Disclaimer: Kuroshitsuji © Toboso Yana-sensei. Judul fic ini, Tiga Kata Saja, berasal dari bab 17 novel Perahu Kertas karya Dewi 'Dee' Lestari. Saya hanya meminjam.

Warning: Fem!Ciel detected. OOC—maybe?, abal. Three Kissing Scene detected also. Godaan Sebastian yang … *author nyanyiin Melayang-nya Dimi(?)* And, don't like? Don't read, thanks!

Title: Tiga Kata Saja

Pair: Sebastian x Fem!Ciel. Atau Fem!Ciel x Sebastian, sama sajalah.

Genre: Romance/Friendship

Rate: T. Psst, tadinya saya hampir buat rate M lho. Tapi saya hapus dengan alasan ayah saya mengetahui password komputer saya. *sighs* Tapi mending. Ini straight. Kalau yaoi … *srek, srek*

Summary: Entah. Rasanya … mengucapkan tiga kata itu pada Sebastian bukan hal mudah. Tapi jika tidak kulakukan … aku yang sakit sendiri.

PoV: Kayaknya sudah jelas dari summary-nya, kan? Point of View-nya Ciel.

Note: Sekali lagi saya tekankan, Ciel disini female!Jadi, kalau kalian tidak menyukai Ciel yang menjadi perempuan, mohon keluar dari page ini. Tapi jika kalian memang berencana untuk mem-flame karya saya,silahkan menetap. Saya tidak melarang.

Dan, umur Ciel di sini telah 14 tahun.

*u*

Tiga Kata Saja, Chapter 1: First of All

(Phantomhive Mansion, March 08th, 03.13 a.m. to 05.34 a.m, di lorong lantai dua dan kamar Sebastian)

Aku terbangun dari tidurku sejak pukul setengah tiga tadi. Sudah kucoba untuk tidur berulang kali, namun hasilnya aku tetap terbangun. Dan aku menyerah. Akhirnya pun aku meraih jubah sutra yang tergantung di depan lemari pakaianku dan menggunakannya. Membuka pintu kamarku. Aku membiarkan kakiku membawaku kemana saja.

Dan aku berakhir ke depan pintu kamar Sebastian.

Tunggu. Pintu kamar Sebastian?

Apa aku tidak salah lihat?

Aku mengucek mataku. Sama sekali tidak. Pintu itu berada tepat di ujung lorong dan agak jauh dari ruangan lainnya. Aku mencoba untuk membuka pintu itu tanpa bersuara. Dan akhirnya, aku menemukan tubuh Sebastian yang sedang membelakangiku.

Aku berjalan secara hati-hati. Tidak menutup pintu—ceroboh. Semakin mendekat, aku semakin dapat melihat tubuh besarnya. Dan—Sebastian hanya menggunakan celana panjang. Tanpa atasan. Yang berarti, aku melihat keseluruhan tubuh atasnya.

"Se-Sebastian …," lirihku. Ia membalikkan tubuhnya.

"Ah, maaf, Nona Muda!" serunya dengan wajah tersentak. Ya, sudah kubilang, kan? Ia segera meraih suatu kain—kemeja, mungkin—untuk menutup tubuhnya. Tapi aku menahan tangannya. "Tidak apa-apa, Sebastian. Aku hanya …," lirihku lagi sembari menurunkan tangannya beserta kepalaku.

"Hanya apa, Nona Muda?" tanya Sebastian. Aku mendongakkan kepalaku dan menarik kursi dari sebelah kananku. Memijaknya dan menyamakan tinggiku dengan wajah Sebastian.

Aku tetap diam dan mulai menaikkan tangan kananku. Menyibak rambut hitam Sebastian yang jatuh ke depan wajahnya dan mengelus lembut wajah bagian kirinya. Aku tetap mengelusnya hingga jatuh ke pundaknya. Aku menarik tubuhku dan tubuhnya agar mendekat dan aku mendekatkan bibirku ke telinganya.

"Sebastian …," bisikku.

"Ya, Nona Muda?" sahutnya sembari mengelus pelan rambutku.

Aku diam. Entah. Rasanya … mengucapkan tiga kata itu pada Sebastian bukan hal mudah. Tapi jika tidak kulakukan … aku yang sakit sendiri. Aku telah menahan rasa ini selama tiga tahun. Tiga tahun. Hanya kepada butlerku ini. Bukan—iblis ini. Butler iblis yang membuatku merasakan apa yang namanya cinta dalam umurku yang masih muda. Masih di bawah umur, tepatnya.

