Dia tampak begitu menyilaukan. Berani mendongak menantang matahari, berani meniti seutas tali dan mendobrak batas yang tak dapat dilalui. Disaat semua tenggelam dalam indah dunia, romansa remaja dan glamour harta, ia tetap berjuang menghadapi ironi kaumnya. Bukannya tak ada. Hanya langka.

Soi Fon namanya. Kami berkenalan saat aku menjadi salah seorang sukarelawan di sebuah desa terpencil di dalam hutan yang ditimpa bencana banjir dan gempa bumi. Ia berjalan hilir mudik diantara para korban yang terbaring tak berdaya dengan perban melilit dibeberapa bagian tubuh.

Bukan tipekal wanita yang menarik hati pada pandangan pertama. Matanya tajam, pembawaannya dingin dan tenang. Gerak tubuhnya siaga. Bukan seseorang yang kau harapkan dapat menghibur disaat-saat genting seperti ini. Bukan berarti tak menarik, hanya … berbeda.

That Girl

Bleach By Tite Kubo

Chapter 1: That Girl

Genre: Hurt/Comfort

Rating: T

Pair: G/S

Warning: typo and ooc

Word: 1.085

For challenge 100 situations and birthday fic for Tatsu Adrikov Galatea

Table 4, situation 1, Disease

.

Posko ini terletak agak jauh ke dalam hutan. Dimana untuk mencapainya, kau harus melewati kota yang bangunannya sudah ambruk oleh guncangan gempa. Lalu meneyeberangi sungai selebar tiga puluh meter yang berarus deras sisa banjir besar, dan ancaman jembatan lapuk yang dapat ambruk kapan saja, dengan tali. Terakhir kau harus mendaki, membelah belantara selama tiga jam, termasuk istirahat. Setelah itu, barulah kau dapat mencapai posko ini.

Saat itu bulan telah bertahta. Angin berhembus pelan, namun sanggup menggetarkan tulang dan menggoyang bulu roma. Mungkin ini adalah cuaca yang normal, bagi para pengungsi yang notabene bermukim di sini. Tetapi tidak untukku. Ini kali pertama aku meyertakan diri sebagai sukarelawan. Jadi masih harus menyesuaikan diri.

Letih berkutat dengan rengekan anak-anak yang ketakutan, aku pun memutuskan untuk mencari udara segar, sekaligus menyesuaikan diri. Kurapatkan jaketku, lalu melangkah santai menjauhi posko pengungsian.

Belum jauh aku berjalan dari camp, kulihat seorang bocah lelaki berkaki satu tengah duduk termenung. Entah meratapi nasib ataukah sekedar menikmati pemandangan khas pedesaan yang jauh dari hingar-bingar, aku tidak tahu. Aku hendak menghampiri bocah itu, namun seorang gadis mendahuluiku. Dari wajahnya, gadis itu tampak tak lebih muda dariku. Umurnya mungkin masih sembilan belas atau dua puluh tahun. Sepertinya ia tak tahu aku ada di sini, karena rimbunnya pepohonan, menutupi tubuhku.

Ah, aku ingat. Dia adalah sukarelawan yang menjadi buah bibir beberapa rekanku sesama mahasiswa dari Institute Hueco Mundo. Gadis itu adalah penyandang disabilitas. Bukan bawaan saat lahir sepertinya. Mereka menganggap bahwa tidak sepantasnya orang-orang seperti gadis itu, dengan segala keterbatasannya, ikut menjadi sukarelawan. Tapi sepanjang pengelihatanku, gadis itu baik-baik saja. Ia tampak begitu mandiri dan … penyendiri.

Ia duduk di samping bocah itu. Ikut-ikutan termenung. Tiga menit. Tidak ada sepatah kata pun yang terlontar dari bibir keduanya. Tapi aku tetap menunggu di tempat. Seperti bukan diriku saja. Lima menit, dan mereka masih tak bersuara. Bosan menunggu, akhirnya kuputuskan untuk menghampiri mereka. Tapi baru selangkah aku beranjak dari tempatku berdiri, gadis yang baru kuingat bernama Soi Fon itu akhirnya membuka mulutnya.

"Tak ada gunanya meratapi nasib. Kau ratapi bagaimanapun, bagian yang hilang itu tak akan kembali." Ia menatap kaki bocah malang itu.

Kutepuk keningku. 'Dia terlalu jujur.' Rutukku jengkel.

"Dunia tidak akan mengasihani kekuranganmu. Mereka hanya akan menertawakan ketidakberdayaan dan traumamu. Memperlakukanmu seolah-olah kau tidak berguna. Merepotkan." Soi Fon menoleh pada bocah itu. Ia masih begitu kecil. Namun Soi Fon yakin seratus persen, bocah itu mengerti ucapannya. "Oleh sebab itu, perlihatkanlah pada dunia. Bahwa kau mampu mendobrak batas itu. Kau pun dapat melakukan apa yang orang normal dapat lakukan, bahkan lebih." Ia menepuk pundak bocah itu.

"Apakah kau sudah dapat menunjukkan pada dunia kau pun sama dengan mereka yang normal?" anak itu bertanya dengan segala kepolosannya. Matanya melihat tangan kiri Soi Fon yang tinggal sejengkal.

Soi Fon tersenyum sinis. "Kau pikir mengapa aku ada di sini?"

"Karena kau ingin?" bocah itu mencoba berkelakar dengan teman barunya.

"Hn, ya. Karena aku ingin. Ingin menunjukkan pada dunia, bahwa aku masihlah sama dengan aku yang dulu. Terlepas dari kekuranganku ini. Aku masih tetap orang yang sama, dengan orang yang mereka kenal bertahun-tahun lalu." Soi Fon mengangguk pada bocah itu.

