Young & Beautiful


A/n fanfic ini ber-setting di New York, awal 1980-an. Saat itu ada krisis AIDS yang nyerang kaum gay.

This is kind of au!the normal heart.. but no, nggak ada yang bakal mati karena kena aids kok

And warn(s) for fucking douchebag homophobic, death chara, sexual content between to men, violent


Chapter 1 of 2 : Hello [4,7k]


Oh Sehun adalah seorang gay. Homosexual. Queer. Fag.

Dia adalah seseorang yang dipandang sebelah mata oleh masyarakat. Seseorang yang dianggap menjijikan. Seseorang yang dilarang menginjak teras depan gereja karena dia seorang pendosa. Seseorang yang.. mungkin tidak pantas dihargai.

Namun, apa itu membuat Sehun malu akan dirinya? Tidak. Dia bangga menjadi seorang gay. Ya, mungkin itu bukan sesuatu yang dikehendaki Tuhan. Tetapi, ia tidak memilih untuk menjadi seperti ini - menjadi seorang pra yang juga mencintai seorang pria. Ia tidak bisa menahan dirinya saat melihat seorang pria tampan yang masuk ke dalam tipe idelanya. Ia tidak bisa menahan diri untuk mengagumi pria itu. Ia tidak bisa menahan diri untuk tidak menciumnya. Ia tidak bisa menahan diri untuk.. mencintai sesamanya.

New York di pertangahan musim panas terasa seperti neraka. Matahari bersinar terik membuat keringatnya tidak berhenti mengucur jatuh. Udara yang seolah membakar kulitnya membuat ia melangkah lebih cepat menuju satu gedung di persimpangan jalan. Gedung itu tidak sebesar gedung-gedung di Wall Street. Namun, itu tidak membuatnya dpaat dikategorikan sebagai gedung biasa atau lebih parahnya, rumah susun. Gedung itu adalah hasil kerja keras Sehun selama lima tahun ia menetap di Amerika. Gedung itu adalah rumah percetakan buku-buku paling laris di Amerika atau bahkan, dunia. Karena Sehun melebarkan mangsa pasarnya dan mulai mengirim buku ke Asia untuk diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa.

Sehun memelankan langkahnya, menaiki tangga depan gedung tersebut. Ia mendorong pintu yang terlihat seperti gerbang dengan wajah letih.

"Hei, Bos." adalah hal pertama yang Sehun dengar saat ia hendak menaiki tangga menuju kantornya. Sehun berbalik dan mendapati Tiffany, asisten pribadi serta sahabatnya yang super menyebalkan, berdiri menatapnya bersamaan seorang pria yang mungkin lebih muda dua tahun darinya.

Pria itu memiliki kulit kecoklatan yang mengingatkannya dengan musim panas di California serta pantai di Miami. Pria itu memiliki wajah Asia sepertinya. Pria itu memiliki mata berwarna coklat juga yang membuat dirinya terpaku. Pria itu memiliki segalanya yang membuat Sehun semakin jatuh ke dalam dosanya.

"Ini Kim Jongin. Pegawai magang kita, yang, um, kemarin kuceritakan." Tiffany mengucapkan nama pria itu dengan sedikit kesulitan. Ya, dibandingkan namanya, nama Jongin lebih sulit untuk diucapkan oleh orang yang tidak berlidah Asia.

Sehun menuruni dua tangga, hingga kini ia persis berada di hadapan Jongin. Ia mengulurkan tangannya dan Jongin langsung menjabatnya dengan senyuman tipis. "Oh Sehun, owner sekaligus penulis-"

"-yang sekarang sedang mogok menulis." cibir Tiffany. Sehun mendelik sekilas pada gadis berambut coklat terang itu. Jongin hanya menahan tawanya dengan senyuman yang semakin melebar.

Sehun menahan nafasnya. Ia tidak melepaskan tangan Jongin, bahkan ketika pria itu mulai merona merah. Sehun malah meremas tangan pria itu dengan lembut seolah berkata sorry dude, aku tahu kau gay dan jika sekalipun tebakanku salah, aku tidak akan melepaskanmu. Tiffany tahu jelas seperti apa sahabatnya dan bagaimana mengerikannya dia saat ia menginginkan sesuatu. Wanita itu berdeham keras membuat Sehun melirik ke arahnya. Tatapan tajam yang didapatkannya dari Tiffanny membuat Sehun menyerah. Ia melepaskan tangan pria malang itu dengan perasaan setengah merajuk.

"Oh Sehun, kau benar-benar kekanak-kanakan. Untung, Jongin satu team denganmu." gumam Tiffany. Wanita itu tidak bisa menahan senyumnya lebih lama lagi.

Sehun melirik Tiffany sekilas, lantas langsung menatap Jongin kembali. Matanya terpaku pada Jongin yang balas menatapnya. Mereka saling menatap untuk beberapa saat (hingga nyaris membuat Tiffany ingin meninggalkan mereka berdua). "Umm, kau juga..?"

