Gintama © Hideaki Sorachi
Small by Saaraa
Takasugi Shinsuke
"Apa yang kaulakukan? Kaubisa masuk angin ... Shinsuke."
Lelaki itu menoleh. Melalui bahu, perlahan. Ada dengusan diloloskan sukarela. Kiseru tetap menjadi atensi utama, diembuskan nikmat. Namun ia juga bukannya apatis akan langkahmu yang mendekat, duduk di samping sang iris gulma, di atas dermaga.
"Kau sendiri?" Shinsuke bertanya. Tidak menoleh. Tak perlu. Ia tahu sepasang bola matamu menatapnya hati-hati, serta penuh—afeksi. Meski kata itu masih serasa janggal pada petak lidahnya.
Shinsuke hanya paham apa itu kasih melalui gurunya dan kawan-kawannya. Kasih yang—platonik. Bukan romantis. Beda.
Kau terkekeh kecil. "Aku tak bisa tidur," ujarmu, mengakui. "Matako-chan sudah pulas. Ia kelelahan setelah pertarungan hari ini. Wajar saja, kan? Kau yang tidak wajar, dasar."
Shinsuke tersenyum timpang. Kali ini betulan melihat lurus kelerengmu. Sebelah mata sang surai hitam pekat dibebat perban. Kau hanya dapat melihat sebelah saja netra sehijau padang gurun. Namun itu cukup. Sebab refleksimu pada iris itu—sejernih air dalam gelas. Cerah. Memantul sempurna.
"Jadi, apa evaluasimu untuk hari ini, hm?" Shinsuke bertanya. Kau merengut kesal. Jelas-jelas dari antara dua insan di sini, kau bukanlah seseorang dengan keahlian taktik dan pakar strategi.
Namun tetap kaujawab, bagaimana pun, "Bagus. Kulihat tidak banyak yang terluka fatal karena strategimu memecah grup menjadi beberapa bagian. Hanya saja, satu yang salah."
Kali ini, Shinsuke yang mengerutkan dahinya. Ia cukup percaya diri dengan caranya menumpas musuh. Di mana lagi yang kurang?
Sebelum Shinsuke bertanya, kau paham apa maksud ekspresi yang menagih eksplanasi itu. Maka sebelah tanganmu terangkat, telunjuk berlabuh pada dada sang iris gulma yang juga dibalut oleh perban. Shinsuke tersentak, namun tak bergerak.
"Ini salahmu. Seorang komandan tidak pantas terluka dan berdiri di garis depan, Shinsuke. Aku mengikutimu, menjadi bawahanmu—terlepas bahwa dulu kau orang yang paling diincar oleh bakufu, karena aku yakin kaubisa membawaku pada tujuan di mana tak ada satu orang pun perlu terluka. Kau perlahan merealisasikan itu, tapi tidak untukmu sendiri," jelasmu. Lalu, rentetan kalimat itu berlanjut. Kali ini, begitu lirih—sehalus napas, serta sarat akan lara, sesungguhnya, "Kumohon, berhenti terluka."
Shinsuke mendengus. Meraih pergelangan tanganmu. "Aku tidak lemah. Sudah kukatakan kalau ada yang bisa menghancurkan dunia ini, aku, adalah orangnya."
Kau mengangguk. "Kamu tidak lemah. Aku yang lemah. Melihatmu terluka, melihatmu harus tewas di medan perang—aku yang tidak siap."
"Dan aku tak butuh orang lemah."
"Kalau begitu kenapa memungutku sejak awal?"
Skak. Shinsuke terdiam. Menatap nyalang. Jelas tak suka disudutkan oleh kata-kata, sebab selama ini dia yang paling petah lidah dari antara semuanya. Kau mengulurkan lenganmu, mendekap tubuh di hadapanmu.
Dingin. Tersapu angin malam. Kalian harus masuk segera bila tak ingin mengundang penyakit.
"Shinsuke, berhenti melukai diri sendiri dan berkorban atas nama penebusan dosa. Sudah—cukup."
Shinsuke terdiam. Membalas dekapan sederhana. Harga diri memaksa untuk tak tampak ringkih dan mudah dikalahkan. Namun untuk sekali, untuk hanya di hadapanmu—boleh lah ia luluh hanya untuk sesaat.
"Kita lihat saja nanti," balas Shinsuke. Menikmati rasa hangat.
