Title : Rain Drop Memory
Pair : {AkashixOC}
.
Disclaimer : I don't own the character, their was Fujimaki Tadatoshi's. No Copying right story. No comment acceptable. Dont like dont read. Admitted for fave or foll.
.
.
There is no either good or bad, But thinking make it so
-William Shakespeare-
.
.
Aku yakin. Tidak semua orang bahagia. Berkali – kali mereka memohon, tanpa harapan. Tanpa keinginan. Tanpa ... tujuan.
Kesempatan terakhirku terbuang begitu saja. Begitu membuka mata, aku kehilangan arah. Putih pandanganku, kosong pikiranku. Beratus bahkan beribu – ribu kali aku mencoba untuk bangun. Apa, bangun? Benarkah? Jadi saat ini aku tertidur ? jadi saat ini ... aku tergeletak begitu saja? Saat ini, aku tidak memikirkan dimana aku terbaring, tubuhku maksudnya. Yang kupikirkan adalah apa aku terbaring dengan atau tanpa hembusan napasku.
"Hiduplah ... "
.Tidak. bagaimana denganmu ...
" tidak perlu mengkhawatirkanku. "
.Takut. aku sudah mati bukan ?
" Tidak. "
.Bohong.
" Aku tidak bohong. Apa buktimu bahwa kau sudah mati? "
.Aku disini. Sendirian.
" ... pejamkan matamu tiga kali. Pada pejaman mata ketiga, buka dengan paksa. ... "
Aku mengikuti saran nya.
1 ...
2...
...
3.
Aku mengedipkan mataku dua kali. Pertama buram, kedua .. nampak jelas kerutan tua dan bintik hitam terpapar di sebuah wajah. Wajah itu terlihat baru saja menangis. Matanya sembab, bibirnya menggigil tidak karuan. Dahinya dikerutkan, menambah kerutan di sekitar wajah. Selain itu, wajah tampak letih nan pilu itu tidak luput dengan memar biru pada bagian pipinya.
" Etria ! Oh, tuhan. Dia bangun ! " seru si pemilik wajah letih itu. Matanya kembali terisak – isak. Tak lama, datang seorang gadis berambut panjang bergelombang. Wajahnya juga memar namun tak separah si wajah letih tadi. Kali ini, giliran gadis itu yang menangis.
" Etria !? Bangunlah ! ini aku ... Rune ! " seru gadis bernama Rune tersebut. Aku ingat gadis ini, Rune. Teman masa kecilku. Sedangkan si wajah letih tadi, nenekku. Nek Nora. Aku berusaha mengangkat rasanya kupeluk dua orang itu.
Astaga, diriku benar – benar tidak berdaya. Lemas. Sama sekali tidak ada tenaga. Rune dan Grand-Nora lekas menggapai tanganku sebelum tanganku yang menggapai mereka. Sembari menangis dan mengatakan, jangan bergerak dulu. Jangan memaksakan diri. Dirimu hidup sudah cukup, kumohon jangan pergi dulu.
Aku tersenyum tipis. Mereka membalasnya dengan tangisan bahagia. Dengan suara lirih, aku mengatakan, ' Aku .. masih kuat ... kok.'. lalu tersenyum kembali. Mereka menampakan wajah lega.
Grand-Nora segera meminta Rune untuk menjagaku. Dia pergi untuk mengambil obat. Rune dengan senang hati duduk disampingku. Sambil membelai rambutku. Andai aku bicara dan bergerak, rambut panjang Rune yang bergelombang akan kujadikan gelombang asli yang bertebaran dimana – mana. Tapi, untuk kali ini saja. Aku biarkan.
Aku melirik lingkungan sekitarku. Diriku terbaring lemas di bawah tenda. Belakangku adalah pohon rindang. Sayang, tertutup debu – debu salju. Banyak orang – orang berlalu lalang. Tapi banyak juga yang terbaring lemas sepertiku. Darah segar mengalir dari masing – masing tubuh mereka. Aku beruntung, yang terluka dalam diriku adalah kakiku. Maaf, aku salah. Aku juga sama seperti mereka. Yang terluka adalah lumbung hatiku.
Dari jauh, Aku bisa melihat berpuluh – puluh asap hitam. Masih berlangsungkah? Tiada akhir untuk perang ini ? tiada akhir untuk penderitaan kami? Perang, perang, dan perang.
