Fic Ino-centric lagi! Ahaha, saya memang suka dengan karakter cewek centil ini, entah kenapa. Fic ini mungkin agak panjang (kalau saya teruskan sampai tamat), jadi mungkin agak lama selesainya. ^^' Akhir kata, enjoy…
Disclaimer : Naruto dan semua karakter yang ada di fic ini punya Masashi Kishimoto.
Warning : AU, OOC.
Tok, tok, tok!
"Ino? Kau ada di dalam?" panggil Inoichi sambil mengetuk pintu kamar Ino.
Ino menoleh ke arah pintu. Dengan segera dia bangun dari kasur dan meletakkan majalah yang baru saja dibacanya. Gadis berambut pirang itu berlari kecil menuju pintu sementara suara ketukan pintu masih terdengar. Suara Inoichi juga belum berhenti berkumandang.
"Ino! Ino! I…" suara Inoichi terpotong ketika anak gadisnya membuka pintu. Inoichi menghela nafas ketika melihat anak perempuannya. Penampilan Ino tidak rapi seperti saat dia keluar rumah. Kaos oblongnya kusut karena dia habis berbaring di kasur, rambutnya yang digerai juga berantakan.
"Kau itu ya! Hargailah orang tuamu yang sudah susah payah mengeluarkan suara untuk memanggilmu!" kata Inoichi kesal. Ino meringis tanpa rasa bersalah.
"Ada apa?" tanya Ino. Inoichi memandang Ino sejenak.
"Izinkan ayah masuk," kata Inoichi. Ino bergeser sedikit untuk memberi jalan kepada ayahnya. Inoichi masuk ke kamar putrinya itu.
Kamar yang didominasi warna ungu dan krem, perpaduan yang manis sekaligus mencerminkan pribadi pemiliknya. Di tengah ruangan kasur empuk bertengger, di pojok ruangan lemari besar–yang dapat dipastikan penuh terisi baju–berdiri kokoh. Di samping kiri kasur terdapat lampu yang disangga oleh meja kayu kecil. Tepat di hadapan kasur terdapat televisi besar yang masih menyala tapi tak bersuara.
"Matikan TV-mu kalau tak dilihat," kata Inoichi sedikit kesal. Ino sambil meringis mengambil remote dan menekan sebuah tombol. Dengan sukses TV itu mati.
"Ada apa sih? Sampai minta masuk kamar segala?" tanya Ino penasaran. Gadis pirang itu duduk di samping kasurnya dan menepuk bagian kasur di sebelahnya, memberi isyarat kepada ayahnya untuk duduk. Inoichi pun berjalan mendekati Ino dan duduk di sebelahnya.
Inoichi menghela nafas panjang, terlihat serius. Mau tak mau Ino merinding melihat tingkah laku ayahnya. Si gadis punya firasat bahwa ayahnya akan mengatakan sesuatu yang tak mengenakkan baginya.
"Begini," kata Inoichi memulai. Ino berkeringat dingin.
"Kau tahu 'kan kalau ayah, ayah Shikamaru, dan ayah Chouji bersahabat?" kata Inoichi kini menatap Ino. Ino menelan ludah.
"I-iya," kata Ino. Ino sendiri heran mengapa ia bisa gagap. Apa mungkin di ketularan si Hyuuga Heiress, Hinata?
"Nah," kata Inoichi. Ino sangat tak nyaman bila diajak bicara dan selalu sepotong-sepotong begitu, itu membuatnya terganggu. "Kami tidak ingin persahabatan kami putus."
'Sudah tahu!' kata Ino dalam hati. Jelas lah mereka tak ingin persahabatan mereka putus, Ino juga tak ingin persahabatannya dengan Shikamaru dan Chouji putus kok! 'Kenapa nggak to the point aja sih!'
"Jadi, waktu kecil, kami punya rencana," kata Inoichi, Ino menunggu kelanjutan perkataan ayahnya. "Bahwa kami akan menikahkan anak kami."
Apa?
Apa?!
"Dan kebetulan kau perempuan, jadi kau bisa dinikahkan dengan salah satu di antara Shikamaru dan Chouji," kata Inoichi. "Kami ingin menjodohkan kalian."
Apa?
Apa?
APA?!
"APA?!"
"Kami ingin menjodohkanmu dengan Shikamaru dan Chouji," kata Inoichi tenang, sementara amarah dan keterkejutan Ino tak bisa dibendung lagi.
"Dijodohkan?!" raung Ino, membuat gendang telinga Inoichi nyaris pecah. "Dengan Shikamaru dan Chouji?!"
Inoichi mengangguk pelan. Ino membulatkan mulutnya sambil mengernyit.
"Tapi aku tak bisa menikahi dua cowok sekaligus, Ayah!" kata Ino. Inoichi menghela nafas panjang.
"Ayah tahu," kata Inoichi. Ino makin gelisah. "Kau akan memilih salah satu di antara mereka."
"'Akan?!'" kata Ino emosi. "Jangan pikir aku mau dijodohkan semudah ini, Ayah! Ini bukan zaman Siti Nurbaya!"
Tunggu dulu, dari mana Ino bisa tahu siapa itu Siti Nurbaya?
"Siapa Siti Nurbaya itu, Nak?" kata Inoichi, out of topic.
Ino menggeleng. Kalau saja Inoichi digambar dalam manga pasti sudah ada sebutir keringat di dahinya. Sweatdrop.
"Ah, yang pasti aku nggak mau dijodohin!" kata Ino. Dia mengacak-acak rambutnya yang memang dari tadi sudah kusut. Inoichi menghela nafas untuk yang ke sekian kalinya.
