Pinangan Sang Kazekage
by sava kaladze
Disclaimer: Masashi Kishimoto, who else…
.
.
Ini saya persembahkan untuk Devil's of Kunoichi, Windy Haruchiwa-chan, Mameha-chan, Misa Uchihatake, Y0uNii D3ViLL, Icha yukina clyne, dan semua pembaca Sakura's Love Story yang rajiiiiiiiin banget nagih-nagih saya agar kisah sang Kazekage dilanjutkan hehehe…
..
..
..
Bulan april yang cerah datang dengan cepat menyapa Konoha. Sebuah awal musim panas yang baik, apalagi untuk Konohagakure yang memang memiliki temperatur cenderung lebih hangat.
Bunga-bunga sakura yang sudah mulai bermekaran di musim semi, sedang berada dalam masa puncak keindahannya. Semua pohon sakura yang kecoklatan memamerkan keindahan tiap tangkainya yang dihiasi dengan bunga sakura merah muda. Warna itulah yang mendominasi warna bunga sakura yang ditanam di Konoha, meski ada beberapa varian lain yang memiliki warna yang berbeda.
Warna merah muda di tiap cabang sakura sangat pucat sampai-sampai dari jauh tiap ujung cabangnya memutih. Indah sekali, bagaikan gugusan awan yang mampir di atas pohon surga. Warna merah muda keputihan bunga sakura itu menimbulkan pemandangan yang menyejukkan mata yang memandangnya.
Seperti mata hijau kebiruan yang sedang menatap jajaran pohon sakura melalui jendela hotel dengan pikiran yang melayang entah kenapa.
Memandang bunga sakura yang bermekaran seperti itu seperti memandang kunoichi berwarna rambut serupa warna bunga sakura yang indah itu.
Ah tidak, tidak terlalu serupa. Warna rambut gadis itu lebih mencolok, lebih berani dan lebih menantang.
Ya, menantang. Warna rambut gadis itu seakan menantang kazekage muda dari Sunagakure itu untuk menyentuhnya dengan perlahan, memuaskan rasa ingin tahunya tentang tekstur rambut dengan warna langka itu, meresapi tiap helai rambut halusnya yang tergerai panjang dan merekam semua pengetahuan barunya tentang diri gadis itu di dalam otaknya, baik-baik. Harus dengan sebaik-baiknya, karena ia tidak ingin melupakan bagaimana rasanya membelai rambut gadis itu di ujung jemari tangannya.
Pemuda berambut kecoklatan itu mendesah perlahan—menyesali perasaan yang janggal yang kerap mampir di dalam hatinya yang terdalam.
Apa pantas seorang pemimpin desa sebesar Sunagakure seperti dirinya, merasakan perasaan sentimentil seperti sekarang ini, hanya karena bunga sakura yang bermekaran di musim dingin?
Ia seorang jinchuuriki. Seorang ninja pilihan yang memiliki kekuatan monster di dalam dirinya—shukaku yang pernah membuatnya tidak bisa tertidur dan hampir jadi gila karenanya.
Apa ia boleh merasakan perasaan panas dingin, karena sosok seorang kunoichi terus-menerus menghantui angan-angannya hampir setiap saat? Bayangan yang akhirnya membuatnya merasa sangat terganggu, karena ia jadi sulit tidur, sulit bekerja dan sulit melakukan apa-apa?
Ia sudah sangat terganggu dengan perasaan ini. Semenjak kepulangan gadis berambut merah muda itu, kembali ke Konoha, ia praktis tak bisa mengeluarkan bayangan wajah gadis itu dari dalam ruang batinnya.
Haruno Sakura, selalu mengisi ruang batinnya dengan cara yang tak pernah ia, Sabaku no Gaara, sangka akan pernah ia alami dalam hidupnya.
