Chapter 1
Destined Meeting
.
.
Bulan Desember telah tiba. Sebagian besar toko otomatis memajang dan menghiasi toko mereka dengan aneka pernak-pernik merah-putih-hijau. Ya, apa lagi yang ada dalam pikiran mereka saat mendengar kata Desember. Natal. Ada natal, ada Santa Claus, ada rusa terbang, pohon Natal, dan malam natal. Dan pastinya hadiah natal. Semuanya itu—hadiah natal, makan malam di malam Natal, pohon natal dan pernak-perniknya, menjadi barang yang seakan-akan mutlak untuk merayakan Natal. Natal menjadi ajang bagi semua orang untuk berjuang—menjual barang-barang mereka sebelum Natal itu sendiri tiba. Dan aku juga akan berjuang. Tapi aku tidak akan berjuang menjual barang dagangan. Aku berjuang untuk menyatakan perasaanku—yah, itulah tekadku.
Aku hanyalah seorang murid SMP biasa, namaku Kagamine Len. Selama ini aku telah memendam perasaanku terhadap teman sejak kecilku, Minegaki Rin. Entah sejak kapan aku menyukainya, karena kebersamaan kami sudah berlangsung selama bertahun-tahun ini. Kami sangat akrab dan aku sangat senang akan hal itu. Namun, aku belum puas jika aku belum menyatakan perasaanku dan mendengar pendapat Rin tentang diriku. Dan kuberanikan untuk menyatakan perasaanku di malam Natal kali ini.
.
.
Waktu berlalu begitu cepat dan tanpa kusadari, malam Natal telah tiba. Seperti biasanya, Rin bekerja sambilan di toko kue dekat stasiun. Malam Natal memang saat yang sibuk, di mana banyak orang cepat-cepat membeli kue untuk mereka nikmati bersama keluarga mereka sepulang kerja. Aku tidak mau mengganggu Rin, jadi aku sendiri yang akan pergi ke toko kue itu dan menyatakan perasaanku saat dia sedang tidak sibuk.
Aku melirik jam dinding itu. Jarum panjang menunjukkan angka 12 dan jarum pendek menunjuk angka 7. Harusnya toko kue tempat Rin bekerja tidak terlalu sibuk pada jam segini di malam Natal. Orang-orang yang datang lewat dari jam 7 biasanya hanyalah para pekerja yang tidak sempat mengambil cuti untuk pulang lebih awal, orang yang hidup melajang, atau orang yang membutuhkan kue mendadak. Jadi, harusnya sekarang Rin sudah bersiap-siap untuk pulang. Karena jarak antara rumahku sampai ke stasiun dekat, dengan cepat aku sampai di depan toko kue itu.
Sesampainya di depan toko kue itu, aku terkejut mendapati seorang anak perempuan yang kira-kira sebaya denganku berdiri di depan toko, tepat di samping vending machine dan melirik ke dalam toko melalui dinding kaca toko—jelas sekali dia sedang mengamati sesuatu atau seseorang dan tidak mau ditemukan oleh seseorang itu. Rambutnya pendek dan berwarna hijau gelap, pipinya memerah karena kedinginan. Ya, kebetulan sekali salju turun saat itu dan udara mulai mendingin. Aku lebih terkejut lagi saat menyadari bahwa anak itu hanya mengenakan pakaian tipis. Aku mengamati anak itu sebentar, dan akhirnya memutuskan untuk menghampirinya.
" Hei, apa kau tidak kedinginan?" tanyaku. Anak itu tampak sangat terkejut dan segera menoleh. Nafas hangatnya yang keluar segera disambut dengan baik oleh dinginnya malam itu—menjadi embun putih. Tangannya putih sekali dan pipinya tampak lebih merah dari dekat. Aku tidak tahan melihatnya yang berdiri di sana, kedinginan. Kebetulan sekali aku sudah memakai sweater dan jaket, jadi aku akan baik-baik saja meski aku meminjaminya syalku.
" Aku tidak tahu apa yang kau lihat dari sini, tapi pakailah ini untuk sementara," kataku sambil menyodorkan syalku kepadanya. Dia tampak sangat terkejut—tetapi kemudian dia tersenyum lembut dan mengambil syal yang kusodorkan kepadanya.
" Terima kasih... Aku baik-baik saja, kok," katanya dengan suara yang halus dan lemah. Setelah memakai syal pemberianku, dia segera kembali 'mengintai' dari balik kaca. Aku penasaran dan berusaha mengikuti arah pandangannya—dan tampak jelas bahwa dia sedang melihat seorang anak laki-laki yang asyik bergurau dengan orang lain—wajah lawan bicaranya tak tampak karena tertutupi rak.
"...Pacarmu?" tanyaku.
" Eh, ah... Bukan... Rinto itu... Dia orang yang kusukai...," katanya murung. Aku terdiam melihat wajah murungnya itu.
