You're My Lullaby

Disclaimer: Naruto by Masashi Kishimoto

.

.

.

Apa yang terjadi jika seseorang menderita kurang tidur stadium akhir?

Kantung mata hitam, kepala pusing, pandangan kabur, emosi kurang stabil, dsb adalah gejala standar yang dialami oleh orang tersebut. Itu juga belum ditambah dengan kecenderungan untuk asal tonjok siapapun yang dirasa menganggu kehidupannya.

Sebutlah Gaara—seorang siswa SMA tahun kedua yang menderita gejala-gejala tersebut diatas sejak hanya-Tuhan-dan-Gaara-sendiri-yang-tahu-sejak-kapan. Tentu saja Gaara memiliki alasan khusus kenapa dia menjadi manusia yang terpilih untuk menderita insomnia tingkat akhir tersebut.

Gampang saja.

Alasannya adalah karena entah kenapa telinganya menjadi super sensitif tiap kali ia memejamkan mata, hingga suara sekecil apapun bisa membuatnya terjaga kembali. Saking sensitifnya, bahkan suara daun yang bergoyang pun turut bertanggung jawab atas ketidakmampuan Gaara untuk tertidur.

Seperti hari-hari biasa yang telah lalu, pagi itu pun Gaara terbangun—atau lebih tepatnya, menyerah dalam usahanya untuk tidur—dengan tingkat mood serendah-rendahnya. Belum-belum dia sudah menghajar Kankuro karena kakak laki-lakinya itu menguasai kamar mandi begitu lama sehingga Gaara harus mengantri di depan pintu sambil terjebak antara dunia nyata dan dunia mimpi—menderita karena tidak bisa sepenuhnya memasuki dunia mimpi karena pengaruh nyanyian Kankuro dari dalam kamar mandi.

Gaara bahkan berangkat sekolah dengan mood yang jauh lebih buruk lagi karena tuduhannya terhadap sarapan pagi itu yang ia nilai terlalu asin—padahal kakak-kakak dan orang rumah lainnya merasa bahwa rasanya biasa aja, tapi siapa sih yang berani ngelawan Gaara kalau moodnya lagi lebih jelek dari singa yang kelaparan?

Yah, siapa yang tahu akan jadi seburuk apa mood Gaara hari itu…


Hinata Hyuuga. Murid baru.

Yang bersangkutan langsung merinding ketika kata-kata itu berkeliaran di dalam kepalanya. Murid baru. Itu berarti ia harus memulai segalanya dari nol—beradaptasi, yang berarti harus mendekatkan diri dengan orang-orang tak dikenal, yang berarti harus ngobrol, yang berarti harus merangkai kata, yang berarti harus…. Otak Hinata nyaris overheat hanya dengan memikirkannya saja.

Jujur, Hinata bukanlah orang yang tepat kalau ingin bicara tentang sosialisasi. Sebenarnya sih secara sifat bukannya ia tertutup atau apa, masalahnya lebih ke caranya dalam berbicara. Siapa juga yang bakal sabar dengan seseorang yang ngomong dengan terbata-bata, itu pun belum ditambah dengan suara Hinata yang (sangat) kecil!

Menyadari kekurangannya itu, bagi Hinata, keberadaan dan situasinya saat ini—berdiri di depan kelas baru, ditatap oleh puluhan pasang mata milik orang-orang tak dikenal, 'dipaksa' untuk memperkenalkan dirinya dalam suatu rangkaian kata-kata—adalah saat dimana ia bahkan rela untuk menukar nyawanya demi pergi tanpa harus berkata-kata.

Dan, setelah jeda yang cukup lama ditambah dengan tatapan-tatapan yang semakin penasaran, Hinata pun memulai perkenalan dirinya dengan ketakutan tingkat dewa.

"P…per…perke…perkenal… perkenalkan…"

Bahkan satu kata itu saja sudah makan waktu satu menit, dan tatapan-tatapan penasaran berubah jadi tatapan penuh kebosanan.

Hinata berhasil menyelesaikan perkenalan 'singkat'nya dalam waktu lima menit—itu suatu rekor karena biasanya makan waktu lebih dari itu. Setengahnya mungkin karena suatu sosok yang entah kenapa membuat Hinata lebih tenang dalam menyampaikan kalimatnya.

Sosok berambut merah yang duduk di pojok kelas. Berbeda dengan orang lain yang terlihat bosan namun memancarkan aura 'cepetan dong!', sosok itu terlihat tenang karena ia sedang… tidur.

Dan justru karena sosok yang sedang tertidur itulah, Hinata merasa lebih santai karena perasaan bahwa tiap detail gerakan dan kata-katanya tidak sedang diperhatikan dengan seksama.

Kalau saja semua orang dalam keadaan tidur seperti itu tiap saat, hidup mungkin akan jadi lebih mudah bagi Hinata.


Gaara bahkan tidak tahu apa yang membuatnya tertidur barusan di kelas. Apapun itu, lima menit tersebut bagaikan surga dalam neraka, walaupun akhirnya dunia mimpi itu harus berakhir karena suara langkah murid baru yang akan duduk di depannya.

