Our Beautiful Life Has Changed

Author :

Hidariwa

Casts :

Sehun, Luhan, Kai, Kyungsoo, Ziyu, Jesper (akan bertambah sesuai alur)

Genre :

Marriage Life, Drama, Yaoi/Boys Love

Rated :

M

Length :

Chaptered

Pairing :

HunHan (akan bertambah sesuai alur)

Disclaimer :

Semua yang ada di Fanfiction ini murni dari hasil pemikiran saya. Jika ada kesamaan cerita, alur, tokoh, dan latar itu hanya kebetulan semata. Semua cast milik Tuhan Y.M.E dan orang tua mereka masing-masing. Sehun milik Luhan dan Luhan milik Sehun.

.

.

.

WARNING!

Mature Content, Violence, Typo(s), Weird, Boys Love

.

.

.

Happy Reading!

.

.

.

Chapter 1

Daun-daun yang mulai menguning satu persatu terlepas dari ranting-ranting pohon tempat mereka melekat, menari-nari di udara mengikuti arus angin yang berhembus dengan teratur lalu mendaratkan mereka di suatu balkon dengan pagar pembatas berwarna cokelat.

Angin bertiup dengan derasnya hingga berhasil memasuki ventilasi udara suatu ruangan, mulai mengisi ruangan itu dan menggantikan udara hangat yang sedari tadi menyelimutinya hingga udara dingin yang begitu menusuk sangat kentara terasa di ruangan itu.

Sosok mungil yang tengah tertidur pulas di ruangan itu kini mulai terusik. Matanya tetap terpejam namun tubuh mungilnya mulai bergerak gusar mencari sesuatu yang bisa menghangatkan tubuhnya. Lalu ia kembali terlelap ketika berhasil menarik selimut hingga hampir menutupi seluruh tubuhnya namun tubuh mungilnya kini sedikit bergetar.

Sosok lainnya yang berada di ruangan itu mulai membuka mata sipitnya, menyadari pergerakan kecil di sampingnya. Manik matanya menangkap sosok malaikatnya tengah bergemul kedinginan di bawah selimut. Keningnya mengkerut, lalu tangan kekarnya sedikit menyibak kain yang menutupi wajah malaikatnya, wajah yang mulai hari ini hingga seterusnya tak ingin ia lewatkan.

Bibir tipisnya melengkung ke atas, menampilkan senyum damainya. Lalu ia dekatkan tubuhnya pada sosok malaikatnya dan mendekapnya dengan penuh kasih sayang. Ia mulai mengelus sayang punggung sempit milik malaikatnya. Hatinya, perasaannya, mulai menghangat. Sungguh, ia tak pernah merasa senyaman dan sedamai ini.

Pria mungil itu mulai menyadari seseorang tengah memeluknya, ia bangkit dari tidurnya, menarik selimutnya dan menutupi tubuh Suaminya. Kini selimut itu menutupi tubuh keduanya, menambahkan kehangatan di antara kedua insan yang tengah saling memeluk itu.

Pria mungil itu semakin menenggelamkan wajahnya pada dada bidang milik Suaminya, menghirup aroma maskulin yang menguar dari tubuh atletis Suaminya. Ia mengeratkan tangannya yang melingkar di perut Pria jangkung itu, lalu tersenyum tatkala tangan Suaminya mulai membelai rambutnya dan punggungnya dengan lembut.

Menghirup aroma shampoo yang menguar dari rambut halus nan lembut milik 'Isteri'nya itu kini akan menjadi salah satu hal yang paling ia sukai untuk dilakukan. Aroma manis, sejuk, menenangkan namun menggoda itu kini akan ia hirup setiap harinya, hanya dengan memikirkannya saja sudah membuat hatinya menjadi tenang. Tak ada lagi penyesalan, kekhawatiran dan kerinduan yang selama ini selalu datang menghantui pikirannya.

Sepertinya tak satupun dari mereka yang tampak akan mengeluarkan satu katapun, masih senang menyelami pikiran masing-masing, merasakan perasaan yang kian membuncah dari hati masing-masing, perasaan yang dinamakan cinta. Keduanya masih setia menyalurkan kehangatan yang mereka ciptakan lewat dekapan penuh kasih sayang. Hingga Si Pria jangkung yang sudah tak dapat membendung perasaannya lalu mendaratkan bibir tipisnya di kening 'Isteri'nya.

Cup

"Aku merindukanmu, Lu."

Suara husky milik Pria jangkung akhirnya memecah keheningan di ruangan yang dingin itu. Ada kelegaan tersendiri yang mulai menyelimuti hatinya tatkala kalimat itu berhasil ia ucapkan pada sosok pendamping hidupnya. Kembali ia kecup kening 'Isteri'nya.

"Akupun begitu." Jawab Pria mungil itu seraya tersenyum manis. Ia mendongak, berusaha melihat wajah Suaminya di pagi hari dengan jelas. Ia tak pernah melakukan ini sebelumnya hingga matanya mulai menelusuri setiap lekuk yang terpahat dengan indah di wajah Suaminya. Jantungnya berdebar, ia tak pernah melihat wajah Suaminya sedekat ini.

Mata itu. Mata rusa dengan manik mengkilap seakan menghipnotis Pria jangkung itu. Pria itu mulai terbawa perasaannya yang kian membuncah, membiarkannya mengikuti arus hingga menuntunnya untuk menjamah bibir cherry itu. Wajahnya semakin mendekat dengan wajah mungil itu, hanya tersisa sedikit jarak untuk dirinya menggapai bibir menggoda itu hingga sebuah suara menginterupsi mereka.

"Eommaaa…"

.

.

.

"Apa aku benar-benar bisa mempercayai Jesper padamu?"