Sayangnya, kazekage muda itu harus berpura-pura di hadapan semua orang. Ia tak boleh menunjukkan kelemahannya, meski hanya setitik saja, ke khalayak ramai. Sang kazekage, Gaara, adalah pemimpin jempolan yang memerintah Sunagakure dengan arif dan bijaksana. Ia mungkin bukan pribadi yang hangat, atau terlihat menyenangkan sejak pertama orang melihatnya, seperti Uzumaki Naruto, akan tetapi bukan berarti ia orang yang selalu dingin luar-dalam, kan? Ada saat-saat di mana ia merasa ia ingin menjadi pribadi yang berbeda. Ia ingin menjadi pribadi yang tidak ditakuti orang, sebagaimana selama ini orang melihatnya.
Gaara tahu, ia tidak akan pernah menjadi pribadi yang mudah disukai seperti Naruto. Tidak akan pernah seramai dan semenarik pemuda jinchuuriki siluman rubah ekor sembilan itu, akan tetapi paling tidak ia dihargai sebagai seorang manusia normal yang butuh cinta dan kasih sayang saja, sudah lebih dari cukup bagi seorang Gaara.
Gaara menatap bunga-bunga sakura di atas pohon yang sedang dalam puncak keindahannya itu dalam diam. Ia tak ingin kehilangan momen yang sulit sekali ia saksikan di Sunagakure yang kondisinya tanahnya berpasir itu. Ia pun tak ingin kehilangan momen lainnya—mendapatkan gadis yang diam-diam telah mencuri hatinya.
Gaara begitu tenggelam dalam pemikirannya. Ia tak menyadari sepasang mata menyaksikan kegalauannya dengan penuh perhatian dari tempatnya berdiri di depan pintu kamar hotel. Pemilik mata itu tersenyum tipis. Ia dapat memahami perasaan sang kazekage dan itu sebabnya ia ingin membantu meredakan kegalauan hatinya.
Temari tersenyum-senyum sendiri melihat wajah tanpa ekspresi tapi menggambarkan segalanya yang ditunjukkan adik terbungsunya itu. Sekian tahun mendampingi adiknya, Temari cukup paham hal-hal yang tak perlu Gaara ucapkan dengan gamblang.
Darah memang lebih pekat dari air. Itu sebabnya ia merasa ia tahu apa yang dipikirkan Gaara.
Sejak Haruno Sakura meninggalkan Suna, sejak itu pula jiwa Gaara seakan terbang mengikuti gadis itu. Ia seperti ada, tapi tak ada. Gaara tetap mengerjakan tugas-tugasnya sebagai pemimpin Sunagakure dengan sebaik-baiknya, akan tetapi saat ia sedang sendiri dan tidak melakukan tugasnya, jiwa Gaara seperti terbang ke tempat yang jauh.
Ia jadi sering bolak-balik masuk ke dalam lab almarhumah Chiyo-basama dan kamarnya—seperti sedang menelusuri jejak-jejak yang tertinggal. Jejak seorang gadis yang pernah singgah ke tempat-tempat tersebut.
Itu sebabnya tepat delapan bulan setelah kedatangan aliansi mereka yang meminta pertolongan dalam menemukan obat demam yang melanda Konoha, Temari dan Kankurou menemui Gaara secara pribadi—sebagai adik dan kakak—dan menanyakan apa yang sebenarnya terjadi terhadap pemimpin muda Sunagakure itu.
Dagu kedua kakak beradik Suna itu hampir copot saat mereka mendengarkan cerita Gaara. Selengkap-lengkapnya. Gaara memang bukan orang yang suka menceritakan rahasia pribadinya dengan detil, akan tetapi kali ini ia melakukannya. Mungkin ia mulai frustasi, tak tahu harus melakukan apa terhadap perasaan ganjil yang baru dikenalnya ini.
Gaara berniat melamar Sakura!
Sungguh mengejutkan bagi kedua kakaknya, mengingat Gaara tidak pernah dekat dengan gadis mana pun juga. Jika hanya ingin menjalin hubungan, itu soal mudah. Akan tetapi menikah, itu hal besar. Apalagi dengan kedudukannya sebagai seorang kazekage.
Bukan sembarang wanita yang boleh menjadi istri seorang kazekage.