Menyelami malam.
Memiliki seseorang ... tak buruk sama sekali.
Katsura Kotaro
"Kau itu bodoh, Zura."
"Bukan Zura, tapi Katsura! Bisa-bisa kau mengataiku bodoh. Aku sakit hati."
Kau menggeleng-geleng. Menghabiskan sisa es teh manis yang tersaji di hadapanmu. Gintoki melirik tak berselera akan perkelahian sehari-hari. Sudah biasa. Lagipula ia setuju dalam sanubari bahwa Kotaro memanglah seorang idiot sejati.
Ikumatsu tertawa kecil. Singkirkan mangkuk mi yang telah lesap isinya.
"Masih berani bilang begitu?" sahutmu lagi, mendelik. "Lihat! Kalau kau tidak cari gara-gara dengan Shinsengumi, kau tak akan terluka, Zura!"
"Namaku Katsura Kotaro! Lagipula, para polisi itu yang salah. Mereka tiba-tiba ingin meringkusku, padahal aku hanya tengah bersantai di bangku taman."
Kau memijit pelipis. "Terserahlah, orang bodoh. Aku menyesal sekali. Kenapa aku bisa jadi kekasihmu, Ya Tuhan."
Kotaro mendengus. "Kau tidak harusnya menyesal. Aku yang terbaik dari antara mantanmu, benar?"
"Tidak! Kesimpulan dari mana itu?"
Gintoki menengahi, "Sudah, sudah, kalian anjing dan kucing—"
"DIAM!"
Gintoki membungkam suara. Jera memisahkan. Terserah sajalah. Kau menghela napas panjang. "Aku ingin belanja makan malam dulu. Kau pulanglah, Zura. Sakata-san, tolong antarkan aku."
Gintoki mengangkat sebelah alis. Ia menyetujui. Kotaro hanya merengut di sana. Usai kau melangkah pergi dari sana, kau menuju supermarket. Tidak butuh waktu lama hingga selesai berbelanja dan hendak pulang, menunggangi motor sang surai perak.
Namun sebelum menaiki motor itu, ada bisik-bisik yang keterlaluan jelas.
"Katsura Kotaro menjadi veteran perang yang tak bisa apa-apa, ya."
"Betul! Kudengar ia adalah pengecut yang selalu melarikan diri dari Anjing Pemerintah."
Kau mendelik kesal. Langkahmu berat, mendekati dua adam yang tengah bergunjing, dan deklarasikan isi hati, "Setidaknya ia tak cukup pengecut untuk membicarakan orang lain di belakang. Kotaro adalah lelaki yang jauh lebih baik daripadamu!"
Barangkali mereka berpikir kau hanyalah gadis yang sekrup kewarasannya miring. Maka dengan langkah tegas mereka berbalik pergi sambil meloloskan sumpah serapah. Gintoki tertawa, kau menatap kesal. "Apa?"
"Kata gadis yang tadi siang bilang menyesal telah menjadi kekasih seorang Zura."
"Berisik!"
Kau menghentak kaki. Malu hingga ubun-ubun. Habis ini, kau ingin sekali rasanya lanjut mengoceh pada dia yang sebetulnya—ialah kesayanganmu. Satu-satunya.
Sakata Gintoki
"Lagi?"
Kau menggeram kesal. Shinpachi mengangguk—sedikit ngeri. "Ku—kudengar begitu. Gin-san mungkin main pachinko di tempat biasa."
Kau menarik napas, lalu menghelanya panjang. Kagura merasa iba, maka sang gadis bersurai sewarna senja menepuk-nepuk pundakmu. "Tinggalkan Gin-san saja, aru. Aku juga bingung kenapa kau masih mau dengannya."
Kau tersenyum tipis. Mengusap-usap kepala jingga. "Tak apa. Ini sudah malam. Shinpachi-kun, kau boleh pulang. Lalu Kagura-chan, ayo tidur."
Maka kedua remaja mengangguk. Shinpachi izin undur diri. Kagura dan Sadaharu melangkah ke dalam lemari baju, nyamankan diri di sana. Kau mengusap-usap sang anjing berbulu lembut dan mengecup dahi Kagura sebelum menyuruh mereka terlelap.
Berikutnya, kau menunggu di sofa. Membaringkan tubuhmu. Tak sadar bila perlahan alam mimpi menyeretmu, menjauhkan kesadaranmu.
