Summary: Tak ada yang cukup kuat melawan mata besar Fang yang berkaca-kaca. Kaizo kecil yang serius bahkan selalu dibawah kuasanya. Angst dan fluff, brotherly love KaiFang. Child!KaiFang. Prolog untuk sekuel Children of the Kindly West.
.
Boboiboy milik Animonsta Studios
.
.
Saat Fang masih kecil, ia adalah makhluk paling polos, imut dan lucu yang pernah Kaizo lihat. Si abang tentu saja takkan mau mengakui ini karena sifatnya yang tertutup, tapi jelas sekali Kaizo sering merasa gemas melihat tingkah laku adiknya yang sangat polos itu. Matanya bulat besar, pipinya tembem seperti roti. Pembawaannya selalu ceria dan manja jika berhadapan dengan ibu atau kakaknya, selalu merengek ingin main dan ditemani. Atau hanya sekedar duduk di pangkuan sang ibu atau kakaknya saja, tanda anak itu sering merasa kesepian ditinggal hanya oleh pengasuh.
Malam itu, Kaizo yang baru berumur 12 tahun sedang memangku Fang yang baru berumur 3 tahun. Mereka sedang duduk bersama di ruang rekreasi, dengan tayangan kartun kesukaan Fang terputar di layar besar televisi. Fang kecil sedang bermain dengan boneka pinguin bulat yang sama bulatnya dengan pipi Fang. Si adik tengah dititipkan oleh abangnya, karena baik ibu dan ayah mereka sedang menangani persoalan darurat di kesatuan militer. Kaizo kecil tentu saja tak keberatan, selain itu ia juga sudah mengerjakan semua tugas akademi militernya, jadi ia bisa menghabiskan waktu bersama Fang. Sesuatu yang sudah mulai jarang terjadi, karena Kaizo sudah memasuki akademi militer antariksa, jadi ia mulai sibuk oleh banyak hal.
Fang sering menangis kesepian saat abangnya tidak ada atau menolak bermain karena harus pergi. Kaizo sering tak sampai hati melihat mata besar adiknya berkaca-kaca, jadi dia harus kreatif membujuk Fang agar berhenti menangis. Biasanya es krim cukup ampuh untuk menyenangkan Fang, atau gulali kapas.
"Abang! Pang mau ke atap!" seru Fang tiba-tiba sambil memeluk boneka pinguinnya. Tampaknya ia sudah bosan menonton kartun. Kaizo menjentikkan jarinya ke hidung Fang mendengar ocehan adiknya.
"Tak boleh, di atap banyak benda tajam," larang Kaizo, dengan nada lunak. Fang mulai cemberut. Kalau ada abang dan ibunya, ia bisa menjadi anak yang sangat manja. Tapi ia anak yang sopan dan pendiam saat bertemu ayah mereka atau orang lain.
"Uuuh tapi Pang mau main ke atap! Di sana ada teropong Abang ya? Ayo kita lihat bintang!" ajak Fang, antusias. "'Kan Abang mau tunjukkan sama Pang rasi bintang!"
Kaizo hanya mengeluarkan senyum tipis, namun tulus. Ia membenarkan posisi pangkuan Fang agar adiknya lebih nyaman.
"Tak boleh. Terakhir kali Pang ke atap, Pang jatuh dan membentur rak buku. Ingat?" ujar Kaizo. Fang tampak lesu.
"Ya sudah," kata Fang. Ia turun dari pangkuan Kaizo dan berjalan pergi sambil menggendong boneka pinguinnya. Merajuk. Kaizo berdiri mengejar adiknya.
"Bagaimana kalau kita membaca buku cerita?" tawar Kaizo agar Fang tidak merajuk lagi. Fang hanya cemberut.
"Pang tak mau."
"Kalau bermain bola? Pang mau?" bujuk Kaizo lagi.
"Tidak asyik, " jawab Fang sambil terus berjalan tanpa menunggu abangnya. Ia hendak menuju kamarnya.