Setelah mendengar pemaparan Gaara, Temari dan Kankurou berdiskusi sebagai sesama anggota keluarga. Mereka memutuskan untuk membicarakan apa dan bagaimana diri Haruno Sakura yang sesungguhnya, dari berbagai pihak yang mengenal diri kunoichi medis Konoha itu. Mereka bahkan mengutus perwakilan dari kazekage untuk menemui hokage, mencari tahu latar belakang seorang Haruno Sakura.
Tsunade sebagai seorang hokage tentu saja terkejut mendengar berita yang disampaikan utusan tersebut, akan tetapi sebagai seorang wanita yang menyayangi Sakura seperti anaknya sendiri, ia senang bahwa pemuda pertama yang berniat meminang Sakura, adalah seseorang seperti Sabaku No Gaara. Ia tidak hanya seorang kazekage, tapi juga ninja yang sulit dicari tandingannya dan berkepribadian.
Ninja Konoha tentunya masih ingat, bagaimana Gaara saat ia masih didominasi Shukaku. Jelas bukan pribadi yang sebaik saat ini. Itu menjadi nilai plus bagi seorang Gaara. Banyak transformasi dalam hidup yang telah ia lalui: sakit hati, fisik dan kekecewaan. Akan tetapi, ia bangkit. Hanya seseorang berjiwa besar yang mampu bangkit dari rasa sakit. Orang-orang seperti Gaara dan Naruto.
Tsunade membalas pesan yang disampaikan utusan Suna tersebut dengan surat yang ditujukan langsung kepada Gaara sebagai kazekage. Isinya singkat, namun padat makna.
'Kazekage-sama, datanglah ke Konoha untuk membicarakannya. Yang paling tepat untuk menjawab lamaran adalah Haruno Sakura sendiri.'
Lampu hijau dari Tsunade, itu makna yang terkandung di balik kalimat yang singkat tersebut. Itu sudah lebih dari cukup untuk Gaara dan kedua kakaknya.
Itu sebabnya, setelah mendapat persetujuan dari para tetua Sunagakure, ketiga bersaudara itu disertai beberapa orang ANBU Sunagakure yang paling tangguh, berangkat menuju Konoha.
Itu sebabnya, saat ini sepasang mata hijau kebiruan yang dilingkari warna hitam yang khas itu sekarang menatap ke luar jendela wisma tamu Konoha, dengan seksama memperhatikan keindahan kuntum-kuntum bunga Sakura yang bermekaran. Gaara terpaku di ambang jendela—kepada bunga sakura.
Temari akhirnya memutuskan untuk mendekati pemimpin Sunagakure itu. Langkahnya tetap seringan kapas, meski kipas raksasanya tersampir di atas punggungnya. Tepat berada di belakang pemuda berambut coklat itu, ia menyentuh bahunya perlahan.
Gaara tersentak. Sadar bahwa ia tidak lagi sendirian di kamar itu. Ia menoleh dan mendapati kakak tertuanya itu tersenyum manis.
"Nervous?" tanya Temari.
Gaara mengangguk lemah.
"Tidak perlu."
Gaara menghembuskan nafas perlahan dar mulutnya, seakan mencoba membuang jauh rasa khawatir yang akhir-akhir ini mendera hatinya. Ia merasa sudah menutupi kekhawatirannya dengan baik di balik wajahnya yang dingin, akan tetapi sekali lagi darah yang kental memang tidak bisa dibohongi.
Temari selalu dapat membaca isi hatinya.
"Bagaimana kalau ia menolakku?" tanya Gaara dengan suaranya yang masih terdengar berwibawa, meski ada setitik kecemasan di balik suaranya.
"Menolakmu? Apa kau pikir ia akan menolakmu?"
"Bisa saja. Itu mungkin terjadi."
"Kalau ia menolakmu, kau tak perlu kecewa. Masih ada banyak gadis lain di luar sana yang jauh lebih cantik darinya, lebih kaya darinya, dan lebih menarik dari Haruno Sakura."
Dahi Gaara berkerut mendengar jawaban Temari yang sungguh tak ia kira itu. Masih banyak gadis lain yang lebih cantik di luar sana? Apa itu memang suatu saran yang baik, mengingat saat ini mereka sedang berada di Konoha dalam rangka melamar seorang gadis? Seperti tidak niat saja.
