Cause, I love you
Rated : T or M ?
Pairing : YoonMin, VKook, NamJin. Slight ! VMin
.
.
.
.
Enjoy it, guys ~
.
.
.
.
"Jimin.. Bangun."
Pria disamping tempat tidur tersebut terus berusaha membangunkan pria lain yang tengah tertidur pulas dihadapannya. Tidak ada tanda - tanda bahwa pria itu akan bangun setelah ia mencoba membangunkannya dari 10 menit yang lalu. Pria tersebut mengacak surai honey brown nya, merasa frustasi. Dia menghela nafas sejenak, sebelum ...
JDUAK !
BRUKK !
"ADUH !"
Sebuah tendangan mampir dipinggang pria tersebut dan membuatnya jatuh tidak elit dari tempat tidur.
Park Jimin -pria yang jatuh dari tempat tidur- mengusap pinggang dan juga bokongnya yang terasa sakit saat ini. Rasa kantuknya langsung menghilang seketika setelah ia jatuh. Dia menggeram sebal, sebelum melayangkan tatapan protesnya pada pria lain yang tengah menatap datar padanya. "Kenapa kau menendangku, Seokjin hyung !?" Ujarnya merasa tidak terima dengan perlakuan pria yang lebih tua darinya tersebut.
Seokjin memincingkan matanya, lalu menangkirkan kedua tangannya dipinggang. Memasang pose menantang kepada Jimin yang masih betah duduk dilantai kamar. "Memang kenapa ? Kau tidak terima ?" Ucapnya dengan nada menantang. Tatapannya begitu tajam menyorot pria yang lebih muda darinya itu, yang langsung ketakutan setelah melihat tatapannya. Dia menyeringai senang, lalu menepuk - nepuk kepala Jimin sedikit keras. "Cepat bangun ! Ini hari pertamamu masuk disekolah barumu, Jim !" Ujarnya sembari berlalu dari kamar Jimin.
Meninggalkan Jimin yang diam - diam mengutuk pria yang lebih tua darinya itu. "Kim Seokjin jelek. Aku doa kan dia tidak punya pacar sampai tua." Gerutunya.
"Aku dengar itu, Park Jimin !"
Jimin langsung terdiam mendengarnya. Dia tidak menyangka jika orang yang sudah ia anggap kakaknya sendiri itu dapat mendengar gerutuannya yang terbilang pelan. Sungguh mengerikan kemampuan pendengaran dari pria bernama Kim Seokjin itu.
Dia pun menghela nafas panjang setelahnya. Memutuskan untuk bangkit dari duduknya dan melangkahkan kakinya gontai menuju kamar mandi. Entah kenapa, dia sama sekali tidak merasa semangat untuk bangun sekarang. Yang dia inginkan hanya tidur sampai puas dan tidak berangkat kesekolah barunya. Dia malas sekali untuk kesana. Karena itu artinya dia harus beradaptasi dengan suasana baru, yang otomatis mengharuskan dia untuk mencari teman baru. Dia tidak suka itu. Merepotkan.
Dalam hati ia mengutuk kedua orang tuanya yang seenak jidat memindahkannya ke Korea. Dengan alasan agar dia mandiri, tanpa basa - basi mereka langsung saja menerbangkannya dari Jepang ke Korea sehari setelah ia diberitahu bahwa ia akan pindah sekolah. Tanpa harus berpamitan kepada teman - temannya dan bahkan kepada anjing peliharaannya di Jepang. Sungguh keterlaluan. Tambah keterlaluan disaat kau tahu jika pada dasarnya, mereka telah merencanakan hal ini jauh - jauh hari. Tanpa persetujuannya sekaligus. Katakan wow kepada kedua orang tua Jimin.
Namun setidaknya, dia harus berterima kasih kepada kedua orang tuanya yang tidak langsung melepaskannya untuk hidup sendiri dinegara gingseng ini. Terima kasih kepada anak dari sahabat ayahnya -yang kebetulan sudah ia kenal lama- bersedia membantunya disini dan bahkan mengizinkannya untuk tinggal diapartemen milik orang itu. Yah, Kim Seokjin adalah anak dari sahabat ayahnya yang sudah ia anggap seperti hyung sendiri, mengingat jika pria tersebut adalah teman masa kecilnya yang sayangnya harus berpisah dengannya disaat pria tersebut lulus SD -Seokjin lebih tua 3 tahun darinya.
Dia merasa harus bersyukur dan juga tidak. Karena pasalnya, Kim Seokjin itu seorang yang overprotective. Dia bisa berubah menjadi singa betina yang ganas saat dengan sengaja ada yang melukai Jimin. Pernah dulu saat SD, Jimin diganggu oleh kakak kelas mereka -saat itu Jimin kelas 2, sedangkan Seokjin kelas 5. Jimin itu terkenal lemah dan sangat polos, itulah sebabnya mereka mengganggu Jimin. Namun sayangnya, mereka berakhir luka - luka karena Seokjin yang menghajar mereka. Dia masih ingat bagaimana Seokjin yang sering bersikap lembut -walau kadang juga bisa galak- berubah menyeramkan saat menghajar kakak kelas mereka. Itu mengerikan.
Dan setelahnya, tidak ada yang berani mengganggu Jimin bahkan sampai dia lulus sekolah.
"Park Jimin !"