" Kau penasaran 'kan?" tanyaku.
" Eh?" Pandangannya tertuju ke arahku—matanya menyorotkan keheranannya.
" Kalau penasaran dengan siapa dan apa yang dia bicarakan, kita masuk saja, diam di sana sebentar sampai rasa penasaranmu terjawab—dan beli saja roti kecil," saranku dengan entengnya. Mungkin karena hal ini terjadi kepada orang lain, makanya aku bisa mengatakan apa saja tanpa memikirkannya dengan serius.
" Ayo," kataku sambil memasuki toko dengan entengnya. Tujuan utamaku 'kan, untuk menemui Rin, jadi cepat atau lambat aku juga akan masuk.
Bingung dengan apa yang harus diperbuatnya, anak perempuan itu mengikuti Len memasuki toko itu. Dan tepat di depan pintu masuk toko itu, Len berhenti. Anak itu menabrak punggung Len yang berhenti dengan tiba-tiba. Len tetap tidak bergerak—pandangan matanya lurus ke depan.
.
.
" Oh, Len!" sapa Rin yang berada di dalam meja kasir dengan riangnya, "kenapa kau kemari? Apa kau butuh kue mendadak? Biasanya 'kan, kau tak mau keluar rumah di malam Natal."
Penasaran dengan apa yang terjadi, anak perempuan yang kedinginan itu memutuskan untuk berjalan melewati Len dan berdiri di sebelahnya.
" Ah, Gumi!" sapa seorang anak laki-laki berambut pirang yang agak gondrong—dengan beberapa jepit menghiasi rambutnya itu, dengan maksud agar rambutnya tidak mengganggu pemandangan. Meski begitu, anak laki-laki tersebut tetap tampak keren—warna matanya yang biru tua benar-benar serasi dengan rambut pirangnya itu.
" Rinto...," gumam anak perempuan yang dipanggil Gumi itu dengan lemah, karena sudah lama berdiri kedinginan di luar.
" Ah, kau pasti teman kecilnya Rinto, ya?" kata Rin saat melihat Gumi, "aku sering dengar tentangmu dari Rinto! Katanya, kau seperti adik perempuannya saja! Kalian pasti akrab, ya!"
'DEG! Rinto...,' Len tertegun, 'Rin memanggil anak itu dengan nama kecilnya...'
"...Adik perempuan...," gumam Gumi dengan suara lirih, dan hanya Len—yang berdiri di sampingnya yang bisa mendengarkan gumamannya.
" Len! Perkenalkan, ini Nemikagi Rinto, dia itu Senpai (kakak kelas) yang kuceritakan di klub keterampilanku!" kata Rin.
'...Ya ampun, kukira Senpai yang dimaksud oleh Rin itu adalah anak perempuan... Bodohnya aku, ternyata dia itu laki-laki... Dan mereka tampak sangat akrab...,' Len termenung mengingat kembali saat Rin menceritakan tentang Senpai yang ia kagumi di klubnya. Rin sering sekali menceritakan soal Senpainya itu, namun tak pernah sekali pun Len menyangka bahwa Senpai yang Rin ceritakan itu ternyata adalah seorang laki-laki. Bagaimana pun juga, keterampilan itu identik dengan anak perempuan, itulah hal yang Len pikirkan.
" Ah, kenalkan, aku Kagamine Len... teman kecilnya Rin," kataku, sambil tetap berusaha tersenyum. Berpikirlah positif, Len... Belum pasti ia dan Rin...
" Ahaha, kalian akrab sekali ya, jangan-jangan kalian pacaran?" tanyaku separuh bercanda. Gumi langsung terkejut mendengar pertanyaanku dan menoleh ke arahku dengan tatapan mata tajam.
" Eh...," muka Rin memerah.
" Yah, begitulah," kata Rinto dengan bangganya.
JLEB!
Senjata makan tuan...
" Oh... oh begitu, selamat ya... Oh ya... aku lagi buru-buru sekarang, bisa tolong ambilkan aku roti melon?" tanyaku, sambil berusaha tetap tersenyum.
.
o0o
.
Tepat setelah aku berhasil membayar roti lemonku yang kubeli hanya sebagai alasan untuk menutupi niat asliku datang ke toko itu, Gumi menarikku keluar toko dan baru melepaskanku saat kami sudah agak jauh.
" Apaan sih?" tanyaku, agak risih dengan perbuatannya itu.
PLAK!
" Sakit!" teriakku kaget, tiba-tiba saja Gumi menamparku.
" Buat apa... buat apa kamu tanya yang nggak perlu, sih!" katanya dengan mata berkaca-kaca. Aah, benar juga. Dia juga patah hati. Aku sama sekali tidak memikirkannya pada saat aku melontarkan pertanyaan itu.
" Hei, tenanglah, aku tahu perasaanmu...," kataku.