"Kita bisa menonton seri terbaru kartun kesukaanmu, bagaimana?" tawar Kaizo lagi. Fang naik ke tangga kecil yang menuju pintu kamarnya. Ia kemudian berbalik dengan mata mulai memerah hendak menangis.
"Pang mau main teropong sama abang! Abang 'kan sudah janji!"
"Ibu melarang Pang naik ke atap, Abang diminta ibu untuk jaga Pang," kata Kaizo mulai kehabisan akal. "Abang memang sudah janji, tapi itu sebelum ibu melarang."
Fang menunduk. Boneka pinguin kesayangannya terkulai di lantai, terjatuh. Kaizo mulai mencium bahaya.
Sang adik menengadahkan wajahnya, menatap Kaizo lekat-lekat. Matanya yang bulat dan besar tampak berkaca-kaca. Seperti anak kucing kecil yang ditinggalkan ibunya, tampak sedih dan putus asa. Setetes air mata mulai jatuh dari mata Fang. Kaizo meski wajahnya masih tampak datar saja, tapi di dalam hati ia mulai panik.
"Abang ingkar janji," isak Fang, sedih sekali. Kaizo berlutut di depan adiknya agar tinggi mereka sejajar.
"Iya, maafkan Abang. Nanti Abang minta izin sama ibu kalau sudah pulang ya," bujuk Kaizo lagi. Fang menggelengkan kepalanya.
"Tidak ah! Nanti Abang pasti sibuk lagi, terus lupa janji Abang! Terus Pang main sendiri lagi! Terus Abang tak ingatlah sama Pang!" sang adik mulai menangis tersedu-sedu sambil memeluk abangnya. Wajahnya ia benamkan ke pundak sang kakak, ia masih sesenggukan. Kaizo mengusap-usap kepala Fang, berusaha menenangkan adiknya. Tak tega rasanya melihat rusa kecil ini menangis seperti itu, apalagi menangis karena kesepian ditinggal sama abangnya.
"Ya sudah, ayo kita main teropong bintang. Tapi jangan bilang ibu ya? Jangan berkeliaran ke sana-kemari juga, tetap berada di dekat Abang," kata Kaizo akhirnya luluh juga. Fang langsung menghentikan tangisannya, wajahnya ia angkat menatap Kauzo. Tampak senyum lebar mulai muncul, meski wajahnya masih merah dan penuh air mata.
"Terimakasih Abang!" kata Fang, senang sambil memeluk Kaizo erat-erat dan mencium pipinya. Kaizo tersenyum dan menyentuh kepala adiknya.
"Sama-sama," balas sang abang. Tangan Kaizo yang jauh lebih besar meraih tangan kecil Fang, hendak menuntunnya naik ke tangga utama. Tapi adiknya melepaskan genggaman tangan Kaizo. Fang hanya menatap Kaizo dengan cengiran besar, wajahnya bersemu merah. Kaizo menaikkan sebelah alisnya.
"Gendong, hehe," pinta Fang sambil mengangkat kedua tangannya. Kaizo hanya menghela nafas dan kemudian tertawa kecil. Ia lalu mengangkat tubuh si rusa kecil dan menaruhnya di pinggangnya.
"Anak manja," ujar Kaizo, sambil mencium pipi Fang. Fang hanya tertawa geli saat rambut Kaizo menggelitik pipi dan lehernya. Mereka menaiki tangga besar menuju atap.
.
.
"Kalau itu apa?" tanya Fang, antusias.
"Itu planet R-32W, penduduk Bumi biasa memanggilnya dengan Jupiter. Planet terbesar dalam tata surya mereka," terang Kaizo. Fang mengeluarkan suara 'oooh!' tanda ia takjub.
"Apakah Jupiter lebih besar daripada planet kita?" tanya Fang, matanya membola seperti kelinci kecil karena rasa ingin tahu. Kaizo mengacak rambut adiknya.
"Tidak. Planet kita memang lebih besar daripada bumi, tapi tidak sebesar Jupiter," jawabnya.