Tidak. Aku mengurangi jarak di antara diriku dan Sebastian.

Ini hal yang sangat sulit. Bagaimana jika setelah aku mengatakannya, ia akan membenciku dan menjauhiku? Apa ia akan menghentikan perjanjian antara kami selama empat tahun ini?

Tidak, Ciel Phantomhive! Kamu tidak bisa melakukannya! Kamu akan kehilangan Sebastian. Kehilangan! Apa kau mau hal itu datang kembali ke hidupmu?

Aku menggeleng terus-terusan. Tanpa diminta pun, air mataku mulai jatuh dari pelupuk mataku. Mengalir dan jatuh perlahan ke bawah.

"Nona Muda, Anda menangis?" tanyanya sembari mengangkat daguku. Aku menepis tangannya dan mengalihkan pandanganku.

"Nona Muda, tolong, sekali ini saja, jujur dan jawab pertanyaan saya. Anda membenci saya?" tanyanya.

Aku mencoba membuka mulut di sela-sela tangisanku. "Ti-tidak … Sebastian … bahkan … bahkan … sebaliknya …."

"Maksud Anda?" tanyanya lagi. Aku menutup mulutku.

"Ciel Phantomhive, jelaskan semuanya kepadaku." Sebastian menarik tubuhku dan mengangkat daguku kembali.

"Sebastian, aku … aku …," desisku.

"Ciel Phantomhive, aku sama sekali tidak mengerti. Tolong jelaskan semuanya." Sebastian berkata lembut. Namun kasar.

"I … I love you, Sebastian!" Bodoh, Ciel Phantomhive. Mengapa kau membiarkan kata-kata itu meluncur dari mulutmu, heh? Dan kini, ganjarannya adalah kehilangan Sebastian. Kehilangan orang yang sangat kau percaya, kau sayangi, dan kau cintai hanya karena tiga kata itu saja.

Kedua tangan Sebastian melepas tubuhku. Jelas, dari wajahnya, ia tersentak. Amat tersentak.

Aku menyesal. Maafkan aku, Sebastian. Tolong, siapapun. Kembalikan kami ke waktu tadi dan biarkan aku tidak mengatakan ketiga kata itu.

"Ku-kumohon, Sebastian … jangan membenciku, kumohon!" seruku. Ia masih diam dan mengalihkan pandangannya ke kanan.

Sepertinya ia marah kepadaku.

Kau bodoh, Ciel Phantomhive. Sekali lagi, kau amat sangat bodoh.

"Sebastian … kau marah kepadaku? Maafkan aku, Sebastian …," desisku.

"Ju-jujur saja … a-aku sudah merasakan ha-hal ini da-dari tiga tahun lalu … dan … aku berhasil menahannya … dan … dan … aku … aku sudah tidak bisa … tidak bisa … me-menahan pe-perasaanku ke-kepadamu … kumohon, Sebastian … jangan marah padaku … jangan membenciku … ha-hanya kau yang … yang … dapat kupercaya … Sebastian … aku mohon …." Tanpa disuruh lagi, air mataku keluar. Semakin deras dan aku tidak bisa menahannya lagi. Aku membiarkan air mataku keluar bersamaan dengan isakan penyesalan.

Sebastian membalikkan kepalanya dan menatapku. Ia mengangkat daguku dengan amat sangat lembut dan mengusap air mataku. Aku menatap matanya dan membiarkan tangannya bermain dengan wajahku. Ia mengusap air mataku, menekan-nekan pipiku, dan berakhir di bibir. Ia menaruh satu jarinya ke bibirku dan menyentuhkan bibirnya dan bibirku. Ia menciumku, menghisap bibirku, dan melumatnya. Hal itu terasa sangat lama bagiku. Perlahan, aku menutup mataku dan menekan kepalanya mendekat. Ya, memang. Awalnya aku kaget. Tapi ini berarti, ia juga … ia juga … mencintaiku.

Aku membuka mulutku dan membiarkan lidahnya masuk dan menyapu mulutku. Mengabsen semua gigiku dan memainkan lidahku. Membiarkan salivaku dan salivanya bertukaran. Membiarkan ia menarik tubuhku. Membiarkan tangannya mengelus pipiku dan memainkan rambutku.

