This story was a fiction, based on my own imagination, actually written in due my writer's block of continuing my other fics.

I'm translating this from "Little Star", my english fic from long time ago.

Yeah, I know that I've wrote this before, as a promotion, but that version was a mess

So, I was proudly presenting this one, please enjoy...


Disclaimer: Hunter x Hunter and all of its characters respectively belongs to Yoshihiro Togashi sensei

Genre: Friendship, Family, Angst, Hurt/Comfort, Fluff, Adventure, etc

Rate: T, well, just for safety even this chapter could also be read by younger children

Pairing(s): no pairing in this chapter, may changed in later chapters

Warning: OOC-ness, Typo(s), perhaps, Gloomy Scenery, Canon, weird plotting, etc

Do not flame me about the stuff I've mentioned, cause you've been warned

I accept no silent reader, you read, you review.


Bintang Kecil

Chapter 1: Masa Lalu

H. Kaoru

2012


"Kakak~ aku ingin menjadi seorang hunter, boleh aku ikut ujiannya?", pinta Mocha dengan wajah memelas, ia duduk dengan posisi berlutut disamping sang kakak, mata birunya berbinar penuh harapan,

"Tidak-", jawabnya tegas,

"Dan kalau kau mau bertanya kenapa, itu karena kudengar ujiannya cukup berbahaya", lanjutnya dengan nada serius, ia tidak ingin mengundang persepsi yang tidak perlu dari para anggotanya, sementara matanya terpendar keseluruh ruangan, mencari-cari sosok yang ditujunya,

"Tapi akan berbeda jika kau mengizinkan Shalnark menemanimu, disamping itu...ku dengar dia juga berniat mengikuti ujian tersebut", ia berujar lagi.

Mendengar namanya disebut, Shalnark pun menoleh pada Danchou-nya, dan adik pria itu yang duduk disampingnya,

Nah, ini yang disebut sial, pikirnya dalam hati.

Tak lama kemudian Mocha, adik laki-laki Kuroro itu, pun berjalan bersama Shalnark sambil sesekali menoleh pada Kuroro dan melambaikan tangannya.

Setelah mereka cukup jauh, Kuroro pun melirik pada salah satu anggotanya yang lain,

"Hisoka, aku ingin kau mengikuti mereka, itu perintah", ujar Kuroro dingin, meski matanya masih tertuju pada bayangan adik laki-lakinya yang nampaknya belum jauh itu, Hisoka pun tersenyum mendengar perintah itu,

"Oh Danchou, kau tak perlu meminta", katanya sebelum menghilang bersamaan dengan hilangnya dua sosok yang sebelumnya dari penglihatan pemuda bermata onyx tersebut.

Sepeninggal ketiga orang tersebut, Kuroro pun memberi perintah kepada para anggotanya untuk pergi, dan sesuai dugaannya, mereka semua menghilang dalam beberapa detik kemudian.

Lalu iapun menggunakan kemampuan teleportasinya untuk kembali ke rumahnya, dan mengistirahatkan dirinya sendiri diatas sofa besar miliknya,

"Hari yang melelahkan", bisiknya pada udara hampa, ya, tak ada siapapun disana kecuali dirinya sendiri.


Kuroro lalu bangkit dari sofa tersebut, lalu matanya tertuju pada sebuah pigura kecil bergambar seorang bocah berambut hitam, seperti dirinya, namun matanya biru, iapun tersenyum pahit, dan memorinya kembali bergulir pada masa-masa awalnya bersama bocah itu, Mocha.

Dia berada disana, dirumah sakit itu bersama ibunya yang tengah hamil besar dan harus diopname, saat itu ayahnya sedang pergi bekerja.

Sang ibu sering memainkan rambut hitamnya sambil berbicara mengenai banyak hal dengan putra sulungnya tersebut, ia terlihat cukup menderita karena sedang mengandung bayi sembilan bulan dalam rahimnya, namun ia tetap menunjukkan senyum terbaiknya untuk putranya yang sudah berbaik hati menungguinya dirumah sakit.