Mereka tengah berdiri di atap dengan teropong besar berada di depan mereka. Tingkap raksasa di angkat, memperlihatkan langit malam luas penuh taburan bintang dan planet. Galaksi begitu indah, berwarna biru dan kemerahan. Satu dua kali tampak komet atau bintang jatuh di sudut langit, panjang menyala ekornya seperti anak panah yang dilepaskan para malaikat. Ketika melihat betapa banyaknya tempat di luar sana untuk dijelajahi, Kaizo selalu ingin pergi mengembara nun jauh di sana. Melihat hal-hal baru yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Mungkin ia akan ajak adiknya, tapi ia harus kuat dahulu agar ia bisa melindungi adiknya saat mereka mengembara di jagat raya yang luas ini. Akan banyak hal berbahaya dan Kaizo harus cukup kuat untuk menghalau mereka dari adiknya.
"Abang! Lihat! Matahari ya?" tebak Fang sambil mengarahkan teropong.
"Bukan, itu hanya planet A-32W, di sebut juga Merkurius," koreksi Kaizo. "Manusia tak bisa hidup di sana karena terlalu panas. Tapi sebenarnya ada koloni Turia yang bermukim di Merkurius, teknologi manusia masih sangat primitif untuk mengetahuinya," ujar Kaizo lagi. Fang berseru kagum.
"Abang memang pandai! Pang mau sepandai Abang, tahu banyak hal!" seru Fang, senang. Kaizo tersenyum tipis.
"Kalau Pang belajar dan selalu membaca, bisalah Pang lebih pandai daripada Abang," kata Kaizo. Mata Fang membola mendengarnya.
"Tak mungkin Pang lebih pandai daripada Abang, tak ada yang lebih hebat daripada Abang," ujar Fang, yakin. Ia sangat mengidolakan kakaknya, kemungkinan ada orang yang melampaui Kaizo itu bagi Fang sangat mustahil.
Kaizo tersenyum kecil mendengar kepolosan adiknya.
"Banyak di luar sana yang jauh lebih pandai dan lebih kuat daripada Abang. Abang baru saja berumur 12 tahun, masih banyak yang harus dilatih," kata Kaizo. Fang hanya melemparkan cengiran lebar pada kakaknya, matanya berbinar saat menatap Kaizo.
"Eh tetap saja Abang yang paling kuat. Ayah bilang kalau Abang lompat kelas dan memecah rekor skor tertinggi di akademi. Ibu juga bilang Abang berbakat. Pang mau sehebat Abang!" katanya bersemangat. "Tapi sepertinya mustahil... Abang terlalu kuat," tambah Fang, dengan wajah lesu. Kaizo mengelus rambut adiknya.
"Pang, tak ada yang berhasil hanya karena bakat saja. Abang lebih memilih disebut pekerja ulet daripada orang yang pandai, itu berarti tidak menyia-siakan hidup Abang," terang Kaizo. "Pang juga sama berbakatnya seperti Abang, asal Pang mau berusaha."
"Baik, Kapten!" seru Fang sambil memberikan hormat ala militer. Kaizo dengan wajah dibuat seserius mungkin membalas hormat pula, membuat Fang tertawa geli.
"Nanti kalau Abang sudah besar punya pesawat angkasa sendiri ya?" tanya Fang. Kaizo hanya tersenyum tipis. Sebenarnya sekarang pun ia sudah memiliki pesawat antariksa sendiri karena dia lulus tes penerbangan dengan nilai sempurna. Tak perlu tunggu ia dewasa.
"Iya, nanti Abang mengendarai pesawat angkasa sendiri. Pang kalau sudah besar, kelak masuk pasukan Abang mau tidak? Nanti kita sama-sama menjelajahi galaksi," kata Kaizo. Mata Fang kembali berbinar-binar.
"Woaah, Pang bisa jadi pasukan Abang? Mau,mau!"