"Gadis lain?"
"Ya. Tidak apa-apa, toh? Menikahi gadis lain juga tidak salah. Toh sesuai dengan tradisi negeri kita, kau sudah melamar gadis yang melihat ngg..tubuhmu. Kau sudah menunaikan kewajibanmu. Kau tidak melanggar tradisi. Jika ia menolakmu, itu tak akan jadi masalah besar. Kau hanya melamarnya karena kau harus melakukannya, karena kecerobohan yang Sakura lakukan," ujar Temari dengan gamblang.
Gaara mengepalkan tangan kanannya di samping tubuhnya. Ia bukan tipe pria yang menunjukkan emosi apapun di hadapan orang lain, akan tetapi perkataan Temari spontan membuat hatinya merasa tak nyaman. Ia tidak suka mendengar perkataan kakaknya itu, meski ia tahu omongan Temari ada benarnya juga.
Sayangnya, tidak sepenuhnya benar. Ia tidak hanya ingin melamar Sakura karena kecerobohan gadis itu belaka. Ada bagian dalam dirinya yang memang menginginkan gadis itu. Ia tak tahu mengapa, akan tetapi dorongan itu begitu kuat.
Tak mungkin ia menempuh jarak ratusan kilometer jika ia tidak begitu menginginkan hati gadis itu menjadi miliknya, kan?
Temari bukannya tak tahu itu, hanya saja sikap diam Gaara membuatnya gemas. Membuatnya ingin mengerjai adiknya yang stoic itu sedikit saja. Paling tidak membuat semburat kemerahan timbul di wajah dingin Gaara—memberikan nuansa baru di muka kazekage muda itu.
"Sakura bisa saja menyukai pemuda lain, bukan begitu Gaara? Yah, kunoichi seperti dia…harus jujur kukatakan, dia tidak jelek meski tidak secantik aku," Temari tertawa-tawa dalam hatinya mendengar nada suaranya yang narsis. "…Ia juga lumayan sebagai kunoichi, karena dididik langsung oleh Godaime. Ilmu medisnya bagus, meski ia lebih hebat taijutsu daripada ninjutsunya, tapi boleh lah…"
Mulut Gaara mendadak berkerut. Ia mulai sebal dengan perkataan Temari yang sepertinya menilai Sakura biasa-biasa saja.
"Sebenarnya kalau saja tidak ada insiden antara kau dan Sakura di Suna, aku lebih merekomendasikan gadis Hyuuga yang cantik itu sebagai gadis yang kausuka. Kau ingat dia, kan?"
Gaara mengangguk lemah, meski heran dengan perkataan kakaknya itu.
"Hyuuga Hinata, ya itu namanya! Dia cantik, kan? Rambutnya panjang, perilakunya lembut dan dia dari keluarga kaya, keluarga terkenal Hyuuga yang memiliki mata Byakugan. Bisa kau bayangkan, jika kau menikah dengannya..anak seperti apa yang akan lahir? Sempurna!"
Gaara menatap ke luar jendela dengan tatapan penuh horror. Ia buka jendelanya lebar-lebar dan melirik Temari dengan tatapan sedingin es.
"Beda sekali Hinata itu dengan Sakura. Kau tahu, Sakura itu dari keluarga biasa-biasa saja. Malah dari yang gossip yang kudengar, keluarganya sipil. Tahu benar atau tidak. Dan Gaara…Sakura itu galak! Kau tahu sendiri kan, betapa galaknya ia pada Naruto! Anak itu sering sekali ia hajar karena kelakuannya yang terkadang konyol. Aku akui, Naruto memang konyol, tapi apa Sakura tidak pernah berpikir, bahwa dengan menempeleng kepala Naruto dengan keras, ia bisa saja membuat otak anak itu malah tambah…miring," Temari membelalakkan matanya.