Antara lima menit atau enam menit kemudian, kami menjauhkan tubuh masing-masing.

"Sebastian … apa maksudmu dari ciuman tadi?" tanyaku.

"Bukankah sudah jelas, Nona Muda?" tanyanya balik.

"A-aku masih tidak percaya," jawabku. Ia hanya tertawa pelan.

"Hei! Apa yang kau tertawakan?" tanyaku kesal.

"Tidak ada, Nona Muda. Dan maksud saya dari ciuman tadi adalah … saya juga mencintai Anda," ujar Sebastian. Entah mengapa aku seperti disihir dan memeluknya erat. Tanganku mengelus punggungnya yang tidak menggunakan sehelai benangpun—masih ingat, kan? Ia tidak menggunakan atasan apapun—dan membiarkan tanganku yang lain memainkan rambutnya.

Ia melepas pelukanku dan menciumku lagi. Kali ini, dengan kasar. Ia seperti memaksakan ciuman itu. Aku sama sekali tidak mengerti pikiran iblis—walau aku mencintai iblis—dan membiarkan ia bermain dengan tubuhku. Membiarkan ia melakukan semuanya dengan paksa padaku.

Delapan menit ia menciumku. Akhirnyapun ia melepaskan bibirnya dan memelukku kasar.

"Apa-apaan kau, Sebastian? Melakukan dua hal ini dengan kasar sekaligus?" tanyaku. Ia diam dan menyibak rambutku yang menutup telingaku. Bibirnya mulai memainkan telingaku. Masih dengan kasar.

"Ini hal biasa, Nona Muda. Melakukan hal kasar kepada seseorang yang dicintainya," jawabnya sambil masih memainkan telingaku.

"Dan, mengapa kau menghisap telingaku?" tanyaku disela-sela erangan yang ia buat padaku.

"Satu hal biasa juga, Nona Muda," katanya.

"Sebastian, kau selalu melakukan hal yang kuinginkan, bukan?" tanyaku lagi. Dan—aku juga masih mengerang.

"Ya, Nona Muda. Mengapa?" tanyanya.

"Maka dari itu, hentikan semua ini," kataku.

"Satu sesi lagi, Nona Muda. Bersabarlah," ucapnya dengan nada tidak bersalah. Dan—benar saja, ia menurunkan bibirnya ke leherku.

Sialan. Aku berniat untuk mengatakan tiga kata itu saja dan malah berakhir seperti ini. Kali ini, aku benar-benar menyesal.

"Akh … Sebastian … kumohon … hentikan … ash …," ucapku sambil mendesah.

"Sebentar lagi." Sebastian menjawab dan membuat kiss mark di leherku.

"Sebastian, sialan kau," desisku.

"Mengapa, Nona Muda? Bukankah saya telah mengakui bahwa saya satu perasaan dengan Anda? Maka dari itu, mencium Anda dengan kasar, memeluk Anda dengan kasar, menghisap telinga Anda dengan kasar, dan menghisap sekaligus membuat tanda di leher Anda juga dengan kasar itu tidak apa-apa, kan?" tanyanya dengan wajah tidak bersalah.

"Kamu melakukannya dengan kasar, Sebastian," kataku.

"Bukankah Anda menikmatinya?" tanyanya lagi sambil mengecup mata kiriku.

"Sialan kau," desisku. Pipiku membuat semburat merah.

"Dan, Sebastian …." Aku kembali mendesis dan menciumnya lagi. Aku menarik kepalanya mendekat dan menghisap bibirnya. Menaruh tanganku yang lain ke punggungnya. Aku mencoba memasukkan lidahku ke dalam mulutnya—dan ia menerimanya. Ia membiarkan lidahku bermain dalam mulutnya. Mencoba menyapu mulutnya, mengabsen seluruh giginya, dan memainkan lidahnya.

Tujuh menit sudah aku menciumnya. Dan aku melepaskannya.

"Anda pintar juga mencium saya, Nona Muda," godanya.

"Huh!" Aku mendesis dan turun dari kursi. Lalu, aku meraih pocket clock dari laci meja Sebastian.

"Ternyata sudah pukul setengah enam pagi lagi," desahku. Tiba-tiba aku merasa tanganku dipegang oleh tangan yang lebih besar dariku.