Seketika Jimin tersentak dari alam lamunnya. Dia langsung bergegas mandi -karena jika tidak, Seokjin akan mulai mengaum marah padanya. Setelah selesai, dia segera mengenakan seragam sekolah barunya dengan sedikit tergesa. Sebelum keluar kamar, dia menyempatkan diri mematut dirinya pada kaca seukuran tubuhnya didalam kamar, memperhatikan penampilannya memastikan tidak ada yang salah dengan dirinya. Sebuah seragam yang terdiri dari celana kain hitam, kemeja putih, dasi garis putih-biru, dan juga jas sekolah berwarna merah maroon. Ada sebuah logo sekolah barunya yang tersemat rapi dibagian dada kirinya, Bangtan Highschool. Setelah memastikan penampilannya sudah cukup bagus, pria bersurai blonde tersebut memutuskan untuk keluar kamar sembari membawa tas sekolahnya.
Diluar, dia meletakkan tasnya diatas sofa ruang tamu. Berjalan kebelakang menuju ruangan dibalik dinding putih yang digunakan sebagai dapur dan juga ruang makan. Dia dapat melihat dengan manik dark brown nya bagaimana sibuknya seorang Kim Seokjin yang tengah berkutan dengan alat masaknya dipagi hari. Pria itu terlihat sangat serius memasak sesuatu diwajan penggorengan. Dan dia cukup sadar untuk tidak menghampirinya, karena dia sendiri merasa nol besar dalam hal memasak.
"Kupikir kau tertidur dikamar mandi, Park Jimin." Ucapan sakras adalah hal yang pertama ia dengar dari pria itu sesaat setelah dia mendudukkan diri dikursi meja makan. Jimin meringis meminta maaf disaat Seokjin meliriknya dengan tatapan super tajamnya, itu mengerikan. "Maaf." Ujarnya pelan. Dia dapat melihat pria yang lebih tua darinya itu menghela nafas panjang. Sebelum tangan pria itu bergerak mematikan kompor dan mengeluarkan isi dari wajan ketas piring yang telah ia siapkan.
"Cepat habiskan ! Aku akan mengantarmu kesekolah." Ujarnya ketus sembari meletakkan sepiring nasi goreng dihadapannya. Pria itu melepas apron dipinggangnya dan menggantungkannya disebelah kulkas.
Jimin menatap makanan dihadapannya sejenak, sebelum kembali menatap pria yang kembali sibuk membersihkan dapur dan membelakangi dirinya. "Hyung, kau marah ?" Tanya Jimin dengan perasaan bersalah. Melayangkan aegyo kepada pria yang sudah selesai kini tengah berjalan menghampirinya dengan segelas kopi dan juga segelas susu putih ditangannya -dia sudah selesai dengan urusan dapurnya. Seokjin meletakkan kedua gelas itu diatas meja dan duduk dihadapan Jimin. Mengabaikan segala jurus aegyo yang dilayangkan Jimin dan memulai acara makannya dengan hikmat.
"Hyung ~."
"Hanya makan dengan cepat, lalu aku akan mengantarmu kesekolah, Jim ! Lihat ! Kau sudah hampir terlambat !" Tegurnya pada Jimin yang kini sudah terdiam ditempatnya. Dia dapat melihat bagaimana pria yang lebih muda 3 tahun darinya itu mulai menekuk bibirnya. Menggerutu kecil dengan bahasa Jepang yang tentunya ia mengerti dengan baik, namun ia mengabaikannya. Seokjin tersenyum kecil saat Jimin mulai memakan nasi goreng yang ia buat dengan wajah sebal.
Well, mengganggu Jimin dipagi hari adalah hal yang seru untuk dilakukan.
.
.
.
.
Mobil porche milik Seokjin terlihat melaju dengan kecepatan sedang membelah jalanan kota Seoul yang tampak ramai pagi itu. Banyak sekali kendaraan yang terlihat berlalu lalang dijalan raya. Walau begitu, lalu lintas pagi ini terlihat lancar - lancar saja ditengah keramaian yang terjadi. Didalam mobil, Jimin sedang menyenderkan kepala dipangkuan tangannya menatap pemandangan kota Seoul dari balik kaca mobil. Wajahnya sama sekali tidak menunjukan keantusiasan sama sekali, terkesan bosan dengan pemandangan yang kurang lebih sama seperti yang dia lihat setiap hari saat dia berada di Jepang. Dan suasana hening didalam mobil sama sekali tidak membantunya menghilangkan kebosanan.
Manik dark brown miliknya perlahan melirik kearah Seokjin disampingnya. Pria bersurai honey brown itu nampak fokus mengemudikan mobil porche yang mereka tumpangi. Mengantupkan bibirnya rapat, tidak ada niatan untuk membuka suaranya sedikitpun. Jimin menghela nafas, dia sangat bosan saat ini.
"Hyung." Panggilan itu akhirnya Jimin keluarkan untuk menghancurkan keheningan disana. Dia kemudian terdiam, menunggu yang lebih tua menjawab panggilannya. Alisnya terangkat heran ketika beberapa menit kemudian tidak ada sahutan dari pria disampingnya. Seokjin terlihat fokus dengan jalanan, namun dilihat dari kernyitan didahinya, Jimin tahu jika hyung nya itu tengah memikirkan sesuatu saat ini. "Hyung ?" Dia pun mencoba memanggil sekali lagi.
"Iya ?" Akhirnya dijawab juga. Tanpa sadar Jimin menghela nafas entah untuk apa.
"Bagaimana Bangtan Highschool itu ?" Tanyanya penasaran. Dia baru saja pindah kemari. Rasa penasaran tentu membuatnya ingin tahu tentang sekolahnya. Apalagi dia tahu kalau Seokjin dulunya juga bersekolah ditempat yang sama dengannya dan baru lulus beberapa waktu yang lalu. Tidak salahkan jika dia bertanya ? Namun sayang, setelah beberapa detik berlalu, dia malah mendapat jawaban yang tidak memuaskan rasa keingin tahuannya. "Cukup bagus." Jawab Seokjin singkat, padat, dan kurang jelas.