"Um, ya. Cuma aku hanya mengakuinya ke beberapa orang saja. Aku tidak seterbuka dirimu." jawab Jongin dengan suara rendah. Pria itu jelas adalah sosok pria yang cukup pemalu dan juga tertutup. Dan entah mengapa, itu membuat Sehun semakin menyukainya.

"Ah, ya, kau pasti membaca artikel itu." tangan Sehun berpindah ke belakang lehernya dan mulai menggaruk tengkuk lehernya dengan canggung. Tiffany mengamati dengan wajah terhibur. Ini adalah pertama kalinya ia melihat seorang Oh Sehun segugup ini.

"Apa yang kau perjuangkan bersama dengan teman-temanmu adalah sesuatu yang benar. Kita juga memiliki hak sebagai warga negara Amerika. Apa yang membuat kita berbeda dengan mereka semua? Kita sama-sama manusia. Kita sama-sama bernafas. Hanya saja, kita mencintai seseorang yang berbeda."

Apa yang baru saja Jongin katakan membuat Sehun dan Tiffany tidak berpaling sedetik pun darinya. Sadar akan apa yang dilakukannya barusan, Jongin langsung menundukkan kepalanya dan mulai mengutuki dirinya sendiri di dalam hati. Ya Tuhan, kenapa ia bisa lepas kendali seperti itu? Rasa kagumnya pada Sehun selama ini membuatnya lupa kalau ada tembok yang membatasi mereka berdua. Ya, mungkin dalam satu aspek mereka memiliki kesamaan - menyukai seorang pria. Tetapi, dalam aspek lainnya? Nihil. Jongin tidak lebih dari seorang pecundang yang hanya bisa bermimpi tanpa tahu bagaimana mewujudkannya. Sementara, Oh Sehun adalah bintang yang bersinar di atasnya. Bintang yang selama ini menuntun serta membuatnya kuat melawan betapa sulitnya kehidupan yang ia lewati selama ini.

Jongin yakin Sehun akan menertawainya saat ia tahu betapa kagumnya Jongin pada sosok seorang Oh Sehun. Seorang penulis sukses yang berhasil mendirikan rumah percetakannya sendiri dan juga seorang aktivis gay yang bangga akan siapa dirinya.

Seorang pecundang seperti Kim Jongin bahkan tidak pantas jika disandingkan dengannya.

"Hei, Jongin!" suara Sehun menyadarkannya. Jongin langsung mengangkat kepalanya dengan perasaan malu. Ia memberikan senyum meminta maaf pada Sehun. Sehun hanya membalasnya dengan senyum kecil.

"Minggu depan, ada pertemuan para aktivis di pusat kota. Kau mau ikut? Aku bisa mengenalkanmu pada teman-temanku." tawar Sehun. Secara reflek, Jongin langsung mengangguk. Ia tidak pernah bertemu dengan seseorang yang sama seperti dirinya. Selama ini Jongin selalu merasa sendirian, karena hanya dirinya yang berbeda. Hanya dirinya.

"Awasome." seru Sehun. Tiffany yang sedaritadi memperhatikan hanya memasang senyun lebar dibiburnya. Wajahnya menunjukkan kebahagian yang diam-diam dapat Sehun rasakan.

Pertengahan musim panas di New York adalah pertama kalinya ia bertemu dengan Kim Jongin. Sehun tidak pernah percaya akan yang namanya cinta pada pandang pertama. Ia menganggap hal semacam itu hanya fantasi Disney yang ditanamkan dipikiran anak-anak polos yang bahkan tidak tahu apa itu sebenarnya cinta.

Namun, kala itu Sehun merasa Jongin membuatnya seperti anak kecil lagi. Sehun dapat merasakan sesuatu yang aneh diperutnya, nafasnya yang tertahan, jantungnya yang berdetak lebih cepat saat ia melihat Jongin menarik ujung bibirnya memberikan sebuah senyuman hangat.

Jongin membuat dirinya seperti anak kecil lagi yang jatuh ke dalam fantasi Disney.

Dan dia jatuh.

Dia jatuh cinta.

.

.

Sehun tidak pernah mengingkari janjinya. Ia membawa Jongin ke pertemuan rutin kelompok aktivisnya di salah satu rumah pengacara di pusat kota. Pengacara itu memiliki tempat yang cukup kuat di pemerintahan. Beberapa kali mereka menggunakannya untuk menyerang pemerintah (atau Sehun lebih suka menyebutnya, sedikit mendesak pemerintah). Sehun mengendari Impala-nya melintasi jalanan kota New York yang tidak pernah sepi. Jongin duduk di sebelahnya tampak menyukai keramaian diluar sana. Sehun menekan tombol tape dan suara Elvis Presley melantun memecah keheningan dan menarik perhatian Jongin.

"Can't help faling in love with you?"

"Pardon? Apa kau sedang menyatakan cintamu padaku?"

Jongin langsung memukul pelan bahu Sehun. Dan kemudian, mereka berdua tertawa bersama. Hingga, saat tawa mereka mulai mereda barulah Jongin berkomentar. "Aku suka Elvis."

Sehun meliriknya sekilas lalu bergumam, "Aku lebih menyukaimu."

