Saya begitu jatuh hati pada pairing ini. Langka, ya. Tapi mereka, menurut saya, cukup unik dan manis. NorwayBelarus harus menjadi lebih populer dan berkembang D: Banyak kesamaan di antara mereka yang menjadikan mereka, menurut saya, cocok terhadap satu sama lain :"D Adakah yang juga jatuh hati pada pasangan brother-complex ini? :"D
Oh ya, fic ini terinspirasi dari lagu She Will Be Loved punya Maroon 5. Sebagian plot juga terinspirasi dari lagu Fall For You punya Secondhand Serenade. So, kalau bisa, baca sambil denger lagu itu biar makin nyesep (?) :) Menurut saya, dua lagu ini bisa menjadi main theme songbagi pairing NoruBela. Haha. Selamat membaca~
::::::::::::
Hetalia Axis Powers © Hidekaz Himaruya
This story's based on, She Will Be Loved © Maroon 5
And,
Fall For You © Secondhand Serenade
Warning: (Mungkin) OoC (Saya mengusahan tiap karakter se-IC mungkin), sedikit mature content implisit, umpatan dan kata-kata kotor, hints slash.
Pairing: LukasNatalia (NorwayBelarus), one-sided IvaNatalia, AmeBel, slight RussiaChina
Note: Lukas Bondevik = Norway, Natalia Arlovskaya = Belarus, Ivan Braginski = Rusia, Alfred Jones = USA, Emil Steillson = Iceland, Matthias Kohler = Denmark, Tiino = Finland, Berwald = Sweden, Wang Yao = China, Katyusha = Ukraine.
Saya tidak mengambil keuntungan material apapun dari fiksi ini.
::::::::::::
Ratu Keindahan di umur yang hanya delapan belas, sang wanita memiliki masalah dengan dirinya sendiri.
Sang lelaki selalu ada untuk menolong sang wanita, namun sang wanita selalu menjadi milik yang lain lagi.
Aku selalu pergi bermil-mil dan selalu berujung pada pintu rumahmu.
Aku pernah memilikimu selama beberapa kali namun semua itu tak pernah cukup bagiku.
Langit musim panas tampak berwarna biru cerah. Awan-awan membentuk gumpalan yang tampak seperti kapas putih yang melayang di udara. Hawa udara tidak begitu menyengat, tetapi sekalipun demikian, Lukas Bondevik enggan untuk beranjak dari kursi meja belajarnya yang telah ia duduki selama nyaris setengah jam lamanya, demi menikmati cerah dan hangatnya cuaca di luar.
Rangkaian kata dan angka yang tertera dalam lembaran Fisika-nya, menjadi pusat perhatiannya dalam beberapa menit lamanya tersebut. Pandangan dari dua bola berwarna biru itu tampak datar, seperti biasanya—bukan suatu hal yang aneh—ketika bergerak ke kiri dan ke kanan dalam hal mencerna apa yang tengah ia baca. Rumah tengah sepi karena hari ini hari libur dengan demikian, ia bisa bersantai sejenak dari ributnya kondisi rumahnya ketika keempat penghuni lainnya berada di rumah tersebut. Tetapi di hari liburan ini, anehnya dan untungnya, hanya dirinya yang masih bertahan di rumah ini ketika keempat laki-laki lainnya memutuskan untuk menghabiskan waktu di luar. Entah kemana mereka pergi, Lukas tidak peduli. Ia merupakan pribadi yang menyukai ketenangan dan demi Tuhan, jauh lebih menyukai ketenangan ketika terutama Matthias Kohler tidak sedang berada di rumah.
Angin lirih musim panas berhembus dan menerobos masuk ke kamar Lukas melalui jendelanya yang terbuka. Gorden berwarna biru muda yang tergantung di sana, tampak terayun-ayun kecil karenanya. Ayunan lirih gorden itu nyatanya cukup menarik pandangan Lukas untuk teralihkan dari lembaran yang tengah dicermatinya. Entah karena pikirannya tengah lelah karena beberapa menit sibuk berkutat dengan teori dan rumus, pandangan bola berwarna biru itu menatap ke arah jendela dengan tatapan datar andalannya.
Menatap ke arah luar jendela dengan lebih lama dari yang seharusnya.
Lebih tepatnya, ke arah bangunan yang berada persis di sebelah rumah yang didiaminya.
Mengalihkan pandang, Lukas berusaha kembali melanjutkan apa yang sempat ia tunda. Tetapi kini pikirannya seolah berada di tempat lain ketika otaknya seperti bebal untuk bahkan mampu mengeja kalimat tiap kalimat. Setelah merasa muak dengan dirinya sendiri yang dengan begitu mudah kehilangan konsentrasi, pemuda berambut pirang muda itu meletakkan bolpoinnya, lantas beranjak dari kursinya.
Melangkah dan kemudian menyandarkan diri di tepian balkon kamar, pandangannya terarah pada bangunan yang ada di depannya.
Bukan bangunan yang tak biasa—bahkan jika diperhatikan baik-baik, tidak ada yang istimewa. Hanya sebuah rumah dengan dua lantai—tidak seberapa besar. Bercat warna putih dengan atap berwarna coklat tua. Mungkin hanyalah pekarangan depan dan belakang yang luas itulah yang menjadi daya tarik utama dari bangunan yang tengah dipandangnya.
