YOURS, MINE & OURS
© Madelyn Davis & Bob Carroll Jr
Naruto
© Masashi Kishimoto
.
.
Chapter 1
Hatake & Uchiha
.
.
Pagi itu adalah pagi yang biasa di Konohagakure no Sato. Matahari perlahan menampakkan diri di ufuk Timur, melimpahkan sinarnya yang hangat ke penjuru desa yang mulai terbangun. Sapaan 'ohayou' terdengar bersahutan dari para penduduk yang baru saja akan memulai kegiatan harian mereka –menyapu halaman, membuka toko, dan sebagainya—dan para shinobi dan kunoichi yang akan pergi menjalankan misi tampak melesat cepat dari satu atap ke atap yang lain menuju gerbang besar yang baru saja dibuka oleh dua orang chunin yang berjaga semalaman.
Pemandangan yang biasa di desa para ninja itu.
Ah, tapi sepertinya ada sesuatu yang istimewa pagi ini. Iring-iringan kereta pengangkut barang baru saja memasuki gerbang desa. Rombongan pedagang? Sepertinya bukan, jika dilihat dari bagaimana sambutan para penjaga gerbang pada pria yang memimpin rombongan itu. Seorang pria jangkung tegap yang separuh wajahnya tertutup masker gelap, dengan rambut keperakan yang menantang gravitasi. Dari hitaiate yang melingkari kepalanya, jelas bahwa ia adalah seorang shinobi –dan sepertinya bukan shinobi sembarangan.
"Ohayou, Kakashi-san!" sapa salah seorang chunin berambut jabrik pada sang pimpinan rombongan. "Selamat datang di Konoha!"
Pria berambut perak itu tersenyum di balik maskernya, melambaikan sebelah tangannya dengan santai untuk membalas sapaan ramah itu. "Aa. Ohayou!"
"Perjalanannya menyenangkan, Kakashi-san?" seru chunin yang satu lagi, yang wajahnya separuh tertutup rambut yang terurai dari bawah hitaiate-nya.
"Aa. Lumayan," sahut pria bernama Kakashi itu singkat, sebelum kemudian iring-iringan kereta itu berlalu memasuki desa, menuju sebuah distrik tempat kediaman khusus yang sudah dipersiapkan Hokage untuknya.
Barangkali kalian bertanya-tanya kenapa hanya untuk seorang shinobi seperti Kakashi, seorang Hokage sampai harus turun tangan sendiri mengatur mempersiapkan rumah alih-alih hanya sebuah apartemen biasa? Apakah pria ini begitu istimewa hingga mendapat perlakuan khusus? Jawabannya adalah, 'ya'. Atau lebih tepatnya, keluarganya lah yang istimewa –jika dilihat dari jumlahnya yang diluar kebiasaan untuk sebuah keluarga kecil.
.
.
"Oke, Kakashi-han!" seru Kakashi pada rombongan yang sedang menurunkan barang-barang dari kereta. Ia memegang sebuah daftar di atas papan berjalan di tangannya. "Saatnya memasukkan barang-barang! Kamar masing-masing sudah dinamai—Sai, jangan begitu, Nak! Bawanya satu-satu—Shino, bisa bantu adikmu?"
"Yeah, Shino, bantu adikmu!"
Kakashi menunduk, memandang bocah lima tahun yang berdiri di sampingnya. "Shino-niisan, Naruto," tegurnya sambil tersenyum pada putra bungsunya, mengacak rambut pirangnya penuh sayang. "Kau juga sebaiknya membantu kakak-kakakmu sana."
"Um…" bocah bernama Naruto itu mengerucutkan bibirnya dengan ekspresi lucu. "Tapi aku mau lihat kamarku."
Kakashi tertawa kecil. "Kalau begitu masuk sana lihat kamarmu. Ayo masuk!"
"Hai', Taichou!" Bocak kecil itu mengangkat tangannya memberi hormat pada ayahnya sebelum melesat masuk ke dalam rumah sambil berteriak-teriak girang. "Kamar baru! Yay!"