Sebenarnya, Sehun lebih berbicara kepada dirinya sendiri. Namun, Jongin mendengarnya dan pria itu tahu kalau, mungkin, kali ini saja Sehun tidak sekedar bercanda. Jongin tidak bodoh. Ia tahu kalau selama seminggu ini Sehun tidak berhenti mendekatinya. Terkadang, ia juga beberapa kali mendapati Sehun sedang memperhatikan. Namun, yang menjadi satu keraguan di dalam dirinya adalah fakta bahwa dirinya adalah seorang nobody dan Oh Sehun jelas adalah seorang somebody.

Jadi, untuk apa seseorang yang memiliki segalanya seperti Sehun tertarik pada pecundang seperti dirinya?

Jongin membuang mukanya keluar jendela. Sementara, lagu favoritnya terus melantun seolah mencibirnya diam-diam. Jongin ingin menangis. Ia memang bukan seseorang yang kuat. Ia juga bukan tipikal orang yang tegar. Mungkin, dirinya adalah orang yang lemah. Atau mungkin, ini adalah efek dari apa yang dilaluinya selama ini.

"Aku tidak tahu mengapa. Tapi, aku merasa ingin menceritakan sesuatu padamu." ujar Jongin tiba-tiba.

Sehun kembali meliriknya dan mendapati Jongin sedang berusaha menyembunyikan wajahnya. Sementara, lagu terasa seperti berputar disatu bagian saja. "Kau bisa menceritakan apapun padaku Jongin. Aku akan selalu mendengarkan." Sehun tidak main-main dengan perkataannya. Ia merasa seperti membuat janji pada dirinya sendiri. Dan Oh Sehun bukan seseorang yang suka melanggar janjinya.

"Umm, aku tumbuh besar di panti asuhan. Saat aku berusia 16 tahun, ada seorang donatur yang menawariku kuliah secara gratis di Stanford. Dan aku mengambil kesempatan itu. Intinya, aku lulus dengan nilai yang cukup memuaskan donaturku di jurusan sastra.

"Saat itu, aku merasa untuk pertama kalinya aku bisa membanggakan sesuatu. Aku merasa seperti.. semakin dekat dengan impianku, yaitu membuat buku biografi atau entahlah, sesuatu yang dapat menginspirasi banyak orang. Saat itu, aku tidak perduli dengan berbagai macam makian tentang betapa miskinnya aku, atau tentang diriku yang anak yatim piatu.

"Rasanya apa yang kucapai saat itu membuatku kebal. Hingga, suatu hari aku mulai menyadari jati diriku. Aku menyukai seseorang yang sama sepertiku. Sebelumnya, aku tidak pernah setertarik itu pada wanita. Kupikir mungkin karena aku terlalu sibuk belajar. Hingga, aku mulai menyadari teman-teman priaku. Dan aku tahu, kala itu juga, kalau mungkin saja bukan wanita-lah yang kusukai. Melainkan, pria."

Kini, Jongin tidak menyembunyikan wajah atau air matanya lagi. Ia membiarkan Sehun melihatnya. Ia membiarkan Sehun masuk ke dalam hidupnya - untuk lebih mengenal dirinya. Dan ia tidak tahu apakah ini keputusan yang tepat atau bukan. Kala itu, ia hanya ingin membagi kisahnya kepada seseorang. Selama beberapa tahun ini, Jongin selalu mengunci dirinya rapat-rapat dari semua orang. Namun, Sehun.. dia bukan semua orang itu. Oh Sehun berbeda. Mungkin, Jongin tidak memiliki bukti untuk menjelaskannya. Namun, ia dapat merasakannya.

"Ketika, aku mulai jujur pada diriku dan beberapa orang di sekitarku tentang siapa aku sebenarnya. Aku mulai.. jatuh, Sehun. Semua makian itu terasa nyata, bahkan terasa sangat menyakitiku. Semua orang yang tadinya bangga menyebutkan namaku langsung berpaling meninggalkanku. Saat itu, aku merasa mimpiku telah berakhir. Aku benar-benar putus asa."

Mata Jongin berkeliling; menatap lurus ke depan, kemudian ke sampingnya dan terus bergerak gusar, hingga berhenti pada satu titik, pada sebagaian wajah Sehun yang persis tertimpa sorot lampu jalan. Sehun mengendarai Impala-nya dengan kecepatan yang cukup lambat. Mereka sudah dekat dengan daerah rumah Mark. Dan ia tidak mau cerita Jongin terpotong. Ia harus mendengarkannya sampai akhir. "Hingga, akhirnya aku menemukan artikelmu. Dan aku menganggap kau semacam Elvis kedua atau entahlah. Kau hebat Sehun. Kau seperti.. bintang."

Jika Sehun tidak sedang mengendarai Impala-nya, mungkin ia sudah mencium Jongin. "Kau dengan beraninya mengakui siapa dirimu. Kau dengan beraninya membalas cibiran para homophobic. Kau dengan.. entahlah, kau selalu mempunyai cara untuk membela apa yang kau anggap benar. Dan aku sangat mengagumi itu."