" Apanya yang mengerti perasaanku!" Air mata mengaliri pipinya. Mungkin dia juga sudah menyukai Rinto sejak kecil, sama sepertiku.
" Aku juga baru patah hati, kok," kataku.
" ...eh?" tanya Gumi, dia tampak tak percaya dengan apa yang baru saja kukatakan.
" Serius... Habis, cewek yang kusukai diambil oleh cowok yang kau sukai," kataku, berusaha tertawa, tapi gagal.
" Ah!" Gumi segera menutupi mulutnya, " maaf..."
" Sudahlah, tak apa, aku juga salah, tadi aku sama sekali tidak memikirkan perasaanmu," kataku, "kita teman senasib, ya. Namaku Kagamine Len, perkenalkan. Kalau kamu?"
" Ah... maaf, aku belum memperkenalkan diriku, ya? Namaku Nanajima Megumi," kata Gumi.
" Karena kita baru saja patah hati... Bagaimana kalau kita pergi ke karaoke dan menyanyi sepuasnya?" tanyaku.
" Eh? Tapi 'kan...," ia tampak ragu.
" Kumohon... Aku sudah tak tahu lagi harus bagaimana...," kataku dengan lemah, sambil berusaha menahan air mata yang hendak mengalir. Harusnya sekarang aku dan Rin merayakan Natal kami berdua. Kalau saja aku lebih cepat mengambil inisiatif... Kalau saja dari dulu... mungkin aku bisa meraih hati Rin. Tapi sekarang... Aku tahu tak ada gunanya menangisi hal yang sudah lalu, tapi saat ini, pikiranku kosong.
" Baiklah...," kata Gumi—dari nadanya, jelas bahwa ia mengetahui kesedihan dan penyesalanku—ia juga merasakan hal yang serupa denganku saat ini.
.
o0o
.
Di tempat karaoke, kedua orang yang baru patah hati itu tidak tanggung-tanggung lagi melimpahkan kekesalan dan kesedihan mereka. Saat mereka baru datang, yang mereka nyanyikan hanya lagu-lagu sedih, putus cinta, patah hati, lagu galau, dan semacamnya. Tetapi seiring waktu berlalu, lagu-lagu pelan dan sedih itu berganti menjadi lagu keras penuh teriakan yang mengguncang dunia. Usai menyanyikan banyak lagu, akhirnya mereka berhenti sejenak untuk mengambil nafas.
" Aaaahh!" Tiba-tiba saja Len berteriak.
" E-eh? Ada apa, Kagamine?" tanya Gumi yang terkejut.
" Apanya yang Senpai di keterampilan! Apanya yang aku hanya teman akrab! Kalau kau memang tak punya perasaan apa pun padaku, jangan terlalu baik padaku dong! Menyebalkaannn! Semuanya menyebalkaann!"
" Eh...," Gumi terkejut. Len berhenti berteriak—tenggorokannya sudah terasa kering dan sakit sekarang. Nafasnya ngos-ngosan, namun ia bisa tersenyum sekarang—setelah menumpahkan kekesalannya dengan berteriak.
" Kau juga coba saja, setelah berteriak, rasanya jadi lega," kata Len seraya ia mengambil air putih yang telah disediakan di atas meja. Gumi tampak ragu sejenak akan nasihat Len—namun jelas ia agak tertarik dengan apa yang Len katakan. Gumi pun menghirup nafas dalam-dalam dan...
" Apanya yang adik perempuan! Aku tak pernah sekalipun melihatmu sebagai kakakku! Aku selalu menyukaimu, kenapa kau tidak menyadarinya, Rinto bodohhh! Aku takkan mau membantumu lagi, dasar bodoh!" teriak Gumi. Len agak terkejut mendengar teriakan Gumi, karena sedari tadi yang ia dengar hanya suara pelan Gumi, ia tak pernah berpikir bahwa Gumi sanggup menjerit sekeras itu.
Dan teriakan mereka terus terdengar selama beberapa saat... Untung saja setiap ruangan karaoke dilengkapi dengan alat pengedap suara.
" Bagaimana, lega 'kan?" tanya Len.
" Iya," kata Gumi, akhirnya tersenyum juga.
" Kau murid kelas sebelah 'kan?" tanya Len setelah berusaha mengingat kembali warna rambut Gumi yang agak aneh dan lain daripada yang lain.
" Ah iya, benar juga, kau 'kan murid kelas sebelah! Aku sering melihatmu! Tak kuduga kita akan berkenalan dengan cara seperti ini," kata Gumi, baru tersadar saat ia melihat Len dengan seksama.
" Kita berteman ya, mulai sekarang!" kata Len, menyodorkan kepalan tangannya. Gumi agak bingung pada awalnya, tetapi akhirnya ia juga ikut mengepalkan tangannya dan mereka berdua pun melakukan salam pertemanan ala Len.
Bersambung...
Ditunggu reviewnya ya! ^^