'Apa - apaan itu ?' batin Jimin speechless.
Baru saja Jimin akan membuka mulut untuk kembali bertanya, tiba - tiba saja Seokjin menghentikan mobilnya dan berkata. "Cepat keluar ! Kita sudah sampai." Ujarnya tanpa mengalihkan pandangannya dari jalanan didepannya.
Jimin menaikkan sebelah alisnya bingung. Dia mencoba mengedarkan pandangan keluar mobil, menatap rimbunan pohon disisi jalan. Dia dapat melihat sebuah jalan lain yang sepertinya menuju kesekolah barunya disisi kiri jalan. Hey, kemana suasana kota tadi ? Kenapa berubah menjadi hutan begini ? "Tunggu apa lagi ? Cepat turun ! Sebentar lagi sekolah akan dimulai." Ujar Seokjin melihat Jimin yang masih betah berada dikursinya. Pandangannya bertabrakan dengan manik dark brown yang kini memandang bingung padanya. Raut wajah Jimin nampak ragu akan sesuatu. "Hyung, apakah benar ini jalan menuju sekolahnya ? Kenapa nampak seperti ditengah hutan begini ?" Tanya Jimin ragu. Takutnya jika Seokjin tengah mengerjainya saat ini dan malah meninggalkannya ditengah hutan.
"Tidak, Jimin. Ini memang benar jalan menuju sekolahmu." Ujar Seokjin kemudian. Jari telunjuknya menunjuk satu - satunya jalan lain disisi jalan yang nampak gelap karena rimbunan pepohonan. "Disana tempatnya. Kau hanya perlu berjalan mengikuti jalan itu dan nantinya kau akan sampai kesekolah barumu." Jelas Seokjin, tidak menyadari wajah Jimin yang terlihat ketakutan karena melihat jalan -yang menurutnya mengerikan- itu. Bagaimana jika tiba - tiba saja ada seekor singa yang menyergapnya ? Atau ada penculik ? Tidak, tidak. Jimin belum siap menghadapi apapun yang berada dijalan tersebut.
Seokjin memutar bola matanya jengah, didorong - dorongnya bahu Jimin, membujuk pemuda itu untuk keluar dari mobilnya. "Cepatlah, Jim ! Jangan buat aku mengulang perkataanku kembali." Paksa Seokjin tak sabaran. Merasa gemas dengan kelemotan pria yang sudah ia anggap adiknya sendiri itu. Dia berdecak sebal kemudian setelah melihat Jimin yang terlihat enggan keluar dari mobil. Pria itu malah memberinya tatapan aegyo yang hampir membuatnya mencubit habis - habisan pipi adiknya itu.
"Hyung ~ antarkan aku."
"Tidak, Park Jimin ! Kau harus belajar mandiri !"
Wajah Jimin langsung menekuk sebal. Bibirnya maju beberapa senti, merajuk. Dengan sebal pria itu membuka pintu disisi kanannya, berjalan memutar, lalu berdiri disisi mobil milik Seokjin. Tatapannya terlihat memelas kepada pria yang kini tengah membuka kaca jendela bagian stir, sepertinya masih enggan untuk berangkat sekolah. Namun nampaknya Seokjin tidak menghiraukan hal tersebut dan malah mengeluarkan senyuman lebarnya kepada Jimin. "Nah, Jimin. Semoga betah disekolah barumu, oke ? Ah ! Maaf. Aku nanti tidak dapat datang menjemputmu. Ada yang harus aku lakukan dikampus sampai sore nanti. Nanti pulangnya naik bus saja ya ?" Ujarnya yang membuat Jimin semakin menekuk wajahnya.
Seokjin tertawa kecil melihat wajah cemberut itu. Dia suka sekali melihat wajah Jimin yang memelas seperti itu. Terlihat imut. Hampir saja dia menginjak pedal gasnya untuk pergi dari sana, sebelum akhirnya dia tersentak kaget, teringat akan sesuatu yang dia lupakan. "Oh ya." Ujarnya membuat Jimin yang akan beranjak dari tempatnya menolehkan kepalanya. Jimin dapat melihat bagaimana wajah hyung nya yang berubah menjadi serius sekarang. "Berhati - hatilah, Jimin-a." Ujar Seokjin tidak jelas.
"Ha ?"
Belum sempat Jimin bertanya lebih lanjut kepada Seokjin, mobil porche dihadapannya mulai melaju meninggalkan dirinya disisi jalan. Meninggalkan Jimin dengan sejuta pertanyaan dibenaknya. Jimin merasa speechless. Manik dark brown nya menatap mobil porche putih itu dengan pandangan campur aduk. Entah kenapa dia merasa sangat bingung saat ini. Tanpa sadar Jimin menggaruk belakang kepalanya.
"Dia kenapa ?"
.
.
.
.
"Woahh ~ !"
Mulut Jimin tanpa sadar terbuka lebar beberapa saat kemudian. Semua umpatan dan gerutuan yang ia lakukan selama perjalanan tadi seolah lenyap seketika. Maniknya membola lebar kala sepasang kakinya menapak tepat didepan sebuah gerbang besar yang menjadi pembatas area hutan kecil dibelakangnya dengan bangunan besar dibalik gerbang tersebut. Jimin menelan ludahnya setelah melihat seberapa besar gedung dihadapannya. Manik dark brown nya dapat melihat dengan jelas sebuah tulisan besar yang menggantung diatas gerbang.