Ketika mobil Sehun berhenti di depan pekarangan rumah Mark, Sehun segera mematikan mesin mobilnya. Namun, tape mobil yang tampaknya rusak masih memutar lagu yang sama. Sehun merasa ini seperti pertanda baginya. Ia harus mencium Jongin.

Dan dia melakukannya. Ia menangkup kedua pipi Jongin serta menariknya dengan sedikit terburu-buru. Jongin langsung memejamkan matanya. Ia tahu apa yang akan terjadi dan ia tidak ada niatan sedikit pun untuk menghentikannya. Ia menginginkan Sehun untuk menyentuhnya. Ia menginginkan kehangatan Sehun yang pria itu berikan lewat bibirnya.

Awalnya, ciuman mereka terasa sedikit tidak nyaman. Sehum tersenyum lebar ditengah jeda ciuman mereka yang membuat Jongin ikut tersenyum. Lagu dari tape mobil kembali melantun dari awal. Sehun membuka mulut mengikuti suara Elvis. "Wise man say only fool rush in. Oh, but I can't help falling in love with you."

Suara Sehun memang terdengar lebih buruk daripada suara Elvis. Namun, itu tidak membuat Jongin membencinya. Ia malah ingin mendengarnya kembali.. atau mungkin, berulang kali. Jongin mengalungkan tangannya pada leher Sehun merapatkan dirinya pada pria itu. Sehun tidak perlu bertanya apa yang Jongin inginkan. Karena tanpa perlu bicara, mereka berdua pun tahu. Jongin menginginkannya, begitupun dengan Sehun.

Sehun kembali mengecup bibir Jongin. Kali ini, semuanya terasa sempurna. Bibir keduanya bergerak mengikuti tempo. Tidak ada yang mendesak, menuntut dominasi atau terkesan terburu-buru. Semuanya berjalan dengan perlahan seolah keduanya tidak ingin semua ini berakhir.

Malam itu, sebelum pertemuan dimulai. Sehun dan Jongin sadar kalau tidak ada jalan lain bagi mereka, selain bersama.

Jika, Jongin membuat Sehun menjadi seorang anak kecil lagi yang percaya akan segala fantasi cinta Disney. Lain halnya dengan Sehun, pria itu membuat Jongin menjadi.. pria paling bahagia di dunia. Sehun membuat Jongin merasa bahagia dan itulah yang terpenting baginya.

Sehun adalah kebahagiannya. Dan jika suatu hari nanti ia kehilangan Sehun, Jongin tidak tahu harus berbuat apa.

.

.

Sehun mengenalkan Jongin pada banyak orang dipertemuan kelompoknya itu. Kelompok Sehun adalah salah satu kelompok aktivis LGBT yang memiliki akses terhadap pemerintah. Selain karena anggotanya yang cukup banyak, profesi para anggota yang bekerja di bidang hukum, birokrasi, media, dan kesehatan juga cukup berpengaruh. Sementara, Sehun mempersiapkan apa yang akan dibahas dipertemuan kali ini. Jongin tampak berhasil menemukan teman baru di pojok ruangan. Seorang gadis berambut merah bersama pasangannya tampak asyik mengobrol dengan Jongin.

Gadis berambut merah itu namanya Charlie dan pasangannya bernama Jo. Mereka sudah menjadi aktivis LGBT selama satu tahun lebih. Jo adalah seorang chef, sementara Charlie baru saja lulus dari jurusan hukum. "Kau calon pengacara?" tanya Jongin membuat gadis itu memerah.

"Ya, bisa dibilang begitu." Jo menatapnya dengan bangga. Jongin dapat merasakan dengan jelas keintiman di antara dua gadis itu. Mereka pasti amat mencintai satu sama lain.

"Uh, kau dan Sehun..?" kali ini, giliran Charlie yang membuat Jongin memerah. Pria itu mengangguk. Matanya bergerak ke sebrang ruangan untuk sejenak mengamati Sehun yang tampak serius mendiskusikan sesuatu. Kerutan dikening pria itu membuatnya sedikit cemas.

"Jangan khawatir. Bocah itu memang suka berpikir terlalu keras." ujar Jo tiba-tiba. Perhatian Jongin langsung beralih padanya. "Sehun adalah dalang dari semua gerakan atau kampanye kami selama ini. Dia yang memiliki ide terbesar dan, yah, dia memang seorang pemikir yang tidak pernah tanggung-tanggung menunjukkan aspirasinya. Dia tidak pernah takut untuk dihujat karena idenya. Dia benar-benar seorang tokoh aktivis panutan."

Apa yang baru saja Jo katakan membuat senyuman Jongin mengembang lebar. Matanya kembali mengarah pada Sehun yang kini berdiri mengarah pada seluruh anggota kelompok. Di sebelahnya ada seorang pria berambut blonde gelap yang tubuhnya jauh lebih kekar daripada Sehun. Namun, itu tidak membuat mata Jongin berpaling dari Sehun barang sedetik pun. Hingga, akhirnya Sehun menyadari tatapannya dan mata mereka bertemu untuk beberapa saat. Sehun memberikannya senyuman kecil, lalu memutus kontak mata.