Oleh sebab itu, sejatinya bukan bangunan itulah yang membuat Lukas kini menatapnya. Menghabiskan beberapa lama waktunya hanya untuk menatapnya, layaknya orang bodoh dan kurang kerjaan.
Namun justru adalah salah satu penghuni rumah itu, penghuni kamar di bangunan itu (yang berada tepat di depan kamarnya) yang membuatnya sering melewatkan banyak malam hanya dengan diam dan menatapnya.
Menatapnya—hanya menatapnya.
Sekalipun ia tahu bahwa tatapan kedua matanya tak akan bertubrukpandang dengan sepasang iris violet cerah dalam satu pandangan, bahkan sedetik saja.
::::::::::::
Sering Lukas tidak mengerti pada dirinya sendiri—tidak, ia bahkan masih sering sulit memahami semua yang terjadi.
Ia adalah pemuda yang terkenal dengan julukan 'Pangeran Es' atau 'Manusia Stoic' atau bahkan 'Creep' dari tak hanya teman-teman sekolahnya, tetapi juga bahkan anggota keluarganya. Tidak salah, Lukas akui. Karena semua sebutan itu ia dapatkan juga bukan tanpa alasan. Ia merupakan pribadi yang memang pantas disebut sebagai manusia es, robot, stoic, creep, dan sebagainya. Seringnya ia memasang ekspresi sedatar tembok dan sehampa ruang angkasa, adalah satu dari sekian banyak poin yang membuat tak heran jika ia mendapat predikat demikian dari teman-temannya.
Ia juga merupakan tipikal pribadi yang mengandalkan logika dan cukup paham untuk tidak terlalu mengurusi urusan yang sama sekali tidak berhubungan dengannya. Boleh dibilang pragmatis atau self-conscious, hanya Lukas tidak bisa menemukan alasan yang logis untuk terlalu melibatkan diri pada hal yang sama sekali tidak menguntungkan baginya. Inilah alasan mengapa sebagian besar teman juga menyebutnya sebagai 'Tukang Cari Untung' atau 'Pemuda Pragmatis' atau sebutan lain yang menyatakan bahwa di diri Lukas, tiada yang bisa mengalahkan pentingnya logika dalam setiap tindakannya.
Selama ini, Lukas pikir dirinya akan tetap seperti itu—selamanya akan seperti itu. Pribadi yang cuek, tidak peduli, logis, pragmatis, dan tipikal not-give-a-damn-to-your-bussiness.
Ia pikir ia akan seperti itu.
Tetapi, semenjak pada suatu hari ia mendapati bahwa ada tetangga baru yang menempati bangunan sebelah rumahnya yang selama ini kosong, semuanya telah berubah.
Meski tidak drastis, meski perlahan-lahan, tetapi Lukas mampu merasakannya.
Perubahan dalam dirinya, ketika ekspresi stoic dan datar yang selama ini terpakai di wajahnya, retak beberapa detik begitu untuk pertama kalinya, ia mendapati warna violet cerah yang tak sengaja bertemu pandang dengannya, ketika mereka berada di halaman rumah mereka masing-masing.
Dan Lukas tahu bahwa ternyata, mungkin tidak selamanya ia mampu mempertahankan sebutan "Pangeran Stoic" itu pada dirinya.
::::::::::::
Natalia Arlovskaya, nama itu baru dikenalnya ketika seminggu kemudian, Lukas mendapati bahwa ternyata ia mendapatkan murid baru di kelasnya.
Tentu saja ia terkejut, ketika mendapati bahwa tetangga barunya—sekalipun mereka tak pernah bertemu langsung dan bersapa—kini menjadi teman sekelasnya.
Gadis yang ia lihat pertama kali saat di halaman seminggu yang lalu, kini berada satu kelas dengannya.
Sekali lagi, Lukas adalah orang yang pragmatis dan logis. Ia tidak akan ambil pusing atau peduli sedikitpun pada hal yang tidak menguntungkan baginya. Tidak akan ia mempedulikan pada hal sepele yang sama sekali tidak berhubungan dengannya.
Akan tetapi, mengapa ekspresi stoic-nya kembali pecah menjadi keterkejutan saat ia mendapati kehadiran Natalia di kelasnya, sebagai teman barunya?
Mengapa ia benar-benar memperhatikan tiap kalimat perkenalan yang diucapan gadis itu dengan demikian tenang?
Mengapa otaknya tak bisa memperingatkannya untuk berhenti menatap sosok di depan papan tulis sana?
Menatap panjangnya helai platinum itu. Menatap tingginya tubuh itu. Menatap tinggi dan mancungnya hidung itu. Tipisnya bibir itu.
Dan warna violet cerah yang memandang dingin, namun justru membuat Lukas membutuhkan waktu tiga detik untuk menyadari bahwa ia terlalu lama menatap kedua bola itu.
Mengapa ia melakukan semua itu?
Toh, memperhatikan dan mendengarkan ucapan Natalia tidak akan memberikan keuntungan apapun bagi orang pragmatis sepertinya, bukan?