Kakashi tersenyum sambil menggelengkan kepala melihat tingkah putra bungsunya, kemudian berpaling pada kedua putra kembar-sama-sekali-tidak-identik-nya yang baru datang dari kereta sambil membawa kotak berisi barang pribadi masing-masing.
"Sai, Suigetsu, kamar kalian di lantai atas—sesuai permintaan," beritahu Kakashi sambil mengecek daftar di tangannya.
"Yeah!" seru Suigetsu girang.
"Aku dapat tempat tidur di dekat jendela!" kata Sai cepat-cepat.
"Tidak!" timpal Suigetsu sambil cemberut pada saudara kembarnya, "Aku lebih tua darimu, jadi aku yang menentukan!"
"Hah, kau hanya lebih tua tiga menit!"
"Hei, hentikan itu, anak-anak," Kakashi segera melerai pertengkaran yang sepertinya bakal tidak akan ada habisnya itu, "Di kamar atas baru ada satu tempat tidur, jadi kalian akan berbagi tempat tidur untuk sementara."
"Aaaaah~~" si kembar langsung mengeluh panjang, kemudian menggotong barang-barang mereka masuk, bergedebukan menaiki tangga.
"Selanjutnya!"
Seorang gadis kecil berambut indigo pendek berjalan mendekat sambil memeluk kotak besar berisi barang-barangnya. "Chichi-ue, Tenten-neesan memberitahuku di akademi Konoha mereka juga mempelajari seni merangkai bunga. Benarkah?" tanyanya dengan wajah penuh antusiasme.
"Kurasa begitu, Nak," sahut ayahnya sambil tersenyum di balik maskernya.
Hatake Hinata langsung berseri-seri, lalu bergegas masuk menyusul adik kembarnya.
"Ada hutan bagus di luar gerbang Konoha, Chichi-ue," kata anak laki-laki berkacamata hitam yang baru muncul di belakang Hinata, "Nanti aku boleh ke sana mencari serangga, kan?"
"Akan kupertimbangkan, Shino. Asal kau berhati-hati dan melakukan kewajibanmu dulu," kata Kakashi, "—beres-beres rumah."
"Hai'!" Dan Shino pun menyusul adik-adiknya masuk.
Kakashi menoleh pada putranya yang lain di belakang Shino, tidak heran melihat raut wajah kesal balas memandangnya. "Ada masalah, Sasuke?"
Sasuke menghela napas—atau lebih tepatnya mendengus—"Chichi-ue, ini pindahan kita yang kelimabelas kalinya dalam hidupku," ujarnya dengan nada jengkel.
"Oh, kau punya ingatan yang sangat bagus, Sasuke," sahut Kakashi tenang, "Tidak heran kau jadi lulusan terbaik di akademi Kirigakure."
Sasuke memutar bola matanya, lalu dengan langkah ogah-ogahan ia berjalan masuk.
"Neji!" Kakashi berseru pada putra sulungnya, yang membawa setumpuk dokumen dan gulungan dalam kardus berukuran cukup besar, "Barang-barang penting kita masih lengkap?"
"Yap," sahut Neji dengan nada formal, menepuk kotaknya, "Sertifikat jounin milikmu dan aku, sertifikat chunnin milik Tenten dan Sasuke, genin milik Shino, dokumen pendaftaran akademi untuk Hinata, Suigetsu dan Sai, taman kanak-kanak untuk Naruto, dan dokumen pendaftaran kesatuan ANBU untukku."
"Sempurna. Tapi kurasa kau harus jadi jounin biasa dulu setidaknya setahun sebelum bisa jadi ANBU, Nak," kata Kakashi.
"Oh, bukan masalah besar," Neji tersenyum. Kemudian ia menambahkan dengan suara rendah selagi ia berjalan melewati ayahnya menuju pintu rumah, "Chichi-ue tidak pernah bilang gadis di sini cantik-cantik."
Kakashi tertawa, menggeleng-gelengkan kepalanya. "Bocah nakal!"
Setelah Neji masuk, Kakashi menjulurkan leher ke arah kereta yang mengantarkan barang-barang mereka, mencari satu anaknya yang masih belum muncul. Dan kemudian dilihatnya gadis bercepol dua itu di sana, sedang berdiri di bagian belakang kereta. Tampak sedang mengobrol akrab dengan seorang pemuda berseragam chunin.
