3^07
Sebuah kegajean berbentuk fiksi penggemar.
Disclaimer : Mystic Messenger mau sampai kapanpun tetap punya Cheritz~
Cerita yang sama pernah dipublikasikan di tempat lain dalam bahasa Inggris berbentuk dialog percakapan. Yang nulis tetep gue QwQ)
Efef ini menyajikan sedikit perpanjangan dari cerita tersebut, yang terinspirasi oleh salah satu adegan di drama seri sebuah TV swasta. Credits to yang nulis skenario ~ Kesamaan dengan adegan lain murni tidak disengaja.
"Oppa, bisa minta tolong sedikit?"
Zen duduk di salah satu sisi tempat tidurnya, tangan kanannya menopang smartphone ke telinganya.
"Boleh. Apa yang bisa Oppa bantu?"
"Gini, nih. Aku mau nyatain perasaan gitu ke orang, tapi aku gugupan pas ngomong langsung… Oppa bisa bantu aku latihan sebentar?"
Suara lembut sang gadis seakan menjelma menjadi duri mawar imajiner yang menusuk hatinya, namun ia masih sanggup menganggukkan kepala.
"Oh, gitu… Ya udah, aku bantuin. Kamu harus berani buat ngungkapin perasaan kamu yang sesungguhnya!" nada suaranya terdengar hangat. "Aku yakin kamu pasti bisa!"
"M-makasih, Oppa…" sahut sang gadis dari seberang. "Aku mulai, ya…"
Gadis itu tak bisa melihat wajah tegang Zen dari sana, bukan?
"Um… A-aku… Aku…"
"Suaranya kencengin. 'Ntar yang ditembak nggak bisa dengerin, lho!" Zen memberikan sepatah tawa untuk mencairkan suasana. "Coba ambil napas dalam-dalam, rilekskan pikiran…"
Terdengar suara tarikan nafas dalam, disusul dengan hembusan nafas.
"Sudah mendingan?"
"Sudah…" meskipun masih ada getar dalam suaranya. "Aku lanjutin, ya…"
'Jangan!'
…Itu yang ingin diserukannya, entah dengan nada seperti ibu-ibu atau seorang pria yang sedang cemburu.
"Silakan."
"Um… Aku mau bilang, aku suka sama kamu! T-tapi kalau kamu nggak suka juga nggak–"
"Hei hei, MC! Sebentar, sebentar!" Zen menge-cut dialog sang pemeran utama wanita. "Kamu nggak boleh menyerah duluan sebelum dengar jawaban dia! Ayo coba lagi!"
Terdengar helaan nafas pelan dari sana, membuat hatinya serasa teremas kuat.
"A-aku mau bilang aku suka sama kamu!"
Sesak.
"…Er, segitu bisa, Oppa?"
Zen tersadar dari lamunannya. Cepat-cepat diaturnya nada suaranya untuk menyembunyikan apa yang ia rasakan.
"Sip. Kece! Singkat, jelas dan padat!" Senyumnya lebar untuk mendukung intonasinya. Ia berharap semoga sambungan telepon dapat menyamarkan getar-getar pada suaranya. "Yang ditembak pasti ngerasa bahagia mendengarnya! Good luck, ya!"
"E-eh… Makasih banget, lho, Oppa! K-kalau gitu aku permisi dulu, ya! Semoga harimu menyenangkan!"
Sambungan telepon terputus. Zen hanya bisa memandangi layar smartphone-nya dengan tatapan kosong.
"…Kamu juga."
Ia menggenggam erat smartphone-nya dengan kedua tangannya.
"Aku suka kamu juga…"
.
.
.
Sementara itu, di seberang sana, seorang wanita muda menutupi mulutnya dengan tangan kirinya yang gemetaran. Tangan kanannya masih memegangi smartphone yang ia gunakan untuk menelepon Zen. Wajahnya memerah. Matanya basah, menahan haru.
"…Akhirnya… aku berhasil mengatakannya pada Oppa…"
