Say With Flower by Kusanagi Mikan

Vocaloid by Yamaha and Crypton FM

Summary : Setiap bunga memiliki arti tersendiri. Jika bunga bisa mewakili apa yang ingin kita ucapkan, kenapa tidak? Say with flower!

Chapter 1 : Red Orchid

Enjoy!


- Normal PoV -

Seorang gadis berambut hijau rumput berjalan dengan lesu. Ia menenteng sebuah tas berisi dokumen-dokumen. Sepertinya, dia habis melamar pekerjaan.

Dari raut wajahnya yang terlihat begitu lesu, bisa tertebak kalau dia tak di terima. Langkah kakinya tampak begitu berat, menyusuri jalan setapak yang berbatu-batu.

"Apa aku harus pulang ke rumah, ya?" gumamnya. "Aku malu pada Ibuku. Ini sudah yang kesembilan belas kalinya aku di tolak dalam melamar pekerjaan. Ibu pasti kecewa."

Langkah gadis bernama Megpoid Gumi itu terhenti. Ragu, bimbang, bersatu di hatinya. Apa dia harus pulang ke rumah dengan membawa kegagalan, atau harus melamar pekerjaan untuk yang keduapuluh kalinya.

"Ugh, aku memang bodoh!" rutuknya pada dirinya sendiri.

Gumi jatuh terduduk di jalan setapak dengan rasa putus asa yang mendalam. Air mata tergenang di pelupuk matanya.

"Aku bodoh," desahnya. "Aku terlalu bodoh sampai tidak di terima di perguruan tinggi. IQ-ku sangat rendah. Aku tak punya bakat yang berguna. Bakatku satu-satunya hanyalah menulis puisi! Tidak berguna. Tidak bisa membahagiakan Ibu."

Sosok sang Ibu yang sudah tua terlintas di pandangan Gumi. Gumi meremas rambut hijaunya dengan putus asa.

Gadis itu, Megpoid Gumi, tidak lulus ujian masuk perguruan tinggi karena IQ-nya yang begitu rendah. Satu-satunya yang ia sukai dan ia bisa hanyalah menulis puisi.

Ibu Gumi sudah tua. Sementara ayahnya sudah meninggal. Gumi sendiri anak semata wayang, anak satu-satunya.

Gumi ingin sekali bisa bekerja untuk meringankan beban Ibunya. Sayangnya, walau sudah melamar ke berbagai perusahaan, Gumi selalu di tolak.

"Hei, kau sedang apa duduk di tengah jalan begini?"

Seseorang menyapa Gumi. Gumi yang menunduk, perlahan mengangkat wajahnya. Sosok gadis berambut merah terpantul di manik zamrud Gumi.

"Kau... Siapa?" tanya Gumi.

Gadis itu tersenyum. "Namaku Juon Kiku. Siapa namamu?"

"Aku... Gumi. Megpoid Gumi," jawab Gumi agak ragu.

Kiku tersenyum manis, sangat manis. "Gumi-chan sepertinya sedang ada masalah. Boleh aku tahu apa masalahmu?"

Gumi terdiam, berpikir. Dia tidak mengenal Kiku - tidak, Gumi baru saja mengenal Kiku. Begitu pula dengan Kiku. Tapi, Kiku terlihat begitu baik dan ramah. Mungkinkah bisa membantu Gumi menyelesaikan masalahnya?

"Aku..."

"Ah! Bicara di tempat seperti ini tidak enak. Bagaimana kalau kita duduk di kursi itu?" tunjuk Kiku pada sebuah kursi di tengah lapangan.

Gumi menatap kursi itu. Kursi di tengah lapangan. Kursi lama yang menyimpan banyak kenangan Gumi bersama orang tuanya.

Dulu, saat ayah Gumi masih ada, Gumi dan kedua orang tuanya sering duduk di kursi itu. Menatap anak-anak yang bermain, dan menikmati angin sore yang membelai wajah.

Tapi, itu sudah lama sekali.

Sejak ayah Gumi meninggal, Gumi sudah tak pernah lagi duduk di kursi itu. Gumi juga tak pernah lagi menikmati angin sore bersama Ibunya.

"Gumi?" panggil Kiku, membuyarkan lamunan Gumi.

"Ah... Iya, ayo kita duduk di kursi itu," kata Gumi.

Kiku tersenyum. Tangan kanannya menggandeng tangan Gumi, sementara tangan kirinya memegang sebuah bungkusan. Entah bungkusan apa.

Kedua gadis itu duduk di kursi tua itu. Kursi itu panjang, cukup untuk di duduki mereka berdua. Kiku menatap Gumi dengan halus, menunggu Gumi bercerita.

Gumi menghela napas panjang sebelum bercerita.

"Aku... IQ-ku sangat rendah. Di sekolah, aku adalah anak terbodoh. Sekolah saja, aku bersekolah di sekolah dengan mutu pendidikan yang rendah. Lulus SMA, aku mengikuti ujian masuk perguruan tinggi. Aku berharap bisa di terima, sehingga bisa menyenangkan Ibuku," Gumi terdiam sebentar, kemudian melanjutkan.