"Iya, tunggu Pang besar ya," jawab Kaizo. Fang tampak antusias dengan ide itu, tak henti-henti Fang bertanya tentang pasukan yang akan Kaizo pimpin. Kaizo dengan sabar menjawab pertanyaan Fang hingga malam telah larut dan mereka tak lagi berdiri di dekat teropong bintang, tapi berbaring di lantai atap mengamati bintang yang milyaran berkedip-kedip perlahan nun jauh di sana. Menciptakan berbagai imajinasi klise dan kekanakan si Fang kecil, yang hanya didengarkan sang kakak dengan senyum simpul. Tubuh mungil Fang meringkuk di dekat Kaizo sambil memeluk boneka pinguinnya, kepalanya berbantal pundak sang kakak.
Kaizo menyenangi percakapan ringan dengan adiknya. Ia selalu perhatian mendengarkan celotehan ribut sang adik. Bagi Kaizo, Fang adalah insan yang tak boleh tahu bagaimana kekejaman di luar sana, ia ingin melindungi kepolosan adiknya. Meski Kaizo tahu tak mungkin melindunginya selamanya, tapi ia akan berusaha selama ia bisa. Masa bermain seperti ini akan segera berakhir, maka Kaizo menikmati waktu kebersamaan mereka dan menyimpannya baik-baik dalam sudut hatinya. Ia akan terus mengenang masa seperti ini, ketika Fang masih tertawa dengan bebas dan selalu memeluk kakaknya. Bau tubuhnya begitu lembut seperti kapas dan beri musim semi. Kaizo takkan melupakan ini karena Fang adalah yang paling berharga.
Tangan mungil adiknya menarik baju Kaizo. Ia kemudian mengalihkan pandangan ke arahnya.
"Uum, bisakah Abang ceritakan tentang bintang lagi?" tanya Fang.
"Tentu saja. Kita mulai dari macam-macam bintang berdasarkan tingkat panas dan warnanya," kata Kaizo memulai percakapannya. Fang memeluk bonekanya dan mendengarkan suara rendah Kaizo, membiarkan setiap nada membawa Fang ke dunia baru.
Tak terasa malam kian menggelap, meski bintang tetap bertaburan di atas sana. Saat yang menyenangkan selalu berakhir cepat. Kaizo melirik jam yang melingkari pergelangan tangannya. Sudah pukul 11, jam tidur Fang sudah lewat dua jam yang lalu. Kaizo harus segera mengantarnya tidur.
"Hmm, bagaimana kalau bintang kehabisan bahan bakarnya?" tanya Fang dengan suara mengantuk. Kaizo menoleh ke arah adiknya.
"Bintang yang kehabisan bahan bakarnya, akan berpidar sangat terang dan kemudian meledak menjadi supernova. Supernova lalu berubah menjadi lubang hitam yang menghisap semua benda di sekitarnya," terang Kaizo. Fang tampak menguap kecil dalam pelukan kakaknya.
"Sudah larut malam. Saatnya kau tidur," ujar Kaizo seraya bangun dari posisi berbaringnya. Ia menopang tubuh adiknya agar bangun duduk bersamanya. Fang mengucek matanya sambil menguap kecil, tampak begitu polos. Ia masih tergolek dalam pelukan kakaknya.
"Hmmm, tapi Pang mau dengar cerita Abang, Pang belum mau tidur," kata sang adik, setengah merengek. Kaizo menghela nafas pelan.
"Nanti Abang ceritakan tentang bintang dan alam semesta. Sekarang Pang harus sikat gigi dan pergi tidur," Kaizo berkata dengan nada lunak namun tegas. Fang tampak kuyu.
"Tapi Abang temani adik menggosok gigi dan tidur ya?" pinta Fang, berharap. Kaizo mengacak rambut biru malam Fang.
