Disclaimer: Konami's. Not mine.
Matahari baru saja terbangun dari tidurnya ketika gadis itu membuka mata. Keringat dingin membanjiri pipi dan dahi, sementara nyeri terasa di dadanya. Tepat di bawah jantung, syukurlah, karena kalau hari itu anak panah yang menancap ke tubuhnya mengenai tempat yang salah, mungkin ia sudah mati sungguhan.
Nanami menarik nafas berat dan membiarkan rasa sakit itu menguap dengan sendirinya sementara tangan menekan bagian yang masih terbalut perban di bawah pakaiannya. Berapa hari sudah? Tiga-lima hari seingatnya, sejak kejadian di kastil Rockaxe. Ia meminta Tabib Huan dan Shu untuk merahasiakan kalau ia masih hidup dan memutuskan untuk menunggu Riou di Kyaro sini, menunggu hingga hari ketika perang ini berakhir dan mereka bisa hidup seperti dulu lagi.
Tapi benarkah perang ini akan berakhir?
Nanami sering bermimpi. Bermimpi Riou mati, bermimpi Jowy mati, atau kadang Pilika yang mati. Semua itu bukan hal yang mustahil dalam situasi begini, kan? Ia benci hanya bisa duduk tak berdaya di sini, sementara mereka, Riou dan Jowy sedang berjuang dengan cara mereka masing-masing. Tapi apa yang bisa ia lakukan? Ia hanya menghambat Riou. Dengan keberadaannya, Riou tak bisa menjadi pemimpin yang baik. Nanami ingat, berkali-kali, berkali-kali ia menahan diri untuk tidak meminta Riou pergi berdua, meninggalkan segala perang memuakkan ini jauh-jauh dan tinggal bersama di tempat yang tak diketahui siapapun. Keinginan konyol yang tentu saja ditolak oleh adik angkatnya dan dengan segera dikilahnya sebagai candaan belaka.
Nanami tersenyum tipis dan menggelengkan kepalanya. Sendirian seperti ini selalu membuatnya memikirkan yang tidak-tidak, ya? Ia harus percaya dan menunggu, bukankah itu yang bisa ia lakukan selama ini? Seperti saat Riou dan Jowy terpaksa bergabung dengan tentara Highland Junior dulu, ia hanya bisa menunggu dan percaya mereka akan kembali. Saat mereka dituduh menjadi mata-mata, Nanami percaya kalau semua itu tidak benar. Ia selalu menunggu dan percaya, dan semua itu selalu terbayar dengan kepulangan dua orang tercintanya. Kenapa sekarang ia harus ragu?
Gadis itu menghela nafas panjang, menepuk kedua pipinya. Ia harus tersenyum. Ia tak boleh membuat seorangpun cemas. Kemarin ia sedikit demam dan membuat paman tetangga khawatir, tapi sekarang sepertinya sudah tak apa-apa. Ia gadis yang kuat dan bermental baja, kok. Daripada memikirkan hal tak berguna, lebih baik ia bersihkan rumah ini sampai Riou pulang. Belajar memasak makanan yang lebih enak lagi, atau apapun yang tak perlu membuatnya memikirkan hal-hal buruk yang mengentayangi mimpi-mimpinya tiap malam.
Ia menguap pelan, membereskan tempat tidurnya dan bergegas bersiap untuk menyapu halaman. Pasti sekarang sudah dipenuhi dedaunan kering karena sudah lama sekali tidak dibersihkan.
Suara langkah manusia di luar menandakan kalau sudah saatnya melakukan aktifitas sehari-harinya. Nanami membuka pintu, hendak mengambil sapu yang tersandar di teras luar ketika,
"Kami pulang, Nanami."
Di sana, dalam jarak beberapa meter dari tempatnya berdiri, mereka berjalan ke arahnya. Riou dan Jowy, tersenyum dengan senyum mereka yang biasa. Gadis itu terbelalak, mengerjap sejenak sebelum kemudian berlari sekuat tenaga untuk menghambur memeluk kedua pemuda itu. Ia membenamkan wajahnya ke antara bahu mereka berdua, menggigit bibirnya untuk menahan air mata. Perlahan, diangkat wajahnya dan dengan senyum terbaik yang bisa ia berikan, diucapkanya dengan penuh semangat,
"Selamat datang kembali, Jowy, Riou."
Benar, kan? Yang perlu ia lakukan hanya percaya. Semua pasti akan baik-baik saja.
-Fin-
Ya ampun, udah berapa lama saya nggak nulis fanfic non-ori. R&R please.