"Ibu, apa kau merasa sakit?", tanya bocah berambut hitam itu polos, meski sorot matanya mengisyaratkan kekhawatiran dan rasa penasaran,

"Aku baik-baik saja Kuroro, kau tidak perlu khawatir", ujar wanita itu sambil mengukirkan senyum manis dibibirnya, ia tidak ingin membuat putra kecilnya khawatir,

"Ah, Kuroro, apa kau bisa menjaga adikmu kalau aku sedang tidak ada?", ia bertanya lirih, sorot matanya terlihat pedih, namun ia buru-buru menepisnya dan tersenyum lagi,

"Akan kulakukan dengan senang hati Bu, kau tak perlu cemas, tak akan ada yang menyakitinya selama aku menjaganya", kata Kuroro tegas, penuh kepastian, ia terlihat bangga, dan begitu serius dengan kata-katanya, sang ibu malah tertawa kecil dibuatnya,

"Kakak yang baik, adikmu pasti senang memiliki kakak sepertimu-", ujarnya lirih, namun sedikitnya tidak disadari oleh lawan bicaranya mengingat ia hanya anak berusia empat tahun ketika itu,

"Namanya Mocha, adikmu", ibunya melanjutkan, Kuroro pun menoleh dengan wajah polos dan tersenyum,

"Mocha..ya", ia mengulang kata-kata ibunya.

"Permisi, sepertinya sudah waktunya Bu-", ujar salah seorang perawat yang mendatangi kamar itu, wanita berambut hitam itupun menoleh,

"Nak, sebaiknya kau keluar dulu, kami harus membantu ibumu melahirkan", lanjut sang perawat itu, namun kali ini kata-katanya tertuju pada Kuroro, namun ternyata sang bocah tidak menanggapi, ia tetap tak beranjak satu inci pun dari samping ibunya, bahkan menyambut uluran tangan sang perawat yang akan mempersilahkannya keluar pun, tidak ia lakukan, sampai kemudian sang ibu sendiri yang bicara,

"Tunggulah diluar, mereka akan memberitahumu kalau adikmu sudah lahir, dan kuharap kau bisa mencarikan sesuatu yang manis untuk kita, sayang", ujar wanita itu lembut, tetap dengan senyumannya meski rasa sakit mendera seluruh tubuhnya.

Anak itupun mengangguk dan beranjak keluar setelah sang ibu memberinya beberapa zenni untuk membeli makanan manis, meski dalam benaknya ia penasaran mengenai apa yang akan dilakukan oleh dokter dan para perawat itu untuk membantu kelahiran adiknya.

Kuroro pun berjalan-jalan dan kembali dengan sekeranjang kue-kue dan permen, iapun duduk disalah satu kursi yang berada di ruang tunggu, sambil memakan beberapa macam kue dengan perlahan, selayaknya seorang anak.

Waktupun berlalu, seorang perawat muda pun datang menghampiri bocah itu dengan wajah yang agak sedih, seorang bayi terlihat didalam dekapannya, melihat perawat yang sempat dikenalinya di kamar ibunya tadi, Kuroro pun menoleh dan bertanya dengan wajah penasaran,

"Dimana ibuku?", ujarnya pelan, sang perawat pun menggelengkan kepalanya dan menghela nafas pelan,

"Maafkan aku, ia tidak sanggup bertahan", jawabnya lirih, namun bocah kecil itu kurang bisa memahaminya dan hanya menatapnya penuh kebingungan. Kemudian sang ayah tiba, dengan sedikit tergopoh-gopoh karena ia sedikit berlari setelah turun dari mobilnya tadi,

"Dimana istriku?", ujarnya sambil terengah-engah, pertanyaan yang sama dengan yang diajukan anak itu, hanya dengan kata-kata yang agak berbeda,

"Ia tidak bisa bertahan Tuan, saya turut berduka cita atas kehilangan anda sekeluarga", ujarnya sedih, anak itu lalu menoleh pada sang ayah dengan wajah bertanya-tanya,

"Ibumu sudah pergi demi adikmu", ujar pria itu pada putra sulungnya, perawat itu lalu memindahkan bayi yang sudah dibersihkannya itu dari tangannya ke tangan pria itu.

