belajar saja. Besok ulangan bukan?"

Kenangannya berpindah pada senyuman ayahnya yang memberikan bungkusan berisi makanan manis dan pisang. "Ini, ayah bawakan jajanan untukmu, jangan langsung dihabiskan ya, kamu bisa memakan ini untuk teman belajarmu."

Wahah ayahnya muncul lagi, senyumannya sangat tulus dan terlihat tanpa beban, tak tampak guratan-guratan keriput dari wajahnya. "Ayah tidak apa-apa."

Lamunannya buyar ketika Gakupo menjentikkan jarinya. Len menatap Gakupo, dia tertegun.

"Jadi kupikir, dia hanya mencari waktu yang tepat untuk memberitahumu, tapi sayangnya dia kehabisan waktu," ucap Gakupo sambil mengistirahatkan tanganya pada meja. Matanya melembut, tampak tatapan iri dari dalam mata inteleknya. "Rinto juga bilang ketika ia menceritakan anak perempuannya itu: Aku ingin bertemu dengan Rin, dan juga mempertemukannya dengan Len, juga dengan ibunya, tapi setelah masalahku selesai, aku merasa bersalah kepada Len, dia terbawa-bawa masalahku, dan dia tidak merasakan kemewahan yang pernah kurasakan dulu. Tuan Rinto benar-benar menyayangimu," ucap Gakupo.

Len hanya diam, dia berfikir apa yang bisa ia lakukan untuk ayahnya. Ayahnya ingin menemui anaknya yang lain, dan mempertemukannya dengan saudara kembar perempuannya. "Paman!" teriak Len.

Mata Gakupo melebar, alisnya tersentak dan saling bertemu. "Apa? Eh! Kamu memanggilku paman? Aku masih muda!" pekik Gakupo tapi Len tidak menghiraukannya.

Len mengepal tangan kanannya, kemudian melipatnya dan menaruhnya di depan dadanya. "Aku akan menemui Rin Kagamine! Aku akan menjaganya! Aku akan melakukan apapun yang ayahku ingin lakukan pada Rin! Menjaganya, memberinya uang jajan!" ucap Len dengan penuh semangat. Matanya bersinar, tidak seperti yang sebelumnya yang tampak layu seperti ikan mati.

Gakupo mengangkat satu alisnya. Mulut Gakupo sedikit terbuka menganga, kemudian dia menutupnya lagi, menganggukan kepalanya sekali dan menatap Len dengan serius. "Apa benar? Kamu yakin? Tapi karena kamu kelihatannya sungguh-sungguh aku tidak perlu repot-repot membujukmu," ucap Gakupo.

Len manjatuhkan tangannya. "Eh? Maksudnya?" tanya Len dan mengangkat alisnya.

Gakupo mengangkat sebelah bahunya. "Awalnya aku ingin memperkerjakanmu di sini, dan memberimu misi untuk melindungi Rin Kagamine. Aku akan membayarmu, dan aku juga akan mengurus hutang-hutang ayahmu. Rinto itu benar-benar keras kepala, dia ingin menyelesaikan hutangnya sendiri tanpa bantuanku," ucap Gakupo.

Mata Len berubah menjadi yen. "Benarkah paman akan membayarku?" tanya Len. Mata Len membesar dan berbinar-binar. Pikirannya sudah terbayang-bayang oleh jumlah uang yang akan dia dapatkan. Meskipun sedikit, setidaknya dia bisa merasakan uang hasil kerjanya sendiri.

Alisnya menyentak dan urat kembali menonjol di keningnya. "Iya… tapi jangan panggil aku paman terus!" pekik Gakupo.

.

Setelah pulang dari rumah Gakupo, Len bergegas pulang kerumahnya. Ia harus mengucapkan selamat tinggal kepada teman-temannya karena Gakupo bilang Rin tinggal di asrama, jadi Len harus pindah ke asrama jika dia ingin bertemu dengan Rin.

Ketika Len sampai di rumahnya yang kecil, mimik wajahnya berubah. Dia menjadi murung, mengingat ia harus meninggalkan rumah yang berisi kenangan dengan ayahnya. Dia juga kembali berfikir. Mengucapkan selamat tinggal... apa selama ini aku punya teman?

Selama di sekolah Len tidak memiliki teman, karena teman-temannya mengolok-olokinya karena dia cuman anak dari keluarga tidak mampu. Len juga sering diolok-olok karena dia kerja sambilan di salah satu restoran kecil milik gurunya.

Len melirik keatas. Sepertinya pindah dari sekolah itu adalah pilihan yang terbaik, tapi kalau harus neninggalkan rumah ini, rasanya seperti berat. Matanya menoleh-noleh ke sekitar pintu rumahnya.