Bangtan Highschool.
Dan dia sama sekali tidak salah baca saat ini.
"Seokjin hyung tidak bilang jika sekolahnya sebesar ini." Gumam Jimin merasa kecil setelah melihat bangunan sekolah barunya. Dia menepuk - nepuk jas merah maroon yang ia kenakan setelah tersadar jika ia sudah terlambat saat ini. Jimin menata dirinya kembali agar terlihat rapi kembali. Dia menghela nafas sejenak, sebelum melangkahkan kakinya kembali memasuki halaman sekolah barunya dengan perasaan mantap.
Selama perjalanan memasuki sekolah, Jimin tidak henti - hentinya menggumamkan kata - kata kagum akan sekolah barunya. Sedikit norak, pria berumur 17 tahun itu nampak menolehkan kepalanya kekanan dan kekiri hanya untuk sekedar merekam seluruh bentuk sekolahnya dalam ingatan. Jauh memasuki sekolah, Jimin tiba - tiba saja mengernyitkan dahi dengan bingung. Pria itu melirik jam tangan yang ia kenakan hanya untuk melihat sudah jam berapakah sekarang. "Pukul 8 lebih 10 menit. Apakah aku setelat itu ?" Tanyanya pada dirinya sendiri.
Dia terus berjalan menuju kedalam gedung, masih dengan kepala yang menengok kekanan dan kekiri, mencari seseorang yang mungkin dapat ia temukan untuk ia mintai pertolongan. Dia perlu kekantor kepala sekolah saat ini. "Kenapa tidak ada orang ?" Dia kembali bertanya kepada dirinya sendiri. Tangannya yang tadi bebas, kini mulai menggaruk - garuk kepalanya yang tidak gatal. Dia menghentikan langkah tepat dikoridor dekat pintu masuk gedung. Manik dark brown nya terlihat mencari denah sekolah yang seharusnya ada disekitar sana. "Ah, itu dia." Gumamnya setelah melihat apa yang dicarinya berada tidak jauh dari tempatnya. Tanpa buang waktu, kakinya kembali melangkah menghampiri denah tersebut.
Maniknya langsung saja mencoba menelusuri bentuk denah itu, mencari - cari tempat yang ia inginkan sekarang. "Apa ini ? Kenapa hanya ada gambar dan tidak ada keterangannya ?" Ujarnya setelah menyadari jika denah tersebut hanyalah gambar kosong tanpa keterangan.
"Huh ? Apa ini ?" Tanpa sengaja maniknya menangkap sebuah kertas disamping denah. Dia menghampiri kertas tersebut. Tertulis 'Denah belum diperbaharui' dan juga '13 april 20XX" tercetak jelas disana. "Astaga, sekolahnya saja yang bagus. Sudah lewat 2 tahun, tapi denahnya belum diperbaharui." Gerutunya. Disamping kertas itu juga terdapat kertas lain yang sepertinya menunjukan tempat - tempat disekolah ini dengan bentuk tulisan. Jimin mencoba mencari arah yang tunjukan kertas itu.
Dia berdecak sebal setelah beberapa saat setelah ia membaca, Jimin menyadari jika ruang kepala sekolah berada cukup jauh dari tempatnya berada. "Astaga, kenapa jauh sekali ?" Gerutunya sebal. Dia mengeluarkan ponselnya dari saku jas. Memotret kertas dihadapannya untuk berjaga - jaga jika dia lupa dengan arahnya. Setelah memastikan jika gambar yang ia dapat tidak mempersulit perjalanannya, Jimin kembali melangkahkan kakinya.
Sepanjang koridor yang ia lalui, dia sama sekali tidak melihat satupun keberadaan penghuni sekolah ini. Terlihat sangat sepi seolah sekolah ini memang tidak berpenghuni. Pintu kelas tertutup rapat, jendela kelas tertutup gorden gelap seolah melarang siapapun untuk melihat kedalam. Jimin terus saja mengeksplorkan pandangannya kearah sekitar dengan bingung. Seingatnya ini bukan hari libur, kenapa sepi sekali ?, dia bertanya - tanya dalam hati.
Setelah perjalanan panjang dan melewati beberapa belokan, Jimin berhenti. Nafasnya terlihat tersenggal seolah pria itu baru saja lari marathon. Dia melirik jam tangan yang melingkar ditangannya. Jam telah menunjukan pukul 8 lebih 30 menit. Sudah 20 menit dia berjalan dan dia belum menemukan ruang kepala sekolahnya. "Tuhan ~ seberapa luas sekolah ini ? Sudah lama aku berjalan, kenapa belum sampai juga ?" Desis Jimin sebal.
Dia menyandarkan tubuhnya pada tembok terdekat. Mengambil minuman didalam tasnya dan meminum minuman itu dengan rakus. Bisa - bisa dia berubah kurus setelah seminggu bersekolah disini.
BRAK !
DUAGHHH !
"AARRGGGHHHH !"
"Uhuk !"
Air minum yang ia minum terasa menyakitkan dihidungnya disaat suara itu muncul dan mengagetkan Jimin yang tengah minum. Pria bersurai blonde itu memegangi hidungnya yang terasa perih karena air yang ia minum terpaksa keluar dari sana. Ia mengambil sapu tangan yang selalu ia bawa dari kantung celana, lalu mengusapkannya keseluruh wajahnya. Setelah selesai, Jimin menolehkan kepalanya dengan geram menuju sumber suara. Ingin mengumpati siapa saja yang membuatnya tersedak tadi.
"WHAT THE F*CK !"
