To: Baozi

Hei, Minseok.

(Bolehkah aku memanggilmu Baozi seperti dulu?)

.

.

To: Baozi

Kudengar kau kembali melanjutkan S-2 ya? Selamat.

(Aku tidak mau kau terlalu memaksakan diri.)

.

.

To: Baozi

Hei. Sedang apa?

(Aku merindukanmu. Apa kau merindukanku?)

.

.

To: Baozi

Aku membeli baozi saat dijalan. Aku jadi mengingatmu, Real Baozi.

(Sebenarnya... aku selalu teringat padamu setiap saat.)

.

.

To: Baozi

Hari ini aku akan naik ke atas panggung sendirian. Rasanya deg-degan sekali! Seandainya kau bisa menemaniku disini.

(Aku berharap kau jadi orang pertama yang mengucapkan selamat padaku.)

.

.

To: Baozi

Filmku akan diliris! Jangan lupa tonton ya, baozi... kalau sempat.

(Aku tau kau sangat sibuk. Tapi bisakah aku berharap?)

.

.

To: Baozi

Kau terlihat sangat senang saat The Lost Planet di Jepang. Aku ikut senang melihatnya. :)

(Aku merindukan masa-masa itu.)

.

.

To: Baozi

Wow! Chen yang akan jadi partnermu untuk melakukan fake kiss? Wow!

Serius aku terkejut. Bagaimana rasanya melakukan fake kiss dengan ChenChen? Kau kan sangat dekat dengannya.

(Aku sangat sangat cemburu.)

.

.

To: Baozi

Ugh, maaf. Rasanya aku keterlaluan.

(Aku menyinggung perasaanmu kan?)

.

.

To: Baozi

Aku kembali menonton EXO Showtime episode 9. Kau benar-benar tidak mengeluarkan sepatah katapun.

(Jarimu masih terasa di bibirku saat kau menutup mulutku supaya diam.)

.

.

To: Baozi

Coba tebak? Aku bertemu Yifan! Astaga! Tapi aku mencoba berbicara dengannya menggunakan kepala dingin. Sama seperti nasehatmu, aku akhirnya tau alasan yang jelas mengapa.

(Jika kamu ada diposisiku dan aku diposisi Yifan, apakah kau juga akan bertanya tentang alasan mengapa?)

.

.

To: Baozi

Aku sudah melihat MV remakemu. A Glass of Soju. Lagu yang sangat kau sukai kan?

Kau sangat lucu saat menggunakan kostum beruang itu. Dan saat kau mencoba melindungi gadis itu... aku terharu saat menontonnya.

(Itu lagu kita berdua bukan? Aku iri terhadap gadis yang ada di MV-mu itu, haha.)

.

.

To: Baozi

Semangaaat!

Entah kenapa aku ingin mengucapkan itu padamu.

(Sebenarnya aku rindu saat kau menyemangatiku.)

.

.

To: Baozi

Aku... ah. Apa aku tidak berguna, Minseok?

(Aku tidak berguna. Rasanya aku ingin mati saja.)

.

.

To: Baozi

Aku sangat melankolis sekali kemarin. Maafkan aku jika itu mengganggumu.

(Seandainya kau disini menenangkanku.)

.

.

To: Baozi

Hari ini aku akan berangkat ke Hong Kong. Di bandara rasanya beda sekali. Mungkin karena aku terbiasa bersama denganmu saat dibandara ya.

(Aku rindu saat memelukmu dibandara.)

.

.

To: Baozi

Minseok, aku... merindukanmu.

(Aku selalu merindukanmu.)

.

.

To: Baozi

Apa kau masih marah? Karena aku teringat wajahmu saat aku pamit.

(Bayang-bayang wajah kecewamu terus menghantuiku.)

.

.

To: Baozi

Bagaimana kuliahmu? Apa semua berjalan lancar?

(Kau pasti sangat bahagia sekarang.)

.

.

To: Baozi

Aku menonton Miracle in Cell no. 7 lagi. Tapi kali ini aku menontonnya sendirian. Kau tau? Aku menghabiskan sekotak tisu. Astaga, aku cengeng sekali. Mau menontonnya berapa kalipun aku pasti akan tetap menangis.

(Aku juga menangis saat mengingatmu.)

.

.

To: Baozi

Aku tau ini memalukan, tapi aku seharian menonton fanvid tentang kita dan rasanya... wow, aku tambah merindukanmu.

(Aku benar-benar merindukan masa-masa kita.)

.

.

To: Baozi

Apa kau sudah menerima paketku? Ku harap kau menyukai dim sum buatan ibuku. Ibuku bilang jika kau mau lagi, datanglah. Kami menunggumu.

(Kuharap kau mau berkunjung walaupun hanya sekali saja.)

