Attack on Titan © Isayama Hajime

Warn! EYD kacau, Typo(s), OOC, AU, dan lain-lain.

Genre : Romance, Drama

Character : Eren Yeager, Levi Ackerman

"Auction" – Andrea Sky

.

.

.

Prolog : "I buy you"


Eren Yeager mengerjapkan kelopak matanya. Iris gradasi turquoise-amber terlihat gelisah, dan sedari tadi, ia hanya terdiam, duduk di atas kursi, tidak berani menatap begitu banyak orang yang ada di depannya.

"Semuanya! Kita mulai dengan sejuta!"

Semua orang berteriak riuh, Eren tidak bisa membedakan mana satu antara yang lainnya. Sementara seorang pemuda bersurai pirang kusam di sampingnya terlihat tak keberatan, menggunakan microphone, dan memprovokasi orang-orang agar menaikan harga.

Serius, apa-apan dengan judul "Pelelangan calon pasangan berkualitas" yang tertera di papan di dekat panggung itu, sih?

Apa yang harus kulakukan? Eren Yeager menutup mata, alisnya bertaut. Jantungnya berdentum-dentum, udara dari pendingin ruangan membuat kulitnya tak nyaman, terutama begitu banyak orang yang berteriak dan mengangkat papan nomor.

"Whoa, tenang!" pemuda di sebelah Eren mengukir senyum lebih lagi, "jangan berebutan, ya. Orang ini pasti bisa menjadi milik anda, dengan harga yang sesuai! Ehh~? Hanya 200 juta? Waah … tidak ada yang ingin menambah lagi? Oh–yang dengan papan nama bernomor 201, sebutkan tawaran harga anda!"

Eren membuka mata, karena seketika suasana menjadi hening. Perhatiannya kini milik seorang lelaki bersurai obsidian, memegang papan bernomor 201. Suara baritone dari lelaki itu terdengar detik setelahnya, "300 juta. Berikan saja, Jean. Ini sudah harga tertinggi dalam sejarah yang pernah kauraih, bukan begitu?"

"Ahahaha … ternyata Levi, toh. Baiklah, maaf ya, tuan-tuan! Sir Levi sudah mematok harga, jadi anda sekalian diharapkan mengalah!"

Terdengar bisikan dan ucapan kecewa dari para tamu yang lainnya, namun tidak ada yang berani membantah. Sebelum Eren digiring turun oleh pemuda bernama Jean itu, Jean sempat berbisik kecil, "Bersyukurlah bahwa ia yang mengambilmu, Eren," dan Jean tersenyum, bukan senyum puas karena harga Eren setinggi itu–bukan. Lebih terlihat seperti … senyum yang sudah menduga bahwa ini akan terjadi. Meski begitu, tetap saja Eren masih bingung–dan takut, serius.

Seandainya, ia menuruti Mikasa untuk tidak pergi ke luar sendirian di tempat sepi, maka ia tidak akan mungkin diculik dan …

dilelang seperti ini.

.

.

.

"Uhm, saya ingin dibawa ke mana–" kepala Eren tak henti-hentinya tengok kanan dan kiri, perasaannya sudah dilanda cemas karena ini adalah airport. Ini adalah airport.

"Jerman," Levi Ackerman, lelaki yang baru saja mengklaim seorang Eren 15 menit yang lalu, menjawab santai. Pegangannya pada tangan Eren belum juga dilepas, takut Eren akan kabur dan berlari menjauh. "Kalau kita tetap di Boston sementara keluargamu pasti sudah sadar kau hilang, aku juga akan kena. Jean juga memang memiliki persyaratan kepada setiap orang yang berhasil memenangkan pelelangan, yaitu membawa property-nya jauh dari tempat asalnya. Lagipula, rumahku memang di sana, bocah."

Property? Aku barang? Eren terdiam, membiarkan dirinya diseret. Ingin menelepon Mikasa atau Armin pun, ponselnya sudah hilang entah ke mana. Ia menutup mata, menghela napas, Aku ingin pulang … ke rumah.

.

.

.

"Selamat datang di tanah kelahiranku," Levi berkata datar, tapi kemudian dengusan diciptakan karena melihat Eren yang mengerjap kagum, melihat seluruh pemandangan kota Hamburg saat malam hari. Hiruk-pikuk yang menyenangkan, mengantarkannya pada ingatan suasana malam hari di London. Mereka berjalan kaki di tengah keramaian kota, Eren tak protes, lagipula ia masih ingin menikmati pemandangan ini lebih lama ketimbang menaiki mobil.