"Ah, iya. Ternyata, pernyataan Anda, ciuman kita, pernyataan saya, dan seluruhnya menghabiskan waktu lama, ya," godanya lagi. Lagi-lagi ia memelukku. Kali ini dari belakang. Dan memberiku lagi satu kecupan di pelipis kananku.

"Sana, pakai baju. Aku akan kembali ke kamarku," kataku setelah ia melepaskan tubuhku dari pelukannya.

"Anda tidak ingin di sini, melihat saya memakai pakaian dan menyiapkan segala sesuatu untuk Anda?" godanya untuk ketiga kalinya sembari menahan tanganku lembut.

"Sebastian, ayolah. Sampai kapan kau akan menggodaku?" tanyaku.

Ia hanya tersenyum. "Entah … sampai kita melanjutkannya ke hubungan yang lebih tinggi, mungkin?"

"Sana, pakai pakaianmu. Cepat. Aku tunggu," kataku. Ia meraih kemeja putih yang biasa ia kenakan—yang, jujur saja, sudah terletak dari saat aku baru masuk ke kamarnya, di atas kasurnya—dan menumpuknya dengan tailcoat sekaligus jas(err, apa itu blazer ya? Duh. Maaf, saya kurang ngerti dunia fashion.) yang sama-sama berwarna hitamnya itu.

"Apa Anda ingin mengganti pakaian Anda dan beranjak mandi di sini?" Lagi-lagi ia menggodaku.

"Tentu saja aku ingin di kamarku, bodoh. Siapa kira aku akan melakukannya di kamarmu ini?" desisku kesal. Ia tertawa lagi.

"Sungguh, aku menyesal memberitahumu tentang perasaanku," kataku.

"Anda menyesal sekaligus menikmatinya, kan?" tanyanya sambil mengikutiku berjalan ke kamarku.

"Tidak juga. Tadinya aku kira kita hanya melakukan ciuman dan pelukan sekali saja. Dan kau lakukan hal itu sampai tiga kali—sekaligus memberiku ini." Aku menunjukkan kiss mark yang ia beri di leherku.

"Mau saya tambahkan?" godanya lagi.

"Kau!" Aku menggeram. Ia tertawa kecil dan menarikku ke sebelah kanannya. Menarik kepalaku ke samping dada bidangnya yang ditutupi oleh tiga helai pakaian sekaligus.

(Phantomhive Mansion, March 08th, 06.00 a.m. to 07.00 a.m., kamar tidur Ciel dan lorong menuju ruang kerja Ciel)

Sebastian mulai membuka seluruh benang yang menutupi tubuhku dan mulai membersihkan tubuhku(baca: memandikan). Seperti biasa juga, ia memakaikan pakaian pada tubuhku—ralat, pakaian laki-laki bangsawan pada tubuhku.

"Nona Muda, untuk sarapan saya siapkan pembuka beef salad, lalu untuk makanan utama coq au vin, dan penutupnya cheese shortcake. Jika Anda menginginkan yang lain, tinggal bilang kepada saya," jelas Sebastian. "Dan juga, teh yang saya sediakan adalah earl gray tea," jelas Sebastian lagi. Aku hanya menggumam untuk menjawab seluruh penjelasannya.

"Sebastian, kau sudah hidup dalam waktu lama, bukan?" tanyaku saat aku masih mengunyah makanan di mulutku.

"Ya, Nona Muda. Memangnya kenapa?" tanyanya balik.

"Em, mengapa tiga kata yang tadi kuucapkan di kamarmu terasa memiliki arti yang besar?" tanyaku polos. Ia tertawa kecil.

"Cinta, itu adalah perasaan yang amat penting. Cinta bisa saja disebutkan mentah-mentah dari ujung bibir kita, tapi ada yang mengatakan hal itu tanpa perasaan cinta yang sebenarnya. Orang yang mencintai orang lain yang berada dalam hidupnya pasti selalu merasa aman di dekat orang lain itu dibandingkan dengan orang-orang lainnya. Ia pasti tidak bisa memastikan perasaan itu pada awalnya dan hanya menepis seluruh hal itu menjadi rasa sayang. Padahal perasaan sayang dan cinta itu amat sangat berbeda. Seperti tadi, kita berdua mengucap bahwa kita saling mencintai satu sama lain. Namun, perasaan cinta yang sebenarnya tidak mungkin bisa diucapkan dalam kata-kata. Tapi dalam gerak tubuh dan mata. Gerak tubuh yang saya maksudkan, tercantum hal yang tadi kita lakukan dan puluhan lainnya. Dan mata, walau kita hanya menatap mata lawan kita yang sangat kita cintai, mata akan mengatakan seluruhnya. Anda mengerti?" Ia menjelaskan panjang-lebar.

