A TVXQ Fanfiction
"Are We Still Brothers?"
LEE HANJI©2013
WARN :
AU/GS/Brothership/Lil bit Romance/OOC/KDRT(?)
Harap maklum dengan segala kekurangan yang ada pada fict buatan bocah ingusan yang patut untuk diceburin ke laut ini /oke, yang ini abaikan!/
If you don't like, don't read, you can go back to Screenplay Archive…:D
.
.
"Are We Still Brothers?"
Lee Hanji Present.
Enjoy reading
.
.
Korean Ethnic Café—20.00 KST
Usianya baru menginjak 21 tahun, lelaki yang kerap disapa Yunho ini merupakan putra sulung keluarga Jung. Matanya tajam seperti serigala, rambutnya hitam arang, tubuhnya tinggi tegap dan proporsi, kulitnya sawo matang, tidak putih dan tidak hitam. Dalam balutan kaus putih polos berkerah dan jaket berbadge angkatan darat, ia duduk bersila seorang diri di bilik paling pojok café bergaya etnik khas Korea Selatan, pada salah satu sisi meja yang dikhususkan dua orang, ia menunggu adik bungsunya, Changmin, ditemani buku tentang ketentaraan angkatan darat setebal dua buku jari. Sudah berkali-kali ia melirik arloji digital warna hitam yang bertengger si pergelangan kirinya, sudah berkali-kali pula ia membolak-balikkan lembar buku yang hampir habis ia lahap untuk hari ini.
"Hyung!" remaja bermata bambi itu tersenyum sambil melambai ke arah Yunho yang duduk seorang diri. Ia melangkah tegas menghampiri sang kakak yang memiliki warna mata hampir identik dengan miliknya. "Sudah lama kakak menungguku?" tanyanya setelah duduk bersila, berhadapan dengan posisi duduk Yunho yang hanya dipisahkan sebuah meja rendah.
Yunho menutup buku yang dibacanya kemudian melemparnya keatas meja dengan kasar sehingga terdengar suara 'BUK!' singkat atas hantaman buku pada meja, ia belum mau menjawab. Matanya menatap tajam sang adik yang melepas mantel cokelat dan sarung tangan musim dinginnya, melipatnya, kemudian meletakkan di sisi kanannya. "Kemana saja kau?" nadanya terdengar ketus.
Changmin menaruh sikunya ke meja jati yang dipelitur, "Aku sudah memberimu dua pesan, semua tentang keterlambatanku sudah dijelaskan. Kau tak membacanya?" Changmin merogoh saku kemeja pegawai posnya mengeluarkan smartphone bercasing hitam dan memijat layarnya untuk menunjukkan bukti bahwa ia sudah mengirim pesan tadi.
"Hm, baiklah... tak usah di tunjukkan, hari ini aku lupa membawa handphone, benda sialan itu tak sengaja tertinggal di dapur." Ia menjauhkan smartphone dari tatapan adik lelakinya.
Changmin menatap kakak lelakinya itu sambil cemberut, mukanya ia tekuk sedemikian rupa agar menggambarkan betapa kesalnya ia dengan lelaki yang menjadi kopian mendiang ayahnya tersebut. "Hari ini beberapa penyortir surat mengambil cuti, sementara frekuensi postcard yang harus dikirim mengingat 2 hari lagi tahun baru. Belum lagi kalau kedapatan tulisan pengirim yang lebih parah dari tulisan dokter." Keluh Changmin, sementara Yunho melambaikan tangannya ke arah servant berpakaian Hanbok yang berdiri dekat konter.
"Mau teh atau kopi?" tawar Yunho pada Changmin yang masih menampakkan wajah kekesalannya. Remaja 18 tahunan itu emosinya masih belum stabil mengingat masa pubertasnya paling terlambat dari teman sabayanya. Meskipun begitu, ia yang paling cepat tumbuh, tingginya tidak wajar untuk remaja seusianya, namun bocah itu lincahnya bukan main seperti kancil kelebihan stimulan.
Changmin terpaku pada wanita yang menghampiri mejanya. Rambutnya lurus panjang dikuncir kuda dengan pita merah yang mencolok pada rambutnya yang hitam pekat seperti arang, riasannya natural hanya dengan lipstick merah muda yang di torehkan tipis-tipis pada kedua belah bibirnya, kulitnya seputih susu, kakinya sudah pasti jenjang dan ramping meskipun tertutup Hanbok hingga mata kakinya, tubuhnya yang proporsi itu terbalut Hanbok merah jambu, wanita itu tampak sangat anggun pada lantai jati. Sedetikpun, Changmin tak melepaskan pandangannya ke arah wanita itu.