"Tenang saja, kau bisa mempercayaiku." Pria bermata bulat itu terdiam sejenak lalu menyipitkan matanya, "Entah mengapa perasaanku tak enak."

"Kau bertindak seolah-olah kau adalah Ibunya, Kyung." Pria itu tersenyum tipis lalu menepuk pundak Pria bermata bulat, "Bagaimanapun aku adalah Pamannya. Tak usah terlalu mencemaskannya."

Ia menghembuskan nafasnya dengan kasar, sedikit gusar, "Baiklah, ia sedikit tertutup. Mungkin agak sulit baginya untuk mendapat teman dalam waktu dekat. Dan kau, jangan pergi terlalu jauh. Ia akan merasa ketakutan ketika melihat tak ada orang yang dikenalnya."

"Ya, ya, aku tahu."

Pria bermata bulat itu memutar bola matanya, "Ngomong-ngomong, apa kau sendiri sudah mulai akrab dengannya?"

Pria berkulit tan itu menyesap kopinya, "Entahlah. Bagaimana menurutmu?" Tanyanya pada Pria bermata bulat itu dengan santai.

Pria itu mengacak rambutnya frustasi, "Itu yang aku takutkan. Kau baru berada disini dua hari lalu. Ia pasti belum menganggapmu." ucapnya kalut. Pria berkulit gelap itu kembali menyesap kopinya, sedikit terkekeh melihat tingkah orang yang tengah berada di hadapannya.

"Kau ini kenapa? Seperti akan berpisah jauh saja." Kembali Pria itu terkekeh. Pria bermata bulat itu menatap tajam Pria yang sedang menertawakannya, sedikit mendecih melihat tawa menyebalkan baginya itu, "Aku tak pernah berpisah dengannya selama ini." Jawabnya ketus.

Mendengar perkataan Pria itu membuatnya semakin terkekeh geli, "Hey, tak usah seperti itu, Kyung. Kau tahu, kau terlihat seperti Ibu-ibu sungguhan. Bahkan Ibu-ibupun tak terlalu mendramatisir seperti ini." Lagi-lagi suara tawa menyebalkan itu terdengar di seluruh penjuru ruangan.

"Ck, tak bisakah kau hentikan tawamu yang menyebalkan itu?" Ucapnya dengan nada ketus. Sungguh, ia sangat membenci suara tawa menyebalkan milik Pria itu.

"Lama tak bertemu ternyata kau bertambah galak, ya?" Ia mengusak rambut hitam milik Pria bermata bulat. Pria itu langsung menepis tangan yang merusak tatanan rambutnya, "Bagaimana dengan disana? Apa kau hanya diajarkan untuk membuat orang lain kesal? Ouh, jangan lupakan suara tawa menyebalkan itu. Apa kau dilatih untuk tertawa seperti itu?" Tuturnya tak ingin kalah.

"Ah, pantas saja aku merindukanmu. Tak ada orang yang lebih cerewet daripada dirimu disana." Kekehnya pelan.

Pria bermata bulat itu terdiam. Jantungnya berdegup cepat. Apa katanya? Ia merindukanku? Tanya Pria itu dalam hati. Perasaan itu. Perasaan itu kembali lagi. Tidak, tidak. Perasaan itu tak pernah pergi. Masih tetap utuh berada di dalam hatinya. Tidak hilang, tidak juga mengurang. Perasaan itu tetap utuh seperti dulu. Tak pernah berubah sedikitpun.

"Hey Kyung.. Kau mendengarku?" Pria berkulit tan mengibas-ngibaskan telapak tangannya di depan wajah Pria yang ia sebut dengan Kyung itu. Ia mengernyit heran melihat perubahan ekspresi yang ditunjukkan oleh Pria bermata bulat, "Do Kyungsoo.. Kau baik-baik saja?" Tanyanya lagi.

"Huh?" Kyungsoo tersadar dari lamunannya, ia mengerjap-ngerjapkan matanya lucu. Pria itu lagi-lagi terkekeh melihat tingkah Kyungsoo hingga tak dapat menahan dirinya untuk mencubit pipi Pria mungil itu. "Aw.. Ya! Kenapa mencubitku?!"

"Kau terlihat sangat manis ketika melamun seperti itu. Mana mungkin aku bisa menahan diri untuk tak mencubiti pipi gembulmu itu." Tuturnya jujur.

Kyungsoo merasa pipinya mulai menghangat. Tidak, tidak. Kai tidak boleh melihat pipinya yang memerah. Oh, itu memalukan. Bisa-bisa ia terus diolok-olok oleh Pria dengan suara tawa menyebalkan itu, pikirnya.

Dengan cepat Kyungsoo memalingkan wajahnya dan beranjak dari kursinya, "Cepatlah pergi. Kau ingin ia terlambat?" Ucapnya mengalihkan, tanpa menolehkan wajahnya kepada Pria yang menjadi lawan bicaranya.

"Ck, padahal aku masih ingin berlama-lama denganmu." Godanya. Oh Kai, tak taukah seberapa merahnya wajah Kyungsoo ketika kau mengucapkan kalimat itu?

"Aku bercanda." Lanjutnya lalu kembali terkekeh. Seketika ucapannya ini kembali membawa paksa Kyungsoo untuk kembali terjatuh ke bumi setelah terbang tinggi di angkasa. Bisakah kau membayangkan bagaimana rasanya? Sangat sakit, bukan?

.

.

.

Kondisi ruangan itu jauh dari kata rapi. Benar-benar kacau. Barang-barang tergeletak di lantai. Terlihat banyak pecahan kaca yang berserakan dimana-mana. Tak jarang juga terlihat darah segar yang berceceran. Beberapa helai pakaian yang tergeletak di lantai terlihat tak jauh dari ranjang yang berdecit.

PLAK!