Aku melirik wajah Rune. Rune menatap kepulan asap hitam tersebut. Matanya berkaca – kaca. Pengalamaan dan perasaan yang selama ini dia sembunyikan terkuak kembali. Ya, luka itu terbuka kembali. Aku ingin membelai si gadis rambut panjang ini, tapi apalah dayaku. Aku hanya bisa meratapi gadis itu.
Berharap ada sesuatu yang dapat mengalihkan pandanganku dari Rune. Aku melihat langit. Mendung, gelap, dingin. Ah, ini hanya memperdalam saja. Memperdalam penderitaanku.
.
.
.
1770-World War
Dunia diambang kehancuran. Maaf, yang benar .. diambang ujung pedang. Pertanyaannya ujung pedang siapa?
Aku memasukan pedang ku dalam sarungnya. Pedang tipis dan cukup panjang, Rapier. Seperti biasa, rapier itu ku bawa dengan genggaman di tangan kiriku.
Lima belas menit yang lalu, adalah jam latihan pedang khusus wanita. Begitulah sistem di perguruan ini.
Monarchy's Rakuzan. Sebuah perguruan dengan sistem asrama. Perguruan dibawah kendali sang Raja sendiri. Kerajaan Rakuzan. Disini kami, baik pria maupun perempuan menjalani aktivitas yang telah ditentukan. Baru satu bulan aku masuk di perguruan ini. Masih terasa asing.
" Yo, Etria. " sapa seseorang yang menepuk pundak ku dari belakang. Aku menoleh. Rambut coklat panjang, bergelombang. Pita kecil di sisi kirinya. Rune.
" Rune. " balasku. Rune tersenyum kecil.
" Wajahmu kok tegang sekali? "
Aku menatap jendela dibelakang Rune. Meraba – raba wajahku. Tegang?
" Masa' ?" kataku. Rune mengangguk.
" Apa perguruan ini masih terasa asing bagimu? " tanya kembali Rune. Rune segera mengambil satu langkah dariku. Rambutnya yang panjang dan bergelombang itu menari – menari indah mengikuti arus geraknya. " Kau tidak apa ? "
Aku menggeleng. Sembari membandingkan Rune dengan diriku. Rambut coklat, panjang, dan bergelombang di tiap helainya. Rune memang cantik. Aku menatap diriku dari pantulan cermin kaca. Rambut panjang, hitam. Bergelombang bagian bawah saja. Wajahku selalu tegang. Juga watak ku yang pendiam. Berbeda dengan Rune yang ceria.
" Rune ... " kataku dengan suara lirih. Rune menoleh dengan senyumnya yang selalu terpapar. " Tidak jadi. " paparku lagi. Rune menaikan salah satu alisnya.
" Kalau ada hal yang meresahkan, katakan saja. " kata Rune. Sembari mendahuluiku. Lalu menghilang setelah berbelok ke koridor lain. Aku memperlambat langkahku, berharap dapat menceritakan hal yang sebenarnya. Yang selalu meresahkanku. Langkahku terhenti. Sepertinya aku menemukan kuncinya. Aku trauma ?
Hari berlalu begitu saja. Tapi, apa yang kurasakan masih belum berlalu. Ini hanya tanda – tanda badai itu akan datang.
Aku duduk termenung di dekat jendela. Malam serasa begitu lama. Bulan yang nampak juga bersinar cukup terang. Begitu menoleh kearah kamar, Rune sudah tidur. Waktu menunjukan pukul 11 malam. Mimpi buruk yang selalu mendatangiku, terus bergemuruh. Muak aku. Apa aku bisa lepas dari cengkraman ini?
.
.
.
Lima tahun kemudian.
Pembentukan divisi. Divisi yang kami pilih akan berdampak besar pada tugas kami. Sebagai murid perguruan Monarchy. Juga sebagai prajurit Rakuzan. Aku salah satunya. Upacara dan berbagai sakral dimulai. Berikutnya, adalah peringkat sepuluh besar prajurit, yang akan direkrut sebagai battle-front;
" LUIS ARBOUND... DAVIN BERDICH ... ESTHERIA ... ". Astaga, aku terpilih menjadi sepuluh besar Yang terpilih. Lekas aku maju ke depan. Rune terlihat senang, dia berkali – kali menangis terisak. Lebih baik daripada menyorakiku. Begitu selesai pemanggilan. Ditutupi dengan pemberian jubah pada prajurit resmi sepuluh besar.