"Ehm..." Yunho membuyarkan fantasi liar si adik, diiringi desisan panjang pria muda yang sedang jatuh cinta, wajahnya bersemu merah mendengar teguran ambigu si kakak. "Kau mau teh atau kopi?" ulang Yunho pada Changmin.
"Teh saja." Katanya cepat tanpa menatap wanita itu. Ia malu, malu, dan sangat malu bahkan sampai mengalihkan pembicaraan mengenai pemesanan teh kepada handphonenya yang sejak tadi dianggurkan.
"Yuja Cha untuk dua orang..." Yunho menyimpulkan sambil tersenyum-senyum ambigu pada wanita itu. "Dengan Tteok satu porsi." Tambahnya, wanita itu mengangguk, gesture yang menandakan bahwa ia mengerti. Setelah mencatat pesanan kakak-beradik itu, ia melenggang pergi dengan langkahnya yang gemulai.
Setelah itu Yunho dan Changmin diliputi kebisuan. Changmin masih belum bisa menghilangkan rasa malunya tadi, ia terus berkutat dengan smartphonenya meski wanita tadi sudah pergi entah kemana, sementara tatapan Yunho tertuju pada TV plasma yang melesak pada dinding kayu, telinga dan matanya terfokus pada berita yang disiarkan. Keadaan Korea Selatan dan Korea Utara terus memanas, sejak Korea Utara sudah berhasil memamerkan senjata nuklirnya, Korea Selatan ditemani beberapa negara maju mulai mencari cara lain untuk menghadapi negara komunis yang pernah dipimpin Kim Jong-il itu.
Changmin menatap kakaknya yang menatap ke arah lain. "Hyung." Panggilnya, si kakak hanya mengeluarkan deheman singkat. "Ada apa memanggilku kemari?" itulah pertanyaan yang sejak siang di pikirkan Changmin setelah kakaknya menelepon, tapi baru kini ia bisa menanyakannya.
Yunho mengalihkan pandangan dari TV plasma. "Aku hanya ingin ngobrol denganmu. Sudah lama kita tidak berbicara sambil minum teh seperti ini." Jelasnya, kemudian seorang servant yang berbeda menyajikan tea set bermotif kembang-kembang, Yuja Cha dan Tteok yang masih mengebul sudah tersaji tepat ketika keduanya akan memulai pembicaraan.
Setelah servant itu pergi, Changmin memulai pembicaraan kembali. "Apakah penting?"
Yunho menuangkan Yuja Cha—teh yang terbuat dari buah Yuja dicampur madu dan gula—pada kedua cangkir sama rata, memberikan salah satunya pada Changmin dan satunya lagi untuk dirinya. "Tidak, aku hanya ingin ngobrol." Changmin menatapnya intens, seolah tidak setuju pertemuannya hari ini akan sia-sia dengan obrolan tidak berguna. Di mata Yunho, Changmin merupakan sosok yang tak suka buang-buang waktu hanya dengan obrolan singkat yang tak beguna. "Bukan, maksudku... Ya, ada sesuatu yang penting." Yunho gugup, takut adiknya yang memiliki latar belakang Evil secara tiba-tiba pergi dan tidak kembali. Bagi Changmin, tiap detik itu berharga.
Changmin menatapnya datar, membuat Yunho semakin salah tingkah. Pasalnya hubungan mereka akhir-akhir ini merenggang, komunikasi hampir terputus selama tiga hari belakangan karena kesibukan masing-masing. Adiknya harus tiba di kantor menyortir surat pukul 7, sementara rumah mereka yang berada pada lingkungan angkatan darat sangat jauh dari kantor pos tempat ia ditugaskan. Changmin berangkat setengah tujuh usai menyiapkan sarapan, sementara Yunho yang selalu bangun jam 7 itu masih terlelap. Sorenya, Changmin pulang dari kantor pukul 4, membeli makan malam untuk keduanya sehingga sampai di rumah pukul 5. Sejak naik pangkat sebagai perwira, Yunho pulang jam 9 mengharuskan Changmin menghabiskan makan malamnya seorang diri, ketika pulang Changmin sudah tidur mengistirahatkan tubuhnya agar dapat bekerja optimal besok.