"Cih, hanya itu kemampuanmu? Terus saja menampariku, Brengsek!" Maki Pria bertubuh mungil, ia terus memberontak di bawah kungkungan Pria yang menamparinya. Kakinya berusaha menendang Pria yang berada di atas tubuhnya. Namun perbuatannya ini lagi-lagi membuatnya mendapatkan tamparan yang sangat keras.

PLAK!

Entah itu adalah tamparan yang keberapa kalinya yang ia daratkan di pipi mulus milik Pria bertubuh mungil. Tamparannya kali ini lagi-lagi menyebabkan hidung dan bibir Pria itu mengeluarkan darah segar. Bau anyir darah tercium dari sudut bibirnya yang robek. Ia terkekeh dan meludah tepat di wajah Pria yang berada di atasnya.

"Kenapa tak sekalian memukuliku atau bahkan membunuhku, Brengsek!"

Kini giliran Pria yang berada di atas yang mulai tertawa. Satu tangannya yang ia gunakan untuk menahan tangan Pria mungil itu beralih menyentuh wajah yang sudah dihiasi dengan darah. "Aku bisa saja melakukan itu, sayang. Tapi sayangnya aku tidak boleh merusak wajah dan tubuh ini." Ucapnya menyeringai, tangannya kembali menyentuh setiap lekuk wajah Pria mungil.

Pria mungil itu menggunakan tangannya yang dilepas dari cengkeraman Pria yang berada di atasnya untuk menepis tangan itu dari wajahnya. "Ini yang terakhir, sayang. Jangan menolakku! Aku tahu kau menginginkanku, jalang!" Dengan cepat ia sudah meraup habis bibir mungil milik Pria yang berada di bawahnya.

Pria mungil itu terus memberontak. Kepalanya tak henti-hentinya bergerak ke kanan dan ke kiri, berusaha terlepas dari ciuman Pria itu. Pria itu tampak tak sabaran, ia menciumi bibir mungil itu dengan ganas, menggigiti bibir yang masih tampak mengeluarkan banyak darah hingga mengoyak bibir itu lebih dalam.

Tangannya terus mendorong-dorong tubuh besar yang menindih tubuhnya. Bagaimanapun juga, tenaga Pria yang berbadan lebih besar darinya ini tentu lebih besar, apalagi jika tengah diliputi nafsu.

JLEB!

Dengan sekali hentakan Pria itu berhasil menanamkan penisnya dengan sempurna di dalam tubuh milik Pria mungil. Tanpa perasaan ia langsung menghujam lubang sempit itu dengan penisnya dengan tempo yang tak beraturan. Tusukan-tusukan itu membuat tubuh Pria mungil itu tersentak-sentak. Ia segera memaki-maki Pria itu tatkala bibirnya beralih pada lehernya.

"Keparat kau!" Makinya. Ia berusaha mati-matian menahan sakit pada lubangnya yang ditusuk tanpa ampun. "Akhh.. Arghh.. Kau sung-guh biadab hhh.." Ucapnya terbata-bata menahan sakit yang melanda di sekujur tubuhnya terlebih pada lubangnya.

Pria itu tertawa sinis sambil terus menghentak-hentakkan penisnya dengan kuat pada lubang yang mulai mengeluarkan darah itu, "Kau menikmatinya, heum? Tapi sayang sekali ini adalah perpisahan, sayang."

"Pria breng-sek! Akhhh.. ouhh.." Makinya sambil mencoba menahan desahan yang akan keluar dari mulutnya, tapi apa daya, tusukan itu terlalu kuat hingga desahan dan erangan akhirnya lolos dari bibir mungilnya. Ia merasakan sesuatu tengah mengalir di antara selangkangannya. Ia tahu itu bukanlah sperma karena Pria itu belum menyemburkan miliknya di dalam lubangnya. Ia jelas tahu apa itu kala bau anyir darah tercium semakin menyengat.

"Teruslah mendesah, jalang!" Kekehnya tatkala matanya melirik lubang yang terisi penuh itu mengeluarkan banyak darah. "Shhh.. brengsek hhh" Maki Pria mungil itu lagi. "Aku akan merindukan kejalanganmu, bitch. Ouhh.." Balas Pria itu, merasakan kenikmatan.

"Kau tidak bolehh.. seperti inihh.. jika bersama majikan barumu hhh.. tunjukkan kejalanganmu seperti biasanya, sayanghh.." Ia terus mempercepat gerakannya hingga akhirnya spermanya menyembur di dalam lubang Pria mungil itu hingga merembes keluar, bercampur dengan darah yang masih belum berhenti keluar dari lubang itu. Dengan segera tubuhnya ambruk di atas tubuh Pria mungil itu.

Air mata lolos dari sudut mata milik Pria mungil. Ia bukan tipe orang yang mudah mengeluarkan air matanya. Tapi hari ini ia kembali meneteskan air matanya setelah ia berhasil membekukan hatinya 10 tahun lalu. Fisiknya, batinnya, moralnya, semuanya sudah terluka amat parah. Ia mengusap kasar wajahnya, menghapus air mata sialan itu.

Terdengar suara telepon di ujung ruangan berdering. Pria itu dengan sigap turun dari ranjang, meninggalkan Pria mungil dalam keadaan mengenaskan di atas ranjang. Pria itu terlihat berbincang dengan orang yang berada di seberang sana, "Tenang saja. Ia sedang bersamaku, Tuan." Ucapnya sambil melirik Pria mungil yang masih tergeletak tak berdaya di atas ranjang.

"Apa? Anda tak sabaran rupanya."

"…"

"Tenang, Anda pasti tak akan menyesal telah membelinya, Tuan."

"…"

"Tentu saja. Harga yang Anda beli sebanding dengan wajahnya, tubuhnya dan skillnya, Tuan." Kekehnya.