Aku berdiri tepat didepan seorang pemuda dengan mahkota emasnya. Bersurai emas. Mata heterokromnya menatapku dengan tajam. Berusaha menguak diriku.
Aku berlutut didepannya. Mengalihkan pandanganya. Mencoba untuk fokus pada upacara sakral ini. Pedang bertitah menundukanku. Kilatannya sangat tajam. Dua jendral dibelakang kami mengucapkan sesuatu, yang bahkan tidak kupedulikan. Jubah merah dengan lambang Rakuzan dipakaikan padaku. Lencana emas mengkilap indah dan tegas di dadaku. Kami berdiri, kemudian berbalik menghadap Raja. Raja Akashi Seijuurou. The last Heir.
I was pointed as the first Dual-Blade Master. And the Battle-front Secondary.
My job was pretty difficulties. Although Rune was always help me.
I cannot disturb her everytime. She was pointed as the archery.
Good enough. I never met her anymore...
.
.
" Bagaimana dengan pasukan yang kau kirim ke daerah barat daya? " tanya kopral padaku. Dia melihat berbagai macam kertas laporan yang menumpuk di meja.
" Masih dalam perjalanan, sir. Tapi, sekitar empal puluh persen. Kami sudah berhasil beberapa bandit disana. " jawabku. Kopral mengangguk dan menyuruhku untuk pergi.
Berjalan di koridor gedung battle-front memang menjenuhkan. Sepertiku, sudah lima orang yang melewatiku selalu menunjukan rasa hormatnya padaku dengan menundukan kepala. Ini menggangguku. Bahkan salah satu kenalanku dulu, juga menunjukan rasa hormatnya padaku. Kubalas dengan senyuman tipis. Jenuh sekali disini.
" Estheria. " sapa seseorang dari arah belakangku. Aku menoleh saja. Dua pemuda, yang satu pendek yang satunya lagi tinggi. Reo Mibuchi, Kepala Sektor Battle-Front. Juga, Akashi Seijuurou. Raja Rakuzan.
" Tuan Reo. Yang mulia. " balasku dengan suara lirih. Apa yang mereka lakukan disini? Kalo tuan Reo sih wajar, tapi ... sebelahnya itu lho.
" Estheria, ya. Komandan ketiga Battle-front. Pemegang kendali dual-blade. Dia yang saya bicarakan tadi. " kata Reo pada Akashi. Akashi menatapku terus. Raja aneh. Heterokromnya seakan ingin menguak diriku.
" Bawa dia ke ruanganku. " katanya sembari meninggalkanku dengan Reo. Reo tersenyum padaku, lalu menuntunku. Ke sebuah ruangan dengan langit – langit yang tinggi. Dua – tiga lukisan yang besar. Juga pemuda bersurai merah. " duduklah. "katanya.
Aku duduk. Yang mulia juga duduk. Tuan Reo berdiri dibelakangnya.
" Aku banyak mendengar tentangmu. " Akashi memainkan kertas – kertas di meja. Sekilas yang kulihat, itu adalah informasi tentang diriku. " Ada hal yang harus kubicarakan denganmu. Dan ini sangat darurat. " katanya lagi.
" Sungguh kehormatan bagiku untuk dapat bicara denganmu. " kataku sebagai bualan belaka.
" ... " Akashi terdiam sejenak. " Ku dengar, kau mengerahkan semua pasukanmu untuk pemberantasan bandit di tiga desa. "
" Benar, Your Majesty. "
" tak terpikirkah siapa yang akan menjagamu atau mendampingimu jika suatu saat terjadi sesuatu? Atau kau tidak mau bergabung dengan divisi lain untuk membantumu? "
" Tidak, Your Majesty. "
" kalau begitu, masalah ini tidak cocok untukmu. Kau bisa pergi sekarang. " katanya. Aku kesal, sudah dua kali dalam sehari aku disuruh pergi setelah tidak berguna.
" Your Majesty, apa masalah itu? Bukankah itu darurat, jika boleh. Saya dual-Blade master akan ikut serta. Tidak peduli seberapa kuatnya masalah itu. " kataku.
Akashi terdiam sejenak. " aku akan kesusahan jika komandan ketiga Battle-frontku tidak ada. ".
" Aku dapat membawa serta beberapa pasukanku yang tersisa. Perencanaan dua jam lagi. Mohon ikut sertakan diriku. " kataku sembari menundukan kepala.
