A/N: Saya memutuskan untuk mengeluarkan dulu judul ini sebelum berlanjut ke dua fanfic bersambung saya yang lain, atau mungkin publish ulang fanfic saya yg di-delete admin =A=" Seenggaknya, biarkan para plot bunnies saya terpuaskan untuk cerita ini dulu. Ah, tadinya ini chapter mau dikasih ke Zam-chan yg udah bersedia jadi beta, tapi ga tega kalo sepanjang ini. Apalagi kalo inget dia ol pake hape UwU;; Jadi, next time aja yg agak pendekan deh... Semoga hasil beta sendiri ini ga ada misstipo(s) yg terlewat *orz*
Pairing: Grimmjow x Ichigo
Summary: Menjadi tawanan perang bukanlah hal yang pernah dibayangkan oleh Ichigo, terlebih lagi menjadi bayaran atas kebebasan para manusia. Tapi, jika memang tidak mau manusia berakhir menjadi kantung darah siap saji para vampir, ia mau tidak mau harus melakukannya.
Warnings: Alternate Universe. Yaoi. Folklore theme. Chara death. Angst. Tragedy. Rape. Bishie!Ichigo. And many moaaaaar~ *dibekep*
Disclaimer: I don't own Bleach. It's Kubo Tite. I used it just for fun... No commercial intended.
.
.
Jauh sebelum Colombus menemukan Amerika, sekumpulan manusia yang seolah terlupakan, menemukan rahasia terdalam bumi yang perlahan muncul ke permukaan. Mereka yang saat itu bermaksud untuk pergi berburu untuk mencari makanan, simpanan untuk melewati musim dingin yang akan datang, tidak sengaja berpapasan dengan beberapa kelompok manusia lainnya. Atau mereka kira begitu. Kelompok kedua itu memang terlihat bagaikan manusia normal—tidak. Mereka jauh lebiih tampan, jauh lebih cantik, seolah kejelekan adalah sebuah dosa besar yang tidak bisa mereka terima. Kulit mereka jauh lebih putih, dan jauh lebih mulus, bagaikan makhluk yang berasal dari dongeng-dongeng.
Atau mungkin memang seperti itulah kebenarannya.
Karena mereka pun memiliki taring yang lebih panjang. Lebih tajam. Penciuman mereka pun lebih peka berkali-kali lipat dari anjing pemburu yang biasa dibawa oleh kelompok pertama.
Vampir.
Begitulah mereka dinamakan.
Pada awalnya, setelah pertemuan kedua kelompok manusia yang berbeda itu terjadi, selama beberapa kali pertemuan ke depan, mereka pun terus saling bertemu. Terus dan terus, hingga pada suatu waktu salah satu di antaranya mengusulkan untuk menyatukan saja kelompok mereka. Unsul yang dirasa menguntungkan kedua belah pihak itu pun langsung diterima. Beratus-ratus tahun lamanya mereka hidup dalam satu koloni. Maju bersama-sama, menciptakan teknologi bersama-sama.
Setidaknya sampai hari yang ditakdirkan memang harus terjadi itu, terjadi juga.
Pada suatu malam, beberapa orang dari kelompok pertama memergoki seseorang dari kelompok kedua tengah menghisap darah seseorang lain dari kelompok pertama. Manusia kelompok pertama memang mengetahui kalau manusia-manusia kelompok kedua memerlukan darah untuk kelangsungan hidup mereka. Tapi, selama ini kelompok kedua hanya mengakui kalau mereka meminum darah hewan. Bukan darah manusia lainnya. Merasa tertipu, sekelompok manusia kelompok pertama itu kalap. Mereka menghabisi manusia kelompok kedua itu dengan sadis. Membakarnya. Hingga hanya abunya saja yang tersisa.
Satu trigger ditarik, keluar beragam peluru yang memberondong. Membuat keributan.
Satu koloni heboh.
Mereka saling menyalahkan. Satu yang merasa telah ditipu dan ditusuk dari belakang, sementara satu lainnya merasa sebagai korban yang tidak pantas mendapatkan perlakuan brutal. Mereka bersitegang. Kebiasaan di mana jika kedua kelompok manusia yang berbeda itu bertemu di jalan akan saling tersenyum, kini saling mencibir. Cibiran berubah menjadi ejekan. Ejekan berubah menjadi baku hantam. Baku hantam berubah menjadi ajang saling membunuh. Saling menghabisi. Mencari siapa yang paling kuat, yang paling pantas berada di bagian teratas rantai makanan.
Hingga mereka terpecah belah, menjadi dua koloni.
Koloni manusia, dan koloni vampir.
Selama pertentangan yang terus terjadi beratus-ratus tahun lamanya, hingga anak-cucu dari pihak manusia, koloni vampir selalu berada di atas angin. Mereka yang bisa mengendalikan benda tanpa perlu memegang, mereka yang memiliki kekuatan dan kecepatan di atas rata-rata, selalu berhasil memukul mundur manusia hingga terpojok.
Daerah kekuasaan vampir membengkak, sementara daerah kekuasaan manusia terus menciut.
Hingga pada suatu waktu, kelompok manusia pun terbelah menjadi dua.
Mereka yang masih memiliki harga diri sebagai manusia dan berjuang hingga akhir, dan mereka yang telah tunduk demi bisa terus bertahan hidup dan menikmati keindahan dunia. Kelompok manusia yang terus melawan tanpa kenal lelah, memiliki hati baja yang tidak rela diperbudak oleh bangsa vampir yang arogan ini dikenal dengan nama Shinigami.
Dan pada titik tertentu, Shinigami ini berada di atas angin. Mereka dapat memukul mundur para vampir, mendapatkan kembali banyak manusia yang tersadar dan ingin terus berjuang. Saat-saat keemasan mereka itu adalah saat Genryuusai Yamamoto menjabat sebagai pimpinan tertinggi. Yamamoto yang tidak kenal ampun, menjunjung tinggi kehormatan manusia, memimpin dengan tangan besi. Dialah orang pertama yang berhasil menemukan kelemahan para vampir.
Oak.