"Hatake Tenten!" seru Kakashi memanggil putri keduanya.
Tenten menoleh padanya sekilas, kemudian buru-buru membisikkan sesuatu-yang-tidak-bisa-didengar-ayahnya pada chunin itu sebelum menyahut ayahnya, "Aku datang, Chichi-ue!" Gadis itu mengambil kotak yang tidak kalah besar dengan kotak yang dibawa kakaknya dari dalam kereta, yang berisi gulungan-gulungan koleksi senjata miliknya.
"Kita baru saja pindah, Nak. Kau ngobrol dengan siapa?" cecar Kakashi dengan tatapan curiga saat Tenten berjalan mendekat.
Tenten tertawa kecil menanggapi pertanyaan ayahnya yang terdengar agak overprotektif. "Hanya chunin dari kantor Hokage. Dia cuma ingin memastikan penambahan jumlah shinobi dan kunoichi untuk daftar ninja. Aku juga tidak mau tidak terdaftar, kan?"
"Kelihatannya tidak seperti itu," Kakashi melipat kedua lengannya di depan dada, memandang gadis itu dengan dahi berkerut. "Mereka sudah mendaftar kita sebelum kita datang."
Wajah Tenten kontan memerah mengetahui kebohongannya dengan cepat tersingkap –sepertinya ia memang tidak bisa menyembunyikan sesuatu di depan ayah tercintanya ini. "Oh, oke. Chichi-ue menang. Dia hanya datang menyapa kok—" gadis itu melesat melewatinya, lalu berhenti di pintu. Menoleh pada ayahnya sambil tersenyum manis, "Chichi-ue tenang saja. Tidak ada yang bisa menggantikan posisi Chichi-ue di hatiku." Ia terkekeh, lalu berbalik memasuki rumah menyusul saudara-saudaranya yang lain.
Kakashi menghela napas, kemudian beralih pada orang terakhir di rombongan mereka, seorang pria dengan tubuh tinggi besar, berkulit agak kelabu, memakai masker sepertinya dan memiliki mata hijau yang selalu menatap galak. Pengurus rumah tangga sekaligus pengasuh kedelapan anaknya sejak istrinya meninggal, Kakuzu. Yang kini sedang bersusah payah menyeret peti-peti tempat menyimpan barang anak-anak Hatake.
"Jadi, Kakuzu…" kata Kakashi lambat-lambat, seraya membalik daftar di tangannya. "Bagaimana menurutmu Konoha?"
"Selama tempat ini aku bisa mendapatkan uang dengan mudah, aku suka saja," gerutunya sambil lalu. Tentu saja di mana-mana sama saja bagi Kakuzu. Mengurus delapan bocah yang kadang-kadang tak bisa diatur –menurut pendapatnya—ia sama sekali tidak punya waktu untuk kerja sambilan di luar.
Kakashi tertawa sambil mengibaskan tangannya, lalu berjalan masuk ke rumah baru mereka untuk mengawasi kedelapan anaknya membereskan barang-barang mereka. Ia sama sekali tidak menyadari Kakuzu sedang membeliak sebal ke punggungnya.
"Kau belum membereskan milikmu, Sasuke?" tanya Kakashi ketika ia melangkah memasuki salah satu kamar, melihat Sasuke masih duduk saja di atas ranjangnya tanpa melakukan apa pun sementara adiknya, Shino, yang satu kamar dengannya sibuk beres-beres.
"Tidak sebelum Chichi-ue memberi jaminan kalau ini pindahan kita yang terakhir," sahut pemuda empat belas tahun itu datar sambil menatap tajam ayahnya.
Kakashi tersenyum, lalu berjalan memasuki kamar dan duduk di samping putra ketiganya itu. "Kau akan menyukai Konoha, Sasuke," ujarnya sambil menepuk pundak Sasuke, "Desa ini adalah tempat Chichi-ue lahir dan menghabiskan masa kecil. Orang-orangnya ramah dan menyenangkan. Aku jamin—"
"Kau pernah jadi anak kecil?" sela Sasuke seraya mengangkat sebelah alisnya, seakan yang baru didengarnya itu adalah hal yang paling mengherankan di dunia.