Dari airport, memang tidak jauh. Rumah Levi tidak terlalu besar–sederhana, dekat dengan keramaian kota. Saat Eren memasuki rumahnya, interior klasik menyambut. Ada jam dinding kayu di sudut ruangan, lukisan-lukisan kecil abstrak yang menggantung di dinding dekat tangga, ada tungku api dengan ukuran minimalis namun terlihat menghangatkan, setiap sudut lantai dilapisi karpet merah marun.

"Kamarmu di atas," kata Levi, menaruh koper yang ditentengnya sedari tadi, "naik saja."

Eren masih terdiam, membisu, sebelum akhirnya mengangguk dan mengatakan "Ya" kecil. Sebelum menaiki tangga, Eren memanggil Levi, "Hei …"

"Hn."

"Kenapa kau membeliku?"

Levi belum membuka suara. Ia menoleh, mempertemukan sepasang obsidian dengan iris gradasi hijau-emas, "Karena aku ingin. Kau keberatan?"

"Menurutmu?" dahi Eren mengkerut, "aku diculik, dilelang–bahkan dijauhkan dari negara asalku. Aku sudah tak bisa melakukan apa-apa lagi. Apa menurutmu aku sama sekali tidak kebera–" Eren membelalak. Entah sejak kapan, Levi sudah berjalan ke arahnya. Menutup mulut berisiknya dengan telapak tangan kanan, dan lengan kiri ia gunakan untuk menggenggam pergelangan tangan Eren.

"Berisik," Levi menarik sudut bibir. Lebih tipis dari goresan pensil, bahkan Eren tak mungkin menyadarinya jika ia tak sedekat ini dengan lelaki itu.

Ah … mint, Eren membatin, menutup matanya ketika wajah lelaki itu semakin dekat dengannya, wangi-nya … mint.

Levi memindahkan lengan kirinya, membuatnya merangkul pinggang Eren. Pemuda 16 tahun itu tersentak, meronta kecil, tapi tak berbuah apa-apa. Tenaga Levi jauh lebih besar darinya, dan ia sudah tahu sejak di airport, saat Levi terus-terusan menggenggam tangannya, karena itu pun Eren sama sekali tak bisa kabur ke mana-mana. Napas Levi menyapu pipi Eren, saat itu juga sang pemuda memiringkan wajahnya.

Bocah sialan. Levi menyentil dahi-nya, membuat Eren mengaduh pelan. Ditatap galak Levi, dan sang pelaku hanya melepaskan genggamannya dari Eren, berjalan menjauh, "Sana ke atas. Mandi dan bersiaplah, kita makan malam."

Eren mendengus, masih mengusap keningnya, berjalan ke atas dengan langkah yang sedikit dihentak. Tadi dia mau apa?! Levi mengekeh melihatnya. Ia mengangkat ponselnya yang berdering karena ada panggilan masuk.

"Halo? Ah–Jean. Hm-mnn, sudah sampai di Jerman. Ada apa? Eren? Di atas, lagi mandi. Telepon cuman buat tanyain hal ga guna, ya?" terdengar tawa kecil dari seberang sana, dan Levi memutuskan sambungan telepon dengan jengah. "Bocah menarik. Selalu seperti itu."

"Kenapa kau membeliku?"

Kenapa, ya … Levi mendongak, melihat ke arah tangga, kira-kira kenapa? Saat Eren turun dengan baju yang ada di dalam kamar itu, Levi menggerakan kepalanya, gestur untuk mengikutinya. Eren turun dengan kemeja merah kotak tidak dikancing, dan kaus putih di dalamnya, juga celana santai selutut. Levi tidak salah bertanya pada Armin untuk masalah seperti ini. Levi berjalan mendekati Eren, dan pemuda itu menghentak kaget.

"Mau apa?"

"Menyerangmu."

"Apa–"

Mungkin, usaha Levi masih akan berlanjut, meski sekarang ia sudah memiliki yang sedari dulu sudah ingin ia miliki.

.

.

.

TBC

.

.

.


Author's Note : Thank udah mau baca ^^ btw itu Levi kebanyakan modus kayanya :v fic multi chapter yang baru ... (padahal yang lama kelar juga belum :"v) ini terinspirasi dari cerita Tokyo Ghoul :Re yang ada adegan pelelangan manusia wkwkkw. Well, hope you enjoy this story and, last but not least, review guys?