Satu jam pun berlalu dalam keheningan antara sang ayah, anak pertamanya, dan bayi dalam dekapannya, kemudian anak laki-laki kecil itu pun memecahkan keheningan itu, dengan lirih, "Jadi..karena ini Ibu meminta aku menjaga Mocha saat dia tidak ada. Ia tidak akan pernah disini untuk menjaga Mocha", ia berujar sedih, sambil melirik pada Mocha yang tertidur dalam dekapan ayahnya,

"Hn..kurasa ia sudah tahu kalau waktunya sebentar lagi", kata sang ayah lirih.


Satu tahun telah berlalu sejak hari kelahiran bayi kecil itu, sekarang ayah dari bocah kecil itu telah menikah lagi, demi kedua putranya yang sepertinya membutuhkan sosok seorang ibu, atau mungkin demi dirinya sendiri juga.

Mereka lalu pindah ke kota lain, dan hari ini adalah hari pertama ia masuk sekolah.

Anak laki-laki berambut hitam itu melangkah agak perlahan-lahan, maklum saja, ia adalah murid pindahan di tk itu, namun, sepertinya ia telah menarik perhatian salah seorang murid lama disekolah itu,

"Hallo, kamu anak baru ya..?", sapa suara feminin itu, ya, itu adalah seorang gadis kecil yang menyapanya, dan setelahnya, ia lebih mudah berkenalan dengan anak-anak yang lainnya, yang ternyata ada beberapa tetangganya.

Hingga pada suatu hari, ketika itu Kuroro seharusnya ikut acara kemah bersama anak-anak tk dirumah salah satu tetangganya, namun karena ia melupakan sesuatu dirumah, akhirnya iapun pulang, hanya untuk melihat ibu tirinya hampir membunuh adiknya karena ia menangis keras dan sepertinya ia tidak sanggup mengatasinya, matanya terbelalak takut, apalagi saat ia mengingat janjinya kepada almarhum ibunya, dan yang membuat sang ibu tiri terkejut, adalah saat anak laki-laki itu melompat dan bersegera meraih adik kecilnya,

"Aku tidak akan membiarkanmu mencelakainya!", seru bocah kecil itu dengan lantang dan penuh amarah, hanya saja, sang ibu tiri malah tertawa mendengarnya,

"Hmm...aku ingin tahu apa yang bisa kau lakukan untuk itu..", katanya dengan nada mengejek, senyum kemenangan terukir dibibir merahnya yang terlihat menyebalkan dimata bocah bermata onyx tersebut, namun, setelah mengucapkan kalimat itu, ia mengusir bocah itu, dan adiknya, serta melempar barang-barang mereka keluar,

"Dasar anak iblis! Kau dan adikmu itu, kalian tidak akan pernah boleh kembali ke rumah ini, selamanya", ujar wanita itu sambil melempar seringainya pada bocah itu, kemudian iapun menutup pintu sekencang-kencangnya.

Bocah laki-laki itu terdiam beberapa saat, lalu ia berjalan tanpa keraguan, meninggalkan rumah itu, demi adiknya, tanpa sedikitpun terlihat rasa takut didalam matanya,

"Jangan takut Mocha, aku akan menemukan sebuah tempat, untuk kita berdua", bisiknya pada bayi mungil itu, dengan nada suara yang pelan, namun terdengar serius.


Berkelana bagi seorang anak kecil tentu sudah sangat sulit, apalagi jika membawa bayi? Wah, jangan ditanya sulitnya.