"…"

"Anda menyukainya? Ah sudah pasti. Ia salah satu pelacur terbaik di sini, Tuan."

"…"

"Jadi, bagaimana dengan biaya tambahannya, Tuan?"

"…"

"Sudah dikirim? Baiklah, terima kasih banyak, Tuan. Senang bisa bertransaksi dengan Anda." Pria itu menutup teleponnya. Ia tersenyum cerah membayangkan hutangnya akan segera terbayar dan ia bisa kembali berjudi dengan sisa uang yang begitu banyak. Ia membalikkan tubuhnya, hendak menghampiri Pria mungil yang masih tak berdaya di atas ranjang. Namun baru saja ia membalikkan tubuhnya tiba-tiba kepalanya sudah dipukuli dengan keras menggunakan tongkat baseball secara bertubi-tubi.

Seketika tubuh Pria itu ambruk di atas lantai. Ia mengerang sambil memegangi kepalanya. Pria mungil itu memunguti semua pakaiannya dan memakainya dengan cepat, masih dengan darah yang berlumuran di seluruh tubuhnya. Ia meringis tatkala hendak memakai hot pantsnya. "Shit!" Umpatnya pada lubangnya yang terasa ngilu. Well, itu bukan masalah besar baginya. Toh, ia sudah pernah merasakannya hingga beratus-ratus kali. Ini pekerjaannya, ia sudah kebal pada rasa sakit di lubangnya.

Dengan cepat ia mengambil ponselnya dan meloloskan dirinya dari Pria brengsek itu. Ia berlari dengan terseok-seok, melewati kamar-kamar dan ketika hendak berlari melewati tubuh-tubuh manusia yang meliuk-liuk di atas dance floor, sebuah tangan besar berhasil menggenggam lengan mungilnya. Pria mungil itu meringis.

"Kau?" Tanya Pria itu. Pria mungil itu mendongakkan wajahnya dan seketika memorinya bekerja. Pria ini. Ia mengenal Pria ini. Pria ini pernah menjadi partner one-night-standnya. Dan seingatnya, Pria ini salah satu dari segelintir partnernya yang bermain halus.

Tuhan, bolehkah makhluk hina sepertiku memohon satu permintaan? Lirihnya dalam hati. Bisakah orang ini dipercaya untuk kuminta bantuan? Lanjutnya. Pria itu menatapnya bingung tatkala melihat wajah memelas yang dipenuhi luka dengan darah yang mulai mengering. Pria mungil itu lagi-lagi meringis, membuatnya tersadar jika ia mencengkeram lengan ringkih itu terlalu kuat. "Maaf" Ucapnya cepat tatkala tangannya segera melepas cengkeraman kuat di lengan Pria mungil.

"Kau.. me-ngingatku?" Tanya Pria mungil itu hati-hati. Pria jangkung itu menaikkan sebelah alisnya dan bersedekap tangan, "Tentu saja. Kita pernah menghabiskan malam bersama, bukan? Dan oh, kau primadona disini, siapa yang tak mengenalmu?" Ia menyunggingkan senyumnya, "Kau sangat berantakan dan kulihat kau seperti ingin melarikan diri," ia menjeda sejenak, "Apa ini ulah partnermu malam ini?" Lanjutnya.

Pria mungil itu tersenyum tipis, sisi jalangnya sudah tak tahan untuk menahan dirinya. Ia lalu mendorong tubuh Pria itu ke dinding dan merapatkan dirinya pada Pria itu hingga tak memberikan jarak secentipun. Ia berjinjit dan meraih tengkuk Pria jangkung itu, dengan cepat ia menciumi bibir Pria itu dengan ganas. Diberikan ciuman panas secara tiba-tiba membuat Pria itu terkejut namun sedetik kemudian ia bisa mengikuti ciuman ganas Si Bitchy slut itu.

Tangan panjangnya tak bisa untuk tak menggerayangi tubuh montok nan menggoda milik slut itu, kedua tangannya sudah berhasil menangkup benda kenyal nan montok yang masih dibalut hot pants super ketat yang dipakai Pria mungil itu. Kepala milik keduanya terus bergerak, berusaha mengeksplor seluruh isi mulut masing-masing. Saling menggigit dan membelit lidah masing-masing, ciuman itu jauh dari kata lembut, ciuman itu begitu liar dan menuntut.

Tangannya terus meremas-remas bokong sintal milik Pria mungil. "Ahh.. Ohhh.." Sebuah desahan berhasil lolos dari bibir mungil itu, berusaha menggoda Pria jangkung. Tangan mungilnya bergerak menyentuh tonjolan di antara selangkangan Pria jangkung, memijatnya dengan gerakan sensual.

Pria itu tersenyum miring, "Kau sungguh jalang." Ucapnya sambil menampari pantat montok yang masih dibalut hot pants itu. Pria mungil itu tersenyum sinis, raut wajahnya menunjukkan ekspresi menggoda khas milik seorang Pelacur, "Itulah aku, sayanghhh" Ucapnya seduktif di telinga Pria itu.

Pria jangkung itu memejamkan matanya, keenakan menerima service dari Pria mungil itu, lalu suara beratnya kembali terdengar, "Kau tak memiliki tamu malam ini, heum?" tanyanya seraya mengangkat dagu Pria mungil itu. Pria mungil itu langsung melahap bibir Pria itu, menghisapnya kuat-kuat, "Aku menginginkanmu, Tuan." Ucapnya tepat di depan bibir Pria itu, meniup permukaan bibir Pria itu yang basah karena salivanya, "Bawa aku.. hhh.." Lanjutnya lalu menggigit telinga Pria itu.