Entah sudah berapa lama terpulas, satu hal membangunkanmu. Usapan pada dahi membuatmu mengangkat pelupuk, perlahan, lalu mengerjapkannya repetitif. Menjernihkan pandangan.
"Gin?"
Gintoki tersenyum tipis. "Kau harusnya tidur di kamar."
"Dan kau harusnya tidak berkeliaran main judi."
Gintoki tertawa kecil. "Maaf, maaf," ujarnya, meski tak tampak ikhlas. Kau mendengus. Kesal kembali merajai hati.
Namun itu tak berlangsung lama kala sang surai perak mendekatkan diri, memberi kecup sederhana pada kening. Kau menutup mata untuk sesaat, lalu sadar sebuah tangan besar kembali mengusap suraimu. Menyelipkan juntaian itu pada balik daun telinga. "Ayo. Tidur di kamar."
Kagura bertanya mengapa kau masih bertahan.
Bagaimana tidak?
Sebab meski lelaki beriris darah itu tampak menjijikan dengan segala kebiasaan jeleknya, atau bagaimana sikapnya seolah tak pernah memikirkan orang lain, tetap saja—ada perlakuan berbeda bila itu menyangkut orang yang dekat dengannya.
Shinpachi dan Kagura belum paham. Mungkin nanti. Tak perlulah dijelaskan juga.
Sebab untuk sekarang, ini cukup. Kau tersenyum tipis.
"Okaeri."
Gintoki mengangguk. "Tadaima. Omong-omong, bajumu tipis sekali. Aku bisa melihat bra—"
Baiklah. Ingatkan lagi mengapa kau bertahan dengannya.
Hijikata Toshiro
"Kutolak."
"Tapi ini rencana yang efektif!"
Begitu sadar, kau telah meninggikan nada suaramu. Penghuni ruang rapat lain menutup suara. Tak berani menyela, lebih-lebih membela. Biar sajalah, daripada sabetan pedang menyasar pada target yang salah.
Hijikata Toshiro memperdalam kerutan pada dahi. "Tidak. Regulasi nomor 47: Tetap hidup, meski harus melanggar aturan lainnya. Jangan berkorban nyawa bila tak diperlukan. Bukan itu tujuan Shinsengumi dibentuk."
Kau menggeram rendah. "Tapi saya tidak—Fukucho," kau menarik napas, menghelanya perlahan. Menjadi kapten wanita pertama dalam Shinsengumi membuatmu sadar betapa opinimu acap kali disingkirkan, taruh paling sudut dan tidak hiraukan. Namun kau tahu Toshiro bukan orang yang membedakan macam itu. Maka kasus kali ini betul-betul mengherankan.
"Target kita adalah pemberontak Joui yang cerdas dan teliti. Selain bisa menghindari kejaran Shinsengumi, dia juga memiliki bawahan yang setia—akan sulit meraih kepalanya langsung. Tapi satu kelemahannya ialah wanita. Sering sekali dia mengundang wanita kabaret keluar-masuk tempat persembunyiannya. Maka itu, saya rasa ini waktu yang tepat bagi saya untuk menyusup masuk."
Meski kaujelaskan sekali lagi, penolakan hanyalah jawabannya. Isao membubarkan rapat sebelum suasana semakin meredupkan semangat yang lain.
.
"Aku tak paham!" kau menjerit tanpa sadar, keki. Sougo yang melihatnya hanya menghela napas pendek dan Isao tertawa kecil.
"Oke—maksudku, aku bukannya tidak paham Kyokuchuu Hatto yang dia bentuk. Tapi kenapa dia keras kepala sekali? Bukan berarti aku akan mati sewaktu-waktu! Aku tak selemah itu?!"
"Maa, maa," Isao mengangkat kedua tangan, tersenyum tipis. "Semua orang tahu kau tidak lemah. Toshi hanya khawatir, kau tahu itu kan? Bahkan kadang orang yang kejam akan menjadi begitu hati-hati kalau menyangkut orang-orang yang ia pedulikan."
Kau menghela napas panjang. Menopang dagu dengan kedua tangan sambil duduk bersila. "Aku tahu," ujarmu, pada akhirnya. "Hanya saja ... aku juga sungguh-sungguh pada tugasku. Aku melindungi Edo, aku mau yang terbaik untuk kota ini, sama sepertinya."