Melawan dengan senjata yang terbuat dari kayu pohon Oak, akan dapat memberikan luka berbekas pada para vampir, dan akan dapat membunuh vampir tersebut jika dihujamkan tepat di jantung.
Tapi, bukan berarti juga dengan para Shinigami menemukan fakta ini maka mereka akan bisa menang. Tidak. Karena Oak biasa memberikan efek ini hanya kepada para Childe(1), dan Halfblood(2). Tidak mempan kepada mereka yang Pureblood(3). Untuk memusnahkan para Pureblood, harus menggunakan Oak yang memiliki usia yang sama dengan Pureblood itu sendiri. Dan untuk mendapatkannya sangat mendekati mustahil. Lebih daripada sulit.
Masa kejayaan Shinigami sayangnya harus disudahi ketika Yamamoto wafat pada usianya yang ke-71. Dia yang selama ini hanya terus berperang, sama sekali tidak memiliki keturunan, dan hanya memiliki seseorang yang ia angkat sebagai anak, Isshin Kurosaki. Isshin yang menggantikan posisi Yamamoto tidak bisa menahan kejayaan Shinigami dalam waktu lama. Isshin yang merupakan pria yang lembut dan penuh kasih, tidak bisa memberikan cara kepemimpinan yang sama dengan ayah angkatnya. Beberapa kali ia berhasil memukul mundur para vampir, tetapi juga tidak jarang ia dipukul mundur.
Suatu waktu, Isshin yang tidak begitu percaya diri lagi untuk memimpin, bertemu dengan seorang wanita bernama Masaki, yang kemudian membuatnya jatuh cinta, mengembalikan semangatnya. Walau pada akhirnya Shinigami yang tidak memiliki kekuatan magis, dipaksa mengigit jarinya sendiri karena para vampir bisa dengan mudahnya menambah koloni mereka.
Shinigami lagi-lagi mengalami keterpurukan.
Di saat yang bersamaan, lahirlah anak pertama Isshin. Dengan penuh kebanggan, ia memberi nama anaknya itu Ichigo. Yang berarti; "Dia yang melindungi". Berharap jika anaknya itu sudah besar nanti, kedamaian bisa tercipta di antara manusia dan vampir. Tujuh tahun kemudian, lahir juga dua anak kembar perempuannya yang kemudian ia beri nama Karin dan Yuzu. Sayangnya, tidak lama setelah itu, Masaki meninggal karena sakit setelah sempat menghilang selama beberapa waktu. Tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya terjadi selama wanita itu menghilang, yang pasti saat ditemukan, kondisi wanita itu sudah sangat lemah. Walau berat dan membutuhkan waktu cukup lama, Isshin akhirnya merelakan kepergian istri tercintanya itu.
Selama itu, dua anak perempuan Isshin tumbuh menjadi anak gadis yang manis, namun memiliki pribadi yang berbeda jauh. Karin yang tomboi, dan Yuzu yang feminin dan keibuan. Yang mengagetkan adalah pertumbuhan anak laki-lakinya, Ichigo. Tidak seperti yang ia bayangkan awalnya, di mana Ichigo tumbuh penjadi pemuda tampan dan gagah, berperawakan seperti dirinya yang berotot dan terkesan sudah melewati berbagai medan pertempuran, Ichigo justru tumbuh menjadi pemuda yang berparas manis. Rambutnya yang dipotong pendek berantakan berwarna oranye sangat menarik perhatian, lekuk wajahnya yang lembut, dagu yang runcing, bibir yang penuh dan berwarna pink membuat siapa pun yang melihat diharuskan menahan diri agar tidak berbuat hal yang tidak senonoh, hidung yang membentuk kurva yang sangat manis, serta kedua bola mata berwarna coklat madu besar yang menatap siapa pun dengan pandangan penuh keramahan.
Lalu, tubuh yang ramping, disertai otot yang melekat tidak berlebihan.
Ichigo Kurosaki adalah pemuda yang menawan.
Dan kemenawanannya itu akan sempurna jika saja ia memiliki pribadi yang tenang, dan sikap yang bijaksana. Sayangnya, Ichigo bukanlah pemuda yang seperti itu. Dibalik sikapnya yang terkesan diam, Ichigo merupakan pemuda keras kepala yang memiliki semangat yang berapi-api, pemuda yang berani mengungkapkan apa yang ada di dalam pikirannya, yang sering kali bertindak tanpa pikir panjang. Isshin tidak pernah dibuat lebih bangga daripada ini. Ia memiliki anak yang tidak hanya cantik, tetapi juga begitu laki-laki, begitu gentleman. Gentleman dalam kamus seorang Isshin Kurosaki tentunya.
Dan cerita kita dimulai dari sini...
.
.
NIGHT WALKERS
Chapter 1: The Exchange
.
.
Februari 2010
Unknown place, Jepang
Ia berjalan dengan gontai. Pandangannya buram dan entah mengapa sekelilingnya terasa meliuk-liuk, berputar-putar. Seharusnya ia merasa pusing, tapi ini malah sebaliknya. Ia senang. Ia senang karena kota kecil ini tidak lagi terlihat sama. Terlihat seperti tempat yang baru. Tidak lagi membosankan. Dan ia mulai bernyanyi. Menyanyikan lagu berjudul Rolling In The Deep yang dinyanyikan oleh penyanyi wanita bertubuh gemuk, Adele. Suaranya yang serak dan berat terdengar menggema di dalam gang sempit yang tidak tersinari cahaya rembulan malam itu.
"The scar of your love remind me of us. They keep me thinking that we almost had it all. The scars of your love they leave me breathless. I can't help feeling..."
Semakin jauh lagunya, semakin keras pula suaranya. Dan semakin besar kemarahan yang berusaha ia redam dengan menimbun alkohol di dalam tubuhnya beberapa saat lalu. "Matiii saja kauuuu... Wanita murahaann...!" Ia lempar botol di tangannya. Membiarkan pecahannya membuncah ruah saat berbenturan keras dengan dinding gang. Menghidupkan kembali suasana malam walau hanya beberapa detik saja.
"Hic..."