"Apa kau jadi tahan banting setelah kehilangan tangan kirimu?" tanyanya lagi.

"Kau ini. Sudahlah. Kembali ke tempat tidurmu sana." Usir Soi Fon jengkel. Bocah itu hanya tertawa geli. Tapi bocah itu belum juga beranjak. "Kenapa masih di sini? Cuma berjalan lurus saja, masa kau tidak bisa?" ejek Soi Fon.

"Bukannya tidak bisa. Hanya saja masih ingin lama membuat kakak jengkel." Bocah itu tertawa keras. Lesung pipinya muncul karena begitu lebarnya ia tersenyum. Ia lalu berlari tertatih-tatih dengan tongkatnya.

"Sial," maki Soi Fon yang baru sadar bahwa dirinya baru saja diejek. Tapi ia tak mengejar bocah itu. Ia malah berbaring telentang, menatap ke atas langit. "Mau sampai kapan kau bersembunyi di sana?" ia tiba-tiba berbicara dengan suara yang tidak bisa dibilang pelan.

Aku berjalan keluar dari rimbun pepohonan. Lalu duduk disebelahnya yang masih berbaring. Kuulurkan tangan kananku padanya. "Ggio Vega."

Ia menyambutnya ogah-ogahan. "Tidak baik menguping pembicaraan orang Vega." Bukannya balik memperkenalkan diri, ia malah berkata dengan pedasnya.

"Tidak baik langsung mengalihkan pembicaraan. Perkenalkan dulu dirimu." Dengan gusar kubalas ucapannya.

"Aku tahu pasti, kau sudah tahu namaku," balasnya sengit.

"Tapi kau belum memperkenalkan diri. Bisa saja aku salah mengingat orang," balasku tak kalah sengit. "Omong-omong panggil Ggio saja. Aku merasa sangat tua kalau kau panggil Vega."

"Yeah, bisa saja." Ia memutar bola matanya, mendengar alasanku yang konyol. "Soi Fon," katanya kemudian.

"Maaf?" kataku pura-pura tuli.

"Shaolin Fon. Pangil saja Soi Fon." Sepertinya bukan ide yang baik mengajaknya berdebat. Ia kembali menatap langit.

Kami diam untuk beberapa saat. "Enak juga sepertinya tiduran seperti itu." Aku menatapnya iri.

"Berbaring saja kalau mau. Jangan mrengek seperti anak manja begitu." Ucapnya setajam belati.

"Ck, dasar tidak sopan," aku berdecak. Ingin berbicara santai dengannya saja masa harus adu urat syaraf lebih dulu?

"Kau pikir menguping itu sopan?" balasnya tak mau kalah.

"Hah, sudahlah. Aku malas berdebat denganmu." Kunyamankan diri berbaring disebelahnya. Hidungku sedikit mengerinyit saat sebuah aroma singgah ke dalam hidungku. "Wangi sekali," celetukku tanpa sadar.

"Tidak ada yang wangi di sini. Jauh dari rumah membuatmu berhalusinasi ya?"

Aku tidak membalas ucapannya langsung. Aku terdiam beberapa saat. Lalu aku berguling mendekat ke arahnya. "Hidungmu boleh jadi sudah kebal dengan wangi ini. Tapi aku tahu betul ini wangi apa."

"Memangnya apa?" tanyanya dingin, seperti tak ingin tahu. Tapi kerutan tipis disekitar keningnya sudah cukup menunjukkan bahwa ia sebenarnya penasaran. Aku berani bertaruh untuk itu.

"Wangi madu dan …-" aku menggantung ucapanku, menikmati ekspresinya menunggu jawabannya, "-cinta."

DUKK

"Ouch, hei apa yang kau lakukan?" desisku, ketika kakinya mendarat dengan amat mulus di tulang keringku.

"Tidak ada. Hanya tes kecil untuk membuktikan sesuatu. Omong-omong reflekmu buruk sekali," Tandasnya dan berbalik pergi.

That Girl

"Semoga selamat sampai tujuan. Sampai jumpa."

Para sukarelawan baru saja menyelesaikan misinya hari ini. Termasuk aku dan tentu saja gadis itu. Saatnya berpamitan. Aku mencari-carinya. Dia berdiri di pintu bus yang akan mengantarnya pulang. Kami memang tinggal dikota yang berbeda.

"Apa kita akan bertemu lagi?" tanyaku sambil menjabat tangannya erat.

"Entahlah siapa yang tahu. Hari esok selalu menjadi misteri. Bukan begitu?" ia berkata. Lalu tanpa tedeng aling-aling langsung masuk ke dalam bus bersama sukarelawan lain yang satu tujuan dengannya.

"Aku harap kita bisa bertemu lagi!" pekikku pada busnya yang sudah siap jalan.

"Bodoh." Hanya itu yang dapat kubaca dari gerak bibirnya yang tak mengeluarkan suara.

Ya, semoga suatu hari aku dapat bertemu dengan gadis itu lagi. Gadis yang membuka mataku btapa rumitnya sesuatu yang bernama takdir.

Kubutakan mata akan cacatmu

Kutulikan telinga atas kurangmu

Dan kupersembahkan hati atas namamu

OWARI

Pojok gaje:

Tatsu, hiks QAQ

maaf ya, ngaret banget kadonya. Karena Tatsu sangat baik hati, aku pasti dimaafin 'kan? Apa? Ga mau maafin? Ya udah. #dilempar

hiks sekali lagi maaf #bungkuk-bungkuk

ya sudahlah semoga para reader terhibur dengan fic ini. Sampai jumpa~~