Kakashi tertawa ringan sambil mengacak rambut gelap pemuda itu. "Tentu saja. Kau pikir aku lahir langsung besar?"
Sasuke mendengus. Bibirnya tertarik sedikit ke atas membentuk seulas senyum tipis. "Hei, bagaimana dengan jaminannya?"
Kakashi menghela napas, mengambil beberapa waktu untuk memikirkan jawabannya sebelum berkata, "Kau tahu kan pekerjaanku sebagai shinobi, kapten ANBU yang ditugaskan untuk menjadi penghubung antar desa-desa tersembunyi. Harus bersedia ditugaskan kemana saja. Tapi lihat baiknya saja, Nak. Dengan begitu kau bisa mengenal banyak shinobi-shinobi hebat di luar sana, kan?"
"Itu artinya ini bukan pindahan yang terakhir, kan?" keluh Sasuke.
"Tentu saja bukan," sahut kakak sulungnya, Neji, yang rupanya mendengarkan percakapan mereka dari pintu sejak tadi. Pemuda berambut panjang itu menyeringai pada adiknya sambil bersandar di kusen pintu dengan kedua tangan terlipat di depan dada. "Ini hanya pemberhentian sementara sampai Chichi-ue diangkat menjadi duta di ibu kota Hi no Kuni oleh Daimyo-sama. Tinggal tunggu waktu saja."
"Saat itu aku janji akan jadi pindahan kita yang terakhir. Tapi sebelum itu terjadi, sebaiknya kau jangan membuatku kesal dengan bertanya-tanya terus. Segera bereskan barang-barangmu, Sasuke –atau latihan chidori-mu aku batalkan!" seru sang ayah pura-pura galak, kemudian beranjak dari sana.
"Hai, hai…" dan Sasuke dengan enggan mulai membereskan barang-barangnya.
"Neji, Chichi akan ke kantor jounin," Kakashi memberitahu putra sulungnya saat ia melewati pintu, "Kau awasi adik-adikmu. Ah, bantu Kakuzu juga—"
"Chichi-taichou!" kata-kata Kakashi langsung terpotong oleh si kecil pirang yang baru saja muncul berlari-lari dari arah kamarnya di ujung koridor, melancarkan aksi puppy-eyes no jutsu yang mematikan pada ayahnya, "Aku ikut~~~"
"Naruto…"
"Ikut, ikut, ikut, ikuuuuuuut~~~" Naruto merengek keras kepala, menarik-narik bagian bawah kaus ayahnya.
Kakashi menghela napas, mengalah. Naruto memang ahli dalam hal membujuk orang, apalagi dengan mata birunya yang lebar itu. "Baiklah, kau boleh ikut. Tapi jangan nakal.."
"Haaaai'…" sahut Naruto gembira. "Yay!" bocah itu berlari-lari menghampiri kakak-kakaknya. "Shino-nii-chan! Sasuke-nii-chan! Hinata-nee-chan! Naruto mau ketemu Hokage! Yay!"
"Chichi-ue tadi bilang ke kantor jounin, Naruto-chan!" kata Hinata yang sedang membereskan perabot di ruang keluarga bersama Shino, sambil menatap adik bungsunya gemas.
Naruto nyengir pada kakak perempuannya, lalu kembali berlari ke arah ayahnya yang sudah siap di depan pintu. "Kita berangkat!"
Kakashi lalu menggandeng Naruto meninggalkan rumah mereka yang baru dengan berjalan kaki menuju ke kantor jounin yang letaknya tidak jauh dari kantor Hokage. Keduanya menyusuri jalan-jalan Konoha yang ramai, melewati distrik-distrik dan rumah-rumah klan-klan terkenal di desa itu. Naruto mengedarkan pandangannya dengan penuh antusias ke segala penjuru, jelas sangat senang melihat lingkungan dan orang-orang baru. Sampai mereka melewati sebuah rumah besar dengan gerbang yang berlambang kipas merah.