"Nak, Ayah mohon! Ini demi persahabatan InoShikaChou! Bila kau menikah dari salah satu di antara Shikamaru dan Chouji pasti ikatan persahabatan InoShikaChou akan makin erat! Apa kau tak mau itu terjadi?" tanya Inoichi, membuat Ino tertohok.
"Nggak! Aku nggak mau!" kata Ino. "Aku masih ingin menikmati masa muda! Aku belum ingin menggendong anak sementara teman-temanku menggendong buku! Aku masih ingin pacaran dengan banyak cowok dan memamerkan mereka di depan teman-temanku! Aku ingin menentukan jodohku sendiri!"
"Nak! Kau meracau seolah-olah besok kau akan menikah!" kata Inoichi, membuat Ino bingung.
Jadi dia tidak akan menikah besok?
"Jadi… aku tak akan menikah besok?" kata Ino yang mulai tenang. Inoichi sedikit lega melihat anaknya mulai 'jinak'. Dengan mantap Inoichi mengangguk.
"Hore~!" kata Ino sambil mengacungkan tinjunya. Inoichi tersenyum melihat tingkah laku anak semata wayangnya itu.
"Tapi tiga tahun lagi," kata Inoichi, menohok Ino.
"APA?!" teriak Ino untuk kesekian kalinya. Inoichi mengernyit, seperti menahan sakit di telinganya yang diakibatkan suara anak perempuannya yang benar-benar mematikan. Anak perempuannya ganas juga.
"Ayolah Ino, tiga tahun lagi kau dua puluh tahun, sudah cukup usia untuk menikah," kata Inoichi berusaha menenangkan anaknya yang mulai beringsut lagi. Ino jadi terengah-engah saking marahnya, seperti banteng siap menyeruduk.
"Tapi bagaimana dengan kuliahku?!" kata Ino dengan emosi yang membakar jiwa. Inoichi menepuk pundak anak gadisnya dengan aura kebapakan yang sama sekali tak berpengaruh pada Ino.
"Kau masih bisa kuliah 'kan setelah menikah?" kata Inoichi enteng, seolah-olah topik yang mereka bicarakan adalah topik-topik ringan macam topik obrolan di warung kopi. "Apa susahnya sih kuliah setelah menikah? Kalian bisa menunda punya anak kok."
Ino makin geram setelah mendengar kalimat terakhir yang diucapkan ayahnya.
"Ugh… Ayah berkata begitu seolah-olah aku menyetujui perjodohan ini!" kata Ino emosi.
"Tolonglah Ino, pertimbangkan dulu," kata Inoichi, memohon. "Besok mereka akan datang, tolong jangan permalukan ayah."
Ino terdiam, membisu. Dia tak berkata apa-apa. Ekspresinya melunak. Tampaknya rasa kasihannya lebih kuat dari amarahnya.
"Tapi aku tak mau…"
"Tolong Ino," pinta Inoichi. "Temui mereka jam tujuh malam besok. Kau hanya perlu keluar dari kamarmu dengan penampilan rapi. Itu saja."
Ino menunduk, seperti mempertimbangkan, walau wajahnya menunjukkan bahwa pilihan yang diberikan kepadanya sama-sama tidak mengenakkan.
"Baik, Ayah," kata Ino. Si pirang mendongak dan memberikan senyuman kepada ayahnya, berusaha menenangkan, walau alisnya bertautan dan melengkung ke atas.
Ayah Ino seperti terenyuh, dengan mata berkaca-kaca dia merengkuh anak putrinya dalam pelukannya. "Terimakasih, Ino."
"Sama-sama," kata Ino pelan. "Aku 'kan anak Ayah, aku nggak boleh mengecewakan ayah."
Inoichi makin terenyuh dengan pengorbanan anak semata wayangnya. "Ino…" kata Inoichi. "Ayah bangga punya anak sepertimu, Nak."
Ino mengangguk dan tersenyum menenangkan. Inoichi membalas senyuman anaknya.
"Baiklah," kata Inoichi. Dia bangkit dari duduknya dan berjalan keluar dari kamar Ino. "Ayah pergi dulu."
Ino mengangguk.
"Jangan lupa besok malam," kata Inoichi ketika tangannya memegang pegangan pintu. "Ayah tak meragukan kemampuanmu dalam bersolek."
Ino mengangguk untuk yang ke sekian kalinya. Inoichi pun tersenyum untuk terakhir kali dan meninggalkan ruangan, menutup pintu sehingga hanya menyisakan seorang gadis dalam kamar itu.
"Tentu saja, Ayah," kata Ino sambil berjalan menuju pintu kamarnya. Dia menempelkan telinganya ke pintu setelah sampai tepat di depan pintu. Si gadis pirang tersenyum ketika mendengar langkah kaki ayahnya yang menjauh. Dengan sekali gerakan ibu jarinya dia berhasil mengunci pintu kamarnya. "Aku akan melaksanakan perintah ayah."
Ino kembali ke tempat tidurnya, dan dengan enteng melempar tubuhnya ke atas kasur yang empuk. Gadis Yamanaka itu memejamkan mata dan menghela nafas. Dia membuka matanya dengan cepat dan meraih telepon genggamnya yang tepat berada di sebelah kanannya.
"Aku pasti akan bekerja sama dengan Shikamaru dan Chouji kok," kata Ino sambil menyeringai menatap layar telepon genggamnya.
-TO BE CONTINUED-
Baru prolog. =.=a Tadinya mau diterusin sampai Ino melaksanakan rencananya, tapi karena kaya'nya kepanjangan saya tulis aja sampai segini. ^^'
Review please?