"Iya. Ayolah," ajak Kaizo sambil menggandeng tangan kecil Fang. Adiknya menurut dan berjalan bersama Kaizo ke lorong tempat tidur. Kaizo menemani adiknya menyikat gigi dan cuci muka, selepas itu sang kakak mengambil baju tidur adiknya. Selesai bersalin baju, Fang naik ke tempat tidur dan berbaring. Kaizo menyelimutinya dan kemudian mematikan lampu utama. Sang adik langsung menyalakan lampu tidur. Kaizo mengerinyitkan dahi tanda ia tak suka Fang mengulur waktu tidurnya. Fang hanya menatap kakaknya dengan mata membola takut, ia masih cemas ditinggal sendiri.
"Abang temani Pang sampai tidur ya?" pinta Fang dengan suara kecil. Dahulu ia sering tidur bersama kakaknya, tapi sekarang Kaizo ingin memiliki ketenangan saat mengerjakan tugas akademinya. Ia takkan bisa konsentrasi saat adiknya bergelayut di sisinya dan meminta waktunya. Karenanya permintaan Fang tidak mengherankan, Fang tahu kakaknya tak bisa lagi tidur bersamanya, maka ia meminta Kaizo untuk menemaninya sampai jatuh tertidur.
Kaizo kemudian duduk di tepi tempat tidur Fang. Ia mengusap kepala adiknya.
"Baiklah. Abang bacakan buku agar kau tertidur," putus Kaizo. Fang mengiyakan dengan antusias. Kaizo mengambil sebuah buku dari rak dan membuka halaman terakhir yang dibaca dan memulai dongengnya. Fang membiarkan suara rendah Kaizo mengiringinya tidur, membuat nafasnya perlahan dan merasa aman, tenang.
Malam itu Fang bermimpi terbang bersama Kaizo menjelajahi Bumi dan Jupiter serta melihat sebuah bintang meledak menjadi supernova.
.
.
"Of all ghosts, the ghosts of our old loves are the worst."
- Arthur Conan Doyle
.
.
Markas Tempur A, 11 tahun kemudian
Fang berdiri di atas pesawat antariksa, menghadap angkasa yang luas tak terbayang ini. Taburan bintang dan planet tampak ramai berkilauan dari kejauhan, layaknya serpihan berlian yang tertimpa cahaya matahari. Batu meteor terbang pelan, berserakan di angkasa bebas yang gelap, seperti halnya dedaunan yang berlayar lambat di danau tenang.
Fang menatap tangannya, ada sebuah guci kaca perak berukuran sedang di genggaman tangannya. Ia merasakan dadanya kembali berat oleh kesedihan.
Kaizo telah mati dalam kesendirian di planet asing tanpa sanak-keluarga menemaninya. Dengan rela Kaizo mengorbankan diri agar Fang bisa selamat keluar dari planet itu. Kata-kata terakhir Kaizo sebelum pintu lifepod penyelamat tertutup adalah kata-kata yang menggelayut berat hatinya. Rasa bersalah adalah perasaan terburuk.
Dahulu ia sempat membenci kakaknya, meninggalkannya di bumi dan selalu melemparkan kata-kata kejam. Kaizo juga tak pernah membalas gestur kasih sayang dari Fang. Namun setelah pertarungan Vargoba dan kata perpisahan Kaizo, semua itu ada alasan yang tak terbantahkan. Rasa dendam itu berubah menjadi rasa menyesal tidak bisa menyelamatkan Kaizo. Ia mati sendirian disana, dalam sunyi sambil menatap lifepod yang membawa Fang terbang tinggi meninggalkan Kaizo. Fang ingin sekali memutar waktu agar ia bisa menemani Kaizo. Ia ingin membalas kata-katanya, kalau ia juga memiliki perasaan dan tekad yang sama. Tapi Kaizo tidak pernah tahu, ia tidak pernah mendengar apa yang ingin Fang ucapkan.
Mungkin Kaizo tak pernah peduli mengenai perasaan Fang kepadanya. Ia tak mengharap balasan atas perasaan dan tekadnya.
"Kaulah yang terpenting, Fang. Aku akan melakukan apa saja demi keselamatanmu."