Bukan umpatan yang sesungguhnya. Karena yang sebenarnya terjadi, Jimin tengah mengumpati sesuatu yang tengah ia lihat saat ini. Manik matanya membola ngeri melihat pintu kelas tidak jauh darinya telah lepas dari engselnya. Namun bukan itu yang membuatnya terkejut. Bukan juga karena pintu - pintu kelas lainnya terbuka dan siswa didalamnya mulai berhamburan keluar kelas -mematahkan seluruh dugaan Jimin tentang sekolah yang tengah libur saat ini. Yang membuatnya terkejut adalah seseorang yang tengah tergeletak dengan keadaan berdarah - darah tidak jauh dari dirinya. Oh, dia masih hidup tentu saja. Bahkan Jimin dapat melihatnya tengah meringis kesakitan diantara siswa yang kini mulai menghalangi pandangannya.
"Sudah kubilang jika aku tidak suka disentuh, Son Hyunwoo."
Suara bising disekitarnya mulai menghilang kala sebuah suara lain mulai mengudara. Nada bicaranya terdengengar dingin, membuat semua orang disana seolah membeku bersamaan dengan munculnya suara tersebut. Jimin memanjangkan kepalanya tanpa sadar, melihat kearah seseorang yang baru saja berjalan keluar dari pintu yang telah rusak didepan sana.
Dia dapat melihatnya. Seorang pemuda seumuran dirinya dengan seragam yang terpasang tidak semestinya. Rambutnya berwarna silver yang entah kenapa terlihat cocok dengan kulit pucatnya itu membuat Jimin memandang takjub pada pria itu. Jarang dia melihat seseorang dengan warna rambut seperti itu. Langkah kaki berbalut sepatu hitam milik pria itu terdengar menggema, ketika ia mulai berjalan menghampiri pemuda lain yang tergeletak tidak berdaya. Wajahnya datar tanpa ekspresi dengan pandangan yang dingin menusuk seseorang didepannya. Bertambah dingin ketika pria dihadapannya mulai terkekeh sendiri.
"Kau pikir aku akan menurutinya, begitu ?" Pria yang tengah terluka itu menyunggingkan seringainya kepada si pemuda berambut silver. Wajahnya yang penuh luka tidak membiarkannya untuk menahan seringai jijik yang ia layangkan pada seseorang dihadapannya. "Tidak akan, Min Yoongi." Desisnya kembali.
Yoongi balas menyeringai. Lebih menyeramkan, terkesan dingin. Dan setelahnya, pria itu mulai melayangkan tendangan keras kearah Hyunwoo. Tanpa ampun. Bahkan tubuh yang penuh luka dan darah itu mulai kembali rusak.
Dan Jimin yang tengah menonton saat ini, merasa ngeri saat beberapa kali dia mendengar suara derakan tulang yang patah akibat tendangan pria itu. Maniknya mengedar, menatap satu persatu wajah para siswa yang tetap diam setelah melihat adegan kekerasan didepan mereka. Kenapa disaat ada seseorang yang tengah berkelahi seperti ini, mereka tidak melerainya ?!, batin Jimin. Tanpa sadar, dia menggigit bibir dalamnya kuat - kuat. Bagaimana ini ?
"Hentikan !"
Yoongi menghentikan tendangannya kearah Hyunwoo setelah mendengar teriakan itu. Manik hitamnya melirik kearah seseorang yang kini tengah berdiri tidak jauh darinya. Nafas pria itu nampak terengah - engah dengan wajah memerah entah karena apa. Dia mengangkat alisnya melihat pria yang belum pernah ia lihat sebelum ini. Siapa dia ?
Pria berambut silver itu membalikkan tubuh sepenuhnya menghadap seseorang yang telah mengganggu kegiatannya itu. Menatap dari atas kebawah, menilai pria itu dengan pandangannya. "Siapa kau ?" Ucapan dingin itu terdengar setelahnya. Dari nada bicaranya, semua orang tau jika dia merasa terganggu dengan kehadiran pria asing yang tidak ia kenali itu.
Jimin -si pria pengganggu itu menghela nafasnya setelah engahan terakhirnya. Dia memejamkan matanya sejenak. Merutuki dirinya yang merasa bodoh karena dengan gilanya menyuruh pria berambut silver itu menghentikan kegiatannya. Dari auranya Jimin tau jika pria tersebut bukan orang sembarangan. Dan hebatnya Jimin berteriak kearah pemuda itu untuk berhenti menendangi pria yang kini sudah tidak sadarkan diri dilantai.
Dia dapat mendengar bisik - bisik orang disekitarnya mulai mengudara. Beberapa kali dia mendengar kata 'mati' ataupun 'bodoh' dari mereka. Dan Jimin mulai menyesali tindakan nekatnya.
"Kau tuli ?" Jimin tersentak kaget saat suara bernada dingin itu berada dekat dengannya. Dia membuka matanya yang sedari tadi terpejam, menatap kaget pemuda berambut silver yang sudah berdiri beberapa senti didepannya. Sangat dekat, membuat Jimin dapat melihat wajah pria dihadapannya dengan jelas. Tampan, batin Jimin tanpa sadar, merasa terpesona sampai - sampai tidak menjawab pertanyaan pria itu. "Kutanya sekali lagi. Siapa kau ?" Bahkan Jimin dapat menghirup aroma mint yang menguar ketika pria itu berbicara.
"A-aku ..."
"Yoongi !"