Bagian depan rumah itu sangat berantakan dengan tumpukan mainan anak-anak dan suasana yang hiruk-pikuk di dalamnya. Mata Naruto membulat lebar begitu melihat seekor babi merah muda berlari-lari keluar dari pintu masuk sambil menggondol makanan. Seekor anjing berukuran raksasa menyusul di belakangnya, mengejar si babi sambil menggonggong keras. Seakan belum cukup ribut, dari dalam rumah muncul seorang anak bertubuh tambun dan seorang remaja berambut bob licin keluar sambil berteriak-teriak mengejar dua hewan tadi.
"Chichi-taichou! Lihat itu!" Naruto menujuk ke arah rumah yang mereka lewati dengan sangat antusias.
Kakashi menoleh ke arah yang ditunjukkan putranya. Sekejap ada ekspresi tidak setuju muncul di wajahnya, alisnya bertaut. "Kelihatannya seperti rumah gila."
Remaja kurus berambut bob yang tadi terantuk salah satu mainan dan jatuh terguling-guling, menabrak jatuh sebuah vas bunga sampai pecah. Tetapi ia seperti tidak merasa—langsung bangkit dan berlari dengan ribut ke bagian samping rumah. Kakashi menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Menurutku itu menyenangkan!" kata Naruto gembira.
Kakashi tidak berkata apa-apa dan langsung menarik Naruto dari sana, menjauhkannya dari contoh kelakuan yang sangat tidak ia setujui itu—sangat tidak disiplin.
Sementara itu di rumah yang baru mereka lewati, kehebohan masih berlanjut di dalam.
"Kiba-nii! Tangkap Tonton!" teriak bocah gemuk yang mengejar si babi.
Kiba—bocah yang lebih tua, yang sekarang sedang nangkring di atas atap bagian belakang rumah mereka, bersiap melompat untuk menangkap Tonton si babi. "Heyaaa!" ia melompat, tetapi tidak begitu sukses. Tonton dengan licin menghindarinya, membuat pemuda itu malah menabrak kakaknya yang sedang sibuk mengikir kayu untuk memperbaiki salah satu jari kugutsunya yang copot, membuat kayu itu malah terpotong menjadi dua.
"Kiba no baka!" maki sang kakak.
"Gomen, Kankuro-nii!" Kiba nyengir lebar, dan buru-buru kabur sebelum Kankurou menangkapnya untuk kelinci percobaan kugutsu baru. Ia melompat ke punggung Akamaru, si anjing raksasa dan keduanya berlari melewati seorang shinobi berambut cokelat dikucir tinggi dengan bekas luka melintang di hidung yang sedang bicara dengan ibu mereka, nyaris menabraknya.
"Kiba, Akamaru, hati-hati…" seru ibu mereka, seorang wanita berambut cokelat sebatas bahu, memperingatkan. "Sumimasen, Iruka-san.." ucapnya pada shinobi itu.
Iruka tertawa ringan. "Tidak apa-apa. Rumahmu selalu heboh begini, kan, Rin-san?"
Uchiha Rin, nama wanita itu, ikut tertawa. "Bagaimana tidak heboh kalau kau memiliki sepuluh orang anak yang tinggal dalam satu rumah." Ia mengambil beberapa buah ubi dari dalam karung dan menaruhnya di tumpukan ubi yang lain di pelukan Iruka—Sudah menjadi kebiasaan dalam keluarga mereka kalau sedang berkumpul di akhir pekan, selalu mengadakan acara bakar ubi bersama di halaman belakang. Untuk itulah mereka selalu sedia ubi.
"Tapi kau masih sempat mengurusi proyek penelitian obat-obatan itu. Harus kukatakan kalau aku sangat kagum," kata Iruka sambil mengkuti Rin—yang juga telah mengambil beberapa buah ubi lagi—menuju tumpukan ranting dan daun-daun kering yang telah dikumpulkan dua gadis kecil, Karin dan Ino, agak jauh dari rumah mereka. Kemudian melempar ubi-ubi itu ke tanah.
"Itu karena bantuan anak-anakku juga, Iruka-san," sahut Rin sambil tersenyum. Ia kemudian menoleh ketika seorang anaknya yang berperawakan kurus dan selalu pasang tampang malas muncul dari pintu samping. "Sudah dapat tanduk rusanya, Shika-chan?"