Kakaknya tidak meninggalkan wasiat seperti apa pemakamannya, entah ingin dikuburkan atau dikremasi, jadi Fang-lah yang harus memilih seperti apa jenazah kakaknya diperbuat. Bagi Fang, Kaizo yang pergi diiringi api itu lebih cocok daripada diam tenang dalam pelukan tanah. Karenanya Kaizo kemudian dikremasi dan abunya dimasukkan ke dalam guci perak.
Fang menggengam erat guci perak berisi abu Kaizo. Ia menyentuhnya seakan-akan mengucapkan perpisahan. Kaizo adalah pribadi yang besar, ia tidak cocok terpenjara dalam guci kecil seperti ini. Sudah seharusnya ia terbang bebas di angkasa, menjelajahi kemana ia suka seperti semasa ia hidup dulu. Maka Fang pun melepaskan Kaizo karena ia tidak ingin mengurungnya untuk dirinya sendiri.
Fang mencabut tutup guci abu tersebut. Dengan perlahan, ia menuangkan abu Kaizo ke angkasa bebas. Abu itu berwarna keperakan dan hitam gelap, terbang menuju arah tak tentu nun jauh di sana. Sambil menelan pusara kesedihan dalam dadanya, Fang terus menuangkan abu itu, seiring dengan hatinya yang semakin berontak tidak senang. Seperti sulitnya melepaskan genggaman tangan yang takkan bisa diraih lagi ketika sudah terlepas. Abu itu kemudian tak bersisa, semua telah bebas di angkasa. Sebagaimana yang seharusnya terjadi. Sebagaimana yang seharusnya Kaizo dimakamkan, di langit sana.
Kaizo adalah supernova. Ledakan supernova menghasilkan lubang hitam yang mengisap semua hal menjadi tak bersisa. Kematiannya juga membuat lubang hitam yang sama dalam dada adiknya. Sekarang semua lorong-lorong di markas tampak besar dan menakutkan. Ada hal penting yang seharusnya ada namun tiada. Fang berkali-kali ingin mengejar jejak yang memudar itu, tapi jejak itu telah berubah menjadi abu keperakan yang menghilang, melebur di angkasa. Kepergiannya telah meninggalkan lubang besar hitam yang terus menerus menghisap rasa hidup Fang. Seperti terus menyeret Fang ke alam kubur juga.
Fang menatap lagi ke angkasa, dimana abu Kaizo telah berserakan tak tentu arah. Abu keperakan itu terbang perlahan, menjauhi Fang. Beberapa ada yang mengelilinginya, seakan-akan tangan Kaizo sedang merengkuhnya dalam dekapan selamat tinggal. Fang merasakan air matanya menetes dan kemudian membeku menjadi es karena suhu dingin. Ia menyapunya dan es-es yang lain kemudian menyusuri pipinya tanpa henti. Ia pikir es-es itu takkan berhenti menetes untuk waktu yang lama sekali. Ia tak tahu caranya untuk berhenti merasa sesedih ini.
Fang kembali menatap ke angkasa nun jauh di sana. Ia tak tahu kemana ia harus pergi setelah ini.
.
Fin
.
A/N
Saya nangis gaje saat nulis ini ff T_T ugh pengen segera nulis sekuel tapi antrian ff saya masih banyak.
Pasti pada heran kenapa saya rajin sekali nulis ff... segabut itukah saya?
Eh gak juga, saya setiap hari selalu sibuk. Menulis itu bukan sesuatu yang kita harus merasa terbebani, justru sebaliknya. Kita bakalan menikmati banget kalau sambil nulis hal yang disukai, kayak saya suka brotherhood KaiFang~ hehe. Menulis itu cara saya beristirahat dari seabreg-nya kegiatan saya. Bagi saya, menulis itu benar-benar ampuh menyembuhkan stres. Eh, maaf jadi curhat, hehehe.
Bagaimana dengan kalian, wahai para pembaca kebenaran!? Apa arti menulis itu bagi kalian? Silahkan berikan jawaban dan feedback ff ini yah di review!