Pria berambut silver dihadapannya memundurkan tubuhnya beberapa langkah, membuat wangi mint itu menghilang. Dia nampak menolehkan kepalanya kepada seseorang yang tengah berlari menghampirinya. Mereka nampak bercakap - cakap sejenak -sebenarnya hanya pria yang tadi menghampirinya yang berbicara, itupun dengan berbisik. Sebelum Yoongi menatap Jimin dengan pandangan datarnya, lalu pergi meninggalkan Jimin dengan segala ekspresi bodohnya.
.
.
.
.
"Hei, kau." Jimin tersadar setelah sebuah tepukan mendarat dibahunya. Dia menoleh, menatap seseorang yang tengah berdiri disampingnya. Jimin mengerjapkan matanya sejenak, sebelum dia tersenyum kepada pria yang kini juga tengah tersenyum padanya. "Ada yang bisa ku bantu ?" Tanyanya kemudian kepada pria itu. Dia sedikit melirik kesekitar yang nampak mulai sepi. Keramaian tadi telah menghilang bersamaan dengan perginya pria berambut silver tadi.
Pria itu menggelengkan kepalanya, membuat surai oranyenya bergoyang megikuti arah kepalanya. "Kau murid baru ?" Tanyanya dengan pandangan menyelidik kearah Jimin. Dia menatap Jimin dari atas kebawah untuk menilainya.
"Ya, aku murid baru." Jawab Jimin sedikit risih dengan tatapan dari pria itu.
Pria bersurai oranye itu mengangguk - anggukan kepalanya dengan gumaman kata 'pantas saja' disela - sela anggukannya. Dia mengulurkan tangannya kepada Jimin setelahnya, tanda ingin berkenalan. "Aku Kim Taehyung." Ujar pria itu dengan senyum lebar dibibirnya. Nada bicaranya terdengar sangat ceria, membuat Jimin berfikir jika pria dihadapannya itu adalah pria yang menyenangkan. "Park Jimin." Ujar Jimin menyambut tangan pria tersebut.
"Jadi, Jimin-a." Dia berhenti sejenak. "Aku boleh memanggilmu begitu, kan ?" Tanyanya meminta persetujuan. Mendengarnya Jimin hanya dapat tertawa kecil dan menganggukkan kepala tanda setuju. "Kau sudah keruang kepala sekolah ? Jika belum aku akan mengantarmu kesana." Tawaran itu sungguh menggiurkan bagi Jimin yang sedari tadi memang tengah mencari ruang kepala sekolah yang -astaga- sangat jauh itu. Tanpa basa - basi Jimin menyetujui tawaran tersebut dan mulai berjalan mengikuti Taehyung didepannya.
Sesuai ekspetasinya, Taehyung -pria bersurai oranye itu memang orang yang menyenangkan. Dan juga banyak bicara, catat itu. Selama perjalanan menuju ruang kepala sekolah dia terus bercerita tentang sekolah ini, terkadang juga terselip pengalaman pribadi dan juga bayolan yang membuat Jimin tidak berhenti tertawa ditengah koridor yang sepi itu. Dari Taehyung lah dia tau jika denah yang berada dipintu masuk tadi hanyalah jebakan kepala sekolah untuk menyambut murid baru yang mendaftar kesini.
"Pantas saja aku merasa jika sejak tadi berputar - putar tidak jelas. Dasar kepala sekolah kurang kerjaan." Gerutuan Jimin disambut tawa Taehyung. Pria itu bahkan sampai memegangi perutnya karena tertawa terlalu keras. "Astaga, Jim. Kasihan sekali kau." Ujar Taehyung sembari menepuk - nepuk pundak Jimin tanda simpati. Namun Jimin malah mengerucutkan bibirnya karena merasa jika Taehyung tengah mengejeknya saat ini -walau sebenarnya iya.
"Oh iya, Tae." Jimin tiba - tiba teringat akan sesuatu. Dia melayangkan pandangan penasarannya pada Taehyung yang kini tengah memandangnya dengan senyuman lebar. Ingin sekali dia bertanya tentang pria bernama Min Yoongi pada Taehyung.
"Iya ?"
"Apakah kau-."
"Ah ! Kita sudah sampai !" Ucapan Jimin terpotong saat dengan semangat Taehyung menunjuk sebuah pintu beberapa langkah didepan mereka. Jimin menolehkan kepala kearah pintu tersebut. Ada tulisan 'Head master room' diatas pintu itu. Dan mau tidak mau, ia harus menelan rasa penasarannya tadi. "Terima kasih, Tae." Ujarnya dengan senyum rasa terima kasihnya.
"Its okay." Ujar Taehyung santai. Dia mendorong pundak Jimin agar mendekat kearah ruangan tersebut. "Kau segeralah masuk. Agar kau cepat dapat kelas dan segera beristirahat. Kau capekkan berputar - putar selama setengah jam ?" Ujar Taehyung tanpa menghilangkan senyum diwajahnya. Mendengar ucapan Taehyung membuat Jimin mau tak mau mengingat kejadian beberapa saat yang lalu. Dan itu membuat rasa sebalnya kembali memuncak. "Sialan kau." Tinjuan main - main Jimin bersarang dibahu Taehyung.
Pria bersurai oranye itu terkekeh kecil dengan tangan yang mengusap - usap bahunya yang dipukul oleh Jimin. "Aku kembali kekelas dulu, Jimin." Ujarnya lalu pergi meninggalkan Jimin yang tengah menggelengkan kepalanya maklum akan kelakuan Taehyung.
"Temui aku diatap setelah istirahat ya !" Teriak Taehyung setelah cukup jauh dari tempat Jimin berada.