Ia melanjutkan perjalanannya, sempat menabrak tong sampah dan mengumpat seolah ia menabrak tong sampah tersebut adalah kesalahan orang lain.
Bau alkohol begitu menyengat setiap kali ia membuang nafas. Memancing kehadiran makhluk yang sebenarnya sama sekali tidak ada rencana melewati gang sempit itu malam ini. Angin dingin yang berhembus membuatnya gemetaran. Lembar demi lembar dedaunan di antara pepohonan saling bergesekan, menimbulkan suara bergemerisik yang menyembunyikan suara langkah ringan lainnya yang perlahan mendekat.
Sejajaran gigi putih yang diiringi oleh seringai lebar nampak mengkilat diterpa cahaya rembulan yang perlahan-lahan muncul dari persembunyiannya di balik awan.
Ia menghentikan langkahnya.
Keningnya mengernyit ketika melihat seseorang berjalan mendekatinya dari arah depan. Wajahnya tidak bisa ia lihat dengan jelas karena tertutupi tudung jaket hitam yang dikenakan orang tersebut. Tapi, semakin dekat sosok itu dengannya, tudung jaket yang menutupi perlahan diturunkan, menunjukkan seperti apa sebenarnya rupa yang disembunyikan di baliknya.
Ia dibuat mengucek matanya dengan tangan karena tidak bisa percaya dengan apa yang ia lihat.
Sosok itu menyeringai semakin lebar. Seringai yang bahkan sanggup membuat seluruh bulu kuduk Mike Tyson berdiri walau hanya melihat sekilas. Terlebih lagi, ketika sosok itu bersuara, "Sucks ta be ya, ain' it, dude?"
Ia melangkah mundur.
... Biru...
Adalah warna terakhir yang ia lihat dalam hidupnya.
. . . . . . . . . .
April 2010
Koloni manusia, Jepang
"HEAAAAH!"
Suara pedang kayu yang beradu dengan keras nampak menggema di dalam dojo pribadi keluarga Kurosaki siang itu. Dinding berwarna putih yang setengah bagian bawahnya terlapisi kayu berhiaskan beragam lukisan dan beberapa kaligrafi Jepang yang memiliki arti untuk memberikan semangat kepada siapa pun yang menggunakan dojo. Beragam pedang kayu, panjang dan pendek, tertata dengan sangat rapi di dalam sebuah lemari besar yang diletakkan di salah satu sudut ruangan. Disediakan bagi para Shinigami yang datang untuk berlatih tapi tidak membawa perlengkapannya sendiri.
Di sudut terdalam dojo, terdapat sebuah altar sesembahan yang dikhususkan kepada dewa perang di Jepang, Yawata no Kami(4). Para Shinigami, terutama keluarga utama Kurosaki meyakini kalau dengan bantuan dewa itulah maka selama ini mereka bisa terus bertahan dalam peperangan melawan para vampir. Mereka semua berharap suatu saat, di bawah naungan Yawata no Kami, maka mereka akan bisa berada di atas angin dan tidak perlu khawatir akan keberadaan para vampir yang terus menekan.
Tidak jauh dari altar tersebut, duduk tiga orang perempuan. Lebih tepatnya, dua orang gadis yang usianya nampak tidak lebih dari 11 tahun, dan seorang wanita yang nampak sudah cocok untuk menimang bayi. Dua dari perempuan itu nampak begitu heboh. Mereka bersorak sambil mengacung-acungkan kedua tangan mereka, sementara satu perempuan yang masih belia hanya diam memasang wajah bosan.
Yuzu adalah gadis mungil yang memiliki surai berwarna coklat pucat pendek, wajahnya yang nampak begitu polos, terlihat begitu bersemangat dan terus mengelu-elukan kata yang sama, "Ayooo, Ichi-nii!" Sementara kembarannya, Karin, gadis bersurai hitam yang duduk di sebelahnya, hanya diam termanggu dan nampak bosan. Kedua matanya yang nampak mengantuk itu hanya memandang lurus ke satu titik, sebelum kemudian dibuat menoleh ke samping ketika wanita dewasa yang duduk di sebelahnya mendadak berdiri.
Wanita berkulit gelap dengan surai keunguan panjang yang diikat seperti ekor kuda itu mengepalkan satu tangannya ke atas. Wajahnya berkerut, dan tiga sudut siku-siku besar tergambar di keningnya. "APA YANG KAU LAKUKAN, RENJI? ! MASA KAU MAU KALAH OLEH ANAK BARU KEMARIN YANG KEPALANYA MIRIP DURIAN ITU? ! !" teriak sang wanita dengan menggunakan urat.
"JANGAN BICARA SEOLAH AKU TIDAK ADA DI SINI, YORUICHI! !" Merasa yang barusan dimaksudkan adalah dirinya, Ichigo Kurosaki langsung mengalihkan perhatiannya yang sebenarnya sudah fokus kepada lawan latihannya di depan. Membuatnya tidak siap menghadapi serangan yang datang berikutnya, hingga mengenainya dengan telak di perut dan membuatnya tersungkur keras ke lantai. Ia mengerang kesakitan, lalu melemparkan tatapan kesal ke arah wanita berkulit gelap yang bernama Yoruichi itu yang kini menjulurkan lidah ke arahnya, baru kemudian menatap ke arah pria yang berdiri bagaikan menara di hadapannya.
Satu tangan pria itu berkacak pinggang, sementara satu tangannya yang lain memegang pedang kayu yang ditumpukan di pundak. Surai merah panjangnya yang diikat ekor kuda beberapa helai nampak memberontak dan menempel di pundaknya yang lebar. Ikat kepala berwarna hitam yang digunakan dan sebelumnya terpasang secara garis lurus, kini agak miring akibat banyaknya gerakan yang dilakukan, dan basah gara-gara keringat yang mengucur. Saking banyaknya keringat yang diproduksi, shikakusho hitam yang dikenakannya pun bahkan nampak menempel dengan kulitnya, menunjukkan betapa besar otot yang berada di baliknya, dan betapa kokohnya tubuh sang pria.