Akashi menghela napas dengan berat, lalu." Baiklah, ini masalahnya. Sebuah wabah menyerang dua desa di arah selatan. Sehari sebelum wabah menyerang, ditandai dengan kematian hasil panen yang mendadak. Juga cuaca yang ekstrim dibawah titik beku. " kata Reo. Akashi berjalan mengambil map dunia. Lalu menunjuk letak masalah itu.
" Desa Ordea, dan Morde. Terletak di bagian selatan. Dihimpit dua gunung. Penghasil coklat terbaik dikerajaan kita. Tapi, dengan adanya wabah ini. Sudah tidak lagi." Kata Akashi. Aku mengangguk mengerti.
" Kalau begitu, aku akan pergi kesana dengan dua pasukan elit-ku. Kami akan meneliti disana selama beberapa hari. " kataku sembari akan pergi.
" Tidak, aku dan Reo akan ikut. Sebagai Raja, ini sudah menjadi tanggung jawabku. Reo ! Siapkan kuda. Estheria ! kau harus segera bersiap – siap. Kita berangkat siang ini. " titahnya menutup pertemuan.
Aku segera berlari kecil. Menuju ruanganku tentunya. Kertas – kertas laporan masih menumpuk. Sudahlah, nanti bisa kuselesaikan. Di ruang sebelah, sudah berdiri dua pasukan elitku. Yang satu perempuan, Rose. Dan seorang pemuda, Rey. Mereka berdua pasukan elitku sekaligus muridku. Tentu saja keahlian mereka dual-blade sepertiku.
Gadis berambut pendek mendatangiku. Rose.
" Ada apa? kenapa terburu – buru ? "
" Siapkan kuda dan perlengkapan kalian. Kita ada tugas di daerah dingin. Kita akan berangkat dua jam lagi. Sekarang ! " seruku. Mereka segera pergi. Aku memakai jubahku. Menyiapkan dua rapierku. Berpikir, sejak kapan mereka terbiasa dengan titah mendadak. Mungkin, dariku. Dari dulu aku sering mendadak berganti pemikiran.
Kuda hitam. Kakinya tegap. Suara derapnya sangat tegas dan indah. Larinya cepat. Aku naik ke kudaku. Sengaja kuberi nama Nero karena hitam dalam bahasa Italia adalah Nero. Secepatnya, aku disusul Rose dan Ray dengan kuda coklat mereka.
" Kapten, akan kemana kita ? " tanya Rey. Ini cukup menjengkelkan Rose. Biasanya Rey tidak pernah se-polite begitu kepadanya.
" Desa Ordea dan Morde. Di bagian selatan pulau. Desa penghasil coklat terbaik di kerajaan kita. " jawabku.
" Hanya kita bertiga? " tanya Rey lagi. Dua perempatan muncul di kepala Rose.
" Tidak. " kataku. Seketika itu, Akashi dan Reo datang dari arah yang berlawanan. " Yang Mulia, dan jenderalnya. ". Rey dan Rose melongo melihat kedatangan Akashi dan Reo.
" Kalian sudah siap? " tanya Reo. " Ayo, segera berangkat. "
.
.
Derapan kuda ini seindah proklame – mu
Tarian rambutku yang berkibar indah sehitam hatiku ..
Darah yang mengalir di sepanjang nadiku ini semerah matamu ..
Kilatan pedangku sesilau gerakanku ...
.
.
Rintangan pertama kami. Aku tidak tahu bahaya apa yang datang, tapi .. jika itu nasibku, takdirku, alasanku, dosaku bisa dibilang begitu. aku tidak ada penyesalan. hanya, kenanganku yang hilang ini adalah satu - satunya alasan aku hidup. satu - satunya, aku bahkan lupa apa yang menyebabkan kenanganku hilang.
Hujan belum turun. langit menyongsong kedatangan sinar matahari. kenanganku tersembunyi dibalik awan gelap, namun yang kudapat awan putih dengan sisi innocent-nya. sisi itu membuatku muak, ingin kunoda dengan berbagai macam warna. merah, misalnya. sekilas, aku melirik dan ingat dengan pemuda bersurai merah. Akashi. pasti indah, jika merahnya kupaparkan diantara awan putih itu. menambah hiasan untuk kenanganku.
TBC
.
.
Maaf, penjelasan untuk OC-nya kurang jelas. tapi, mohon kritik dan saran yang bisa membantu Author. Author akan berterima kasih sekali. salam baca, Reader terhormat.
- Sincerely, Scarlet -