"Panjang sekali penjelasanmu," desisku sambil meminum tehku yang berada dalam cangkir ukiran China. Sudah pasti dari Lau Tao.

"Sebenarnya lebih panjang, tapi saya coba ambil intinya saja," kata Sebastian.

"Ya sudah. Bacakan jadwalku, Sebastian," perintahku.

"Hm," gumamnya sambil mengambil buku agendaku—yang entah ia taruh mana—dan mulai membuka-buka halamannya. "Akan ada pertemuan antar bangsawan yang digelar di Istana sekaligus permainan drama tentang bangsawan-bangsawan Inggris, termasuk tentang Anda," katanya.

"Ada yang lain?" tanyaku.

"Paling, sepupu Anda, Elizabeth Middleford akan menemui Anda beberapa jam sebelum pertemuan itu. Di sini tertulis ia akan berangkat bersama Anda," katanya lagi.

"Itu saja?" tanyaku lagi. Ia mengangguk.

"Aku sudah selesai. Pergi sana, kerjakan tugasmu yang lain. Aku akan ke ruang kerjaku," kataku.

"Anda lebih dingin dari pada tadi pagi sepertinya," ujar Sebastian.

"Salahmu, bodoh. Siapa suruh melakukan hal itu. Dan jika bangsawan-bangsawan Inggris mengetahui aku memiliki kiss mark di umurku ini, nama baik Phantomhive tercemar sudah," desisku.

"Maafkan saya, Nona Muda," katanya.

"Yang pasti, kau siapkan pakaianku yang memiliki kerah untuk menutup hal ini," kataku sambil menutup pintu ruang kerjaku.

*u*

To Be Continued to Tiga Kata Saja Chapter 2

*u*

Terimakasih, Tuhan. Saya akhirnya bisa menulis cerita romance yang beneran juga di FFn.

Mati-matian saya keluar jalur rated M dan kembali ke rated T, lho. Sialan lu, Pam. Keluar sana *tendang Pamela(?)*

Oke kenapa saya ngegaje gini, saya merasa seperti ini: Saraswati itu untuk bagian otak pelajaran, Asaka Shirou/Arashiyama Misaki untuk penulisan, Haruka Ishimane untuk perasaan, Pamela M. Alexander untuk kemesuman(he), Lilith P. Michaelis untuk kebangsawanan, dan Yang Yu Fang/Melly untuk Tionghoa sekaligus jidat lebar bersama Will dan Claude. *kok AN OOT gini sih gue*

Back to theme. Jadi kenapa saya bisa menjelaskan seluruh cara ciuman itu, saya sering baca fic rated M. Terus, kenapa saya bisa membuat Ciel berciuman, gara-gara saya pernah mimpi ciuman sama mantan saya yang terakhir—atau tinggal kita bilang, Claude Faustus kedua. Kayak Tiara dan Sharpay di High School Musical 3: Senior Year. *author ketularan Anthony DiNozzo(NCIS) menyamakan semuanya dengan film*

Dan jangan tanya tentang penjelasan cinta yang saya tulis paling panjang. Jujur saja, di umur saya yang masih 10 dan sama sekali belum menginjak umur 11 tahun, saya sudah merasakan perasaan itu. *jujur banget*

Em, kecuali penjelasan tentang 'cara melihat cinta dari mata' itu ya. Saya cuma pernah ngegunain gerak tubuh. Jadi kalau ada yang pernah merasakan hal yang satu ini, dan ternyata saya salah mendeskripsikan, mohon diralat.

Omong-omong, saya mau delete fic saya yang Him dan Another Kuroshitsuji Story. Terus, saya mau edit fic saya yang When Phantomhive and Trancy is Meet. Judulnya gak jauh beda, jadi Phantomhive, and Trancy saja. Penjelasan selanjutnya bisa dipertanyakan pada author Sara Hikari.

Terus, kalau ternyata genre-nya salah, tolong diralat, thanks.

And for the end, of course:

Flame? I accept that.

Favorite? With pleasure!

Review? Thanks if you want!