Dari posisinya, Ichigo bisa melihat satu bulir peluh yang berada di kening sang pria turun perlahan ke bawah, melewati tulang pipi yang terbentuk sempurna, lalu melewati dua lapis bibir berwarna plum pucat yang salah satu sudutnya tertarik ke atas. Ichigo mengerutkan dahi ketika melihat dengan jelas seringai yang tercetak di wajah sang pria terarahkan padanya. Seolah mengatakan, 'belum saatnya kau mengalahkanku, carrot-top'.
Kedua alis Ichigo semakin mengernyit, kedua matanya meruncing, "That's not fair, Renji."
Renji mengangkat kedua alisnya, tetapi seringai di wajahnya masih juga belum menghilang. Ia telengkan kepalanya ke samping, membuat beberapa helai surai merahnya bergerak, dan nampak jatuh dari pundaknya. "Salahmu yang masih terlalu mudah terpengaruh sekitarmu, Ichi. Sudah kukatakan berkali-kali padamu untuk berkonsentrasi, 'kan?" ucapnya dengan nada yang begitu tenang, namun juga terkesan playful pada saat yang bersamaan. Melihat kerutan di dahi Ichigo bertambah, Renji tertawa kecil. Tepat waktu ia menyingkirkan kaki kanannya ketika salah satu kaki Ichigo bermaksud menendang kakinya yang satu itu.
Gagal membuat bodyguard pribadinya itu terjatuh, Ichigo menggeram dan mengumpat di dalam hati. Tindakan yang kekanakan memang, tetapi ia tidak bisa tidak bertindak kekanak-kanakan di usianya yang baru 15 tahun ini. Terlebih lagi, setelah mendapat perlakuan seperti tadi. Yang ia inginkan hanya keadilan yada yada yada. Dengan masih menatap nanar, Ichigo menerima tangan yang dijulurkan oleh Renji untuk membantunya berdiri. Ia elus perlahan pantatnya yang tertutup hakama hitam karena rasa sakit akibat jatuh itu baru terasa ketika ia menggerakkan tubuhnya.
Dengan ini, hari ini sudah tiga kali ia jatuh di pantatnya sendiri.
Entah kenapa, rasanya ia sama sekali tidak mengalami kemajuan semenjak Renji mengusulkan untuk mengajarinya beladiri pedang dua bulan yang lalu. Mungkin pada dasarnya memang ia tidak berbakat berkelahi dengan menggunakan alat, karena dirinya termasuk sebagai lawan yang lumayan jika menggunakan tangan kosong. Itu karena ia dulu pernah ikut kelas karate, walau untuk sekarang ini ia tidak terlalu yakin juga dengan kemampuannya berkarate. Tapi, sedikit-banyak ia masih bisa.
"Jangan khawatir, Ichigo. Waktu bertahanmu mengalami peningkatan kok. Dua detik lebih lama."
Oke, yang barusan itu benar-benar membuatku bangga, Renji, cibir Ichigo di dalam hati yang sarat akan sarkasme.
"Nii-chan! Nii-chan tadi keren kok! Aku yakin sekarang Nii-chan akan bisa mengalahkan dua atau tiga vampir!"
"Yeah, thanks, Yuzu." Ichigo tersenyum simpul dan membelai lembut kepala Yuzu yang dengan sengaja menghampirinya untuk memberikan semangat. Adik perempuannya itu pun memberikan balasan senyuman yang lain yang membuatnya merasa lebih baik daripada sebelum ini.
... Walau hanya untuk sesaat...
"Yah, vampir yang sudah sakaratul maut akibat tertusuk pasak."
Ichigo mengernyit, "Hahah. That's very funny, Karin." Dengan menguatkan genggaman di pedang kayunya, ia menahan keinginan untuk menjitak kepala adik perempuannya yang satu ini. Padahal barusan ia sudah sempat merasa lebih baik, sekarang ia jadi merasa jatuh lagi. Merasa latihan yang selama ini ia lakukan tidak kunjung memberikan hasil yang benar-benar positif, sementara selama ini juga otaknya terus berputar mencari tahu maksud perkataan Renji kalau dirinya melupakan hal yang paling penting, yang harus ia temukan jawabannya sendiri. Bodyguard sekaligus teman sejak kecilnya itu pun mengatakan, dengan hal itu ia akan bisa bertambah kuat dengan cepat.
Sialnya, sampai sekarang tebakan yang ia berikan untuk jawabannya tidak pernah disanggah oleh Renji.
Salah, katanya.
"Ah, Ichigo-sama! Aku mencarimu semenjak tadi."
Suara yang terlampau happy dan cerah-ceria selalu itu sudah bisa langsung Ichigo kenali dengan mudah. Makanya ia mengerang. Ia sudah lebih dari sekedar malas untuk menghadapi si pemilik suara. "Apa yang kau inginkan, Urahara?" Ichigo berbalik, menatap langsung ke arah pria yang selalu menggunakan topi berwarna hijau bermotif garis-garis putih... untuk kemudian melempar pedang kayunya dengan penuh kemarahan ke arah sang pria, "WHAT THE FUCK? KALAU KAU HANYA MAU MENGAMBIL ISTRIMU DAN BERMESRA-MESRAAN, LAKUKAN DI KAMARMU SANA!" Sementara dirinya sibuk memaki-maki pemandangan di hadapannya, Karin menutup kedua mata Yuzu yang bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi.
Urahara yang cukup merasa bersalah juga atas tindakannya karena ada Yuzu dan Karin, menyudahi ciumannya dengan Yoruichi. Tapi, kelihatannya istrinya itu memiliki pemikiran yang berbeda, dan malah menarik kembali wajahnya dan semakin memperdalam ciuman mereka. Sengaja menimbulkan suara-suara yang menggairahkan, membuat Karin kini memejamkan kedua matanya juga, sementara Renji membalikkan tubuh, dan wajah Ichigo terus memerah sampai pada tahap warna merah itu sendiri akan cemburu dengan warna merah yang ada di wajah sang remaja.
Setelah puas melihat Ichigo yang nampak hampir pingsan karena darah mengalir semua ke kepala, Yoruichi dengan segera menjauhkan bibirnya dan memboyong Karin serta Yuzu keluar dojo sambil menyuarakan tawa khasnya membuat Renji dan Urahara sendiri sweatdropped. Ichigo yang tersadar dari shocknya, dengan wajah yang masih merah, mulai mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas untuk pemuda seusianya.