"Temari…"
"Bagaimana kalau kau menikah dengannya dan kalian bertengkar? Bisa-bisa habis kau dihajarnya setiap hari! Kau kan, terlalu cuek dengan urusan rumah tangga. Wajar, karena kau seorang kazekage. Tapi bagaimana kalau dia tidak suka suami yang terlalu mementingkan urusan Negara daripada membantu istri di rumah. Waduh Gaara…aku tak bisa membayangkan betapa menderitanya hidupmu menikah dengan gadis seperti itu! Kau…kazekage! Adik kandungku…apa bisa aku menyaksikan hidupmu semrawut seperti itu hanya karena gadis yang kau nikahi karena tradisi bodoh?"
Mendadak terdengar suara angin berkelebat disertai suara deru pasir. Temari menoleh ke tempat Gaara berdiri dan terperanjat melihat sisa pasir yang berterbangan di udara.
Gaara sudah menghilang dari kamar itu. Ia pergi begitu saja meninggalkan Temari yang masih berapi-api dengan opini subjektifnya.
Temari menyeringai kesal, akan tetapi beberapa detik kemudian ia tertawa lepas dengan geli.
Gaara begitu mudah diintimidasi! Sungguh hal yang langka terjadi!
Temari—masih dengan tawa di bibirnya—bergegas meninggalkan kamar hotel untuk mencari Kankorou. Ia gatal ingin menceritakan semua percakapannya dengan Gaara dari A sampai Z pada adiknya itu.
.
.
.
Sakura, menumpangkan dagunya di atas tumpukan buku-buku tebal yang sengaja ia letakkan di atas meja, tepat di depan wajahnya. Mencari literatur kesehatan tentang khasiat daun-daunan bukanlah hal yang sulit bagi seorang Haruno Sakura, jika ia dalam mood yang baik dan konsentrasi tinggi.
Saat ini, moodnya sedang kurang baik dan ia sulit berkonsentrasi terhadap hal apapun juga.
Bagaimana mungkin ia bisa bekerja dengan konsentrasi tinggi saat semua orang di luar dinding perpustakaan Konoha ini, sedang ribut membicarakan nasib masa depannya?
Ya, ia adalah buah bibir di Konoha saat ini.
Mau tahu alasannya? Tidak lain dan tidak bukan karena kedatangan delegasi desa tersembunyi Sunagakure di tengah-tengah Konoha saat ini.
Tujuannya? Tidak lain dan tidak bukan, ingin mempererat hubungan bilateral antara Konoha dengan Suna. Lebih spesifik? Ingin mengikat tali persaudaraan antara hubungan kedua desa dengan mengikat hubungan pernikahan antara sang kazekage, Sabaku no Gaara dengan dirinya sendiri, Haruno Sakura.
Ya! Delegasi Suna datang untuk melamarnya! Melamar Haruno Sakura untuk menjadi istri Gaara!
Sakura menghela nafas dalam-dalam. Ia galau. Ia pantas galau. Bagaimana tidak? Susah payah ia menutupi apa yang pernah terjadi antara ia dan kazekage itu di Suna—melupakan apa yang ia lihat dengan mata kepalanya sendiri dengan susah-payah—akan tetapi saat ini semua orang tahu apa yang terjadi antara dirinya dan Gaara.
Hanya karena seorang Yamanaka Ino, yang kebetulan sedang berada di depan pintu hokage saat utusan Sunagakure datang menemui hokage untuk memulai pembicaraan tentang niat sang kazekage terhadap Sakura, seluruh penduduk Konoha tahu bahwa ia sempat melihat tubuh sakral kazekage itu!
Ia kan, tidak melakukannya dengan sengaja!
Tradisi bodoh Sunagakure yang membuatnya merasa jadi tertuduh karena kekonyolan yang ia buat sendiri. Ia hanya korban di sini. Ia tak ingin memergoki Gaara mandi di ruangan pribadinya. Sungguh tak ingin! Ia juga tahu etika dan tata karma. Hanya saja itu semua sudah terjadi dan menuntut tanggung jawab Gaara untuk melamarnya atau menuntut tanggung jawab Sakura untuk menerima lamaran Gaara, jelas-jelas bukan hal yang mudah diterima oleh akal Sakura.
Wanita dan pria tidak sepantasnya menikah karena hal yang mereka lakukan tidak dengan sengaja, kan? Wanita dan pria seharusnya menikah karena mereka saling mencintai.