Jimin hanya dapat tertawa kecil menghadapi kelakuan teman barunya itu. Dia pun mulai berjalan menghampiri ruang kepala sekolah, masih dengan tawa kecil yang tidak dapat ia tahan. Saat akan memasuki ruang kepala sekolah, pintu dihadapannya itu terbuka dari dalam, membuat Jimin terpenjarat kaget karena hal tersebut.
"Oh, astaga !" Ucap seseorang tersebut setelah melihat Jimin berdiri tepat dihadapannya. Orang itu menaikkan kaca matanya yang melorot, lalu melayangkan senyum ramah kepada pemuda itu. "Kau pasti Park Jimin, kan ?" Tanyanya yang mendapat anggukan kepala dari Jimin. Terlihat kaku dan canggung. Tidak menyangka bahwa pria paruh baya dihadapannya itu mengenalnya.
Melihat tatapan canggung dari Jimin, pria paruh baya tersebut tertawa kecil. Mempersilahkan Jimin untuk masuk setelah menjelaskan jika dia adalah kepala sekolah disekolah itu. "Silahkan duduk." Ujarnya yang langsung dilakukan Jimin tanpa berkata panjang, sangat canggung. Dia kembali terkekeh melihat wajah Jimin yang terlihat kaku saat ini. "Santailah, Jimin-ssi. Aku bukanlah orang yang suka menggigit kok." Ujarnya yang ditanggapi tawa kaku oleh pria bersurai blonde tersebut.
"Bagaimana dengan tour dadakan tadi ?" Pria paruh baya itu bertanya setelah meminta berkas kepindahan Jimin kepada pemuda itu. Dibalik kertas yang ia pegang, dia tersenyum kecil saat melihat Jimin yang terlihat salah tingkah setelah mendengar pertanyaanya. "Sangat menyenangkan, tuan." Dan jawaban itu membuat pria paruh baya itu itu tertawa. Cukup untuk membuat Jimin ikut tertawa canggung karenanya. Sedangkan dialam hati, pemuda bersurai blonde itu terus mengumpati pria paruh baya dihadapannya itu.
Setelah beberapa saat, akhirnya Jimin mendapatkan izin untuk masuk kekelas barunya. Diberi bekal sebuah peta denah -kali ini asli- dan juga amanat 'jangan sampai tersesat' dari kepala sekolah, Jimin keluar dari ruang kepala sekolah dengan aman. Dalam perjalanannya menuju kelas, pria itu tidak henti - hentinya mengumpati sang kepala sekolah karena kejadian tadi. Jika saja Jimin bukanlah anak yang sopan, baik hati, dan tidak sombong. Sudah dipastikan jika kepala sekolah barunya itu telah tenggelam disungai Han saat ini.
"Kelas 11-B." Gumam Jimin lemah setelah melihat kelas mana yang ia masuki. Oh, tuhan. Rasanya dia ingin menangis saat ini. Tidak peduli dengan para murid didalam kelas yang sudah memperhatikannya sejak ia datang didepan pintu kelas. Salahkan pintu kelas yang kini bersandar tidak jauh dari kelasnya, membuat semua orang dikelas barunya dapat melihatnya tengah bersedih ria diambang pintu. Bertambah sedih saat melihat bercak darah didalam dan diluar kelas.
Ya, kelas yang ia masuki adalah kelas yang sama dengan Min Yoongi.
Bersyukurlah dia karena pria bersurai silver itu tengah pergi sekarang.
"Jimin !"
Itu suara Taehyung. Dia dapat melihat dengan jelas bagaimana pria bersurai oranye itu tengah melambaikan tangan semangat kearahnya dari dalam kelas yang sama dengannya. Pria itu beranjak cepat dari bangkunya menuju Jimin, mengabaikan tatapan tajam dari penghuni kelas tersebut. "Tak kusangka kita akan sekelas." Ujarnya semangat tanpa menghiraukan wajah sedih Jimin saat ini.
"Ikut aku !" Ajaknya ceria dengan tangan yang menyeret Jimin dibelakangnya.
.
.
.
.
Jam sudah menunjukan pukul 9 lebih 15 menit ketika ia dan Taehyung berada diatap sekolah. Duduk manis sejajar, dengan mata yang tengah menatap pemandangan hutan dibelakang sekolah. Angin semilir musim gugur membuat Jimin merapatkan jas merah maroonnya rapat - rapat, berusaha menghalau angin yang mulai berhembus mengenai kulitnya. Suasana hening terjadi setelah ia dan Taehyung sampai ditempat ini. Sedikit aneh, mengingat Taehyung sangatlah cerewet dari pertama mereka bertemu.
Jimin melirikkan matanya kearah Taehyung. Menatap diam - diam pria bersurai oranye yang kini tengah menatap pemandangan dihadapannya dengan serius. Pemuda itu masih menutup rapat bibirnya, dengan raut wajah yang terlihat serius. Dia sedikit terpenjarat kaget ketika manik dark brown nya bertatapan dengan manik honey brown itu. Dia pun mengalihkan pandangannya menghindari manik honey brown milik Taehyung.
"Jimin." Panggilan itu membuat Jimin menolehkan kepala sepenuhnya menghadap Taehyung. Menatap wajah serius teman barunya itu dengan penasaran. Dengan sabar dia mencoba mendengarkan apa yang akan dikatakan temannya itu. "Kau harus berhati - hati dengan Min Yoongi." Ucap Taehyung dengan serius, seolah orang yang baru saja ia ucapkan namanya adalah orang yang berbahaya.
