Disclaimer: Cerita, seluruh karakter dan segala unsur yang ada di fic ini hanyalah milik Tite Kubo. Ini hanyalah fiksi belaka tanpa maksud komersial apapun.
| IchiRuki |
| AU | Three-shot | maybe OOC | Typo | Little bit Lime |
| Romance | Family |
| T semi M |
| musuko-kun |
.
Sebuah fiksi sederhana dari saya. Enjoy!
.
Setiap rumah tangga tidak luput dari berbagai macam masalah. Mulai dari yang biasa sampai terumit. Membentuk karakter dewasa pada setiap pasangan.
Complicated
.
.
Malam begitu dingin. Mungkin itu dikarenakan hujan turun sangat lebat, dinginnya saja sampai menusuk tulangku. Apalagi malam semakin larut, akupun mulai mengantuk, dan kuputuskan untuk tidur.
Tiba-tiba dibenakku terpintas suatu fikiran, fikiran yang aneh. Aku berfikir, apa mungkin ini saatnya? Tapi, bagaimana kalau ia menolak? Aku pasti sangat kecewa.
Tapi aku sudah tak tahu lagi berbuat apa, kenapa ia selalu seperti itu terhadapku? Aku kan istrinya.
Cekrek…
Aku masuk ke kamar tidur dan kukunci. Aku melihat pria oranye itu sedang berbaring pulas di ranjang. Aku naik ke atas ranjang dan ku panggil dia.
"Er… I-Ichigo? Ichigo!" sapaku kepada pria yang berada tidur di sampingku. Tapi ia tak mendengarnya, aku mengetahuinya karena ia tak bangkit dari tidurnya.
"Ichigo!" teriakku kencang. Alhasil ia terbangun dari tidurnya.
"Hn,"
"A-apa kau sudah tertidur?" tanyaku meyakinkan. Tapi ia tetap dia saja.
"Woi! Ichigo!"
"Apa? Apa kau tak bisa melihat kalau aku sedang tidur? Bisakah kau tak menggangguku?" pintanya keras. Aku sedikit kecewa dengannya.
"Hmm… Ichigo sayang! Jangan marah dong," bujukku sambil menyenggol-nyenggol tubuhnya.
"Sudahlah! Katakan, kau ingin apa?"
"A-anu, er… be-begini," kataku terbata-bata. Lalu tiba-tiba ia menatapku tajam, itu membuatku semakin gerogi.
"Ki-kitakan sudah menikah selama dua bulan. Dan se-selama itu pula, ki-kita belum melakukannya," jelasku tidak karuan.
"Melakukan apa Rukia?" Tanya suami oranyeku.
"K-kau tahu, apa yang dilakukan suami-istri bila sudah menikah?" tanyaku agar ia mengetahuinya sendiri. Ia mulai berfikir-fikir.
"Oh iya! Pasti aku ingat, kita harus membina keluarga!" jelasnya.
Aku sedikit geram dengannya. Apa ia masih polos atau berpura-pura tidak tahu apa sebenarnya maksudku. Tapi aku harus tetap sabar menghadapi suami cuek seperti Ichigo.
"Be-begini, selama dua bulan ini, k-kau belum pernah yang begituan. D-dan sekarang ini, hujan turun lebat dan malam semakin larut, ap-apa kau tak berniat melakukannya?" tanyaku lagi. Tiba-tiba ia menghembuskan nafas.
"Apaan sih?" tanyanya semakin bingung.
"Huh, kau tahu kalau satu pria ketemu satu wanita, tiba-tiba muncul seorang anak. Kau tahu kan?" tanyaku berharap ia mengerti apa maksudku.
"Sudahlah! Tidur sana!" bentaknya padaku. Aku sedih, ia telah membuatku kecewa berulang kali. Kenapa selama kami menikah ia seperti tak menganggapku seorang istri. Bahkan malam pertama kamipun tidaklah berkesan.
"Dasar! Ichigo jahat!" teriakku sambil menidurkan tubuhku dan menarik selimut.