Remaja bersurai oranye itu baru berhenti ketika Urahara menjitak kepalanya dengan kipas yang selalu dibawanya, disertai dengan kalimat, "Ayahmu ingin bicara penting denganmu, sekarang."
. . . . . . . . . .
Setelah berjalan keluar dojo dan memasuki rumah utama, akhirnya rona wajah Ichigo bisa kembali seperti semula, walau masih ada sedikit pink yang menghiasi kedua pipinya. Diusia ke-15, berbeda dengan anak lelaki lainnya yang mungkin sudah merasakan seperti apa namanya ciuman pertama, atau bisa jadi juga sudah bertindak lebih jauh lagi, Ichigo masih benar-benar virgin. Jangan salahkan ia, tapi salahkan tubuhnya. Jika dilihat dari luar ia nampak seperti seorang tough guy, tapi setiap kali ada lawan jenisnya yang menyentuh dirinya secara berlebihan, Ichigo akan selalu gelagapan dan wajahnya merah luar biasa.
Entah kenapa bisa begitu, ia sendiri tidak tahu alasannya.
Renji yang berusia 10 tahun di atasnya pernah berkata kalau itu karena dirinya tidak terbiasa dengan sentuhan wanita, dan mengajaknya menonton film porno bersama saat usianya masih di awal 14 tahun. Ichigo tidak akan pernah lupa apa yang terjadi di hari itu dan setelahnya. Selama film berlangsung, ia cuma bisa membatu menatap layar televisi. Dan setelah film itu selesai, selama beberapa bulan ke depan, ia semakin menjauhi para kaum hawa termasuk ibu asuhnya sendiri, yaitu Yoruichi tadi, karena setiap kali ia berada dalam jarak 5 meter di dekat perempuan, maka bayangan akan apa yang terjadi di dalam film porno itu langsung terulang kembali di benaknya.
Renji sialan.
Sampai sekarang, ia masih belum juga berhasil membalas perbuatan bodyguard-nya itu.
Tapi, ia yakin suatu saat nanti akan bisa. Grrh.
Menggerakkan kedua iris coklat madunya dari punggung Urahara yang berjalan di depannya, Ichigo menatap ke arah jendela yang terhubunga dengan taman samping di mana ia melihat Karin yang kini bersama dengan seorang anak lelaki berambut merah tengah bermain bola. Anak lelaki berambut merah itu bernama Jinta, anak dari Urahara dan Yoruichi. Ia bisa ingat kalau dulu Karin dan Jinta tidak pernah akrab dan selalu memiliki hal yang yang diperdebatkan. Kelihatannya, setelah berusaha mengenal satu sama lain, mereka menemukan kecocokan dan jadi sangat akrab.
Rasanya ia tidak akan terlalu kaget jika suatu saat mereka berdua bersanding di pelaminan bersama. Sifat keduanya terlalu serupa untuk dipisahkan begitu saja.
Mendelikkan kedua irisnya ke samping, Ichigo bisa melihat dengan jelas Renji yang berdiri tegap di sebelahnya. Shikakusho hitam yang ia kenakan saat latihan tadi sudah terlepas dari tubuhnya, dan bergantikan dengan pakaian serba hitam dan earphone kecil di telinga kanan yang terhubung ke suatu benda di balik saku dada kanannya. Bandana berwarna hitam yang tadi menghiasi kepalanya pun kini terganti dengan bandana hitam lainnya. Ichigo tahu kalau itu bandana yang berbeda adalah karena tulisan mereknya tercetak jelas dalam rajutan benang putih di sisi kirinya, tidak seperti bandana sebelumnya yang tidak terdapat tulisan sedikit pun. Surai merah Renji yang nampak lembut itu pun masih diikat ekor kuda seperti sebelumnya, kelihatannya pria itu tidak pernah berniat untuk mengubah gaya ikat rambutnya yang satu itu.
Mungkin diam-diam Renji tahu kalau penampilannya yang seperti itu keren dan sanggup membuat siapa pun yang melihatnya langsung 'kejang-kejang', seperti ikan yang dijauhkan dari air.
Menyebalkan.
Tapi, di dalam hatinya, Ichigo sendiri tahu kalau penampilan dan sikap Renji memang keren. Ia bahkan berharap bisa menjadi seperti sang pria yang dilihat dari atas hingga ke bawah penampilannya itu meneriakkan tanda bahaya, dan tidak bisa dianggap remeh. Layaknya seorang bodyguard profesional saja.
Come to think of it...
Renji bahkan lebih menjadi role model -nya dibandingkan ayahnya sendiri. Ia yang mengenal Renji semenjak usianya masih bayi, selalu menjadikan sang pria sebagai patokannya. Berharap suatu saat ia bisa melebihinya. Tapi, rasanya, semakin jauh hari, semakin jauh pula Renji darinya. Renji memiliki bentuk badan layaknya seorang pria sejati. Pundaknya lebar, dadanya bidang, seluruh tubuhnya terbalut dengan otot yang membuat orang terintimidasi, tinggi tubuhnya pun di atas rata-rata, dan suaranya begitu dalam. Sangat berbanding terbalik dengan dirinya yang memiliki pundak sempit dan tubuh ramping dengan tinggi badan yang standar, lekuk tubuhnya pun mirip dengan lekuk tubuh perempuan, suaranya pun masih belum terlalu berubah. Dan yang paling menyebalkan, seberapa kerasnya pun ia mengerutkan dahi dan memasang aura tidak bersahabat, orang-orang masih menganggapnya manis.
Kecuali beberapa gadis yang memang menghadapi serangga saja tidak berani.
Ugh!
Suara ketukan pintu yang terdengar menggema di lorong yang ia lalui membuyarkan lamunannya. Ichigo sama sekali tidak menyadari kalau ia sudah sampai di depan ruang kerja ayahnya. Setelah mendengar suara yang mempersilahkan masuk, Urahara membuka pintu dan memberikan gestur agar Ichigo masuk terlebih dahulu, sementara Renji menegakkan tubuhnya dan menunggu di samping pintu.