Sougo akhirnya mengangkat suara, "Kau tahu? Mungkin Hijikata Konoyaro tidak pernah bercerita, namun dia pernah menyukai kakakku—Mitsuba Aneue."
Kau terdiam. Kepalamu bergerak ke samping, menatap lurus sepasang delima. Sedikit yang kau sadari, kontur wajah itu sedikit mengeras.
"Aneue meninggal karena penyakitnya. Hijikata-san tak sempat bersamanya. Sejak itu, dia sangat sensitif kalau menyangkut kawan-kawannya dan orang yang dia sayangi. Tamat."
"Aku turut berduka," kau berujar rendah.
"Hmn."
Tapi tetap saja, kan ..., Kau menutupkan pelupuk. Pusing menguasai kepala mendadak.
.
Langkahmu tegas. Mengetuk-ngetuk alas kayu di bawah telapak kaki. Lalu kala berbelok pada persimpangan, sosok bersurai sepekat jelaga itu tengah menyelipkan rokok di antara dua belah bibir—seperti biasa.
Kalian terhenti. Toshiro menghela napas pendek, hendak lanjutkan langkah. Namun kau menghadang, dengan alis yang bertaut. Toshiro mengangkat sebelah alis, menunggu penjelasan.
"Aku kekasihmu, Toshiro," kau memulai. Tampaknya Toshiro tak menyangka adanya pernyataan yang jelas itu. "Kau sayang padaku dan sebaliknya. Tapi, aku bukan Mitsuba. Aku tak akan mati dengan cepat."
Toshiro mengutuk Sougo dalam hati. Sebab nama itu hanya bisa diungkit bila adik dari Mitsuba sendiri mengatakan sesuatu.
"Aku akan hidup jauh lebih lama darinya," tegasmu, menatap langsung sepasang iris biru samudra. "Aku akan hidup lebih lama darimu, Toshiro. Karena itu tak usah khawatir. Aku janji, kau akan melihatku sampai kau bosan."
Kau tersenyum tipis. Menundukkan kepala sedikit, mendadak formal. Sebab memang tak seharusnya perasaan pribadi merengkuh segala tingkah lakumu, apalagi di dalam barak dan kala bertugas. "Permisi, Fukucho."
Namun, kali ini, Toshiro yang enggan memberikanmu ruang untuk lewat. Kau mengangkat alis dan sekarang jelaslah mengapa pergelangan tanganmu terasa hangat.
"Kau, dasar orang bodoh."
Kesabaranmu mendadak retas. "Hah? Apa-apaan—"
"Aku khawatir. Apakah kurang jelas? Kau boleh menjadi wanita paling hebat di Edo dalam berpedang. Kau boleh saja menjadi abadi seperti Utsuro. Tapi aku, tetap—khawatir."
Kau mendengus. "Aku tahu. Makanya aku akan ganti rencana, oke?"
Toshiro mengangguk. Menepuk-nepuk suraimu. Satu hal yang ia suka lakukan karena perbedaan tinggi yang ada. Kau tersenyum tipis. Untuk suatu alasan, ada kompulsi-impulsif yang membuatmu berjinjit, mengecup bibir sang iris samudra singkat. Kau terkekeh kecil.
Seorang Wakil Komandan Iblis—dapat membuat wajah seperti itu, hm.
Okita Sougo
"Kau harus berhenti kerja dengan Danna."
Kau menautkan alis. Kembali memotong kue cokelat menjadi bagian kecil, lalu memasukkan potongan ke dalam mulut. "Dan mengapa itu?"
Sougo menghela napas pendek. "Satu, kau tidak dapat gaji. Dua, aku tidak suka."
Kau tertawa kecil. "Cemburu?"
"Sangat."
Kali ini, gelak tawamu betulan pecah. Kata siapa seorang kapten sadis tak memiliki perasaan? Maju sini, kau akan patahkan argumen itu dengan mudah.
"Aku bukan bagian dari Shinsengumi," ujarmu. "Tidak seperti kekasih dari Hijikata-san. Tapi, aku juga ingin membantu orang. Bukankah Yorozuya Gin-san adalah pilihan yang pas?"
Sougo menyesap es soda di hadapannya. Berikutnya, lelaki yang memiliki juntaian sewarna pasir lanjut berkata, "Baiklah. Kau adalah orang yang keras kepala juga."