"Aww, aku tidak pernah tahu kalau bocah itu punya perasaan." canda Charlie. Jo langsung mendelik tajam ke arah pasangannya. Sementara, Jongin berusaha keras menahan tawanya.

Well, Oh Sehun memang tipikal pria Asia yang dingin, arogan dan keras kepala. Tidak aneh kalau beberapa orang terkadang menanyakan apa bisa pria seperti Oh Sehun mencintai seseorang. Dan ternyata, Sehun bisa.

"Maksdunya, selama ini Sehun tidak pernah membawa siapapun ke acara pertemuan. Dia terlihat seperti tipe pria one night stand." jelas Jo, matanya masih mendelik tajam pada Charlie. Jongin hanya mengangguk karena ia sudah menduga seperti apa seorang Oh Sehun.

"Night, guys. Okay, fuck, jangan melihatku seperti itu. Aku memang tidak pandai membuat kata sambutan." ujar pria blonde itu mengundang tawa dari anggota lainnya. "Oke, langsung ke intinya saja. Ini adalah moment yang serius jadi.. biar Sehun saja yang menjelaskan."

Jongin dapat melihat beberapa orang berusaha menahan tawanya, termasuk dirinya sendiri. Sehun mendelik ke arah pria itu yang hanya dibalas cengiran konyol. Sehun melangkah lebih maju sampai ia berada di tengah ruangan. "Jadi, begini.. akhir-akhir ini aku mendapat berita kalau nyaris 3% pria gay di New York terkena suatu virus yang mematikan. Aku tidak tahu itu virus apa. Yang pasti bukan kanker dan sangat mematikan."

Sehun berhenti bicara. Matanya mencari-cari sesuatu dan berhenti pada Jongin. Ada suatu ketakutan dan kegelisahn di dalam matanya yang membuat dada Jongin sesak. "Selama dua bulan, aku dan beberapa teman kita lainnya mulai menyelidikinya. Kami kira itu hanya semacam rumor yang sengaja dibuat untuk menakut-nakuti kita saja. Tapi, saat kami menyelidiki kasus ini sampai ke rumah sakit di pusat kota. Kami bertemu Dr. Erin Novak."

Seorang wanita cantik melangkah maju dari antara kerumunan. Sehun memundarkan langkahnya membiarkan Dr. Novak mengambil alih. "Nama saya Dr. Erin Novak Winchester. Saya bekerja di RS St. Gabriel di pusat kota. Saya sudah melihat puluhan pria homosexual yang menderita karena virus ini. Jadi, saya mohon dengarkan peringatan ini. Virus ini tidak ada obatnya. Saya dan beberapa anggota tim saya berusaha menemukan obatnya, namun kami sendiri pun nyaris putus asa karena virus yang menyerang metabolisme manusia ini.. begitu complicated.

"Selain itu, peralatan kami juga tidak memadai untuk penelitian yang lebih jauh. Tetapi, kami ingin membantu karena kami percaya ini bukan satu virus yang hanya menyerang minortitas. Cepat atau lambat, siapapun dapat terkena virus ini. Dan saya sudah melihat efeknya, benar-benar mengerikan. Tidak ada satu pun manusia yang pantas mendapatkannya."

Suasana di dalam ruangan hening. Sangat hening, malah. Tidak ada yang berani berkomentar atau mengutarakan pendapat. Semuanya terdiam dengan berbagai macam ekspresi yang memberikan satu kesimpulan, yaitu teror. Jongin kembali mencari Sehun. Matanya bergerak dan terpaku pada pria itu yang terlihat sedang berpikir. Kerutan dikeningnya membuat perasaan Jongin semakin kacau.

"Apa virus ini dapat menjangkit lesbian?" seorang wanita yang berdiri tidak jauh dari Jongin bertanya.

Dr. Erin tersenyum padanya dan itu bukan senyuman yang dapat melegakan seseorang. "Siapapun bisa terkena virus ini. Seperti yang saya bilang tadi, cepat atau lambat." dia tidak melanjutkan kata-katanya. Namun, ekspresi wajahnya sudah berkata banyak.

"Lalu, apa yang kita harus melakukan untuk mencegah penyabaran virus ini?" seorang pria yang jauh lebih tua dari Sehun bertanya.

"Good question. Saya dan teman satu tim saya menyimpulkan kalau virus ini mungkin menyebar lewat hubungan seksual tanpa kondom. Seperti anal sex atau oral-"

"Bullshit! Jadi, para pria gay di New York tidak boleh melakukan hubungan seks lagi?"

"Tentu saja, boleh! Hanya tidak pasangan yang berganti-ganti saja."

"Apa yang membuatmu begitu yakin Dr. Erin? Bagaimana kalau kau salah?"

Pertanyaan itu berhasil membuat Erin memundurkan langkahnya. Wanita itu hanya mencoba untuk membantu, namun ini balasan yang didapatnya? Jujur saja, Erin mendadak muak. Rasa simpatinya langsung lenyap berganti dengan amarah. Suasana di dalam ruangan langsung berubah menjadi ramai. Ada sisi yang pro dan kontra. Ada sisi yang menganggap ini semua hanya semacam omong kosong dan ada sisi yang mulai ketakutan. Jongin kembali mencari Sehun. Tiba-tiba, ia merasa seperti tersesat. Ketika, matanya kembali bertemu dengan Sehun. Pria itu seolah kembali menuntunnya. Pria itu seolah berkata semua akan baik-baik saja. Dan Jongin memercayainya.