Tak jauh dari tempat mereka bercumbu, Pria jangkung lainnya terus memerhatikan setiap gerak-gerik mereka dengan tersenyum sinis lalu menegak habis segelas whiskey di tangannya. Rahangnya mengeras, ia menjatuhkan rokoknya ke lantai lalu menginjaknya. Pria jangkung itu bangkit dari kursinya, menghampiri kedua insan yang tengah bercumbu itu.

"Hey dude, boleh bergabung?" Ucapnya ketika telah berada di dekat kedua orang itu. Pria jangkung itu menoleh, berbeda dengan Pria mungil yang masih sibuk memijat junior Pria itu sambil terus-menerus menggigiti bahunya. "Kau belum menemukan pertnermu, Bung?"

"Tidak. Aku menyukai partnermu. Ia begitu agresif. Aku menyukai bitchy slut seperti dia." Ungkap Pria jangkung itu lalu mendekat dan berusaha melepas pants Pria mungil. Pria jangkung yang satunya segera menarik Pria mungil itu ke sisinya. "Sorry dude, dia milikku." Ucap Pria itu lalu menarik Pria mungil dan berlalu dari Pria jangkung yang mengusik kesenangannya.

Pria itu menyeringai melihat punggung keduanya yang mulai menjauh darinya. Tangan kekar itu merangkul Pria mungil. Pria mungil itu menoleh ke belakang, ingin melihat siapa yang mengganggu kegiatan mereka. Matanya membulat, jantungnya berdetak kencang, tubuhnya menegang. Tidak. Tidak mungkin. Pria itu tidak mungkin kembali.

Pria jangkung itu mengeluarkan senyuman setannya melihat ekspresi ketakutan dan terkejut milik Pria mungil itu dari kejauhan. Ia lalu melambaikan tangannya pada Pria mungil itu. "Hey, kau baik-baik saja?" suara Pria jangkung yang merangkulnya membuatnya tersadar. Ia cepat-cepat menoleh ke samping dan memeluk Pria jangkung itu, "Aku sudah tak sabar, sayang." Jawab Pria mungil itu seduktif, berusaha membuang pikirannya yang sudah melayang kemana-mana.

Pria jangkung itu terkekeh dan membukakan pintu mobilnya, "Masuklah. Aku ingin cepat-cepat sampai ke apartemenku dan menghabisimu." Tutur Pria jangkung itu lalu mencium bibir mungil itu cepat. Lalu mobil itu melesat dengan cepat, meninggalkan club malam.

.

.

.

Pria pucat itu menutup pintu ruangannya. Meeting tadi cukup menguras energinya. Ia melepas jas yang ia pakai, sedikit melonggarkan dasinya dan membuka beberapa kancing teratas kemejanya yang cukup membuatnya kegerahan. Pria itu meregangkan semua otot tubuhnya yang terasa kaku lalu duduk di sofa. Bibir tipisnya tersenyum, mata sipitnya melengkung seperti bulan sabit tatkala melihat bungkusan berwarna biru muda di atas meja.

Tangan kekarnya membuka bungkusan itu, mengeluarkan kotak makanan bergambar rusa dari dalam. Senyuman terus menghiasi wajah tampannya, tiba-tiba ia teringat sesuatu. Ia mengeluarkan ponselnya dari saku celananya lalu menyentuh screen ponselnya. Terlihat gambar dua orang yang tengah tersenyum cantik dengan mata rusa yang berbinar. Ia lalu menekan angka 1 dan menempelkan ponsel itu di telinganya.

"Yeoboseyo.." ucap orang di seberang sana. Senyuman semakin lebar terpampang di wajah tampan Pria itu tatkala mendengar suara orang di seberang sana.

"Yeoboseyo.. Lu, kau sudah pulang?"

"Sebentar lagi kelas Ziyu berakhir. Ada apa, Hun?"

"Tidak.. Hmm, begini.." Pria itu tampak berpikir, sedikit bingung dengan apa yang ingin ia bicarakan pada Pendamping hidupnya.

"Halo? Sehun? Kau masih disana?" Tanya orang di seberang sana tatkala hanya keheningan yang ia dengar dari ponselnya.

Sehun tersadar dari lamunannya, "Ya, aku masih disini. Begini," Ia sedikit berdeham, berusaha menetralkan detak jantungnya yang mulai berdegup kencang, "Tunggu disana. Aku akan menjemput kalian." Ucapnya pada akhirnya.

"Huh?" Jawab orang di seberang sana. "Tunggu disana. Aku akan menjemput kalian." Ulang Sehun.

"Kami bisa pulang sendiri, Sehun. Kau tak usah repot-repot. Lagipula kau pasti lelah." Ucap Luhan di seberang sana.

"Tidak, tidak. Aku tidak kerepotan. Itu sudah kewajibanku, bukan?"

Hening. "Halo, Lu?"

"H-halo?"

"Kau baik-baik saja?"

"Ya."

"Baiklah, aku akan berada disana 30 menit lagi."

PIP

Begitu sambungan telepon berakhir, Sehun langsung menyambar kunci mobilnya dan pergi meninggalkan ruangan itu.

.

.

.

Pria mungil itu tengah berjalan menyusuri koridor sekolah. Ia menyentuh poninya, sedikit membenarkan letak poninya yang berantakan karena angin yang terus bertiup ketika ia berjalan. Sesuatu di saku celananya bergetar. Ia dengan cepat merogoh sakunya dan keningnya sedikit mengernyit melihat nama yang terpampang pada screen ponselnya.

"Yeoboseyo.." Ucapnya, kakinya terus berjalan mencari-cari kelas dimana anaknya berada.

"Yeoboseyo.. Lu, kau sudah pulang?" Tanya seseorang di seberang sana. Luhan mengangkat tangan kirinya lalu melihat jam yang melingkar di tangannya yang menunjukkan pukul 11.50

"Sebentar lagi kelas Ziyu berakhir. Ada apa, Hun?"