"Kuanggap itu pujian," kau tersenyum, mengangkat bahu. Namun satu hal yang tidak kauekspektasi ialah Sougo memajukan dirinya. Mengunci bibirmu dengan miliknya. Kau melepaskan garpu yang awalnya terselip di antara jemari tangan kanan.
Kau menutup mata, agak kesal. Ini tempat umum. Namun kau harusnya paham Sougo tak pernah hirau pada hal semacam itu. Ia berbuat sesukanya, sesuai isi hatinya. Saat kecup dalam itu lepas, Sougo mengusap bibirmu. Kau merengut jengah.
"Ya, itu memang pujian. Tapi karena kau tidak pernah ingin menuruti apa kata kekasihmu ini," Sougo berkata pelan. Senyum mendadak muncul. Kau tersentak. Mengerikan! "Kau harus mau nanti malam kuperawani, lalu ****** dengan ****** dan kumasuki ******-mu dengan kasar."
Kau mendadak memucat. "Sougo, aku bukan masokis."
"Tapi salahmu menyukai seorang sadis."
Kau mendesah lelah.
Benar juga.
Cukup siapkan tubuh malam ini, kalau begitu.
Kamui
"Oh, Kamui-san!"
Kau tersenyum cerah. Lelaki bersurai seindah senja akhirnya kautemukan. Dengan sehelai kain dan baskom berisi air, kau melangkah mendekat padanya. Kamui balas mengukir senyum simpul.
"Yo."
Kau mengambil tempat di sampingnya. Mengangkat sebelah lengan yang tercoreng likuid berbau amis pekat. Sudah biasa.
"Tidak ada yang luka, kan?"
Kamui menggeleng. "Darah musuhku. Seperti biasa."
Kau menghela napas lega. Setidaknya ia tak kembali dengan goresan memilukan pada daging dan nyaris kehabisan darah seperti sebelumnya. Maka sarat kehati-hatian, kau melepas perban putih yang lengket, membalut lengan berurat itu. Menyingkirkannya sambil sedikit merengut jijik. Kamui tertawa kecil.
Berikutnya, kain dibasahi air hangat. Lalu dijadikan pembersih lengan yang terciprati debu serta darah.
"Kamu aneh, deh."
Kau tidak hilang fokus menyeka lengan. "Mengapa?" tanyamu, tanpa kehilangan satu pun interval.
"Kau bukan petarung," Kamui menjelaskan hal yang tak perlu. Retoris. "Tapi, kau tidak takut pada darah. Biasanya tidak begitu."
Kau lagi-lagi mengukir senyum tipis. "Tapi Kamui-san sering terluka. Atau kotor karena darah yang lain. Aku tahu sebelum aku mengikutimu, kau selalu membiarkannya. Jadi kupikir, mumpung sudah ada aku, aku harus terbiasa menghadapi ini."
Mendengus tipis, Kamui mengulurkan lengan satunya lagi. Kau melepas perban. Seperti tadi, mengulangi rutinitas sehari-hari. "Adikku akan senang bertemu denganmu."
Kau mengangguk. "Aku juga ingin bertemu keluargamu, Kamui-san. Apakah kita akan ke bumi dalam waktu dekat? Aku sangat penasaran dengan orang-orang yang kaubilang hebat. Padahal, kau paling jarang memuji orang lain. Seperti ... ah, Gintoki? Atau, Sougo?"
Kamui mengangguk. "Mereka tangguh. Mungkin akan kubawa kau kapan-kapan."
Kau berseru senang. Sekaan terakhir pada lengan sang petarung telah usai. Kau membawa perban bekas dan kain untuk disingkirkan. Air sisa juga hendak dibuang. Namun sebelum kau benar-benar pergi, sebuah kalimat sederhana menghentikanmu.
"Lain kali kita datang ke bumi," ujar Kamui. "Akan kukenalkan kau pada adikku. Sekalian ia mengenal kakak iparnya."
Kau tertawa. "Dengan senang hati!"
... END?
A/N : Jadi ... dua hari lalu saya sedang sakit dan nggak bisa ngapa-ngapain. Hasilnya karena bosan, saya mengetik cerita ini dan Effect melalui handphone. Karena tidak tahu harus saya apakan, jadi saya upload saja di sini, hehe. Oh, ya, kalau mau request (seandainya banyak yang tertarik mengenai character x reader ini), boleh, kok!