Len membuka pintu rumahnya, rumahnya hanya sebuah apartemen kecil tanpa kamar, futon terlipat rapih di pojok kamar dekat pintu balkon. Dia mendekati lemari disebelah futon, dan melihat foto ayahnya yang ada di atas lemari.

Len mengambil tasnya dan memasukan baju-baju miliknya dan juga foto milik ayahnya. Setelahnya Len langsung menggelar futon dan memejamkan matanya.

Soal ibu... aku heran kenapa dia meninggalkan orang baik seperti ayah... apa karena harta?

.

Seminggu setelah urusan kepindahan sekolahnya Len bergegas ke rumah Gakupo, pagi-pagi sekali dia berangkat dari rumahnya. Len memang tidak perlu repot-repot mengurus kepindahan dari sekolah lamanya, karena Mikuo sudah mengatur semuanya. Len hanya tinggal menunggu panggilan dari Gakupo dan tadi malam Gakupo menyuruhnya untuk datang kerumahnya pagi-pagi sekali.

Len mengeryitkan dahinya, alis dan hidungnya mengerut, satu alisnya berdenyut naik ke atas ke bawah, ujung mulutnya naik keatas. Ketika dia sampai di ruangan Gakupo, Gakupo sedang memilih-milih baju anak perempuan.

Gakupo menoleh dan tersnyum jahil. "Ah! Len!" sapa Gakupo.

Pelayan Gakupo langsung menangkap Len dan membuka bajunya, mengganti pakaian Len dengan baju perempuan yang telah Gakupo siapkan. Kuncir rambut Len juga dibuka dan rambutnya dicuci agar rambutnya menjadi lemas. Para pelayan menata rambut dan wajah Len. Ketika selesai Len menjerit ketika dia melihat bayangannya di cermin yang menggantung.

"A-apaan ini?! Kenapa aku seperti perempuan?! Ini hobi paman ya?!" teriak Len sambil menunjuk-nunjuk bayangan wajahnya di cermin.

Urat menonjol di kening Gakupo. Dia melipat tangannya di depan dadanya dan berdiri di sebelah Len. "Hei hei, tenang dulu, aku belum menjelaskan apa-apa padamu," ucap Gakupo.

"Kamu akan tinggal di sekolah khusus perempuan Sakurazaki, dan tinggal di asrama yang sama dengan Rin. Hari ini juga adalah hari pertama kamu masuk sekolah, kamu tidak perlu repot dengan pakaianmu, Mikuo sudah membawanya ke kamar asramamu," ucap Gakupo.

Len kembali berteriak histeris. Tapi sudah terlambat baginya untuk berkata tidak.

.

Len berdiri di depan kelas yang penuh dengan perempuan. Dia gugup, selama ini perempuan hanya bergosip tentang dirinya, meskipun dia tidak menghiraukan anak perempuan di sekolahnya dulu, tapi dia khawatir hal itu akan terulang di sekolahnya yang sekarang. Dia gugup bukan karena itu saja, tapi karena rahasia yang harus ia jaga, dia harus menjaga rahasia kalau dirinya adalah seorang anak laki-laki. Kakinya bergetar merasa canggung melihat semua teman-temannya yang perempuan.

Dalam hatinya Len menggerutu mengeluarkan semua kata-kata kutukan, mengutuk Gakupo yang membuatnya menggunakan pakaian perempuan. Paman itu benar-benar serius membuatku menggunakan pakaian perempuan, pikir Len, dia menghela dalam hatinya.

Len berdiri di depan kelas di samping guru berambut coklat. Namanya tertulis di papan tulis. "Namaku Ran Shizuku, salam kenal," ucap Len sambil sedikit meninggikan suaranya seperti seorang perempuan. Untunglah di sekolahnya dia dekat dengan guru teater, jadi dia sering mengolah vokalnya dibimbing oleh gurunya itu. Dia membungkuk kemudian mengegapkan kembali badannya.

Mata guru itu mengelilingi kelas mencari kursi kosong yang tersedia di kelas. Matanya tertuju pada barisan sebelah jendela, kursi paling belakang. "Tempat dudukmu ada di belakang, di sebelah Rin Kagamine. Kagamine tolong angkat tanganmu," ucap guru berambut coklat, Meiko Sakine. Dia adalah wali kelas kelas satu F.

Seorang gadis bersurai pirang mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Itu adalah Rin Kagamine. Wajahnya sedikit mirip dengan Len, tapi wajahnya sedikit pucat, kelihatannya dia juga lebih pendek dari Len. Dia imut. Leher Len menjulur untuk melihat anak perempuan tersebut.

Len yang berpenampilan perempuan dan menggunakan nama samaran Ran pun berjalan mendekati bangku barunya. Semua mata tertuju padanya, tak sedikit dari mereka menatapnya iri. Ran duduk di bangkunya kemudian dia tersenyum kepada anak yang ada di sebelahnya, kembarannya sendiri, Rin Kagamine.