"Tidak.. Hmm, begini.." Luhan menunggu Sehun melanjutkan kalimatnya namun ia tidak mendengar apapun hingga detik berikutnya. Ia menautkan alisnya, "Halo? Sehun? Kau masih disana?"

"Ya, aku masih disini. Begini," Luhan kembali mendengar suara berat itu di seberang sana, sepertinya Sehun sedang berpikir. "Tunggu disana. Aku akan menjemput kalian." Lanjutnya.

"Huh?" Luhan yang kurang menyimak perkataan Sehun hanya bisa bergumam. "Tunggu disana. Aku akan menjemput kalian." Ulangnya. Entah mengapa ia merasa ada sesuatu yang aneh yang mulai bergemuruh di dalam hatinya ketika mendengar ucapan Sehun barusan. Ia menyentuh dadanya yang bertalu dengan cepat.

"Kami bisa pulang sendiri, Sehun. Kau tak usah repot-repot. Lagipula kau pasti lelah" Jawabnya.

"Tidak, tidak. Aku tidak kerepotan. Itu sudah kewajibanku, bukan?" Lagi-lagi ucapan Sehun kembali membuat jantungnya berdetak tak karuan. Namun jantungnya berdetak lebih cepat lagi, melihat seseorang dengan kemeja hitam tengah berdiri tak jauh dari kelas anaknya. Mata rusanya membulat, ia begitu terkejut melihat sosok itu yang kini kembali berada di hadapannya.

Pria itu. Benar, tidak salah lagi. Luhan sudah benar-benar hapal setiap lekuk tubuh dan wajah Pria itu. Pria itu tengah membelakanginya dengan ponsel yang menempel di telinganya, sepertinya tengah menelepon.

"Halo, Lu?" Ucap Sehun di seberang sana, membuyarkan lamunannya. Ia baru ingat jika ia sedang berbicara dengan Sehun. "H-halo?" Jawabnya.

"Kau baik-baik saja?" Tanya Sehun, tak bisa dipungkiri Luhan mendengar nada khawatir dari kalimatnya. "Ya." Jawab Luhan sekenanya. Ia masih sibuk mengontrol detak jantungnya yang menggila sambil terus menatapi Pria dengan kemeja hitam itu.

Demi Tuhan, jantungnya terasa ingin meledak tatkala Pria itu berbalik dan menoleh ke arahnya. Luhan hanya bisa mematung di tempat ia berdiri. "Baiklah, aku akan berada disana 30 menit lagi."

PIP

Ia tidak bisa mendengar apapun selain detak jantungnya, ia bahkan tak menghiraukan ucapan Sehun hingga Pria itu memutuskan sambungannya. Mata rusanya bertatapan langsung dengan mata Pria itu. Luhan seketika lupa bagaimana caranya berjalan hingga ia tetap mematung di tempatnya. Pria dengan kemeja hitam itu berjalan mendekatinya, "Luhan?" Ucap Pria itu pada akhirnya.

"Y-ya?" Jawab Luhan. "Itu benar kau, Luhan?" Tanya Pria itu lagi, berusaha memastikan apakah benar orang yang berada di hadapannya ini adalah Luhan yang ia kenal. "Ya, aku Luhan, Kai." Ucap Luhan ketika ia sudah mulai berhasil mengontrol detak jantungnya.

Kai tersenyum, "Tak disangka kita akan bertemu lagi." Ucapnya lalu menunjukkan deretan giginya yang tersususn rapi. Oh, senyum itu. Sudah berapa lama ia tak melihat senyum yang pernah menjadi senyum favoritenya itu? Rasanya sudah lama sekali. Luhan berusaha mati-matian untuk tersenyum dan menahan air mata yang ingin keluar dari mata rusanya.

"Uh-hum." Luhan hanya bisa bergumam. Tanpa diduga, Pria itu mengusak surai cokelat madunya yang membuatnya menahan nafas, "Maafkan aku tak mengabarimu." Ucapnya. Luhan hanya mengangguk-anggukkan kepalanya, "Tak perlu meminta maaf begitu, Kai."

Kai memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya, "Baiklah, ceritakan padaku kenapa kau bisa bekerja disini? Bukankah kau menyukai sastra? Lalu kenapa memilih mengajar anak-anak?" Tanya Pria itu bertubi-tubi.

"Huh? Aku tidak bekerja disini." Kai menautkan alisnya, "Lalu kenapa berada disini?" Tanyanya lagi. "Aku-"

"Eomma.." Belum sempat Luhan menyelesaikan kalimatnya, seorang anak kecil sudah menghambur memeluknya dan Luhan hanya bisa menerima pelukan buah hatinya.

Kerutan di kening Pria itu semakin besar tatkala suara anak kecil menginterupsi mereka. Anak itu memanggil 'Eomma' ke arah mereka yang pastinya ia ketahui anak itu bukan memanggilnya. Dan yang lebih mengherankan dan mengejutkan adalah kenapa Luhan membalas pelukan anak itu? Seketika otaknya mulai mencerna semuanya.

"Lu, dia anakmu?" Tanya Kai hati-hati, melihat Luhan yang sudah menggendong anak itu yang baru ia sadari ternyata memiliki beberapa sisi wajah yang terlihat mirip dengan Luhan, termasuk mata rusanya.

Kedua orang itu menoleh ke arah Kai, "Ya, dia anakku, Kai." Ucap Luhan, sedetik kemudian Pria itu hanya terdiam. "Jesper-ah, kau belum dijemput?" Tanya Ziyu ketika melihat temannya yang terdiam di ambang pintu, ia memberikan isyarat pada Luhan untuk menurunkannya lalu ia segera menghampiri temannya itu.