Cowok berambut merah itu benar-benar penasaran dengan bagaimana ia bisa tertidur dengan lelap seperti tadi, karena itulah ia mulai mengingat-ingat apa saja yang ia lakukan pagi tadi ketika jam makan siang tiba.

Ia merebahkan tubuhnya dengan santai di bawah pohon yang terletak di halaman belakang sekolah. Pohon itu sudah terkenal sebagai tempat singgah Gaara yang terkenal karena temperamennya yang buruk, jadi tidak ada seorang pun yang berani mendekat ke sana selain Gaara tentunya. Yah, walau sayangnya, dalam keadaan yang (harusnya) sepi dan tenang itu Gaara tetap saja tidak bisa tidur siang.

Gaara mulai berpikir dan mengingat. Pagi ini ia berangkat sekolah dengan biasa (berangkat sekolah dengan mood raja setan merupakan hal biasa bagi Gaara), ketika memasuki gerbang ia membentak orang-orang yang mengucapkan 'selamat pagi!' dengan berisik seperti biasa (padahal mereka sudah mengucapkannya sepelan mungkin, tapi kalau banyak orang saling menyapa walau dengan suara pelan, bagi Gaara itu sudah masuk hitungan berisik), lalu ia masuk ke kelas, membuka jendela di sebelah kursinya lebar-lebar—siapa tahu angin yang masuk bisa membuatnya terlelap, duduk dan berusaha bersabar untuk menghadapi maraton kelas sampai sore, kemudian si anak baru memasuki kelas….

"KYAAA!"

Suara keras yang hampir membuat telinga sensitif Gaara berdenging itu diikuti dengan sepasang kaki yang bertabrakan dengan bagian sisi tubuhnya dan bunyi gedebuk keras. Seorang siswi baru saja tersandung oleh tubuhnya seakan-akan tubuh Gaara tidak lebih terhormat dari sebuah batu.

Kepala Gaara yang terasa berputar karena ngantuk ditambah dengan aktivitas berpikir barusan langsung mendidih dalam hitungan detik.

"Hei…" kata Gaara dengan suara rendah penuh ancaman.

Sang tersangka yang ternyata adalah si anak baru langsung kelabakan. Awalnya Hinata bingung antara mau mengurusi kotak bekalnya yang berantakan atau minta maaf pada batu—yang ternyata adalah si rambut merah yang tidur tadi pagi. Daftar prioritasnya langsung berubah ketika melihat tampang Gaara yang lebih seram dari setan manapun.

"M…ma…maaf!"

Eh? Tunggu dulu, apa ini? Kepala Gaara yang harusnya sudah mencapai titik didih mendadak dingin. Suara Hinata yang terbata-bata itu terdengar bagaikan himne, kecilnya volume suara Hinata justru membuatnya terdengar lembut dan halus—entah itu fakta atau halusinasi Gaara saja tapi hal itu jelas membuat kepalanya seperti melayang.

Ngantuk itu… rasanya seperti ini ya?

"Be… benar…benar… m… min… minta… m… maaf!"

Oke, ini dia. Gaara merasa bahwa ia tidur dengan lelap kalau mendengar suara ini.

"A… Aku… pe…permi…"

"Tunggu" Gaara langsung menangkap pergelangan Hinata dan menarik gadis itu hingga lebih dekat dengannya. Ia tidak sadar dan tidak peduli dengan detak jantung Hinata yang tiba-tiba berdetak begitu cepat sampai gadis itu takut bunyi detakan jantungnya bisa terdengar oleh Gaara apalagi dengan jarak mereka yang begitu dekat.

Yang ia mau saat ini hanyalah tidur.

"Ngomong lagi" kata Gaara, tatapan matanya melembut (atau ngantuk?), "Kalau kau berhenti, aku tidak akan memaafkanmu seumur hidup"

"E… eh? T… Tapi ss… saya… ha.. harus b… bicara…ap… apa?" tanya Hinata. Nafasnya hampir saja berhenti saat Gaara tiba-tiba meletakkan kepalanya di pundak Hinata. Nafasnya yang teratur terasa hangat di tengkuk Hinata.

"Ng… Apaan kek…"

Mata Gaara terpejam, dan saat itulah Hinata seakan-akan mendapatkan suaranya kembali. Gadis itu juga kaget sendiri karena tiba-tiba ia mampu bicara lancar, sehingga walaupun setengah dari dirinya masih tidak mengerti tentang situasinya saat ini, ia memutuskan untuk bicara tentang sekolah lamanya atau hal-hal lain yang biasanya hanya ia ungkapkan lewat buku harian. Kapan lagi ia bisa bicara sepuasnya, bebas gagap karena yang diajak bicara sedang tidur, ditambah lagi ia juga bebas menentukan topiknya!

Sedangkan bagi Gaara sendiri, akhirnya ia bisa menemukan satu hal yang bisa membuatnya tidur. Akhirnya ia dapat merasakan kemewahan dunia mimpi! Untuk itu, tentu saja, ia tidak akan melepaskan hal yang bisa membuatnya menikmati tidur ini walau nyawa taruhannya.

Hubungan yang sekilas seperti simbiosis mutualisme ini… akankah bisa berlangsung lama?

END