Tapi hal ini tidak sedikitpun mengusik pikiran Kuroro, karena setiap dia mulai berpikir demikian, ia akan langsung teringat pada janjinya kepada sang mama, dan, setelah perjalanan panjang yang hampir membuatnya merasa seolah berjalan tanpa akhir, ia memutuskan untuk berhenti disebuah wilayah, yang..bahkan ia sendiri tidak yakin ada orang yang bisa hidup dan tinggal di tempat seperti itu.

"Hei kau, pendatang baru?", sapa sebuah suara yang tidak terdengar familiar ditelinga bocah itu, ia pun menoleh pada asal suara dan tidak terkejut mendapati seorang anak laki-laki yang sepertinya usianya terpaut cukup jauh darinya,

"Ya, seperti yang kau lihat sendiri, disamping itu...tempat apa ini?", jawabnya datar namun tegas, ia tidak ingin terlihat lemah ketika berhadapan dengan orang asing, seperti ini,

"Ha! Seperti yang kuduga! Kau pasti anak yang baru saja dibuang oleh orangtuamu, kalau dilihat dari penampilanmu haha! Dan itu...pasti adikmu", ujar orang asing itu lagi, suiaranya terlihat santai, namun Kuroro tidak menurunkan kewaspadaannya, mengingat tempat ini sangat asing,

"Ya, yang kau katakan itu benar sekali, tapi itu bukan jawaban dari pertanyaan yang kuajukan..jika kau mengerti", sahutnya dingin, lagi-lagi ia tak menunjukkan sikap ramah, ya, walaupun sudah jelas hal ini karena ia belum mengerti benar arah pembicaraan orang itu,

"Oh, maaf kalau begitu-", ujar pemuda yang bicara padanya itu,

"Tapi aku akan menjawab pertanyaanmu itu kalau kau mau mampir ketempatku, lagipula...kau terlihat begitu menyedihkan, dan bayi yang kau bawa..lebih lagi", ia melanjutkan kata-katanya dengan nada ramah yang cukup hangat, sejenak Kuroro berpikir kalau mungkin ia bisa sedikit mempercayai orang ini, namun ia tidak menyahut, hanya memberi tatapan tajam pada anak itu, yang kemudian malah tertawa,

"Iya iya, tempatku, ayo!", katanya sambil memimpin jalan, Kuroro pun mengikutinya, meski ia tetap terlihat sangat waspada. Kemudian merekapun sampai pada sebuah rumah kecil, yang terlihat biasa saja dimata anak itu,

"Hei Uvo! Kau membawa anak baru lagi?", ujar seorang pemuda lainnya, yang berpakaian seperti samurai miskin yang kuno,

"Ya, begitulah-", jawab orang yang dipanggil Uvo itu santai,

"Hei, kalau boleh tahu, siapa namamu dan nama adikmu?", tanya Uvo kemudian, tentu sambil menoleh pada kedua anak baru itu,

"Aku Kuroro, dan ini Mocha", sahut bocah itu dingin, tak satu ekspresipun terlihat dimata gelapnya.


Dan itu adalah pertama kalinya ia bertemu dengan orang-orang yang bisa menerima dan memperlakukan mereka berdua dengan baik, biasanya, orang-orang beramah-tamah padanya, tapi mereka mengatai Mocha "Anak Iblis", seperti yang dilakukan ibu tirinya, yang membuat ia meninggalkan rumahnya dulu, rumah yang seharusnya menjadi miliknya dikemudian hari.

Kembali ke masa sekarang, Kuroro menghela nafas pendek namun berat, kemudian ia tersenyum, Mocha adalah adiknya yang berharga, dan Genei Ryodan adalah orang-orang yang bisa ia percaya, namun...ada sesuatu yang berbeda dari sorot matanya yang terlihat sedikit muram...seperti sebuah...kerinduan..


A/N: gyaaaaaa! my internet was finally active agaaaaiiiin! thank you Mom! Dad!

anyway, this is the revised version of the last "Bintang Kecil", I was quite shock to when I re-read the latest version...

and so, I decided to re-write it and make it multichapters, just like the original one, hehe

Okay, enough about the blabbers, just don't ever forget to review, Minna-saaaan!