"Uh-huh, kau sendiri kenapa bisa berada disini?" Ucap Luhan menggaruk tengkuknya yang tak gatal, berusaha mencairkan suasana yang terasa sesak sesaat.

Pria itu melirik ke arah anak yang berada di sebelah Ziyu, "Aku menjemput keponakanku." Luhan hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Entah hanya perasaannya saja atau memang Pria yang berada di hadapannya ini sedikit mengalami perubahan pada ekspresinya ketika ia mengucapkan jika Ziyu adalah anaknya. Entahlah.

"Eomma, Ahjussi ini adalah Pamannya Jesper." Ucap Ziyu riang sambil menarik tangan Jesper. Anak kecil itu hanya menunduk lalu Kai mengusak surai hitam milik anak itu.

"Eomma, Ziyu lapar. Jesper-ah, kau juga lapar, kan?" Ucap Ziyu menarik-narik tangan Luhan, Jesper hanya menganggukkan kepalanya. Entah ini keajaiban dari mana, Jesper bahkan mengangguk mendengar pertanyaan dari Ziyu. Ia bukan tipe anak yang mudah bersosialisasi dengan cepat. Entah mungkin karena Ziyu yang terlalu riang atau Ziyu yang terlalu cerewet hingga tidak ada pilihan lain bagi Jesper lalu ia hanya bisa merespon pertanyaannya.

"Lu, kau tak keberatan jika makan siang bersama?" Tanya Pria itu. Luhan menoleh ke arah Ziyu yang sudah memberikan puppy eyesnya pada Luhan, "Baiklah." Ucap Luhan pada akhirnya.

.

.

.

Terlihat dua insan tengah tertidur pulas di atas ranjang hanya dengan selimut tebal yang menutupi tubuh telanjang mereka. Pria bertubuh mungil terlihat gusar dalam tidurnya, ia berkeringat dan kerutan semakin tercetak jelas di keningnya. "Tidak, tidak.." Racaunya lalu sedetik kemudian ia terbangun dan terduduk dengan dada yang naik-turun. Ia mengusap kasar wajahnya. Mimpi itu lagi, pikirnya.

Ia menoleh ke samping, melihat Pria yang masih pulas tertidur. Kedua tangannya menutupi wajahnya, ia berpikir sejenak. Keberadaannya disini masih belum aman. Pria brengsek itu pasti sedang mencari dirinya dan itu masalah besar jika ia tertangkap lalu Pria brensek itu menyerahkannya pada orang yang jauh lebih brengsek yang telah berani-beraninya membeli dirinya.

Well, ia bukan takut akan diperbudak oleh majikan barunya. Terlebih jika soal sex, itu bukan masalah baginya. Toh, setiap malam ia bahkan bisa melayani hingga 5 tamu Pria dengan nafsu yang menggebu-gebu. Tapi hanya saja ia adalah tipe orang yang tidak suka dikekang, terlebih jika ia harus menjadi budak yang harus selalu menuruti perintah majikannya. Hell, itu sama saja seperti menikah. Ia tidak bisa bebas menikmati keindahan malam di club bersama Pria yang berbeda-beda, melakukan tarian striptease di atas stage lalu mendapat tepukan tangan dan dirty talk yang ia anggap sebagai pujian dari Pria-pria hidung belang yang haus akan kasih sayang dan belaian. Ia lebih senang dipuja dan diagung-agungkan seperti itu ketimbang menghabiskan seluruh sisa hidupnya yang masih panjang hanya dengan satu orang. Tidakkah kalian pikir itu sama saja seperti menikah? Ia bergidik jika harus memikirkannya. Ia lebih memilih menjadi night club hostess daripada menjadi sex slave.

Ia membuka kedua tangannya yang menutupi wajahnya lalu kembali melihat ke samping. Orang ini masih belum bisa dipercaya. Hell, ia bahkan tak pernah lagi mempercayai orang lain sejak 10 tahun lalu. Dunia ini sudah dipenuhi orang-orang munafik yang memiliki niat lain dibalik perbuatannya. Ia tersenyum miring. Orang ini bisa saja mengurungnya dan menjadikan dirinya menjadi sex slavenya. Bukankah kita harus memiliki pikiran negative dulu agar kita bisa terhindar dari bahaya yang kemungkinan akan terjadi? Ia tidak ingin menjadi munafik but that's how this life goes these days. Itulah prinsipnya, memikirkan kemungkinan-kemungkinan terburuk yang akan terjadi pada dirinyalah yang membuat dirinya masih dapat bertahan di negara yang penuh dengan hiruk-pikuk ini.

Matanya beralih menuju nakas yang terletak di samping ranjang. Dompet berwarna cokelat itu membuatnya memikirkan sesuatu dan sedetik kemudian dengan perlahan tangannya meraih benda itu dan menyimpannya di balik bantal yang ia gunakan. Rencana-rencana mulai tersusun di otaknya.

Pria jangkung itu terlihat mulai terusik lalu tanpa ba-bi-bu Pria mungil itu menempelkan bibirnya di bibir Pria itu, berusaha agar tidak terlihat mencurigakan. Pria itu membalas ciuman Si mungil dan menuntunnya untuk menaiki tubuhnya. Ciuman itu menjadi lumatan-lumatan menuntut. Pria jangkung itu berusaha bangkit dari tidurnya tanpa melepas Pria mungil yang sudah terduduk di perut atletisnya.

Pria itu mulai menciumi tengkuk Pria mungil kala ia berhasil duduk dengan Pria mungil yang sudah terduduk di pangkuannya dengan kedua kaki yang melingkari pinggangnya. Lalu Pria itu mulai menghujani dada Pria mungil dengan kecupan-kecupan yang berakhir dengan hisapan kuat, memberikan kissmark baru di tubuh yang memang sudah dipenuhi dengan tanda keunguan.