"SHUT UP! Aku sudah melihat sendiri apa yang terjadi pada teman kita yang meninggal karena virus ini. Erin tidak mungkin membicarakan omong kosong. Dia ingin membantu. Dan kalian malah menghakiminya? What the fuck dude? Apa kalian sebegitu inginnya untuk mati? Virus ini dapat mempersingkat umur kalian menjadi tidak lebih dari tiga bulan. Dan selama tiga bulan itu kalian akan merasa seperti tinggal di neraka, percaya padaku, aku sudah melihatnya sendiri." jelas Sehun. Kesungguhan yang ada di dalam pria itu membuat seluruh perhatian tertuju padanya dan mereka semua mulai kembali mendengarkan.

"Aku tidak bisa melarang kalian untuk berhubungan seks. Tapi, setidaknya pastikan patner kalian bersih. Selain itu, daripada kalian bertingkah seperti bocah putus asa yang tidak tahu harus melakukan apa. Kalian bisa mulai membantu menggalang dana untuk para korban virus ini. Atau entahlah, lakukan sesuatu yang berguna agar seseorang dapat menghentikan semua ini."

Apa yang Sehun katakan malam itu cukup mengubah presepsi banyak orang. Malam itu juga mereka memutuskan untuk melakukan sesuatu untuk menghentikan penyebaran virus ini. Ada beberapa yang merencanakan untuk menggalang dana atau mencari donatur, sementara ada kubu yang berusaha bicara pada pemerintah untuk meminta bantuan berupa sumbangan atau peralatan bagi rumah sakit. Di New York, hanya RS St. Gabriel saja yang menerima pasien homosexual yang terkena virus tersebut. Pasien itu pun dikurung di satu bangsal yang terisolasi.

Sehun adalah kubu yang akan berurusan dengan pemerintah. Ia tidak perduli jika walikota New York cukup memiliki kebencian. Ia sama sekali tidak perduli. Yang ada dipikirannya hanya dua; hak yang harus diperjuangkan dan bagaimana ia melindungi Jongin dari virus itu atau dari apapun yang mungkin dapat melukainya.

Karena, sungguh, mulai detik ini Sehun akan memiliki banyak musuh yang mungkin jauh lebih kuat dari kuasanya.

Saat pertemuan itu selesai, Sehun langsung mendekat pada Jongin dan memeluknya erat. Perasaan yang dimilikinya pada Jongin cukup menakutkan. Ia tidak pernah memiliki perasaan sekuat, setulus dan sesesak ini pada siapapun. Semuanya terasa begitu nyata, namun juga terasa seperti mimpi.

Selain membuatnya merasa eperti anak kecil, Jongin juga membuatnya merasakan jatuh cinta.

.

.

Sekitar tiga minggu kemudian, Sehun meminta Jongin untuk pindah dengannya. Ia merasa tidak nyaman membiarkan Jongin tinggal di flat kumuh yang jauh dari kata layak. Selain itu, lingkungan di sekitar flat Jongin juga terbilang cukup keras. Banyak homophobic di sana yang tidak berhenti mengganggu Jongin. Namun, Kim Jongin yang keras kepala (mungkin lebih parah darinya) selalu berkata ia akan baik-baik dan itu tidak mengganggunya - yang tentu saja hanya bualan semata.

Awalnya, seperti dugaan Sehun, Jongin menolak dan jujur saja itu cukup membuatnya jengkel. Mereka tidak bicara selama tiga hari. Hingga, akhirnya Jongin setuju demi menghentikan perang dingin yang Sehun berikan padanya (yang sebenarnya ia anggap cukup kekanak-kanakan ini). Dan di sinilah dia sekarang, di dalam apartemen Sehun yang luas, hangat dan nyaman. Ia baru saja keluar dari kamarnya dan Sehun, yang letaknya berada tepat di sebrang ruang kerja Sehun.

Ya, mereka memang tidur bersama. Tetapi, itu bukan berarti mereka sudah melakulan seks. Mereka sudah pernah membicarakan seks sebelumnya, bahkan sebelum Jongin pindah. Dan keduanya memilih untuk mengambil slow step. Mereka tidak ingin terburu-buru mengambil keputusan karena ini bukan suatu hubungan yang mereka ingin jaga dalam beberapa minggu saja. Lagipula, untuk apa mereka terburu-buru? Jika mereka sendiri pun belum siap. Selama mereka saling mencintai dan memilki satu sama lain, seks bukan sesuatu yang berperan besar dalam hubungan mereka. Mereka lebih menganggap itu sebagai bonus.

Karena yang terpenting adalah kebersamaan yang mereka miliki berdua. Kebersaaman yang setiap detiknya berharga untuk dilewati. Kebersamaan yang menjadikan setiap detiknya memori yang berharga untuk dikenang.