"Tapi sayangnya, aku tidak lulus masuk ujian perguruan tinggi. Sebetulnya, aku sudah menduga hal ini akan terjadi. Jadi, aku memutuskan untuk bekerja saja. Aku kemudian melamar pekerjaan ke berbagai perusahaan dan restoran.

"Awalnya, aku bekerja di restoran. Namun aku sangat ceroboh dan sering melakukan kesalahan hingga di pecat. Lalu, aku melamar pekerjaan ke perusahaan-perusahaan. Tapi, aku di tolak. Tadi juga, aku habis melamar pekerjaan dan di tolak... Aku memang tak punya bakat. Satu-satunya yang ku bisa hanyalah menulis puisi... Tidak berguna..."

Gumi menghela napas panjang begitu bercerita tentang dirinya kepada Kiku. Kemudian, Gumi membuka mulutnya lagi, mengeluarkan gumaman lirih.

"Aku merasa sangat tak berguna... Aku tak bisa membahagiakan Ibuku. Aku hanya menyusahkannya... Aku... Aku ingin Ibuku bahagia. Semenjak Ayahku meninggal, Ibu jarang tersenyum. Aku ingin membuatnya tersenyum lagi..."

Air mata mengalir dari manik zamrud Gumi. Di dalam air mata itu, terdapat kepedihan sangat dalam dan keinginan yang begitu kuat untuk membahagiakan Ibunya.

Kiku menatap Gumi dengan prihatin. Kiku bisa merasakan kesedihan Gumi dan keinginannya untuk membahagiakan Ibunya.

"Gumi... Tadi kau bilang, suka menulis puisi?" tanya Kiku.

Gumi mengangguk pelan. "Iya..."

"Kalau begitu, kenapa kau tidak mengirim puisimu ke majalah? Kalau bagus, bisa di muat dan mendapat honor yang lumayan, lho! Dan jika puisimu sudah banyak, kau bisa mengirimnya ke penerbit!" kata Kiku bersemangat.

Gumi terpana. "Apa bisa?"

"Bisa, jika kau mau berusaha! Cobalah, Gumi! Aku yakin kau akan bisa!" ucap Kiku.

Seulas senyuman terukir di wajah Gumi. Setitik harapan tercipta di benak Gumi. Harapan bisa membahagiakan Ibunya.

"Terima kasih, Kiku!" ucap Gumi tulus.

Kiku tersenyum. "Sama-sama, Gumi! Dan, oh ya, aku punya sesuatu untukmu!"

Kiku merogoh bungkusan yang tadi ia bawa. Kemudian, Kiku mengeluarkan setangkai anggrek merah. Kiku menyodorkan anggrek merah itu ke arah Gumi.

"Untukmu, Gumi-chan!" kata Kiku.

"Eh? Anggrek merah? Untukku?" tanya Gumi bingung.

"Iya! Apa kau tahu arti di balik anggrek merah?" Kiku balik bertanya.

"Tidak," Gumi menggeleng.

"Arti di balik anggrek merah adalah semangat! Kau harus bersemangat, Gumi. Kau harus bersemangat untuk meraih mimpimu! Kau bisa menjadi penyair hebat kalau ada tekad dan semangat! Apalagi, sepertinya kau berbakat!" jelas Kiku.

Gumi terpana, terharu. Tangannya meraih anggrek merah itu dari tangan Kiku dengan gemetar.

"Terima kasih, Kiku. Terima kasih," ucap Gumi lagi.

"Sama-sama, Gumi," Kiku tersenyum.

"Tapi, kamu sudah menyiapkan semua ini kan, Kiku?" Gumi terlihat bingung.

Kiku tersenyum. "Iya. Aku sering melihatmu melewati jalan setapak ini dengan lesu. Kupikir, kau butuh semangat. Makanya... Aku ingin memberimu semangat, Gumi!"

Gumi tersenyum hangat. Semangatnya kembali berkobar. Gumi sekarang percaya, ia pasti bisa. Ia pasti bisa, membahagiakan Ibunya dan menjadi penyair! Ya, Gumi percaya itu sekarang.

Gumi tak akan putus asa lagi. Karena ia punya tekad, punya tujuan yang harus di capai. Gumi harus meraihnya. Ya, harus.

Selama anggrek merah terus bermekaran, semangat di hati Gumi juga terus mekar.

Jangan pernah putus asa. Jangan pernah merasa tak berguna. Percayalah. Selama ada niat, pasti ada jalan. Selama kau berusaha, kau pasti akan berhasil. Kau tak hanya butuh niat untuk mencapai mimpimu, tapi kau juga butuh semangat.

Anggrek merah melambangkan semangat. Tapi, semangat itu tumbuh dari hatimu sendiri...


A/N :

Akhirnya selesai juga! Mikan lagi suka bahasa bunga, jadinya Mikan bikin fic tentang bahasa bunga. Gomen kalau bahasa bunganya salah ya.

Gimana menurut kalian?

Membosankankah? Baguskah? Burukkah?

Jika sudah membaca cerita ini, maukah para pembaca yang berbaik hati menekan tombol 'review'? Kritikan dan masukan di terima!