"Sudah, Haha-ue…" sahut Shikamaru sambil mengangkat bungkusan yang dibawanya, lalu masuk ke dalam rumah lewat pintu belakang.
Dari pintu yang sama, keluar seorang anak perempuan berambut merah muda sebahu dengan tampang cemas. "Haha-ue lihat Gaara-chan tidak?"
"Sudah kau cari di kamarnya, Sakura-chan?" ibunya bertanya balik. "Atau mungkin sedang main di rumah tetangga. Dia sedang senang-senangnya bermain dengan mainan baru Kiseki-kun."
"Oh, ya!" Sakura bergegas melesat untuk mencari adik bungsunya.
"Selalu ada yang lolos dari pengamatan, kan?" gumam Iruka pelan sehingga tidak ada yang dengar. "Ne, Rin-san. Aku sudah mengatur pertemuanmu dengan Tsunade-sama untuk membicarakan tentang proyek obat yang waktu itu. Dia sangat tertarik setelah obat itu terbukti bisa menyembuhkan cacar dalam waktu singkat. Barangkali dia ingin obatmu dipatenkan."
Rin memutar tubuhnya dan memandang kawannya itu berseri-seri. "Benarkah? Oh, Iruka-san, terimakasih banyak…"
"HAHA-UE!" terdengar teriakan kompak Ino dan Karin.
"Ya, Sayang?" Rin menoleh ke sumber suara.
Karin dan Ino sedang menunjuk ke arah Kankurou—yang rupanya sudah meninggalkan kugutsu-nya dan sekarang sibuk 'merias' salah satu adiknya yang bertubuh gemuk, Chouji, dengan cat berwarna ungu. "Kankuoru-nii mengecat muka Chouji-nii lagi!" si kembar mengadu.
"Berisik, ah!" tukas Kankurou sambil terus memoleskan cat di wajah Chouji yang meringis, tidak berani melawan kakaknya. "Yang tidak mengerti seni diam saja deh.."
"Itu sih bukan seni," komentar Lee yang kebetulan lewat sambil menggendong Tonton yang sudah tertangkap. "Kau tidak ada bakat. Itu hanya merusak, tahu…"
"Nani?" Kankurou mendengking. "Kemari kau, biar kutunjukkan seni melukis wajah!"
Langsung saja terjadi kejar-kejaran antara kakak beradik itu, sementara kedua gadis kecil—Karin dan Ino—berteriak-teriak riuh menyoraki mereka.
"Haha-ue!" tiba-tiba terdengar suara si bungsu entah dari mana.
"Gaara?" Rin celingukan ke sana kemari mencari sosok putra bungsunya. Betapa terkejutnya ia mendapati Gaara sudah nangkring di atas salah satu dahan tertinggi pohon tak jauh dari tempatnya. "Kami-sama! Gaara-chan, kenapa kau bisa ada di sana?" serunya panik.
"Sepertinya dia kabur lagi dari Sakura," kata Shikamaru yang baru saja muncul lagi dari arah pintu, membawa kantung berisi keripik kentang kegemaran Chouji. Bocah bertubuh besar itu langsung bersorak kegirangan dan menghambur ada saudaranya.
"Ayo, turun, Sayang! Bahaya di atas situ…" teriak Rin pada si bungsu.
Gaara hanya nyengir, kemudian menapak turun sementara ibunya berjaga di bawah. Tetapi sebelum Gaara sampai ke bawah, putri sulung Rin muncul dari dalam rumah sambil membawa kipas berukuran sedang.
"Oi, minna! Aku baru saja membuat kipas baru! Lihat!" seru Temari mengumumkan. Ia membuka kipasnya.
"Oh oh… Temari-nee, jangan dicoba di sini!" teriak Chouji dengan mulut penuh.
Tapi terlambat. Temari sudah mengayunkan kipasnya dan langsung saja terjadi angin ribut. Daun-daun kering yang susah payah dikumpulkan adik-adiknya berterbangan. Dan tak hanya benda-benda mati saja yang ikut diterbangkan angin. Ino dan Karin—yang tengah sibuk memilih ubi terbesar untuk diri mereka sendiri—Shikamaru, yang sialnya tidak cukup gemuk untuk bertahan di tanah—dan Gaara yang tidak sempat berpegangan.