Sehun yang sedang sibuk mengetik suatu artikel di mesin tik-nya tampak tidak menyadari kehadiran Jongin di belakangnya. Jongin menyeringai. Kedua tangannya kini berada pada bahu Sehun dan mulai memijatnya pelan. "Sudah dua jam, Sehun. Kau butuh istirahat. Dan, uh, aku sudah membuatkan kopi untukmu."

Sehun mulai meregangkan otot-ototnya. Ia berpikir istirahat sebentar tidak akan menghambat artikelnya. Sehun membiarkan Jongin menariknya keluar dari ruang kerjanya. Ia hanya tersenyum menatap Jongin yang membawanya ke sofa di ruang tengah. Jongin menyuruhnya duduk dan Sehun menurutinya. Terkadang, Jongin suka bertindak seperti ibunya yang terlalu cemas pada berbagai macam keputusan yang diambilnya. Terkadang, itu terasa menyebalkan. Namun, terkadang Sehun merasa kalau itu menunjukkan jika Jongin terlalu perduli padanya dan itu membuatnya merasa dicintai.

"Sebentar, sebelum aku mulai menasihatimu seperti ibu-ibu yang menyebalkan-" Jongin memutar matanya membuat Sehun tertawa. "-minum dahulu kopimu." Jongin mengambil secangkir kopi dari meja nakas di sampingnya dan menyerahkannya pada Sehun. Sehun segera mengambilnya tanpa penolakan. Karena adakah orang yang menolak kenikmatan kopi dihari yang melelahkan seperti ini?

"Dan waktu untuk menasihati Oh Sehun dimulai." gumam Jongin cukup untuk Sehun dengar. Kali ini, giliran Sehun yang memutar matanya.

"Oke, pertama, berhenti berpikir terlalu keras!" Jongin setengah menjerit. Dan jujur saja, itu sangat mengagetkan Sehun. Jongin tidak pernah terlihat se.. cemas dan sefrustasi ini sebelumnya. Ia hanya terdiam dan untuk pertama kalinya, ia membiarkan dirinya mendengarkan nasihat Jongin.

"Kedua, aku ingin kau terbuka padaku. Aku tahu kalau semua ini berat bagimu. Dari jumlah pasien yang melonjak sampai tanggapan pemerintah yang terkesan tidak perduli sama sekali. Aku tahu, Sehun. Dan itu bukan karena kau menceritakannya padaku. Itu karena aku tahu. Karena-"

Jongin memenggal kalimatnya. Matanya berkaca-kaca dan seperti Jongin, tanpa perlu Sehun memberitahunya, ia tahu kalau Jongin akan menangis. Dan semua itu karena kekeras kepalaannya yang selalu berpikir ia dapat mengatasi masalah ini. Ia pasti dapat menemukan jalan keluar. Padahal, kenyataannya ia tidak bisa. Dan itu yang membuatnya diam-diam menangis dan menjadi sedikit depresi.

Tangan Jongin berpindah membelai lembut pipinya. Sehun segera menahan tangan itu dipipinya. Ia tidak ingin Jongin berhenti menyentuhnya. Karena ia merasa hanya sentuhan Jongin-lah yang mampu membuatnya bertahan melawan perasaan yang semakin mengacaukan dirinya di dalam sana. "Karena aku tahu kalau kau suka terbangun di malam hari dan menangis. Karena aku tahu sorot matamu disaat kau merasa terpojok dan tidak tahu harus melakukan apa. Aku tahu, Oh Sehun. Dan semua itu karena aku mencintaimu. Aku mencintaimu." Jongin menangis. Entah kapan terakhir kalinya, ia melihat Jongin menangis seperti ini. Wajahnya memerah, matanya bengkak dan air mata tidak berhenti jatuh mengalir.

"Aku mencintaimu Sehun. Dan aku ingin kau membagi bebanmu itu padaku. Aku mencintaimu. Dan kau harus percaya padaku kalau kita bisa melawan semua ini bersama. Aku mencintaimu. Dan aku yakin kita pasti bisa menemukan jalan keluar. Bersama."

"Jongin.." Sehun memanggil namanya dengan lirih. Pria itu tidak pernah membayangkan sekacau apa hidupnya jika ia tidak pernah bertemu dengan Jongin.

"Selain itu, tidak ada yang memintamu untuk jadi pahlawan di sini. Kami semua tahu dimana batasmu Sehun. Kau bukan semacam robot yang bisa menerima dengan lapang dada saat seorang donatur menolak untuk menyumbang hanya karena dia tahu virus ini hanya menyerang pria gay. Aku tahu kalau sangat bangga dengan siapa dirimu. Dan terkadang rasa banggamu itulah yang membuatnya jatuh.

"Kau melakukan berbagai macam cara untuk membantu yang lainnya. Mengirim surat pada pemerintah memohon bantuan dan hanya mendapat balasan sebuah penolakan. Dan mungkin, itulah yang membuatmu terluka. Perasaan tidak berdaya melihat semua orang yang berada dipihakmu meninggal karena virus sialan yang tidak ada obatnya, sementara pemerintah sama sekali tidak perduli dan kau tidak bisa melakukan apa-apa. Dan sekali lagi, kutegaskan.. kau bukan pahlawan di sini!"