.

.

To: Baozi

Aku bosan.

(Tapi aku tidak pernah bosan denganmu.)

.

.

To: Baozi

Astaga, kantung mataku menebal. Lama-lama aku bisa jadi panda. :(

(Kau tau? Aku memikirkanmu setiap saat sampai aku lupa tidur.)

.

.

To: Baozi

Kenapa tidak diangkat? Apa kau sibuk? Kalau begitu, maaf. Mungkin aku akan menelponmu lain waktu.

(Aku merindukan suaramu.)

.

.

To: Baozi

Aku ingin memelukmu.

(Dan tidak akan pernah kulepas selamanya.)

.

.

To: Baozi

Aku masih menyimpan barang kita. Apa kau juga?

(Aku tidak akan pernah membuangnya. Satu-satunya kenanganku denganmu.)

.

.

To: Baozi

Kapan kau akan ke China?

(Aku akan menyambutmu dengan tangan terbuka.)

.

.

To: Baozi

Aku menunggumu.

(Sampai rasanya aku benar-benar sudah gila.)

.

.

To: Baozi

Aku akan ke Seoul besok selama dua hari. Bisa kita bertemu?

(Kumohon?)

.

.

To: Baozi

Ku dengar kau sedang menyiapkan comeback ya?

(Kau pasti sangat-sangat sibuk.)

.

.

To: Baozi

Besok aku akan pulang. Apa kita benar-benar tidak bisa bertemu?

(Sudah tidak ada harapan ya?)

.

.

To: Baozi

Malam nanti jam 11, aku akan kembali ke Beijing. Kuharap kau bisa datang. Aku hanya ingin melihatmu walaupun untuk yang terakhir kalinya.

(Kumohon baozi... kumohon.)

.

.

To: Baozi

Apa kau benar-benar tidak akan datang?

(Aku kehabisan harapan sekarang...)

.

.

.

Luhan tersenyum pahit. Tidak ada balasan, tidak akan pernah ada balasan. Pemuda keturunan China itu menarik kopernya dan berjalan perlahan. Bandara Incheon lumayan sepi malam ini. Ia memang sengaja untuk mengambil penerbangan yang mengecoh para fans. Pikirannya kembali melayang. Jika pemuda itu tidak datang, ia akan mencoba untuk move on.

Tapi rasanya itu tidak mungkin.

Terlalu banyak kenangan yang ia buat bersama pemuda bermarga Kim tersebut. Luhan tidak pernah ada niatan untuk menghilangkan semua kenangan itu.

"Benar-benar tidak datang ya?"

Luhan mendongakkan kepalanya. Ia membenarkan topi di kepalanya. Menatap bintang-bintang dan bulan di langit luar sana. Setengah jam lagi pesawat yang ditumpanginya akan berangkat menuju tanah kelahirannya. Mungkin ia terlalu cepat ke bandara dengan harapan pemuda itu akan datang menemuinya.

Helaan nafas keluar. Langkah kakinya mulai berat. Berat sekali rasanya meninggalkan negara di mana rasa itu lahir. Harapan, kerja keras, percaya satu sama lain, dan—mungkin—cinta lahir disini.

Untuk yang terakhir kali, ia menoleh ke belakang. Dengan harapan yang tersisa.

Namun semua itu sia-sia. Tidak ada orang yang ia harapkan untuk datang sejauh mata memandang.

Lagi-lagi rasa itu menyeruak keluar dari dadanya.

Hampa.

Luhan tersenyum kecut. Ia kembali menatap lurus ke depan dan melangkahkan kakinya. Mendorong pintu ruang tunggu sampai suara seseorang mengusik pendengarannya.

"Luhan!"

Awalnya Luhan menggeleng—mungkin hanya halusinasinya saja mendengar suara itu. Suara yang selama ini selalu muncul dalam mimpinya, suara yang ia ingin dengar walaupun sebentar saja, suara yang selama ini ia—

"LUHAN!"

—rindukan.

Kepala sang rusa menoleh. Mata bulatnya mendapati sesosok yang ia rindukan berdiri tak terlalu jauh dari tempatnya berdiri. Luhan tau kalau pemuda itu habis berlari. Terlihat dari nafasnya yang tidak teratur.

Luhan menutup pintu ruang tunggu kembali. Menarik kopernya dan berjalan berlawanan arah. Menyisakan jarak dua meter diantara mereka berdua. Menatap manik milik pemuda di depannya sepuasnya. Senyum lega terpatri di wajahnya. Sebisa mungkin ia menahan air matanya agar tidak jatuh.

"Kau datang, Minseok."

.

.

.

.

.

This is not the end.

.

Mind to review? Have a nice day.

—kimeanly.