"KYAA! ANAK-ANAK!" Rin menjerit.
Kankorou dengan sigap melancarkan benang chakra-nya untuk menangkap kedua adik perempuannya yang menjerit ngeri. Kiba dan Akamaru melompat menangkap tubuh Shikamaru yang terlontar nyaris menabrak pohon. Sementara Lee gagal menangkap Gaara karena matanya yang lebar tiba-tiba saja kemasukan serpihan daun.
"Kyaa! Gaara-chan!" Sakura yang baru kembali memekik ngeri melihat adiknya terjun bebas ke bumi.
"Aku tangkap! Aku tangkap!" seru Iruka, bersiap melompat menangkap Gaara.
Bruk!
Gaara terjatuh tepat di pelukan Iruka bersama daun-daun yang beterbangan sambil tertawa-tawa gembira—sama sekali tidak terlihat takut.
"Oh, Gaara-chan… Kau tidak apa-apa, kan?" Rin mengambil Gaara dari gendongan Iruka.
Bocah itu langsung mengalungkan lengan ke leher ibunya. "Tadi aku terbang! Haha-ue lihat aku, kan?" serunya kesenangan.
"Tentu saja, Sayang…" kata Rin dengan tawa kecil sambil memeluk putra bungsunya penuh sayang, menciumi rambutnya.
Sementara anak-anaknya yang lain melempar tatapan tajam ke arah kakak sulung mereka. "TEMARI-NEE!"
Temari meringis. "Uups!"
"Sepertinya aku harus pergi sekarang," kata Iruka kemudian.
Rin berpaling padanya. "Maaf, Iruka-san. Kadang-kadang di sini memang sedikit gila… Kau tahu, kan?"
"Sedikit?" Iruka menahan diri untuk tidak memutar matanya. Dengan tawa ringan, ia berkata riang, "Tidak. Ini sangat menyenangkan. Anak-anakmu menakjubkan, sungguh.."
Rin tersenyum padanya. "Arigatou."
"Ah, kalau begitu jangan lupa besok malam jam tujuh aku jemput."
Temari memandang ibunya setelah Iruka pergi, nyengir. "Apa Haha-ue tidak berpikir untuk mengencani Iruka-san saja? Dia pria yang baik, ramah dan masih single. Dan kurasa Iruka-san menyukaimu."
Rin menurunkan Gaara dari gendongannya sambil tertawa kecil. "Tidak, Temari… Lagipula, pria mana yang bisa mengatasi semua ini?"
Yang dimaksudkannya tentu saja dengan sepuluh orang anaknya yang seperti kelebihan energi itu?
.
.
"Selamat datang kembali di Konoha, Hatake!"
Serombongan orang berseragam shinobi Konoha langsung menyambut begitu Hatake Kakashi menginjakkan kaki di gedung yang digunakan sebagai kantor jounin.
"Arigatou," Kakashi membalas sementara mereka menyalaminya satu per satu.
Kakashi menoleh dan menunduk ketika dirasakannya lengannya ditarik-tarik. "Ya, Naruto?"
"Apa mereka semua anak buahmu, Chichi-ue-taichou?" Naruto bertanya polos.
Kakashi tertawa kecil. "Ah, bukan. Mereka ini teman-teman Chichi."
"Aw, siapa si kecil yang lucu ini?" tanya salah satu teman Kakashi, seorang wanita berambut hitam ikal dan bermata merah sambil berlutut di depan Naruto, membelai rambut pirang sang bocah yang halus. Yuuhi Kurenai.
"Oh, ya. Kenalkan semuanya, ini putraku yang paling kecil, Hatake Naruto," Kakashi dengan bangga memperkenalkan putranya yang langsung memberi salam hormat, mengundang suara-suara bernada gemas dari para jounin itu—terutama yang wanita.