Sehun dapat merasakan basah dipipinya. Untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun, ia menangis. Tangannya perlahan melepaskan tangan Jongin. Sementara, diri Jongin melemah. Pria itu merasa seperti akan jatuh, karena ia tidak tahan melihat pria yang dicintainya berjuang sendirian tanpa mengizinkannya untuk membantu. Tangan Jongin tidak berada dipipi Sehun lagi dan hanya menggantung lemah. Kedua matanya tidak berani menatap Sehun dan melihat betapa lelahnya pria itu.

Sehun mulai mendekatkan dirinya pada Jongin. Ia merangkul tubuh Jongin membuat pemuda itu bersandar di dalam dekapannya. "Kau bukan pahlawan, Sehun. Kau hanya seorang pria biasa yang kucintai. Dan aku tidak pernah sekalipun menyesali perasaan ini. Tidak perduli dengan virus yang mungkin bisa saja menyerangku atau para penghujat yang siap mengurungku di neraka. Aku tidak perduli. Aku mencintaimu."

Sehun semakin mengeratkan pelukannya. Apa yang Jongin katakan bukan hanya membuatnya sadar kalau apa yang dilakukannya selama ini sangatlah bodoh, tetapi juga membuatnya sadar kalau ia tidak bisa hidup tanpa Jongin. Sehun mengecup puncak kepala Jongin. Pikirannya melayang membayangkan apa jadinya jika suatu hari nanti Jongin meninggalkannya. Apa dia sanggup untuk hidup tanpa seseorang yang mampu menyusun kembali seperti puzzle saat ia hancur berkeping-keping? Apa dia sanggup?

"Aku juga, Jongin. I love you so much."

Sehun memejamkan matanya. Mencintai Jongin adalah sesuatu yang sangat mengerikan. Karena dia mampu menukarkan apapun yang dimilikinya hanya untuk merasakannya.

.

.

Seminggu kemudian, kondisi Sehun sudah jauh lebihbaik. Ia mulai membawa pulang pekerjaan di rumah dan mengambil cuti untuk beristirahat. Selain itu, dia juga mulai melibatkan Jongin ke dalam rencana-rencananya untuk mendapat perhatian dari pemerintah. Hingga, suatu hari Sehun mendapat telpon dari Dean, salah seorang jurnalis yang bekerja di majalah Times, pria itu memberitahu kalau banyak yang tersentuh pada artikel yang Sehun buat dan mereka siap menyumbangkan dana yang cukup besar bagi para pasien dan Dr. Erin yang masih terus berusaha mencari obat dari virus tersebut. Well, mungkin adalah langkah awal yang cukup baik.

Sehun langsung memberitahukan kabar baik ini pada Jongin, sebelum memberitahukannya pada beberapa orang anggota kelompok (atau sekarang, mereka lebih suka disebut organisasi. Walaupun, mereka belum tahu siapa yang pantas untuk dijadikan ketua) untuk disebarkan. Jongin mengusulkan kalau mereka harus merayakan keberhasilan Sehun ini.

"Kau ingin membuat pesta?" Sehun mendengus dengan wajah setengah mencibir. Coba saja kalau Sehun tidak memasang senyum konyolnya kemudian, mungkin Jongin akan meninju wajahnya.

"Kau tahu, aku benci pesta." rengek Jongin.

"Lalu? Kau mau apa, baby?" Sehun mendekatkan dirinya pada Jongin dan berhasil membuat pria itu duduk dipangkuannya. Film Star Trek yang tadi mereka tonton langsung terabaikan.

"Aku ingin pergi ke pantai." jawab Jongin. Pria itu terlihat antusias saat menjawab pertanyaan Sehun.

Sehun menarik senyum, lantas mengangguk. Ia tidak pernah bisa menolak permintaan Jongin. Lagipula, mereka juga tidak pernah pergi ke pantai bersama.

Tanpa Sehun ketahui, mungkin ini adalah saat pertama dan terakhir kalinya Sehun pergi ke pantai bersama Jongin.

.

.

Rin's note :

MUAHAHHAHA aku sebenarnya mau buat oneshoot cuma aku ngetik ini aja sampai jam 1.30 AM dan aku udah ngantuk bangetttt.. selain itu, aku ngetik ini di hp (again)

anyways, aku sengaja nggak nulis genre atau warning yang menjurus karena nggak mau spoiler.. ini baru turtore awal ajaaaa

(Rin mendadak sadis abis baca ff Twist & Shout fandom SPN yang bikin Rin ngabisin 10 lembar tisiu dan meninggalkan bekas emosional yang mendalam #abaikan)

aku benar-benar bikin fanfic ini se-realistic mungkin.. cuma emang dari sisi homophobic-nya memang belum kufokusin banget. Jadi, baru fokus virus AIDS dan bagaimana seorang cowok es batu jadi cinta mati sama Jongin lol

P.S aku bakal update besok atau besok lusa.. intinya nggak lama2 amat kokk

P.S.S ayoo tebak endingnya gimanaa