Pria mungil itu menjauhkan tubuhnya, membuat Pria jangkung itu menautkan alisnya, "Aku tidak ingin bercinta denganmu sebelum kau membersihkan tubuhmu yang bau sperma itu." Ucap Pria mungil sambil mengerucutkan bibirnya.

"Oh ayolah sayang, bukankah kita akan kembali kotor setelah bercinta? Apa salahnya jika bercinta dulu?" Rayu Pria jangkung yang sudah terangsang.

Pria mungil menggeleng-gelengkan kepalanya, "TIdak, aku tidak mau." Ia mulai mendekatkan dirinya lagi, "Turuti saja, sayang. Cepatlah, aku sudah tak sabar.. hhh" Bisiknya seduktif di telinga Pria itu. Pria jangkung itu seolah terhipnotis lalu kembali mencuri kecupan di bibir Pria mungil, "As you wish, baby." Ucapnya lalu berlalu ke kamar mandi.

Pria mungil itu tersenyum menang, "Gotcha! as planned, baby." Kekehnya lalu beranjak dari ranjang dan mengambil pakaian di lemari Pria itu. Dengan cepat ia memakai pakaiannya. Tak lupa ia ambil ponselnya di dalam saku hot pantsnya dan dompet milik Pria itu di balik bantal.

"Thanks for your help, baby. I gotta go." Ucapnya lalu menarik kunci pintu yang tergantung.

BLAM!

Ia dengan cepat mengunci pintu ruangan itu dan berlalu dengan memainkan kunci di tangannya. Lalu ia menaiki taksi dan melesat meninggalkan apartment itu. "Good-bye, my lovely Tokyo." Kekehnya sambil memandangi pemandangan kota Tokyo dari kaca mobil.

Sementara itu, Pria lainnya sedang menggeram tak karuan di ruangannya, "Argghhh.. shit!" Umpatnya tatkala tak mendapati siapapun di ruangan itu. Ia mengerang frustasi dan menggedor-gedor pintu ruangannya hingga suara ponsel menginterupsinya.

"Yeoboseyo?"

.

.

.

Pria tampan itu terus membunyikan klaksonnya, ia terus merutuki jalanan Seoul yang begitu padat pada jam makan siang. Berkali-kali ia menekan angka 1 pada speed dialnya, namun berkali-kali pula panggilannya tak diangkat. "Come on, oldster! Aku harus menjemput Anak dan Isteriku." Ucapnya pada diri sendiri tatkala melihat empat orang tua yang tengah menyeberang jalan.

Mobilnya melaju cepat kala orang tua itu berhasil sampai di seberang. Ia melirik arlojinya, pukul 12.25. Sudah 35 menit berlalu setelah ia menelepon Isterinya. Artinya ia sudah terlambat 5 menit. Ia memacu mobilnya lebih cepat. Oh ayolah, ia tak ingin mengecewakan Isterinya pada janji pertamanya.

Ia memarkirkan mobilnya begitu sampai. Ia segera berlari keluar mobilnya dan mencari-cari sosok Isteri dan Anaknya. Kepalanya terus bergerak ke kiri dan ke kanan. Ia mengeluarkan ponselnya dan kembali menekan angka 1 dan tersambung.

"Halo, Lu?"

"…"

"Kalian dimana?"

"…"

"Huh? Baiklah, tunggu aku. Aku segera menuju kesana."

PIP

Ia bergegas berlari menuju tempat mobilnya diparkirkan dan memacu mobilnya cepat menuju café terdekat.

Di tempat lain empat orang tengah duduk dan menikmati makanan mereka masing-masing hingga Pria mungil merogoh tasnya dan mengeluarkan ponselnya '23 missed call' Ia membulatkan matanya ketika melihat nama Sehun di screen ponselnya.

"Halo, Lu?"

"Ya?" Ketiga orang yang duduk di dekatnya sontak mengalihkan pandangan mereka menuju Luhan yang tengah mengangkat telepon.

"Kalian dimana?"

Mata rusanya tak sengaja bertemu pandang dengan mata Kai yang sedari tadi terus memperhatikannya. Ia sedikit menunduk, berusaha menetralkan detak jantungnya, "Kami sedang berada di café, tak jauh dari sekolah Ziyu." Ucapnya.

"Huh? Baiklah, tunggu aku. Aku segera menuju kesana."

PIP

"Dari siapa, Lu?" Tanya Kai sembari menyesap minumannya. Luhan mendongak, berusaha menatap lawan bicaranya, "Uh.. Dari Suamiku."

Kai lagi-lagi menenggak minumannya, "Suami yang baik." Kekehnya. Selang beberapa waktu dalam keheningan, lagi-lagi dering ponsel menginterupsi kegiatan makan siang mereka. Kali ini Pria berkulit tan yang merogoh sesuatu di saku celananya.

"Yeoboseyo?"

.

.

.

To Be Continued…

.

.

.

Author's Note :

Annyeong~ Halo.. Loha.. Akhirnya Author balik lagi setelah sekian lama menghilang. Huwaaaa ada yang masih inget gak prolog ini ff yang dipost sekitar emm.. 3 bulan lalu? Kurang lebih lah ya kkkk, Oh iya, ff ini bener-bener dibuat jauh dari rencana awal hohoho setelah 3 bulan saya jadi lupa ini cerita awalnya mau dibuat gimana tapi tiba-tiba malah yang kayak gini muncul di otak saya, gak papa lah ya..

Terima kasih buat yang udah ngebaca, ngereview, ngefollow maupun ngefav ini ff. Saranghaeyoo~ Last,

Review Jusseyo~~~