Terakhir kali mereka berinteraksi adalah ketika pertengkaran besar karena hal sepele, Changmin lupa menutup pagar, dan anjing-anjing liar merusak pekarangan rumah dinas Yunho. Yunho yang ketika itu sedang dalam mood yang jelek memukulinya, Yunho memang sering melalukan kekerasan pada Changmin sejak mereka tinggal berdua. Tapi hari ini, tampaknya mood Yunho sedang baik, meski diawal pertemuan ia sangat bete' karena Changmin terlambat dari janji.
"Apa?" Changmin menyeru ingin langsung ke pointnya saja.
"Masalah kuliahmu yang tertunda." Jelas Yunho lalu mengangkat cawannya, menyesapnya perlahan, asap putih masih mengebul pada permukaan cairan kecoklatan itu.
"Lho, bukankah aku sudah bilang tidak mau kuliah?" bantah Changmin tegas. Cukup membuat orang lain mengedutkan dahi mendengarnya. Semua orang ingin kuliah, dari siswa yang paling pandai sampai yang kurang pun seberapapun biayanya akan dienyam. Sementara Changmin meski sudah didanai dari asuransi kematian sang ayah, otaknya juga superior, dan prestasinya di bangku SMA sangat mengundang perguruan tinggi untuk mengincarnya, tapi dia tidak mau. Alasannya simple, dia ingin jadi pegawai pos, yang merupakan cita-citanya sejak kecil.
Yunho terdiam cukup lama meski ia harus meningkatkan kesabarannya umtuk tidak memukul Changmin sekarang juga. Membelokkan kehendak adiknya sama saja mengajari tembok berbicara. Changmin sangat keras pendiriannya. "Kau kan bisa kuliah sambil bekerja di kantor pos." Sarannya.
Changming menggigit kue Tteok—kue yang biasa disajikan saat perayaan tahu baru di Korea Selatan, terbuat dari beras atau ketan—dari Korean Ethnic café yang rasanya sudah terkenal itu. "Untuk apa aku kuliah. Ayah dan kakak-kakak juga tidak ada yang kuliah, mereka langsung bekerja." Jelas Changmin cuek.
Pernyataan singkat Changmin yang terdengar polos dan apa adanya itu menohok Yunho. Ayah, ibu, dia, dan kedua adik kembarnya yang terpisah memang tidak ada yang kuliah.
"Lagipula para transmigran dari kota yang terkena imbas perang Korut-Korsel itu memakan banyak sekali quota lapangan kerja. Banyak sarjana yang jadi menganggur, para penyedia lapangan kerja tidak butuh ijasah atau apapun, Kak. Mereka butuh skill." Elaknya lagi berdasarkan fakta.
Keheningan terjadi untuk kedua kalinya. Jam dinding di ruangan itu seakan berdetak sangat keras dan cepat. Yunho kehabisan kata-kata, ia memandangi cairan kecoklatan yang tembus pandang hingga ke dasar cangkir, otaknya terus diputar mencari kata-kata yang membuat adiknya mengerti. Rasanya ia ingin segera memakai kekerasan saja agar adiknya mengerti, tapi kali ini tak sampai hati Yunho berniat menggunakan tangannya. Ada sebuah alasan mengapa sekarang ia gencar membujuk adiknya untuk pergi ke perguruan tinggi, "Ini pesan dari Ayah."
Mata bambi Changmin bertabrakan dengan mata serigala milik Yunho. 'Ayah yang bilang begitu.' Sekarang siapa yang berani mengelak jika Ayah telah berbicara. Changmin bungkam, ia meletakkan potongan Tteok yang telah digigitnya keatas piring bersama potongan utuh yang lain. "Hanya aku yang disuruhnya kuliah?"
Hanya anggukan yang didapati Changmin dari kakaknya. "Apa katanya?" Changmin masih belum mau menerima.
Yunho merogoh saku kaos putih berkerahnya, mengeluarkan sepucuk surat yang sudah kotor dengan tanah dan bercak-bercak kecoklatan. "Ini dari Ayah, ia menitipkannya pada seorang Sergeant yang bersamanya saat misi pengamanan. Itu surat terakhir yang ditulis sebelum berangkat." Jelas Yunho tak berani menatap mata Changmin yang seolah tidak mau menerimanya.
"Sini ku lihat!" Changmin merebutnya paksa dengan amarah. Bola matanya bergerak-gerak membaca torehan tinta pada kertas di hadapannya, wajahnya memerah karena marah. Changmin benci kuliah.