::::::::::::
Melangkah keluar melewati pintu belakang, sebelah tangan Lukas menjinjing satu boks kecil yang hendak ia buang ke tempat sampah di halaman belakang rumah. Tak habis ia merutuki Matthias Kohler dalam hati ketika pemuda berdarah Denmark itu lupa (atau sengaja) tidak membereskan sisa-sisa dan bekas pesta yang semalam ia rayakan di rumah ini, bersama dengan teman satu klubnya di sekolah. Entah dalam rangka apa pesta itu digelar, Lukas tidak peduli karena ia langsung pergi ke perpustakaan kota demi tak hanya memfokuskan dirinya untuk belajar, tetapi juga untuk menyelamatkan gendang telinganya yang mungkin akan pecah jika ia berada di rumah malam itu.
Dan Matthias Kohler langsung pergi keluar begitu saja, entah kemana, setelah terbangun dan sadar dari hangover nya. Tanpa peduli sedikitpun pada semua sampah yang berceceran di ruang tengah tempat pesta semalam diadakan.
Sebagai balas dendam karena tidak ikhlas, Lukas turut membawa dua botol bir kesukaan Matthias, untuk turut ia buang ke tempat sampah. Rasakan.
Setelah sampai di halaman belakang rumah, Lukas segera memasukkan boks itu ke dalam tong sampah yang ada di sana. Sedikit mengernyitkan hidungnya ketika mendapati bau yang sedikit busuk dari sana—apa isi tong sampah itu, demi Tuhan!
"Aku hanya ingin pergi, Natalia, da? Sebentar saja."
Kepala berhelai pirang pucat itu menoleh ke sumber suara yang baru saja didengarnya. Dan bola biru datarnya mendapati seorang lelaki berambut warna platinum yang tengah melewati pintu belakang rumah tetangganya. Lelaki itu tampak terburu-buru, tak hanya dalam langkahnya, tetapi juga dalam caranya memakai mantel coklat mudanya.
Dan di belakang lelaki itu, Lukas mendapati seorang gadis yang mengekori pemuda itu untuk turut keluar dari pintu belakang rumah.
Natalia Arlovskaya.
"Aku ikut, Kak. Pokoknya aku ingin ikut!" suara Natalia terdengar tenang, tetapi bisa Lukas lihat ekspresi jengah bercampur khawatir yang terpancar dari lelaki bertubuh tinggi besar tersebut.
'Kak'? Lelaki itu Kakak Natalia?
"Tidak, Nat. Kau tidak perlu, ini hanya urusan tidak penting dan juga tidak akan lama. Kakak akan segera kembali."
"Kalau tidak penting dan tidak lama, harusnya Kakak mengijinkanku ikut, 'kan?"
"Kau temani Kak Katyusha di rumah saja, ya."
"Kak Katyusha bisa menjaga diri sendiri," sembari mengatakan ini, Natalia terlihat mencengkeram sebelah lengan pemuda beriris violet itu dengan cengkeraman yang tampak kuat—seolah ia enggan melepaskannya apapun yang terjadi.
Dan jelas, Lukas bisa melihat rasa dongkol dan penat yang perlahan-lahan semakin tampak jelas di wajah pemuda itu.
"Nat, lepaskan, oke?" pemuda itu melepas paksa cengkeraman Natalia di lengannya. Dan kembali melepaskannya saat Natalia berhasil mengulangi tindakannya, "Kau mau apa jika sekarang kau membiarkan aku pergi?"
Lukas yakin bahwa pemuda itu telah merasa putus asa dan nyaris mengalah pada kehendak Natalia yang sepertinya, merupakan pribadi yang keras kepala. Dilihatnya, Natalia tampak berpikir, sebelum gadis itu berujar datar, namun cukup tegas.
"…Akhir pekan besok kau tidak boleh keluar tanpaku."
"Apa—"
"Aku tidak akan melepaskanmu jika kau tidak mau."
"…baiklah."
Hanya kata persetujuan itulah yang mengakhiri semua itu. Ketika tangan Natalia luruh dari lengan lelaki itu. Ketika lelaki itu berbalik dan mulai melangkah menjauh.
Dan ketika, secara jelas, Lukas mampu melihat rasa duka yang terpancar tak hanya dari ekspresi gadis bersurai platinum itu, tetapi juga dari kedua matanya yang memandang punggung yang semakin menjauh darinya itu.
Lukas mengalihkan pandang ke arah tatapan Natalia—punggung tegap berbalut mantel coklat yang semakin jauh.
Dan tanpa sadar, bibirnya sedikit melengkung ke bawah bersama dengan kedua matanya yang sedikit menyipit.
Siapapun lelaki itu, entah mengapa Lukas memutuskan bahwa ia sama sekali tidak menyukainya.
Siapapun lelaki itu.
::::::::::::
Ketuklah jendelaku dan ketuklah pintuku
Aku ingin membuatmu merasa cantik selalu.
Aku tahu aku cenderung merasa tidak aman
Tapi hal ini tak lagi kupikirkan.
Tidaklah senantiasa pelangi atau kupu-kupu yang selalu membawa kita bersama.