Aku menutup mukaku dengan bantal, agar pria yang kupanggil suami itu tak bisa melihatku. Lama kami berdiam diri satu sama lain. Aku masih belum tidur, padahal aku sudah mengantuk. Tapi, aku tetap menunggunya bicara. Namun ia belum bicara sama sekali. Apa dia sudah tertidur?
"Ru-Rukia? K-kau sudah tidur?" tiba-tiba suara kecil itu kudengar dan ternyata benar itu adalah Ichigo.
"Sudahlah, tidur saja!" kataku yang berpura-pura ngambek. Entah apa yang membuatnya berubah, tiba-tiba ia menyenggol-nyenggol bahuku.
"M-mama, maaf ya kalau aku telah berbuat salah kepadamu. Aku tak bermaksud melakukannya, tapi tadi aku masih mengantuk, jadi ngomongnya ngelantur," bujuknya. Aku tak menyangka, selama kami menikah ia tak pernah memanggilku mama.
"Ja-jadi a-ayo ma," bujuknya semakin mendalam. Aku berfikir, apa Ichigo kemasukan setan ya? Kenapa sekarang ia mulai peduli terhadapku.
"A-ayo apa?" Tanyaku berpura-pura tak tahu.
"Y-ya melakukannya. Jadi mau apa lagi?" Tanyanya terbata-bata. Wajahku masih kututup dengan bantal, dan aku tersenyum tipis melihat tingkah anehnya.
"Me-melakukan apa?" tanyaku polos.
"Me-melakukan apa yang kau bilang," jelasnya. Hatiku mulai senang karena ia sudah sadar.
"Melakukan apa?" tanyaku lagi.
"Sudahlah! Aku capek tahu! Dari tadi kau menanyakannya terus! Kalau kau tak mau ya sudah!" kesalnya. Ia lalu tertidur kembali. Tapi aku menyesal telah mempermainkannya. Jadi, aku kembali membujuknya supaya tidak marah lagi.
"Jangan marah dong suamiku! Kalau marah wajahnya makin jelek loh!" bujukku.
"Ya sudah lah, ayo!" semangatnya. Aku hanya tertawa kecil.
Lama juga kami saling menatap satu sama lain. Entah apa yang difikirkannya, tapi ia terus saja menatapku, begitu pula denganku. Aku tak mungkin memulainya duluan, seharusnya dia yang mulai mengajakku. Kan tidak ada sejarahnya seorang istri yang duluan, pastinya suami dulu.
Lalu tiba-tiba ia mendekatkan diri ke wajahku, sepertinya mencoba menciumku. Aku menutup mataku. Saat kedua bibir kami bersentuhan. Ya, sedikit lagi, dan…
"Kring… kring… kring…"
Bunyi suara handphone. Kami lalu terkejut. Seketika ia meloncat dari ranjang dan menuju handphonenya. Aku mulai kesal, kenapa saat-saat yang kutunggu seperti ini malah ada pengganggu.
"Rukia, ma-maaf. Aku harus ke kantor dulu," jelasnya sambil mengambil jaketnya yang tergantung di belakang pintu.
"Hah? Ap-apa harus sekarang?" sedihku sambil mencemberutkan wajahku. Dia tersenyum, lalu menghampiriku yang masih berada di ranjang. Kemudian tiba-tiba ia mencubit pipiku, dan berkata…
"Sudah, jangan ngambek dong. Kalau cemberut jelek loh!" ucapnya dengan senyum. Aku mulai tersenyum, tak pernah selama kami menikah tingkahnya semanis ini.
Lalu ia keluar dari kamar dan berlalu pergi menuju kantornya. Walaupun ada sedikit rasa sesal, tapi tingkahnya yang mulai membaik, cukup buatku merasa senang.
.
.
To Be Continued
A/N:
singkat, eh? Maaf #nyengir
Hanya ingin memberi info, fic ini hanya Three-shot. :)
Akhir kata, mind to gimme feedback/review, minna? :3
Arigatou