"Ayah ingin kau, anak bungsu keluarga Jung yang terhormat, pergi kuliah." Yunho berhati-hati mengucapkan kata-kata. Ia tahu adiknya yang tempramen itu sudah mencapai titik jenuh pembicaraan ini, Changmin benci kuliah itu saja masalahnya, entah apa yang menyebabkannya seperti itu.
Changmin meremas surat itu dan melemparkannya ke meja dengan keras. "Aku tak ingin kuliah. Kau saja yang kuliah, aku tak mau!" bentaknya lalu mengenakan mantel cokelat dengan cepat kemudian berlari pergi.
Yunho mengejarnya hingga ke pintu café tapi kemudian Changmin mendorongnya keras supaya ia mundur. "Changmin! Dengar aku dulu! Ada lagi yang ingin ku sampai—"
"Tidak perlu! Aku juga sudah tahu, di surat itu sudah TERTULIS DENGAN JELAS!" ia menyela perkataan Yunho dan menekan kata-kata terakhirnya, berbalik lalu berlari menembus salju.
Yunho geram, meskipun begitu sudah tak berani berbuat lebih, ia tak ingin menyakiti adiknya lagi. Changmin anak baik, ia mengenalnya. Changmin tidak suka membantah orang tua apalagi Ayah, ia hanya sosok yang kuat pendiriannya, tapi bukan egois. Changmin hanya tidak ingin plan hidupnya diacak-acak, dia sudah merencanakan masa depannya matang-matang. Ini hanya salah timing untuk memberi tahunya. Tapi sikap kasar Changmin pada Yunho tadi perlu ditindak keras, ia ingin segera memarahi adiknya dirumah.
Yunho membiarkan adiknya pergi ditengah salju. Ia juga tahu kalau dalam keadaan panas begini Changmin tidak akan pulang ke rumah. Kalau tidak menginap di rumah temannya, ia pergi ke kantor pos dan tidur disana. Biarlah ia menangkan pikirannya, Yunho juga ingin menenangkan pikirannya sekarang.
Yunho berjalan ke cashier untuk membayar pesanannya. Ia bertemu dengan servant yang membuat adiknya gugup tadi dan tersenyum padanya. "Boleh minta bill meja nomor 8?"
Wanita itu mengulurkan map kulit yang berisi bill pada Yunho dan membelas senyumannya. Yunho menerimanya dengan tangan kanan, sementara tangan kirinya merogoh saku mengeluarkan dompet. "Sepertinya adikku menyukaimu, Boo." Kata Yunho sambil mengeluarkan beberapa lembar dan juga keping uang dari dompet kulitnya.
"Ya, aku bisa melihat dari wajahnya." Jelas gadis yang dipanggil 'Boo' itu membuat Yunho terbengong-bengong mendengarnya, sebuah senyum kecut atas ketidak sukaan terhadap perkataan sang servant barusan tampak samar di bibir Yunho. "Kalian bertengkar? Ada ap—"
"Ya." Potongnya singkat kemudian terdiam terdiam melihat betapa lihainya gadis itu menekan tombol-tombol mesin kasir dan mengambil kembaliannya. Tangannya diulurkan untuk mengambil kembalian yang diserahkan gadis itu. "Tolong jangan bahas itu sekarang, Boojae." Jujur, Yunho tidak suka kalau harus bertengkar dengan Changmin hari ini, khusus hari ini saja, jadi ia tak mau membahasnya lagi. Mungkin interupsi singkat tadi bisa membuat sang gadis mengerti.
"Terima kasih, lain waktu datang lagi." Kata gadis itu sambil tersenyum, Yunho hanya membalasnya dengan senyuman singkat lalu pergi.
_McGregor_
Kyuhyun's House—17.00 Sore
Pintu mahoni itu terbuka, menampakkan sosok gadis bertubuh proporsi dengan kaus lengan pendek longgar dan jeans selutut serta matanya yang sehitam obsidian dibingkai kacamata cokelat bermotif kayu. "Changmin... kau tak bilang akan datang kemari, ayo masuk." Gadis itu membuka pintu lebar-lebar.
"Terima kasih, Noona. Maaf aku tak buat janji sebelumnya." Sesal Changmin melangkah masuk kedalam rumah dua tingkat itu setelah melepas bootsnya dan meletakkannya pada rak sepatu di belakang pintu masuk.
"Tidak apa. Silahkan duduk, tapi adikku sedang keluar. Mungkin sebentar lagi pulang, aku buatkan teh dulu." Katanya izin ke dapur.