"Salam kenal, namaku Rin Kagamine," ucap Rin. Tidak disangka Rin memperkenalkan dirinya terlebih dahulu. Wajahnya sungguh manis dan membuat jantung Len sedikit berdegup kencang, tapi ia langsung membuang perasaan itu dari kembarannya sendiri.

"Namaku Ran Shizuku, semoga kita bisa menjadi teman baik," balas Ran membalas perkenalan dan senyuman Rin.

Seorang anak perempuan berambut biru-hijau yang duduk di depannya langsung menoleh kepada Rin dan Ran. Gadis itu juga tak kalah manisnya dengan Rin, tapi dalam pikiran Ran dia teringat oleh pelayan Gakupo, Mikuo. Gadis itu memiliki warna rambut dan mata yang sama dengan Mikuo.

"Namaku Miku Hatsune, salam kenal," ucap Miku. Miku kemudian terus menoleh memandangi wajah Rin dan juga Ran.

Mata Ran terperanjat dan terjaring pada rambut indah Miku, tapi sayangnya rambut itu mengingatkannya pada pelayan rumah Gakupo. Hatinya merasakan getaran yang aneh, perasaan yang baru pertama kali ia rasakan. Pancaran matanya melesat menggetarkan hatinya. Wajahnya manis dan tampak seperti anak-anak karena pipinya yang merona-rona pink seperti pipi Rin. Pipi Ran memerah dan dia merasakan sedikit panas di telinganya. Telinganya terasa geli dan hatinya mulai berdebar-debar tak karuan. Rasanya, seperti ada kupu-kupu yang terbang dalam perutnya.

"Kalian berdua mirip ya, seperti anak kembar," ucap Miku dengan spontan sambil tersenyum.

Rin hanya tersenyum dan kemudian memandang wajah Ran. "Sepertinya kita memang mirip."

Ran menggeleng-gelengkan kepalanya. Mata Ran membulat, dia langsung menyangkal ucapan Miku. Perasaan bagai kupu-kupu terbang di perutnya seketika menghilang dengan keringat yang mengalir di punggungnya dan kakinya yang mulai mendingin. "Tidak, kita bukan anak kembar, mungkin memang mirip. Tapi di luar sana banyak orang yang wajahnya mirip dengan orang lain kan? Aku juga pernah melihat orang yang mirip dengan Hatsune," sangkal Ran. Dia menggaruk-garuk belakang kepalanya dan tertawa dengan aneh, bulir keringat mengalir dari keningnya.

"Hee… iya juga ya," ucap Miku.

"Nah sekarang buka halaman seratus tiga puluh empat," ucap Meiko sambil membuka buku pelajarannya.

"Ran, lihat punyaku saja," bisik Rin, dia menyodorkan bukunya dan bergeser ke sebelah Ran.

Pipi Ran merona merah karena baru pertama kali ada perempuan yang sedekat ini dengannya. "Te-terima kasih," ucap Ran, Rin hanya tersenyum saja.

Rin itu anak yang baik juga, untunglah dia bukan perempuan seperti yang ada di sekolahku dulu, pikir Len. Len kemudian melirik wajah pucat Rin. Tapi, paman Gakupo bilang Rin punya penyakit seperti ayah. Len mengalihkan matanya pada buku pelajaran dan mengangguk-angguk pelan. Kalau begitu aku akan melindunginya! Demi ayah!


A.N

Setelah banyak baca dan belajar, aku putusnya untuk memperbaiki tulisanku, jadi ada sedikit tambahan deskripsi disini :3

halo-halo akhirnya aku bikin ulang cerita ini juga, oh iya sebelumnya ini adalah cerita dari akun lama, Lawrance Hawkeye, Laura (Laura idup lagi X'D, ganti nama dah Kaze hahaha). Dan di fict yang kali ini banyak perubahan disana-sini, setelah baca lagi fic lama aku jadi sadar banyak juga plot holenya, jadi aku usahakan buat ngebuat ulang cerita ini untuk meminimalisir hal tersebut, termasuk latar belakang Len juga berbeda sama fic yang asli dulu. Gakupo juga dibuat berbeda disini. Tapi inti cerita masih sama, melindungi Rin, terimakasih pada review-review di cerita yang dulu, aku jadi sadar kekuranganku, aku lupa tujuan sama cerita ngelindungin Rin :'3. jaman dulu aku bikinnya masih seenak udelnya imajinasi tanpa mikir X'D, biasalah dulu masih anak labil-labil alay. ya sekian aja autornotenya :'3 takutnya kepanjangan #udahpanjang! ah iya karena aku ingin fokus sama cerita lama ini aku hiatus dulu sama cerita lainnya :'3, kasian fic yang dulu berasa kayak anak tiriin.

hope you all like it