Ketika Ichigo melangkahkan kaki masuk, dan pintu tertutup di belakangnya, perhatiannya langsung jatuh kepada seorang pria bersurai hitam panjang yang berdiri tidak jauh dari posisinya. Pandangan pria itu kaku dan menatap ke arahnya, membungkuk sedikit, dan mengembalikan pandangan lurus ke depan, membuat Ichigo mendengus pelan. Byakuya sama sekali tidak pernah berubah. Padahal sama seperti Renji, kepala bodyguard pribadi keluarga Kurosaki itu sudah mengenalnya semenjak kecil, tapi formalitas selalu pria itu junjung tinggi. Makanya, ia sendiri lebih dekat dengan Renji yang memang bersikap begitu lepas kepadanya.
Pandangan Ichigo kemudian teralihkan kepada sosok lain yang tidak begitu ia sangka-sangka kehadirannya. Berdiri di sebelah Byakuya adalah Kuugo Ginjou, satu-satunya sepupunya dari pihak sang ayah. Huhn. Padahal ia dengar pemuda itu tengah berada di Los Angeles, mungkin urusannya di sana sudah selesai. Ichigo mengalihkan perhatiannya dari snag pemuda, memasang wajah tidak tertarik, dan menatap ke arah ayahnya yang duduk di balik meja.
Now, don't get him wrong...
Ichigo tidak pernah merasa membenci sepupunya itu, tapi kelihatannya Ginjou memiliki dendam tersendiri pada dirinya. Pemuda yang lebih tua lima tahun darinya itu selalu menatap dingin ke arahnya dan tidak sekali pun menunjukkan sikap yang ramah. Ichigo di sini hanya berpikir, buat apa susah payah bersikap baik kepada orang yang membencinya? Ia pun akhirnya jadi bersikap acuh tak acuh saja. Tapi, kalau saja saat itu Ichigo tidak mengalihkan pandangannya, ia pasti akan mengetahui kalau Ginjou kini menatap ke arahnya.
"Baiklah, kalian berdua sudah boleh pergi."
Diikuti dengan ucapan dari Isshin tersebut, Byakuya dan Ginjou pun keluar ruangan setelah memberikan salam terakhir. Sementara Byakuya mengambil posisi di sebelah Renji di balik pintu, Ginjou langsung pergi menjauh entah ke mana.
Urahara yang merupakan sahabat karib sang ayah sekaligus berperan sebagai penasehat pribadi, mengambil posisi tepat di sebelah Isshin. Untuk sekali-sekalinya saat itu Urahara memasang wajah yang sangat serius, membuat Ichigo yang terbiasa melihat sang pria dengan sifat yang carefree-nya itu berjengit tidak nyaman. Menunggu dengan gelisah mengenai apa yang sebenarnya Isshin ingin bicarakan dengannya.
Ichigo mengernyitkan dahi ketika keduanya tidak kunjung buka suara, "Dad, seriously... Apa ya—"
"Ichigo," Keseriusan dan rasa lelah yang tersirat dari suara ayahnya itu membuat Ichigo langsung menutup mulutnya dan menegakkan tubuhnya. Menatap dengan penuh kewaspadaan kepada sang ayah, karena mendadak perasaannya jadi tidak enak. Yakin seluruh perhatian anaknya sudah tertuju kepadanya seorang, Isshin kembali membuka suara, "Kau tahu bagaimana kondisi kelompok kita terhadap koloni vampir sekarang ini, 'kan?" Dengan sengaja ia menghentikan perkataannya dan baru melanjutkan ketika Ichigo mengangguk sebagai tanda bahwa ia tahu, "Ayah tidak yakin kelompok kita bisa bertahan lebih lama lagi lebih daripada ini jika kondisi ini terus berlanjut..."
Nafas Ichigo terasa tercekat ketika mendengar perkataan ayahnya itu yang secara tidak langsung mendeklarasikan kalau ia menyerah, apalagi ketika melihat wajah sang ayah yang nampak jauh lebih tua dari umurnya yang seharusnya. Segala kalimat bantahan yang tadinya ingin ia keluarkan, entah mengapa tertahan di pangkal tenggorokannya.
Ia sudah tahu bagaimana posisi para manusia saat ini. Apalagi dengan jumlah koloni mereka yang jauh di bawah koloni vampir.
Tapi, ia selalu berpikir ayahnya itu akan selalu memiliki rencana dan tidak akan pernah menyerah untuk terus melawan, dan ketika umurnya mencukupi, ia akan ikut sebagai prajurit di barisan depan.
Apa pikirannya itu... naif?
Isshin menghela nafas panjang. Ia memijat keningnya yang mulai terasa berdenyut. Kalau bisa, ia tidak ingin dan tidak akan pernah mengatakan hal semacam ini kepada Ichigo. Tapi, ia dan Urahara sudah kehabisan akal. Apa pun yang mereka lakukan selama ini tidak pernah berhasil benar-benar memukul mundur para vampir. Perbedaan kekuatan yang sangat jauhlah yang membuat mereka kalang kabut. Vampir memiliki kekuatan magis yang tidak bisa ditelaah oleh daya nalar, sedangkan mereka sebagai manusia selalu memiliki keterbatasan.
Mereka tidak bisa menghancurkan tembok dengan tangan kosong, mereka tidak bisa masih berdiri tegak setelah tubuh mereka diberondongi peluru, dan mereka tidak akan pernah bisa menggerakkan benda tanpa menyentuhnya.
Terlalu jauh. Perbedaan mereka terlalu jauh.
Terkadang terlintas di benaknya alangkah lebih baiknya jika mereka menyerah saja dan hidup bersama para vampir. Tetapi, kenyataan kalau manusia hanya akan diperbudak dan dijadikan kantung darah yang bisa diminum kapan saja, tidaklah terdengar menggiurkan.
