Merah dan Senyap
# KARUISOWEEEEEK
Chapter 1
Karma (15) & Isogaii (28)
"Dia tahanan yang sangat berbahaya, Profesor Isogaii."
"Ia terlihat muda sekali." Ia membalik kertasnya, matanya terbuka lebar, melihat angka berpasang di secarik kertas kuning itu.
"Ini-"
"Dia sudah dipenjara sejak berumur 8 tahun, Professor."
"..."
Seumur-umurnya hidup menangani berbagai kasus, ia tidak pernah melihat kasus seabsurd ini.
"Catatan Kriminal"
Membakar properti publik. Melakukan kerusakan publik. Penyalahgunaan dalam penjara.
-membunuh.
Anak semuda ini, membunuh? Keringat dingin di pelipisnya, daftar-daftar nama ini.
"Sembilan orang korban, semuanya dimutilasi."
"Mengerikan sekali..."
"Terlalu muda untuk dijatuhi hukuman mati, tetapi rekor kesehatan mentalnya juga jauh dari akal sehat."
"Kenapa kasus ini tidak jatuh ke publik?"
"Ayahnya bekerja di konsulat.."
Isogaii cuma menggeleng kepala, ada sesuatu yang sangat absurd dengan kasus ini.
"Sudah banyak psikiater yang bergonta-ganti, tetapi pada akhirnya tidak ada yang mau menanganinya."
Dalam benaknya, ia tak mau mengambil kasus ini. Membalik-balik kertas bercarik-carik itu demi kesopanan semata. Kata-kata penolakan yang sudah ia rangkai di pikirannya.
Matanya jatuh lagi-lagi, sekali lagi, ke nama korban pertama di catatan kriminal itu dan matanya jatuh kepada...
"Korban pertama, Senin, 16 April 20xx"
Akabane Aragaki."
Akabane. Nama yang begitu ingin ia lupakan.
Percikan api. Pisau berkarat.
'Ini pemantiknya.'
Bau kerosin yang menetes dari kepalanya.
'Tanda aku mencintaimu, Isogaii.'
Teringat pada suatu kenangan di balik gedung-gedung putih yang sudah lenyap terbakar itu. Matanya berdilasi, teringat kembali.
Buah racun dari bibir orang itu.
"Professor."
Akabane Aragaki.
"Professor?"
Dan berkedip, terhentak kembali ke kenyataan.
"Anda tidak apa-apa professor?"
"Aku tidak apa-apa, inspektur.."
"Bagaimana professor, kalau begitu maukah anda mengambil alih kasus ini...?"
Matanya terpaku pada nama itu.
"Jadi bagaimana professor.."
Terpaku tanpa berkedip.
"Maukah anda mengambil kasus ini?"
.
.
.
.
.
.
Tempat yang jauh, cukup jauh sehingga ia harus mengambil kereta selama beberapa jam untuk sampai ke tempat ini. Suatu pengorbanan aneh yang tidak biasa ia lakukan, imbalan yang terlalu kecil bila dibandingkan gaji besarnya untuk mengurus anak-anak penjabat yang terbelakang mental. Ia menenteng tasnya, berisi berkas-berkas dan perlengkapan seadanya itu keluar dari stasiun. Inspektur yang sama itu menjemputnya dari stasiun.
"Indahnya…"
Kesan pertamanya akan rumah sakit jiwa yang terletak di tepi laut itu adalah betapa indahnya matahari senja yang menyambutnya. Dimana burung-burung laut terbang berkawanan dan pasir pantai tersebut yang kotor abu-abu, sangat tidak serasi dengan indahnya bentangan matahari.
"Professor Isogai, ini tempatnya."
.
.
Pertemuan Senin Pertama Dengan Pasien 106
Gedung itu terlihat sangat tua, luarnya terlihat baru dicat. Tetapi bedanya dengan dalamnya, dimana para pasien ditempatkan di ruangan-ruangan berdinding keramik. Plafon berwarna hijau itu terpantul dengan sinar lampu yang sedikit redup.
Dinding-dinding putih dibawah lampu yang hijau itu baginya, seperti menyesap jiwa.
Tempat yang begitu sunyi, seperti… meremukkan pikiran.
5 lantai ke atas dengan lift, lorong yang sepertinya tidak berakhir, hingga tiba ke sebuah ruangan paling ujung. Sebuah pintu plat berkarat.
"Akabane Karma, ruangan 202."
Suara pilu pintu besi yang menderit ketika dibuka.