Dan Jimin bukanlah orang bodoh. Dia tau hal itu. "Aku tahu." Gumamnya dengan pandangan kosong. Dia mengalihkan pandangannya menatap langit biru diatas mereka. Memperhatikan awan putih yang bergerak perlahan mengikuti arah mata angin. "Tapi dengan bodohnya aku berusaha menghentikannya tadi." Tanpa sadar Jimin terkekeh mendengar ucapannya sendiri.
Entah apa yang harus dilakukan Taehyung saat ini. Kekehan itu terdengar sangat miris dan dia hanya dapat menepuk bahu teman barunya itu. Memberi semangat tanpa ucapan. "Kau beruntung, bung." Nada bicara Taehyung kembali menjadi ceria. Pria itu telah menjadi dirinya kembali sekarang. "Yoongi bukanlah orang yang akan diam jika ada yang mengganggu dirinya. Kau sangat beruntung karena tidak babak belur seperti Hyunwoo." Ujarnya kemudian.
Jimin tersenyum kecil. Sedikit terkekeh entah kenapa. Lalu memalingkan pandangannya kearah Taehyung. "Mungkin saja ?" Ujarnya tidak yakin. Dia mengingat bagaimana mata tajam Yoongi mengarah kepadanya. Begitu dingin dan menusuk pandangannya. Membuat sesuatu dalam dirinya bergemuruh aneh. Bukan takut. Dia hanya suka bagaimana mata tajam itu menatap dirinya. Dan wangi mint yang ia hirup tadi.. Entah kenapa dia sangat menyukainya.
'Ha ? Apa yang kupikirkan ?' Jimin menggaruk belakang kepalanya tanpa sadar. Tidak sadar jika pipinya mulai berubah merah.
"Kau tidak apa - apa, Jim ? Wajahmu memerah." Taehyung mengernyitkan dahinya bingung setelah melihat wajah Jimin yang berubah warna itu. Semakin bingung saat Jimin terlihat tersentak kaget dan tertawa canggung kearahnya. Dia terlihat salah tingkah sekarang. "Ha ? Tidak. Tidak apa - apa." Ujar Jimin dengan gugup. Menambah kesan aneh dimata Taehyung. "Benarkah ?" Tangan Taehyung bergerak menyentuh dahi Jimin yang tertutupi poni. Dia nampak terdiam sejenak, sebelum menarik kembali tangannya dari dahi Jimin.
"Tidak panas."
"Siapa juga yang panas !?" Sangkalan Jimin sama sekali tidak digubris oleh Taehyung. Pria bersurai oranye itu mulai melepaskan jas yang ia kenakan, lalu menyampirkannya pada bahu Jimin. "Jika kau tidak panas, berarti kau kedinginan." Ujarnya mengabaikan wajah bingung Jimin yang ditujukan padanya. Dia tersenyum lebar ketika wajah Jimin berangsur normal. "Sudah tidak dingin ?" Tanyanya tanpa melepaskan senyum dibibirnya.
Anggukan ragu - ragu Jimin layangkan padanya. Pria itu ikut tersenyum dengan canggung. "Terima kasih." Ucapnya tulus.
"Sama - sama." Balas Taehyung dengan senyum lebarnya.
Hening.
Angin kembali berhembus, menhantarkan hawa dingin dipagi hari. Dari atap ini dia dapat melihat rimbunan pohon itu telah sebagian menguning. Daun - daun berwarna coklat mulai berterbangan terbawa angin yang lewat. Udara terasa sangat dingin saat ini. Dan ketika dia melirikkan matanya kearah Taehyung, dia dapat melihat pria itu beberapa kali bergidik kedinginan setiap kali angin berhembus. Jimin menatap miris kemeja tipis yang menjadi pelindung pria itu dari hawa dingin.
"Hey, tuan Kim Taehyung sok kuat." Panggilan itu cukup membuat Taehyung menolehkan kepalanya dan melayangkan tatapan tidak terima kepadanya. Jimin terkekeh kecil, lalu memberikan jas milik Taehyung kembali siempunya. "Kupikir kau juga membutuhkan jas ini." Ujarnya yang hampir mendapat penolakan dari Taehyung. "Tidak ada penolakan." Ujarnya dengan mata yang memincing tajam.
Taehyung menerima jas tersebut dengan bibir manyun. Inginnya dia terlihat kuat dihadapan Jimin, malah ketahuan dirinya tengah bergidik kedinginan didepan pria itu. Mana diejek 'tuan sok kuat' lagi. Kan tidak lucu.
"Hey, Jim." Panggilan itu tidak membuat Jimin menoleh. Pria tersebut hanya berdehem kecil untuk meresponnya. Manik dark brown nya lebih memilih menatap pemandangan dihadapannya dengan hikmat. Namun ucapan Taehyung selanjutnya membuat pria blonde itu menoleh cepat dan menatap Taehyung dengan tatapan aneh.
"Kau sedang tidak punya pacar, kan ?"
"Ha ?"
.
.
.
.
TBC or END ?
note :
Anak baru here ~ ^^
Ini ff pertamaku dengan pairing Yoonmin :3
Aku gak tau ini bagus ato gak. Itu terserah kalian :3
Maaf dengan typo yang bertebaran dan juga penggunaan kata yang gak sesuai EYD :v
Ah! Aku gak tau sebenarnya ini ff bakal aku taroh di rated mana .-. Beberapa adegan -rencana- bakal ada unsur dewasanya (dari bahasa dan lain - lain) kedepannya. Dan untuk sementara aku taroh di rated T dulu .-.
Tapi menurut kalian gimana ? Aku taroh disini dulu ato langsung aku pindah mulai chapter depan ? .-.
Tolong saran kalian ^^
Sekian dari aku ~
Review ? :D
Semarang, 26 April 2018
©Minyoonsh510