Pijatan di pundaknya membuat Isshin menoleh. Urahara, kawan yang sudah berjuang bersamanya sedari awal itu menatap ke arahnya dengan tatapan yang penuh dengan keterusikan. Serupa dengan dirinya, sang pria sebenarnya tidak akan pernah mau menerima tawaran yang datang dari pemimpin tertinggi koloni vampir yang sampai di depan pintu mereka beberapa bulan yang lalu. Tapi, nasib dari ribuan manusia di luar sana, saat ini bergantung kepada keputusannya. Dan sebagai seorang pemimpin, ia diharuskan membuang perasaan pribadi, dan mendahulukan kepentingan bersama.
Walau akhirnya ia harus berkorban...
Menelan ludah, Isshin menatap ke arah anak lelakinya, "Ichigo..." Ia menunggu Ichigo menoleh, dan menatapnya tepat di mata sebelum kemudian melanjutkan, "Beberapa bulan yang lalu, Aizen mengajukan sebuah penawaran..."
Aizen.
As in Sousuke Aizen.
Sebagai seorang anak pimpinan koloni manusia, Ichigo tidak mungkin tidak tahu nama itu. Nama yang ia jamin diketahui oleh seluruh orang yang ada di dunia. Nama yang sanggup membuat banyak orang merajuk di sudut ruangan dan tidak mau keluar, berharap mereka tidak terlihat lagi. Sousuke Aizen adalah nama yang ditakuti. Nama dari pimpinan tertinggi vampir yang merupakan vampir pureblood tertua dan terkuat yang ada. Tidak ada orang yang berani bertentangan langsung dengannya, kecuali mereka yang sudah siap mati.
Tapi, apa yang Aizen inginkan dari mereka hingga mengajukan sebuah penawaran?
Apa pun itu, pastilah sangat penting jika membuat ayahnya begitu ragu-ragu untuk mengatakannya terus terang—tapi tunggu. Apa hubungannya penawaran Aizen itu dengan dirinya hingga dipanggil seperti ini? Apakah mungkin...
"Sebagai jaminan akan perjanjian damai, Aizen memintaku untuk..." Isshin kembali berhenti. Ia nampak begitu kesulitan menelan ludah sendiri dan mengucapkan hal yang sangat tidak ingin ia ucapkan, tetapi ia tidak memiliki pilihan lain. Nasib ribuan manusia kini ada di tangannya. Salah langkah saja, bisa-bisa semuanya berakhir bagaikan mimpi buruk. Bukan berarti apa yang terjadi sekarang ini tidak seperti mimpi buruk. Tetapi, selalu ada yang lebih buruk dari yang terburuk, bukan? "... Ia ingin aku menyerahkanmu kepadanya."
Seolah waktu benar-benar berhenti berputar, tidak ada satu pun yang bergeming di posisinya, apalagi bersuara. Rasanya menarik nafas pun menjadi sebuah dosa besar di dalam keheningan yang terasa menyesakkan. Jika saja ada seseorang yang menjatuhkan jarum, pastilah terdengar membahana bagaikan benda yang jauh lebih besarlah yang jatuh. Isshin menunduk. Merasa gagal sebagai seorang pemimpin dan seorang ayah. Ia menyembunyikan wajahnya di antara punggung tangannya yang jarinya saling terkait. Memalukan. Ia telah mencoreng nama Genryuusai Yamamoto dengan noda yang tidak bisa dihilangkan dengan air keran biasa. Di sebelahnya, Urahara berada dalam kondisi yang tidak jauh berbeda. Tangan yang tadi memijat pundak sang kawan kini sudah terkulai lemah di sisi tubuhnya. Kepalanya yang menunduk, membuat topi yang dikenakannya menutupi sebagian besar wajahnya.
Dan Ichigo sendiri tidak bisa beranggapan kalau apa yang dikatakan oleh sang ayah adalah hal yang sebenarnya. Maksudnya... Ia memang mengetahui siapa itu Aizen, tetapi tidak pernah sekali pun mereka bertemu sebelumnya, lalu mendadak vampir itu menginginkannya? Bagaimana bisa? Atas dasar apa? Tapi, jika ia pikirkan kembali, ayahnya yang memang selalu bergurau dan bertindak bodoh itu, tidak pernah bergurau mengenai hal semacam ini. Lagipula, ekspresi yang dikenakan oleh Isshin bukanlah ekspresi yang dibuat-buat... So this is it, then? Aizen benar-benar menginginkannya? Apakah karena dirinya yang berposisi serupa dengan seorang 'pangeran' dari sebuah kerajaan?
Ahh, that's right...
Dirinya memiliki nilai yang cukup untuk menjadi bayaran atas kebebasan dan rasa aman yang akan diberikan.
"... Aku mengerti."
Keheningan yang kembali menyusul setelahnya, bukanlah hal yang mengherankan.
. . . . . . . . . .
Matahari yang hampir terbenam di garis batas horizon menunjukkan hari yang sudah hampir berakhir. Karin dan Jinta yang semenjak tadi bermain bola di halaman samping, masuk ke dalam ketika Yoruichi memanggil keduanya untuk memberi-tahukan kalau makan malam telah siap. Pintu yang tertutup di belakang mereka kembali terbuka beberapa saat kemudian. Ichigo yang merasa tidak nafsu makan melangkahkan kakinya ke pekarangan setelah memaksa Renji untuk tidak mengikutinya dan menghela nafas panjang. Sementara tangan kirinya bersembunyi di saku celana jeans-nya, tangan kanannya mengacak rambutnya sendiri yang nampak semakin oranye akibat cahaya matahari yang menyinari.
Memajukan kakinya, Ichigo melangkahkan kaki mendekati taman belakang di mana terdapat sebuah pohon besar di sebelah kolam koi. Tempat di mana dirinya biasa menghabiskan waktu jika membutuhkan saat-saat untuk menyendiri. Tempat yang dulu ia pakai untuk piknik makan siang bersama sang ibu. Namun, sedikit lagi sampai tujuannya, langkah Ichigo terhenti saat melihat sosok yang tidak asing lagi berdiri di tepi kolam dan tidak jauh dari pohon yang ia maksudkan sebelum ini.
Ginjou, dengan kedua tangan di dalam saku celana, menghisap rokok dan memandangi koi yang berenang-renang di dalam kolam.