Seorang bocah berambut merah terikat di sebuah kursi tahanan, terduduk di tengah sebuah ruangan 3x3 meter; dimana dinding catnya sudah mengelupas, keramik-keramik lantainya kehilangan warna putihnya karena usia, dan udaranya pengap karena tidak berjendela. Mata emasnya terbelalak melihat figur kecil yang duduk di tengah ruangan itu.
Matanya ditutup dengan hitam.
Pertama kali ia melihatnya, anak kecil itu seperti menatap persis padanya, memberikan sebuah senyum yang janggal –padahal ia tidak dapat melihat.
"Selamat pagi, aku kangen sekali, inspektur." suara kecil itu sedikit menggema.
Walau dengan sehelai kain hitam menutupi matanya, wajahnya menghadap persis ke para pengunjungnya seakan ia dapat melihatnya. Pria itu semakin terheran-heran, melihat kondisi anak itu diperlakukan dengan sedemikian mengenaskan. Tetapi ada pertanyaan yang menganggunya.
Bukannya matanya tertutup?
"Wah inspektur, siapa teman yang anda bawa itu...?" Bocah itu mengayun-ayun kakinya dengan semangat. Inspektur itu menatapnya dengan tidak suka.
Bagimana ia tahu siapa yang datang?
Ruangan berkeramik putih itu cuma dilengkapi sebuah urinal di ujung dan satu wastafel. Di sisi dinding satu laginya ada sebuah tempat tidur yang beralaskan selimut yang lusuh.
"Senang sekali anda dapat berkunjung lagi. Walau ini terlalu pagi 3 jam, seharusnya pengikat mataku dibuka jam 12, bukan?
Spontan Isogaii langsung mengecek jam tangannya, menunjuk pukul 9:42. Dan matanya kembali ke bocah itu yang matanya tertutup kain hitam. Di ruangan itu tidak ada jam dindingnya maupun jendela.
Inspektur itu tertawa melihat ekspresi terkejut di muka pria itu.
"Bagaimana profesor? Cukup mengesankan bukan? Aku belum datanga lebih dari sebulan dan ia dapat mengenal langkah kakiku." Pria itu berjalan ke arah bocah itu. " Ia dapat mengetahui kalau ini pagi atau siang, jam berapa hari ini tanpa melihat jam dinding maupun jendela."
Bocah itu menyengir.
"Lebih tepatnya 144 hari 4 jam dan 23 menit tanpa sinar matahari inspektur." ia menjawab dengan nada yang bangga.
Isogaii kembali tercengang menatapi carik kertas yang menunjuk tanggal persis ia ditahan disini.
"Dia benar..." ia tidak dapat mempercayai telinganya.
"Jadi berhati-hatilah dengan tikus kotor ini, profesor. Ia lebih licik dari ular beludak."
Bocah itu menjulurkan lidahnya.
"Aku bisa membaca pikiran loh, profesor." anak kecil itu memiringkan kepalanya.
Kursinya ditendang inspektur itu.
"Diam, dasar bocah ingusan. Jangan dengarkan bualannya. "
Isogaii melihat ke sekeliling ruangan itu, tiada berjendela. Sungguh ia tidak habis pikir bagaimana ia dapat mengetahui waktu.
"Ada yang ingin ditanya lagi, Profesor?"
Bocah itu seperti menyengir padanya.
"Aku ingin membuka penutup matanya."
"Aku tidak menyarankan itu. Ia hampir membutakan mata psikiater sebelumnya."
"Habis dia jahat, inspektur~" bocah itu menyeletuk.
"Diam!" inspektur itu menendang kursinya.
"Terima kasih atas peringatannya inspektur, tetapi saya dapat menanganinya."
Inspektur itu menatap pasien cilik itu dengan memicingkan mata.
"Bagaimana dengan protokol keamanan? Kalau anda kenapa-kenapa saya yang akan disalahkan."
"Jangan pedulikan keamanan saya. Perjanjian kita inspektur, aku diberi kewenangan untuk mengatur secara penuh asalkan di dalam ruangan ini, sehingga akulah yang bertanggung jawab bila terjadi apa-apa."
"Saya sudah mengingatkan professor, tetapi ada penjaga sekuritas yang menunggu di luar pada setiap kedatangan anda. "
"Baik, inspektur. Saya bisa menanganinya dari sini."
"Kalau begitu, ada pertanyaan sebelum aku pergi?"
"Kurasa tidak."
"Baiklah, kalau begitu berhati-hatilah Profesor.
Pintu itu tertutup di belakangnya, meninggalkannya berdua dengan seorang bocah yang menyengir.
"Dua minggu." Suara kecil itu menggema.
"Hah?"
"Dua minggu rata-rata para psikiater menyerah denganku, tetapi aku bisa membuatnya 3 hari bila aku merasa jahat."
