Jangan pernah bilang kamu mencintaiku.

Itu salah satu syarat yang diberikan Renjun kepada Jeno tepat tiga tahun lalu, di atap gedung fakultas dengan latar langit malam bertaburkan bintang dan kembang api. Pasalnya, itu adalah malam pergantian tahun, dan Jeno ini kebetulan sudah sangat ingin memanfaatkan momen itu untuk akhirnya dia berhenti menyimpan rasa suka yang tidak disuarakan.

Dia menyatakan rasa sukanya pada Renjun malam itu, setelah kira-kira tiga tahun pula sejak pertama dia mulai menatap Renjun dengan rasa yang berbeda dari biasanya, dari teman-teman lainnya.

Bagaimana cara Jeno menyatakan perasaannya? Dengan kejutan? Dengan cokelat? Dengan bunga?

Tidak. Jeno itu sama sekali bukan lelaki romantis.

"Kamu mau jadi pacarku? Soalnya sepertinya aku--"

"'Suka'?"

Jeno menelan ludah waktu Renjun justru memotong pernyataannya yang super biasa itu. "Ah, iya..." Dia mengusap tengkuk yang mulai terasa dingin terkena hembusan angin malam. "Maaf ya. Aku tahu kita hanya teman, tapi sebenarnya aku sudah lama menganggapmu lebih dari itu..."

Renjun terus melihat pada Jeno yang tidak berani membalas tatapannya. Jeno bicara sambil terus memperlihatkan gerakan-gerakan tubuh yang sebenarnya tidak dibutuhkan.

"Jadi...," kata Renjun dengan suara pelan. Dia melempar pandangannya ke luar, ke suasana sibuk tengah malam tahun baru, ketimbang pada Jeno yang untuk balas menatap dirinya saja tidak berani. "Sekarang kamu mau kita benar-benar jadi lebih dari teman?"

Oh, ya! Tentu saja!

Jawab Jeno dalam hati.

Iya, dalam hati. Karena Jeno tidak segagah itu.

"...bisa dibilang begitu."

Tuh, kan?

Jawaban Jeno yang terdengar lebih seperti ringisan, membuat Renjun lagi-lagi menatapnya. Seperti mencari-cari keseriusan Jeno dalam mengajaknya menjadi sesuatu yang lebih.

"Boleh."

Jeno mengangkat wajahnya--

"Dengan syarat."

--lalu mengangkat alisnya. Syarat? "A-apa?"

Renjun diam sejenak. Seperti sengaja membuat Jeno penasaran.

"Jangan pernah bilang kamu mencintaiku."

end

a/n. edisi dibuang sayang. nemu di notes lama