Padahal ia pikir sepupunya itu sudah pulang semenjak keluar dari ruangan kerja ayahnya tadi.
Tidak ingin rencana di kepalanya hancur, Ichigo kembali melangkahkan kakinya. Ketika jarak mereka berada cukup dekat, Ginjou tampak melirikkan kedua irisnya dan beradu pandang dengan Ichigo. Hanya beberapa saat saja karena perhatian pemuda bersurai hitam licin itu kembali terarahkan kepada sekelompok koi di dalam kolam. Berjalan tanpa melihat kiri dan kanan lagi, Ichigo mengambil tempat duduk di balik pohon sehingga membuatnya agak membelakangi Ginjou. Ia lipat kedua kakinya ke dada dan memeluknya dengan menggunakan kedua tangannya, sementara kepalanya ia benamkan di antara tangannya itu.
Pikirannya kembali kepada peristiwa di dalam ruang kerja ayahnya, di mana dikatakan bahwa cepat atau lambat dirinya akan diserahkan kepada Sousuke Aizen sebagai bayaran perdamaian antara koloni manusia dan koloni vampir. Sampai sekarang, seberapa kerasnya pun ia berpikir, ia masih tidak tahu apa alasan sebenarnya Aizen meminta dirinya, walau memang kedudukannya cukup memiliki nilai. Jauh di sudut hatinya, Ichigo merasa bahwa bukan itulah alasan Aizen menginginkannya. Lagipula, rasanya harga dirinya masih terlalu murah jika dibandingkan dengan seluruh kelompok manusia yang seharusnya bisa membuat para vampir memiliki persediaan makanan untuk jangka waktu yang sangat panjang.
Apa pun alasan Aizen yang sesungguhnya, kelihatannya ia baru akan mendapatkan jawabannya jika ia mendatangi pria itu nanti.
Ichigo menghela nafas, tanpa menyangka kalau helaan nafasnya itu berubah menjadi sebuah isakan.
Jika ia boleh jujur, ia takut. Ia takut memikirkan apa yang akan dilakukan oleh Aizen kepada dirinya nanti. Menyiksanya perlahan hingga mati? Membuat tubuhnya kering dengan menghisap darahnya sampai habis? Yang mana pun itu, tidak ada satu pun pikiran yang bisa menenangkan perasaannya, kecuali satu; Shinigami tidak perlu membuang nyawa lagi untuk peperangan yang sudah jelas berat sebelah, dan teman-temannya tidak perlu khawatir akan diserang secara mendadak di jalanan.
Ichigo tersadar dari lamunannya ketika ia merasakan permukaan lengannya basah. Ia sama sekali tidak menyadari kalau dirinya menangis, dan hal itu membuatnya tertawa pahit, "What? Am I just crying?" Mengusap matanya dengan menggunakan punggung tangan, Ichigo sama sekali tidak mengetahui jika Ginjou saat ini sudah berada di sebelahnya. Duduk, seolah merupakan kewajibannya untuk menemani sang remaja yang tengah gundah.
Makanya tidak mengherankan ketika Ginjou membuka suara, Ichigo tersentak kaget, "Kau terlihat jelek sekali, kid... Wanna talk about it?"
"Yeah, dan kemudian melihat betapa bahagianya kamu setelah mendengarnya." Ichigo mendengus. Kata-kata yang dikeluarkannya penuh dengan sarkasme karena tumben-tumbenan Ginjou mengajaknya bicara ketika melihat ke arahnya saja pemuda bersurai hitam itu nampak enggan. Tapi, mungkin karena saat itu Ichigo sedang merasa sentimental, ia akhirnya menceritakan juga semuanya kepada Ginjou. Selama menceritakannya, tidak sekali pun Ichigo menatap ke arah sang pemuda. Seolah khawatir dirinya akan benar melihat ekspresi senang terpatri di wajah sepupunya itu.
Tapi, setelah selesai bercerita, dan akhirnya memberanikan diri untuk menoleh ke arah Ginjou, Ichigo dibuat kaget karena bukannya ekspresi puas dan angkuh yang sepupunya tunjukkan seperti biasanya, tetapi kerutan dan rasa tidak suka tergambar jelas di wajah maskulin seorang Kuugo Ginjou. Ia bahkan rasanya mendengar geraman dan umpatan terselip keluar dari celah mulut sepupunya itu, tapi ia tidak begitu yakin karena suara yang keluar bagaikan bisikan. Dan yang paling mengagetkan Ichigo bukanlah ketika Ginjou melingkarkan satu lengan kekarnya di pundaknya, menariknya hingga kepalanya kini bersandaran tepat di dada Ginjou, membuatnya bisa mendengarkan dengan jelas detak jantung sang pemuda yang cepat. Melainkan dirinya yang sama sekali tidak menolak, dan malah merasa nyaman berada di dekapan Ginjou.
Ia memang benar-benar sedang sentimental.
Ketika kedua iris coklat madu Ichigo menatap ke arah rokok yang tersemat di jari Ginjou, melihat abunya yang menumpuk di ujung rokok tanpa diketukkan, saat itulah Ichigo menyadari kalau ketika dirinya bercerita, Ginjou memberikan fokus penuh kepadanya.
Dan kenyataan itu, membuat dirinya lebih tenang.
. . . . . . . . . .
TBC
Chapter berikutnya ga akan sepanjang ini, dijamin... *pingsan* Review?
. . . . . . . . . .
1. Childe: Sebutan bagi manusia yang diubah menjadi vampir. Vampir yang mengubahnya disebut sebagai 'Sire'.
2. Halfblood: Vampir yang memiliki setengah darah manusia di tubuhnya. Biasanya karena salah satu orang tuanya adalah manusia.
3. Pureblood: Vampir murni. Terlahir dari orang tua yang dua-duanya merupakan vampir tanpa ada darah manusia sedikit pun yang mengikuti jalur keturunan. Biasanya sudah berusia ratusan tahun.
4. Yawata no Kami: Atau lebih dikenal dengan nama Hachiman-shin, merupakan dewa perangnya masyarakat Jepang.