"Wah, wah, wah… rupanya Konoha White Fang junior, eh?" kekeh seorang jounin berambut hitam licin berpotongan bowl-cut dan beralis tebal. Pria gagah itu mengenakan jumpsuit ketat berwarna hijau di bawah flack-jacket-nya alih-alih setelan celana-kaus biru dongker seperti yang lain. Ia menunduk di depan Naruto, memandang wajah tembam bocah empat tahun itu dari atas bahu Kurenai sambil menyeringai lebar. "Hei, Konoha White Fang Junior. Kau baik-baik dengan ayahmu, eh?"
"Hai'!" Naruto berseru gembira. Kelihatan sekali ia sangat menikmati perhatian yang didapatkannya dari teman-teman ayahnya itu.
"Kau suka makan ramen, Naruto?" tanya seorang pria berpostur tinggi besar dan wajahnya dihiasi berewok, yang berdiri di sebelah Kurenai.
Naruto memandang pria itu dengan wajah berbinar, kemudian mengangguk penuh semangat.
Kurenai tertawa kecil. "Kalau begitu, bagaimana kalau kita makan ramen di warung Ichiraku? Di sana ramennya enak sekali. Naruto-chan pasti suka."
Naruto mendongak menatap ayahnya. "Chichi-ue-taichou, boleh?"
"Tentu saja, Nak," sahut Kakashi yang langsung disambut sorakan girang putranya.
"Kau benar-benar tidak keberatan Asuma dan Kurenai menggunakan anakmu sebagai semacam… er.. pancingan?" tanya Gai terkekeh setelah Naruto menghilang di pintu bersama Asuma dan Kurenai.
"Pancingan?"
"Yah. Asuma memberitahuku Kurenai ingin sekali punya anak."
Kakashi tertawa. "Jadi mereka sudah menikah sekarang?"
"Yap!" sahut Gai dengan cengiran lebar. Keduanya terdiam beberapa saat sementara Gai mengamati mantan rivalnya semasa muda itu. "Jadi bagaimana denganmu, Kakashi? Kau berminat menikah lagi? Sejak Shizune… um… wafat, kau belum berkencan dengan satu wanita pun, kan?"
"Belum," sahut Kakashi datar.
Gai kemudian merangkul pundak Kakashi, menggiringnya ke bagian lain kantor itu. "Kalau kau berminat, aku ada kenalan seorang wanita yang ingin kukenalkan denganmu."
"Kenapa tidak untukmu saja?"
"Dia er…" entah mengapa Gai sedikit terlihat gugup, "agak terlalu cantik untukku."
Kakashi menatap rekannya, mempertimbangkan. "Akan kupikirkan."
"Baiklah!" Gai tersenyum lebar, antusias pada proyek barunya sebagai mak comblang.
.
.
Bersambung kapan-kapan :p
.
.
Yosh! Akhirnya memutuskan arsip lawas ini disimpen aja dulu di FFn—padahal masih banyak utang XD—Fic ini hasil kolaborasi dengan PinkBlue Moonlight. Nah, biar gak bingung, aku kasih penjelasannya di sini. Jadi silsilah mereka di sini bener-bener diacak-acak. Jadi anak-anak itu marganya kalo gak Uchiha, ya Hatake. :)
Anak-anaknya Hatake Kakashi sama Hatake Shizune : Neji (17), Tenten (16), Sasuke (14), Shino (13), Hinata (10), Sai (7), Suigetsu (7), Naruto (5). Mereka semua saudara kandung.
Sementara anak-anaknya Uchiha Rin sama Uchiha Obito, mereka ada empat anak kandung dan enam anak adopsi: Temari (kandung) (17), Kankurou (kandung) (16), Lee (adopsi) (15), Kiba (adopsi) (14), Sakura (kandung) (13), Chouji (adopsi) (9), Shikamaru (adopsi) (9), Karin (adopsi) (7), Ino (adopsi) (7), Gaara (kandung) (5)
Fic ini diadaptasi dari film Yours, Mine & Ours. Film komedi keluarga, tapi di sini tetep dipertahanin seting fanon-nya. Jangan tanya tentang warna rambut yang berbeda dan hal-hal kaya gitu, karena fic ini sifatnya hanya hiburan, bukan pelajaran biologi. Okay? ;)
Yang mau review, monggo. Yang nggak berminat—karena pairingnya cuma KakaRin—juga nggak apa-apa.