Isogaii menatapnya, sungguh pernyataan yang aneh. Ia berjalan ke belakang bocah itu untuk melepaskan penutup matanya.
"Dan bila kamu sedang baik?" Isogai membuka ikatan di kepalanya.
"Satu bulan." Bocah itu mengibas-ngibas rambutnya.
"Sebentar.." Isogaii bergumam seraya membuka ikatan tangannya dengan sedikit bersusah payah. "Ah sudah lepas."
Suara langkah kakinya hingga menempati kursi yang ada di depan bocah itu, kini duduk sambil melipat tangan, ekspresinya seakan mengatakan bahwa ia sudah bosan dengan hidup. Mata merkurinya yang tajam, rambut merahnya yang mencolok itu acak-acakan.
Anak ini…
Wajah berhias lembam dan plester besar yang menempel di lehernya, menimbulkan banyak pertanyaan.
Mirip sekali dengannya.
"Salam kenal. Namaku Isogai Yuuma, mulai hari ini aku yang akan menanganimu." Ia mengulurkan tangannya.
"…." Bocah itu menatap tangannya tanpa bergerak sedikit pun, membuat Isogaii menghela napas batin dalam-dalam.
"Yah, mungkin kita akan dapat saling mengenal dalam beberapa waktu. " Ia menarik kembali tangannya. "Karma-kun. Boleh aku panggil begitu?"
"Jangan sok akrab deh." jawabnya. "Memangnya ini bimbingan konseling?"
"Haah." Anak itu menguap.
"Tidak becus. Masa aku dikirim untuk ditangani guru BK, apakah mereka sudah terlalu miskin untuk membayar psikiater?"
"Aku psikiater, jadi tenang saja Karma-kun." Anak itu mengangkat alis mendengar namanya tetap dipanggil seperti itu.
"Mukamu itu lebih seperti guru TK yang lari terkencing-kencing kalau melihat kecoak."
Isogaii tertawa ringan.
"Banyak yang bilang seperti itu."
Bocah itu memperhatikan antenna rambutnya yang meliuk dengan aneh.
"Kecoak."
"HEH?! DIMANA!" Isogaii langsung melompat dari kursinya.
"Bukan. Rambutmu mirip kecoak…"
"Oh.." Isogaii menyentuh antenanya.
"Itu bukan kesan yang bagus."
"Tentu saja bukan, dasar guru TK."
Lalu tangannya berpindah untuk melepaskan ikatan di tangannya.
"Hei guru BK."
"Eh ya?"
"Seriusan mau melepas ikatanku?"
"Ya."
"Kamu tidak takut kenapa-kenapa?"
"Tidak terlalu."
Dan tali itu lepas sudah.
"Karma—"
"!"
Entah sejak kapan, pena di kantong depannya hanya satu inci dari pupilnya. Bocah itu berdiri ke mata pria itu yang tengah berlutut.
"Sudah menyesal?"
Keringat dingin sekali lagi mengaliri pelipisnya.
"Tidak."
Kedua matanya bertemu.
"Psikiater terakhir matanya beneran kutusuk, loh."
",,,"
Kegilaan yang sama itu, di matanya.
Pria itu tersenyum dengan alis matanya bertekuk dengan ironi yang nostalgis.
"Kamu memiliki cara aneh menyalami seseorang, Akabane..."
Mata yang liar itu.
Bocah itu menatapnya lekat-lekat. Pria itu mengucapkan namanya, tetapi matanya menatap seakan ia bukan berbicara padanya.
"Kalau begitu, salam kenal, Karma-kun."
"…"
Kali ini giliran bocah itu yang terdiam.
Pertemuan Selasa Ke-3 Dengan Pasien 106
Bocah berumur tiga belas tahun itu menyilangkan kaki, menatap ke matanya.
"Apakah kau gila?"
Matanya merah, pembuluh darahnya terlihat jelas, menebal di skleranya itu. Sungguh mengherankan bagi Isogaii kenapa tatapannya itu tidak ada bedanya dengan hewan yang mengidap rabies.
"Tentu saja tidak, Karma-kun. Aku seorang psikiater, apa jadinya kalau aku tidak waras."
"Justru itu."
"Mana kau mengerti, kau tidak gila."
Pertemuan Kami Ke-8 Dengan Pasien 108
Serba serbi di atas meja itu disapu bersih oleh tangannya, kertas kertas berjatuhan ke lantai. Berkas-berkas miliknya berterbangan.
"Hei guru BK." Ia berlari, menerjang pria yang duduk itu, wajah mereka depan-depanan. Dan bocah itu berdiri di depannya, mata melotot.