Hatiku terasa penuh dan pintuku senantiasa terbuka
Kau bisa datang kapan saja kau suka.
Terhitung sudah tiga minggu setelah Lukas pertama kali mendapati Natalia saat mereka sama-sama tengah berada di halaman rumah masing-masing.
Dan dua minggu terhitung sudah pasca Natalia menjadi murid baru di kelasnya.
Bertemu, berada pada satu ruang dan atap yang sama.
Namun tidak pernah saling menatap—alih-alih berbicara.
Bukan berarti Lukas memiliki kuasa atau daya apapun untuk mencegah kedua bola matanya untuk sesekali bergulir dan melirik singkat pada gadis yang terduduk di kursi dua deret darinya di sana.
::::::::::::
Sebulan semenjak pertama kali Lukas melihatnya, Lukas baru mendapati bahwa bukan hanya pada dirinya saja gadis itu akan memasang wajah dingin dan tampak sedikit angkuhnya. Karena kini, Lukas menyadari bahwa mungkin, hampir semua orang setuju bahwa Natalia adalah gadis yang berekspresi dingin, angkuh, antisosial, dan sorot mata yang mampu mengalahkan creepiness yang dimiliki Lukas.
Tidak sekali dua kali Lukas mendapati bahwa Natalia lebih sering menghabiskan waktunya sendiri di kelas. Ketika terjadi pembagian kelompokpun, tidak ada yang mau (atau berani) mengajaknya dalam kelompok yang sama—dan Natalia juga tidak menunjukkan usaha untuk bergabung pada satu kelompok. Hingga pada akhirnya Guru lah yang memaksa satu kelompok untuk menerima Natalia menjadi anggota.
Tidak jarang pula Lukas mendapati bahwa gadis itu lebih suka menggunakan periode istirahat sekolah untuk tiga hal saja: berdiam di kelas, berada di perpustakaan (meski hanya tidur—Lukas pernah melihatnya), atau memakan makan siangnya di kantin, sendiri, dan diam.
Bukan suatu hal yang aneh juga jika sebagian besar teman merasa perlu menyejajarkan Natalia dengan malaikat pencabut nyawa. Ekspresi dingin dan sorot mata yang sering mengintimidasi itu terang saja membuat teman-teman ingin menghindari segala kemungkinan untuk berada di dekatnya. Menatap kedua mata biru itu saja tak ada yang sanggup—apalagi untuk berbicara normal tanpa terbata.
Dan Lukas pikir, Natalia tidak memerdulikan itu semua—sepertinya tidak perduli sama sekali.
Mungkin gadis itu juga tetap tidak akan peduli jika sekalipun semua orang tampak bersikap antipati terhadapnya, ada satu orang yang diam-diam mengamati dan melihatnya.
Pasti tidak peduli.
::::::::::::
Tiga puluh empat hari semenjak Lukas pertama kali bertemu dengannya.
Sore itu ia baru dari minimarket dekat rumahnya untuk membeli keperluan makan malam. Harusnya ini adalah tugas Emil, tetapi entah kemana pemuda tiga tahun lebih muda darinya itu sekarang hingga belum pulang dari sekolahnya seperti ini.
Langkah Lukas terhenti ketika ia menatap ke arah depan.
Di sanalah ia kembali melihat gadis itu.
Berjalan di depannya, hanya dari arah yang berlawanan. Dengan pandangan yang tampak memikirkan sesuatu. Dengan ekspresi seolah-olah jiwa gadis itu tidak berada di raganya.
Namun, di saat mata mereka tanpa sengaja bertemu dalam satu pandangan singkat itulah, Lukas mengucapkan satu kata yang menjadi kata pertama yang ia ucapkan pada gadis itu, sejak tiga puluh empat hari ia melihatnya.
"Hai."
Namun tampaknya, sapaan singkat itu sama sekali tidak berarti apa-apa karena gadis itu segera memalingkan pandangannya, sebelum memasuki gerbang rumahnya sendiri.
Mengakhiri tatapan singkat itu.
Dan membiarkan sapaan itu menghilang di udara selamanya.
::::::::::::
"Man… dia begitu menyeramkan. Aku mendengar bahwa beberapa hari yang lalu ia sempat mencekik salah satu temanku, Toris, hanya karena alasan Toris memberinya tiket konser dan mengajaknya untuk pergi menonton bersama!" ujar Matthias di kantin saat itu. Ia tengah menikmati makan siangnya bersama dengan teman-teman merangkap anggota keluarganya, minus Emil, karena pemuda itu baru menginjak kelas 2 SMP di sekolah lain.
Matthias, Lukas, Tiino, dan Berwald, menoleh ke objek pembicaraan mereka. Yakni seorang gadis berambut platinum yang terduduk di sudut kantin. Menikmati sepotong sandwich dan satu minuman yang tampak seperti jus apel.
Hanya sendiri.
"Dia adik dari Ivan Braginski, bukan?" gumam Tiino pelan, sembari sesekali melirik pada Natalia, "Ivan memang sangat menyeramkan, sih. Aku kapok pernah berurusan dengannya."