"Eh, tidak usah aku baru minum teh bersama Yunho Hyung." Changmin melepas mantel tebalnya dan menggantungkan pada hanger yang juga di belakang pintu, ketika itu pintu diketuk. Gadis itu membuka pintu dan seorang lelaki yang dicari Changmin berdiri menenteng plastik belanjaan.
"Changmin?" lelaki yang tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu pendek itu menatap Changmin lekat-lekat. "Kemana saja kau?!" nadanya ditinggikan, ia menghambur kedalam pelukan Changmin yang lebih tinggi beberapa centi. "Sejak lulus SMA kau tidak pernah lagi ke rumahku. Dasar bukan sahabat!" celetuknya keras sambil cengengesan.
"Kau yang belum pernah ke rumahku!" elak Changmin. "Apa kabar Kyu?" tanya mengikuti langkah Kyuhyun ke bilik tamu. Sementara sohibnya itu menyerahkan kantung belanja pada kakaknya, Ahra.
"Bagaimana bisa ke rumahmu yang ada dalam benteng itu, bodoh!" umpatnya. "Aku sedang nyaman-nyamannya. Bagaiman pekerjaanmu, kau yakin tidak akan kuliah? Kau satu-satunya bintang sekolah yang tak melanjutkan kuliah." Kyuhyun menghempaskan tubuhnya kedalam bantal tipis sebagai alas duduk, diikuti Changmin.
"Itulah yang ingin aku bicarakan sekarang. Bagaimana menurutmu rasanya kuliah itu?" Changmin menatap wajah sohib sejak SMPnya itu. Lelaki yang Changmin kenal sangat bijak dalam berpendapat, sabar, dan dia seorang pendengar yang baik, meski terkadang omongannya tak bisa dipercaya sama sekali, tapi otaknya yang sama-sama cerdas membuat Kyuhyun seolah menjadi panutan Changmin. Changmin senang bersamanya.
Tapi kali ini Kyuhyun belum mau menjawab.
_McGregor_
Yunho's House—00.00 KST
Derit pintu terdengar hingga ke kamar Yunho. Lelaki yang sudah hampir hilang kesadaran diatas bantalnya mendengar pintu dikuci, makin besarlah perkiraan kalau itu adalah Changmin. Lagipula, siapa lagi penghuni rumah ini kecuali dirinya dan Changmin serta Rider, Siberian Husky mereka yang tidak mungkin bisa mengunci pintu rumah. Kalaupun itu maling, Rider akan menggonggong keras hingga terdengar sampai pos penjagaan yang letaknya jauh sekali.
Yunho beranjak keluar kamarnya. Didapatinya sang adik berdiri mematung saat keduanya berpapasan. "Kemana saja kau?!" bentaknya, menyulut api.
"Dari rumah Kyuhyun." Jawab Changmin singkat, ia melepas sarung tangannya. Tak mau menatap mata foxy milik Yunho yang berkilat marah.
"Delapan belas tahun usiamu sekarang, tapi sopan santun kau tak punya!" Yunho menarik kerah Changmin meski tubuhnya lebih pendek dari sang adik, ia mendorongnya ke dinding. "Tatap mata lawan bicaramu! Apa gurumu di sekolah terakreditasi A itu tidak pernah mengajarkannya?!"
"Aku sudah muak denganmu Yunho!" Changmin menghardik Yunho tanpa menggunakan panggilan 'Hyung'.
PLAK! Tamparan sangat keras di pipi Changmin, ia memegangi pipinya yang merah. "Aku tahu kau kau sudah delapan belas. Kalau kau menginginkan kebebasanmu, pergilah sana, bangun rumah yang tak memiliki peraturan dan tak mengharuskan sopan santun!" Kali ini Yunho menjambak rambut tebal Changmin, menggelandangnya ke ruang tengah. Ditekannya kepala Changmin di atas meja, "Keluarga Jung sangat terhormat dan mereka menjunjung tinggi sopan santun!" bentak Yunho lagi tepat di depan wajah Changmin yang kesakitan.
Changmin tak menanggapi, ia merintih kesakitan dan mencoba melepas cengkraman Yunho di rambutnya. "Aku sudah muak denganmu, Hyung. Aku muak karena kau telah berubah! Kau telah berubah YUNHO HYUNG!" hardik Changmin, ia menekankan panggilan kakaknya.
"Berubah?" Yunho mengurangi cengkraman di rambut Changmin. "Maksudmu?" dan sekarang ia melepaskan cengkramannya.