"Kau tahu... Aku dapat membuatmu gila sementara."
Anak itu memiringkan kepalanya, meninggalkan kesan sudut yang janggal.
"Kau akan merasa sangat enak."
Mata emas itu cuma menatapnya dengan waspada, mulutnya tidak berkata apa-apa.
"Kamu bahkan akan melihat sisi dirimu yang tidak pernah kau lihat! Bahkan, dokter... kau bahkan akan akhirnya mengerti apa yang kaupikirkan!"
"Hrgh!"
Clep. Pena itu menancap di bahu kirinya.
"Karma, tolong hentikan..." ia berusaha menangkup pena di bahunya.
Tapi ia tidak menghempasnya, tidak mendorongnya menjauhi tubuhnya, padahal bocah itu begitu kecil disbanding dengannya.
Kenapa?
"Bagaimana, sakitkah?" pena itu semakin jauh dilesakkannya.
Mata emas itu langsung beralih ke kamera sekuriti.
" Terlambat, aku sudah mematikannya."
Sejak kapan?
Dia melakukannya saat berpura-pura dengan mainannya?
Atau saat aku tidak melihatnya…
Lalu kenapa anak ini bahkan dapar kabur—
"Kau berpikir kenapa aku tidak kabur saja..?"
Bagaimana ia tahu—
"Aku sedang menunggu sesuatu."
Ia mencabut pena itu dari bahunya.
"Cih. Padahal lebih mudah kalau kamu berteriak saja."
"AKH!" Dan dilesakkan kembali ke bahunya.
"Suaramu jelek sekali."
Kali ini menutup bibirnya rapat-rapat.
"Kenapa kau tidak melaporkanku saja..?" sepasang mata yang menatap dingin.
Bocah itu sekali lagi menarik pena itu keluar.
"Karena… Kh..!" suaranya tercekat pena yang sekali lagi bersarang di bahunya.
"Aku masih belum mengenalmu dengan cukup baik, Karma-kun."
.
.
.
.
Pertemuan Jumat Ke-6 Dengan Pasien 106
Kali ini pasien cilik itu mengistirahatkan kepalanya di tangannya, menatap dengan bosan psikiater itu yang datang terlalu tepat waktu seperti biasa.
"Hari ini aku membawakan sesuatu yang menarik untukmu."
Bocah itu menatap lembaran-lembaran kertas yang diletakkan di meja di depannya tanpa tertarik sedikit pun.
"Coba kau lihat-lihat."
Ia menatap pria itu dengan skeptic sebelum kebosanan mengalahkannya.
"Awas kalau membosankan."
"…"
"Ini apa-paan?" ia membalik-balik kertasnya dengan kasar.
"Ada gambar beruang kutub dan kotak-kotak aneh…" matanya memicing dengan skeptis.
"Coba kau lihat dulu, ujian ini—"
PLAK. Kertas itu mendarat di wajahnya.
"Dasar guru TK. Apa-apaan, mirip seperti buku mengggamba—"
Bocah itu terhenyak.
"Tunggu dulu."
Kertas itu direbut kembali dari wajah Isogaii.
"Beruang kutub seharusnya tidak berada disini…"
Pena beradu toreh di atas kertas. Pria itu hanya tersenyum kecil melihat tingkah lakunya.
Akhirnya kau kerjakan juga.
Pertemuan Sabtu Ke-6 Dengan Pasien 106
Baru kali ini psikiater itu membuka pintu itu dengan kasar.
"Karma-kun!"
"Ada apa sih ribut-ribut, guru TK? Tumben sekali mengunjungiku di hari libu-"
"Karma-kun! Ini luar biasa, kamu ternyata…" pria itu membolak-balik kertas
"Ternyata…?" anak kecil itu menatap kertas itu dengan sedikit jengkel.
"Aku tidak percaya ini, kamu jenius cilik!"
"... -apa..?"
"Ini luar biasa!" ia membalik-balik kertas di tangannya.
"Hah, apa maksudmu, dasar guru TK."
"Kamu tahu apa yang kamu kerjakan kemarin..?" pria itu mengayun kertas-kertas itu di depan wajahmu.
"Apaan sih." Bocah itu menyambar kertas itu dari wajahnya.
Terbaca, skor 160.
"Ini IQ Tes, Karma-kun! Aku tidak menyangka kamu ternyata pintar sekali!"
"Ya aku sudah tahu itu, kok.
"Kamu tahu arti angka ini, Karma-kun?"
"Cuma skor benarnya kan..?"
"…"
Pria itu menggeleng-geleng kepalanya.
Andaikan kamu tahu.
tbc (?)