"Like older brother, like little sister," ujar Matthias sembari mendengus—di titik inilah, Lukas tanpa sadar sedikit melengkungkan ke bawah bibirnya, "Cewek antisosial, psikopat, freak—"
"Diam, bodoh!" cetus Lukas lirih. Ditatapnya Matthias dengan pandangan yang membuat ketiga temannya tahu bahwa ia tengah marah, "Jangan mengatai orang lain seolah-olah kau tidak bodoh, aneh, menyebalkan, dan orang paling berisik sedunia."
"Hei, Luke—"
"Kau tahu apa namaku."
"Oke, Lukas," ulang Matthias dengan tatapan heran dan tidak mengerti yang juga ditunjukkan oleh pandangan Tiino dan Berwald, "Kau tidak harus marah, oke? Lagipula apa yang kukatakan itu rahasia umum. See? Dia memang terkenal sebagai cewek psiko, menyeramkan, tidak punya teman—untuk itulah ia sekarang makan sendirian di kantin ini."
"Aku tidak percaya pada konsep 'rahasia umum'-mu itu sebelum aku mengetahui sendiri."
"Oke, kapan-kapan datanglah ke dia," tantang Matthias sembari mengendikkan bahu, lantas meminum soda yang ia pesan, "Dan jangan salahkan aku jika kau pulang dengan lebam di seluruh wajahmu itu."
Lukas menghela napas, memutuskan bahwa ia merasa terlalu lebih waras, bijak, dan rasional, untuk membalas ucapan sahabatnya yang didaulatnya sebagai orang terbodoh di dunia itu.
Pandangannya kembali bergulir ke sudut kantin.
Apa yang salah dengan menyendiri seperti itu?
Sering kali, Lukas juga lebih menyukai kesendirian dan ketenangan daripada harus berasosiasi dengan orang penyebar gosip macam ibu-ibu arisan begini.
::::::::::::
Siapa sangka jika tantangan Matthias tiga hari lalu, kini benar-benar ia lakukan.
Ia tak tahu apa yang membuatnya melewati meja tempat teman-temannya telah berkumpul untuk makan siang, dan meninggalkan mereka dengan tatapan bingung dan panggilan yang tidak terjawab.
Dan ia yakin, keterkejutan teman-temannya pasti sudah sepuluh kali lipat, ketika mereka melihat bahwa Lukas justru meletakkan nampan berisi makanannya, di meja di sudut kantin.
Nampaknya bukan hanya ketiga teman merangkap keluarganyanya yang terkejut, namun juga satu gadis yang sebelumnya terduduk di sana, kini mendongak dan menatapnya dengan pandangan heran.
"Aku tidak akan meminta ijin darimu untuk duduk di sini," Lukas menghela napas sembari meletakkan pantatnya ke kursi di depan gadis itu, "Ini tempat umum—sebelum kau mengatai dan mengusirku dari sini."
Dan pandangan terkejut itu, segera menghilang ketika kedua mata berwarna violet itu kembali bersorot datar.
Datar, dengan ekspresi sedingin nada yang ia gunakan saat berucap, "Kau bodoh atau apa hingga tidak tahu bahwa banyak meja lain yang kosong selain ini?"
"Well," Lukas mengaduk minumannya, "Tempat yang kau pilih ini nyaman sekali, ngerti? Dekat dengan jendela yang langsung menghadap ke arah taman plus, dekat dengan pintu keluar kantin."
"Aku tidak peduli," ujar Natalia dengan nada dan tatapan yang biasanya, akan membuat pemuda manapun gemetaran dan memilih kabur daripada berurusan dengannya, "Pergi dari sini, Brengsek."
Lukas hanya tertawa hampa, "Such a pretty mouth, isn't it?" ujarnya sarkastis, "Kau tahu bahwa kau telah memiliki begitu banyak stereotype dari orang lain—jangan sampai mereka menyebutmu wanita tak bertata krama juga."
"Like I'd give a shit to it."
Lukas terdiam, ditatapnya warna violet di depannya itu dengan pandangan datar dan lengkungan bibir ke bawah.
Warna violet yang untuk pertama kalinya, bisa ia lihat dari jarak yang demikian dekat—meskipun terlihat dingin, angkuh, dan tajam…
… Tetapi tetap saja, itu warna violet yang indah.
"Berhenti," ujar Lukas pelan tanpa mengalihkan pandangan dari Natalia yang kini memberi pandangan tidak mengerti bercampur kesal ke arahnya.
"The fuck are you saying—"
"Berhenti sengaja menciptakan semua imej ini untuk dirimu sendiri," ujar Lukas tanpa mampu menahan lagi kalimat yang meluncur dari pangkal lidahnya tersebut.
Natalia memutar bola mata dengan kesal, lantas menghela napas pelan, "Terserah kau saja, Brengsek—"
"Karena kau tidak seperti ini setahuku."
Di detik inilah, Lukas sedikit mengutuk kesal dirinya dan mulut kurang kerjaannya yang sengaja mengucapkan kata-kata itu. Namun, untuk kesekian kalinya, ia bangga mendapat predikat emotionless man dari teman-temannya, ketika kini ia bisa menerapkan julukan itu dengan baik di ekspresi wajahnya.