"Kau tak seperti Yunho Hyung yang dulu. Kau—" Changmin berdiri dan berlari masuk ke kamarnya. "—kau seperti monster, bahkan aku tak mengenalmu, hubungan kita sekarang seperti orang lain!"
BRAK! Pintu kayu itu ditutup.
Yunho terdiam mencerna kalimat adiknya. "Aku? Berubah?" gumamnya.
.
Yunho's House—03.00 Pagi
Mobil bak terbuka milik angkatan darat terparkir di persimpangan jalan, beberapa penghuni rumah keluar tampak berjalan di pekarangannya membawa ransel besar dalam balutan pakaian lapangan serta perlengkapan angkatan darat lainnya.
Yunho mengetuk pintu kamar Changmin dengan gugup, namun tak ada jawaban. Ia memutar kenop pintunya perlahan, tapi terkunci. "Ada yang harus kau sampaikan padamu, Changmin." Katanya lamat-lamat. Semalaman Yunho menangis memikirkan perkataannya terakhir kali. Belum ada jawaban dari pemilik kamar.
"Aku hanya ingin minta maaf." Ia melepas ranselnya dari punggung sambil menggaruk rambut hitamnya, padahal sebenarnya tak ada masalah dengan rambutnya itu, ia hanya gugup. Yunho bukan sosok yang pandai bicara.
"Soal kuliahmu, sekarang terserah padamu saja. Aku tak mau memaksa, kau adalah hidupmu. Anggaplah surat itu tidak pernah sampai pada kita." lelaki 18 tahunan itu tak bergeming di kamarnya, entah tidur atau terjaga tapi tak mau meresponnya, Yunho tak tahu persis. "Aku harus berangkat." Katanya terakhir kali sebelum menyangga ranselnya kembali, tapi Changmin tak juga merespon.
Yunho berbalik, matanya masih belum lepas dari pintu kamar adiknya yang masih belum terbuka untuk melihat kepergiannya. Yunho menyangga ransel lorengnya lagi lalu berjalan ke pintu depan setelah memberi elusan hangat pada Rider yang tidur di samping sofa. "Sepertinya aku benar-benar berubah." Yunho tertunduk dalam
Changmin yang sejak tadi terjaga hanya menghela nafas. Walaupun ada penyesalan karena mencueki kakaknya dan juga tidak menyertai keberangkatan kakaknya itu, tapi ia ingin Yunho sesekali mau mengerti tentang dirinya. Sebenarnya ia juga ingin bertanya kemana kakaknya akan pergi, karena tidak biasanya ia pergi pagi buta seperti ini. Changmin menyingkap tirai kamarnya sedikit, salju sedikit menutupi kaca jendelanya. Ia melihat siluet kakaknya yang berjalan dengan sedih, menyusuri jalan setapak rumahnya yang ditimbun salju bersama pakaian dinas lapangannya.
Waktu masih kecil, Changmin juga pernah melihat ayahnya berjalan sendirian tengah malam seperti itu. Ia dikirim ke perbatasan Korut-Korsel yang katanya sangat mengerikan sekali keadaanya. Tapi ayah tak pernah kembali.
_To Be Continue_
AN : Yang nulis ini tuh, FrankiezCrzy, cuma udah lama gak buka akun itu jadi lupa password... ((Nangis gulung-gulung))
Saya menulis ini berdua dengan seorang cowok ((hihiw...)) tapi dia yang nentuin plot sama sekalian belajar jadi konselor, sementara saya yang ngarang keseluruhannya -_-
Tau gak? Nggak! ((Tampol)) Cerita ini awalnya saya publish di fanfiction dot net dengan chara APH, terus saya coba publish di fictionpress dot kom tapi responnya mengecewakan, terus saya coba lagi publish di sini dengan perombakan besar-besaran karena charanya diubah lagi dan semoga saja tidak mengecewakan... maaf ya kalo masih ketinggalan nama Arkhan, Alaky, Him, Grace, soalnya itu memang chara awal ff ini :D
Yasudahlah, komentar berupa : kritik, saran, bash baik positif atau negatif akan saya terima. Kalau bisa kritik alur dan editing saya, saya minus disana.
Terima kasih, ありがとう, 감사합니다,谢谢,Danke, Thanks, Gracias, Merci, Grazie ((deelel)) atas kesediaannya membaca fiksi abal bin gaje bin nista milik saya ((bungkuk 179 derajat))
.
With Love
FrankZ