Awalnya, Natalia hanya tampak terheran, sebelum ia mendengus keras, "Dan kini kau bertingkah seolah-olah kau adalah bayanganku yang mengerti semua tentangku?"
"Kita bertetangga, kau ingat?" ujar Lukas.
"Ya, jadi?" tantang Natalia, "Apa itu memberimu hak untuk bersikap sok pandai dan bijak seperti ini padaku?"
Belum sempat Lukas membuka mulut untuk menjawab, Natalia telah berdiri dari duduknya lantas pergi dari sana—keluar dari kantin.
Setelah sebelumnya ia menggeram lirih, "Bahkan aku tidak tahu apa namamu—jangan harap aku mau menerima nasehat dan perilaku sok baik dari seorang asing sepertimu."
::::::::::::
Dari sudut rumahnya sendiri, Lukas kembali melihatnya. Tidak secara sengaja layaknya stalker menyeramkan, tetapi hanya saja entah sejak kapan, saat ia pergi ke sudut rumah untuk membuang sampah inilah, ia selalu melihatnya.
Melihatnya berdiri di dekat gerbang rumah yang terletak persis di samping rumah Lukas sendiri.
Bukan hanya sekali ini saja—Lukas sering kali melihat Natalia berada di depan gerbang rumahnya sendiri. Berdiri diam, tak peduli hari tengah terik atau angin berhembus dingin. Entah apa yang ia tunggu, Lukas tidak mengerti.
Namun ia bisa melihat jelas bahwa ekspresi di wajah pucat itu tidaklah bagus.
Seolah ia tengah menunggu sesuatu.
Sesuatu yang telah lama ia tunggu. Sesuatu yang membuatnya tahan oleh angin atau debu. Siang atau malam.
Dan sesuatu yang sepertinya, tidak mampu atau sulit ia dapatkan.
Sempat timbul keinginan untuk mendekat dan bertanya, namun hingga beberapa kali ini ia melihatnya, Lukas selalu hanya berdiri dan terdiam saja.
Terdiam dan melihat, hingga helaan napas berat dan pandangan sayu itu tampak pada Natalia, sebelum gadis itu berbalik dan melangkah memasuki rumahnya.
::::::::::::
"Kita satu kelompok."
Ucapan dengan nada sedatar tatapan dari Lukas itu, terdengar begitu ia duduk di kursi di depan meja dari Natalia yang kini memelototkan kedua matanya begitu ia melihat pemuda pirang itu berada di depannya.
"Aku tidak pernah ingat bahwa aku setuju untuk berurusan apapun denganmu—termasuk dalam pembagian kelompok kelas ini," desis Natalia dengan menyipitkan pandangannya.
Lukas tampak berpikir, lantas menaikkan sebelah alisnya sembari memandang Natalia, "Apakah kita sering bertemu sebelumnya? Atau di kehidupan yang lain?"
"Apa otakmu sudah miring atau bahkan, otak itu sendiri dari awal tidak ada hingga kau bertanya seperti itu?" jawab Natalia tanpa mengurangi kesengitan baik dalam nada atau tatapannya.
"Karena, kita bahkan baru beberapa kali bertemu dan kau tampak begitu terganggu denganku," ujar Lukas tanpa menghiraukan makian Natalia.
"Siapa yang tidak terganggu jika ada seseorang yang asing dan tiba-tiba sok akrab seolah-olah ia adalah sahabatmu dari kecil?"
"Well, Nona, aku datang kesini hanya untuk menolongmu," ujar Lukas sembari memberi ekspresi sedikit tidak suka, "Semua teman-teman yang lain sudah memiliki kelompok untuk tugas ini, dan kau belum—"
Pandangan Natalia semakin menyipit kesal bersama dengan nadanya yang semakin mendesis marah, "Apa kau mau bilang bahwa aku adalah orang terlalu menyedihkan hingga kau perlu berbuat amal untuk menolongku?"
Lukas mengendikkan bahu, "Bukan begitu—tetapi aku rasa, penjelasan apapun dariku, kau pasti tidak mau mendengar," pemuda itu lantas menghela napas, sembari membuka bukunya untuk memulai mengerjakan tugas, "Lagipula aku juga tidak memiliki kelompok."
"Aku tidak butuh kasihanmu, dermawan. Sekarang pergilah—"
"Sudah kubilang, aku tidak memiliki kelompok juga."
"Kalau begitu, kerjakan sendiri saja—"
"Dan aku terlanjur menyerahkan namamu dan namaku sebagai anggota satu kelompok, ke Guru—," ucapan Lukas terhenti ketika ia mendesis sakit saat merasakan rasa nyeri yang tiba-tiba dan kuat, dari salah satu telapak kakinya di bawah meja.
Natalia baru saja, dengan sekuat tenaga dan senang hati, menginjak keras satu telapak kaki Lukas.
"Beraninya kau…" geram Natalia sembari menyipit memandang Lukas. Kedua tangannya mengepal, seolah tengah berusaha keras untuk menahan amarah, "Aku tidak mengenalmu. Kenapa kau tidak bisa jalani hidupmu sendiri dan berhenti mengurusi urusanku?"
Setelah sedikit memundurkan kursinya hingga di jarak yang ia rasa aman dan tidak terjangkau oleh kaki Natalia, Lukas kembali berujar, "Bagaimana jika sekarang kita mulai bekerja dan anggap saja aku tidak berada di depanmu? Anggap saja kita bekerja secara individualis, hanya saja hasilnya nanti atas nama kita berdua? Tanpa interaksi, tanpa kerja kolektif atau apapun seperti yang ada pada kelompok normal lainnya?"
"K-Kau…" Natalia tampak ingin mengucapkan sesuatu—mungkin kalimat makian atau umpatan yang lain. Namun tidak jadi, ketika gadis itu hanya menghela napas keras sembari membuka dengan kasar bukunya sendiri.
Dan mereka mulai bekerja masing-masing dan membiarkan kesunyian berada di antara mereka yang notabene, merupakan satu kelompok.
"Namaku Lukas Bondevik, tetanggamu, teman sekelasmu," ucap Lukas tanpa mengangkat wajah dari halaman yang ditekuninya, "Jadi, aku bukan orang asing, Nona."
::::::::::::
Aku tahu tempatmu bersembunyi, sendiri di dalam mobilmu.
Aku tahu semua hal yang menjadikan siapa sekarang dirimu.
Aku tahu bahwa selamat tinggal tidaklah memiliki arti apapun itu.
Maka, datanglah kembali dan pintalah aku untuk menangkap dirinya tiap ia terjatuh.
Sore itu, Lukas kembali berdiri di sudut pekarangan rumahnya dan melihatnya yang juga kembali berdiri terdiam di gerbang rumahnya.
Hanya sendiri, di temani cahaya kemerahan dari matahari yang mulai terbenam bersama dengan angin dingin yang sesekali berhembus.
Dan lagi, Lukas tidak melakukan apapun lebih jauh lagi. Dan pada akhirnya, ia hanya membiarkan helaan napas berat dan pandangan sayu itu, kembali terlihat sebelum gadis itu berbalik dan memasuki rumahnya sendiri.
::::::::::::
"Natalia. Kumohon dengarkan aku sebentar saja!"
Terdengarnya nama yang akhir-akhir ini selalu mengganggu pikirannya tersebut, Lukas memperlambat langkahnya ketika hendak berbelok di ujung koridor. Ia baru saja dari toilet dan kini, hendak kembali menuju ke kelasnya.
Namun kini, suara barusan membangkitkan rasa penasaran sekaligus keheranannya hingga niat untuk kembali ke kelas, harus ia tahan untuk sementara.
Habisnya, menurut Lukas, seseorang yang berani mendekati Natalia hingga memohon kepadanya, adalah sebuah hal cukup membuat penasaran. Gadis itu jarang—bahkan tidak pernah terlihat bersama orang lain. Dan kini, ada seseorang bersamanya? Memanggil namanya? Memohon padanya?
Dan Lukas yakin bahwa suara itu bukanlah suara dari Ivan, Kakak Natalia yang merupakan murid dengan tingkat yang sama seperti Berwarld.
Melongokkan kepala dari tepi tembok koridor, Lukas melihat apa yang menjadi sumber dari suara barusan.
Seorang pemuda berambut pirang pasir, berkacamata, dan dengan iris biru muda dan jernih. Sekali liat saja, Lukas paham bahwa pemuda itu adalah salah satu icon sekolah mereka—terkenal dengan sifatnya yang happy-go-lucky, self-proclaimed hero, dan senang mengurusi urusan orang lain.
Alfred Jones.
"Aku tidak segan-segan memelintir tanganmu dan mematahkan tulangmu jika kau tidak segera melepaskan tanganku," desisan Natalia tersebut cukup mampu Lukas dengar jelas di lorong yang sepi—maklum, periode pelajaran masih tengah berlangsung.
Dalam diam, Lukas merasa terkejut dan curiga, baik terhadap keberanian Alfred untuk berada di dekat Natalia, ataupun pegangan tangan yang tampak erat itu.
Dan Lukas bisa merasakan rasa tidak suka melihat semua itu.
"Kau tidak memberikanku kesempatan untuk berbicara—aku tidak akan melepaskanmu," Alfred terdengar bersihkeras dalam pendiriannya, dan dari jarak ini, Lukas bisa melihat jelas pegangan pemuda itu makin menguat di tangan Natalia.
"Kau ingin mati di sini, Jones?" maki Natalia keras, "Diam dan pergi, karena aku tidak mau berurusan lagi denganmu, Brengsek!"
"Kau tidak bisa memaksaku, Natalia," ujar Alfred, yang kini tampak melembutkan pandangannya—meskipun itu sama sekali tidak mengurangi pandangan dingin dari gadis di depannya, "Dengar, aku mencintaimu dan aku—"
Suara tamparan itu terdengar cukup keras dan nyaring di lorong yang sepi waktu itu.
Lukas yang sedikit mengangakan mulutnya karena terkejut. Natalia yang semakin menyipitkan pandangannya. Dan Alfred yang tampak memberi ekspresi datar—seolah ia telah menduga tamparan keras itu akan mendarat di sebelah pipinya.
"Jangan membicarakan hal menjijikkan seperti itu denganku, Brengsek!" desis Natalia sembari memandang sengit Alfred.
Dan Lukas segera menarik kembali dirinya untuk kembali bersembunyi di balik tembok, saat Natalia berbalik dan menuju ke arahnya—ke arah lorong di dekat tempatnya berada.
Belum sempat gadis itu melangkah, ketika suara Alfred kembali terdengar.
Sarat akan luka, kecewa, namun di saat yang sama, keputusasaan yang tak terelakkan, "Apakah begitu sulit bagimu untuk berhenti melupakan dan berharap pada Ivan?"
Namun, pertanyaan retoris dari Alfred itu tidak pernah mendapatkan respon, ketika Natalia terus berjalan menjauhinya.
Menjauhi Lukas, yang berdiri merapat di tepi persimpangan lorong yang baru saja di laluinya.
::::::::::::
Untuk beberapa hari kemudian, Lukas tidak bisa mengenyahkan pemikiran mengenai dua orang: Ivan dan Natalia. Baik saat ia di rumah, atau saat ia di sekolah. Baik ketika ia tengah bersama orang lain, atau ketika ia diam-diam mengamati Natalia. Tuhan—rasanya tidak ada sedetik yang ia lewatkan tanpa menanggung beban rasa penasaran yang begitu besar.
Akan Natalia—akan kehidupan gadis yang merupakan tetangganya, teman sekelasnya. Namun di saat yang sama, terasa bagaikan orang yang menyimpan begitu banyak rahasia yang tak akan pernah diketahuinya.
::::::::::::
Bukannya Lukas tak tahu siapa dan tak pernah melihat Ivan Braginski. Sekali dua kali, ia pernah melihat pemuda itu di sekolah, dan juga meski jarang, pernah ia lihat di rumah Ivan sendiri—itupun saat pemuda bertubuh tinggi itu sedang keluar atau masuk rumah.
Meskipun mereka berdua tidak memiliki hubungan yang akrab, tetapi Lukas bisa memberikan satu-dua pendapat mengenai Ivan. Pemuda dengan kelas satu tingkat di atasnya—setara dengan Berwald, senantiasa memberikan ekspresi yang jauh berbeda dengan Natalia. Ivan senantiasa tersenyum, sering tertawa, dengan nada suara yang terdengar sangat ramah. Namun yang membuat pemuda itu tidak diragukan lagi merupakan kerabat Natalia adalah, keduanya sama-sama memiliki aura creepiness yang mampu mengintimidasi siapapun jika mereka sudah berkehendak.
Meski demikian, Lukas hanya beberapa kali saja melihatnya di sekolah atau di rumah. Meski Natalia adalah adiknya, tetapi Lukas bahkan tidak ingat pernah mendapati pemuda itu bersama Natalia di sekolah—setidaknya, secara sukarela. Entah apa yang terjadi antara mereka, namun yang pasti Lukas merasa bahwa Ivan senantiasa ingin menghabiskan waktu sedikit mungkin dengan adiknya. Senantiasa ingin menghindar. Senantiasa mencari alasan untuk pergi. Bahkan, demi Tuhan, Lukas pernah melihat Ivan memberi ekspresi dan nada gentar ketika bersama Natalia.
Dan ketika di rumahpun, Lukas hanya melihatnya sesekali saja. Ivan yang melintasi pekarangan depan rumahnya sehabis dari hanya-Tuhan-dan-Ivan-yang-tahu mana, atau Ivan yang keluar dari rumahnya dengan terburu-buru bersama dengan Natalia yang mengikuti dan berusaha mencegahnya untuk pergi.
Hanya itu yang Lukas tahu.
Fakta dan keyakinan bahwa Ivan adalah Kakak Natalia adalah hal yang ia tahu.
Oleh sebab itu, ia tidak bisa membawa pikirannya untuk menemukan logika akan arti dari kalimat Alfred waktu itu. Seberapapun Lukas mencoba memahami, namun ia tidak mengerti.
Mengapa Natalia memandang Ivan lebih dari sekedar saudara?
"Memikirkan urusan orang lain seperti ini, sejujurnya hanyalah membuang-buang waktuku," gumam Lukas sembari menghela napas dan menghempaskan diri di ranjang.
Ia menatap atap kamarnya, dan pikirannya kembali melayang.
Well, meskipun semua ini membuatmu seperti 'sama sekali bukan Lukas', namun kau tak bisa berhenti, 'kan, Lukas?
Menghabiskan hari demi hari bagiku tak pernah masalah,
Untuk berada di luar, di sudut, di bawah air hujan yang tertumpah,
Mencari-cari sang gadis dengan senyum patah,
Bertanya padanya apakah ia sudi walau sebentar saja untuk singgah,
Dan ia akan dicinta
Dia akan dicinta
…to be continued…
Untuk mampu membuat fiksi yang lebih baik lagi, maka komentar, saran, dan kritik kamu sangat saya perlukan. Hm, sekedar rambling atau fg/fb-an juga perfectly fine with me :)
Terimakasih banyak.