Dengan berat hati, Sakura harus katakan, Gaara tidak terlihat seperti orang yang mencintainya.
Ya, pemuda itu memang menciumnya, tapi bukan berarti Gaara mencintainya, kan?
Tanpa sadar Sakura menyentuh bibirnya yang pernah merasakan bibir kazekage berwajah dingin itu. Bibir pemuda itu, Gaara, sungguh manis. Bibir itu mendominasi, ingin menguasai, ingin mengklaim dan begitu sombong—bibir yang merupakan cerminan dari jiwa terdalam Gaara. Ia dingin dan sombong. Ia bagaikan pemimpin yang selalu mendapatkan apa yang ia mau, hanya dengan tatapan matanya yang unik itu atau kibasan tangannya yang mengendalikan pasirnya yang mematikan.
Bibir yag dengan sangat menyesal Sakura akui, telah membuatnya setengah mati ingin merasakan sentuhannya lagi. Ia yang selalu tegas dalam hidupnya, mendapati bahwa ia ingin dikuasai oleh pemuda seperti Gaara. Didominasi oleh Gaara, membuatnya merasa lemah dan tak berdaya sebagai seorang wanita.
Anehnya, ia menyukai sensasi ketidakberdayaan yang ia rasakan saat Gaara menciumnya.
Ia rela tak berdaya di hadapan kazekage yang sedingin es itu.
Sakura menggigit bibirnya sekedar untuk mengingatkan bahwa kenangan semanis itu harus ia enyahkan jauh-jauh dari benaknya. Ia takut menginginkannya lagi—menginginkan ciuman itu lagi.
Ia takut menyadari bahwa saat ia berada di dekat Gaara, di sisinya, di dalam pengaruh karismanya, ia akan kehilangan dirinya yang selalu ia bangga-banggakan—dirinya yang tegas dan kuat. Dengan sukarela.
Sakura menepuk dahi lebarnya dengan kesal. Susah-payah ia hilangkan kenangan ciuman panasnya dengan Gaara, mencoba memulai hidup yang baru, memberikan kesempatan bagi pemuda lain untuk mendekatinya, tiba-tiba saat semuanya sudah lebih terang di matanya, berita bahwa Gaara akan melamarnya datang begitu saja?
Ya Tuhan, mudah sekali pemuda itu mengacaukan hidupnya yang tertata rapi!
Jika kazekage itu memang menyukainya, buat apa menunggu berbulan-bulan untuk menetapkan keinginannya untuk melamarnya?
"Oleh sebab itu, sesuai tradisi, aku harus mengajukan lamaran untukmu kepada Hokage. Aku harus melamarmu sebagai istriku, karena kau telah melihat…tubuhku. Itu tradisi dan norma yang berlaku di Sunagakure. Kau bebas menentukan pilihanmu, akan menerima lamaranku atau tidak. Aku tak akan memaksa. Yang pasti, aku akan memberimu waktu untuk berpikir."
Tapi, apa ia butuh waktu lebih dari setengah tahun untuk melaksanakan apa yang pernah ia katakan pada Sakura? Jika ia memang menyukainya, seperti yang pernah ia katakan, kenapa harus menunggu selama itu? Kenapa sengaja membiarkan Sakura bertanya-tanya apakah yang dikatakan Gaara benar adanya, atau hanya sekedar kata manis penghibur hatinya belaka?
"Aku tak ingin hanya mendapat tubuh gadis yang kusuka saja, Sakura…tapi yang terpenting adalah hatinya."
Kalau memang ingin mendapatkan hati Sakura, kenapa butuh waktu selama itu? Dan sekarang, saat Sakura sudah lelah menerka-nerka apa yang sebenarnya terjadi, lalu memutuskan member kesempatan pada pemuda lain, Gaara seenaknya saja membawa rombongan untuk melamarnya di depan seluruh Konoha!
Sakura tak dapat menerima itu dengan akal sehatnya.
Shikamaru mungkin juga tidak mudah begitu saja menerimanya.
Sakura tak mungkin melupakan kehadiran sosok jenius itu di dalam kehidupannya selama dua bulan terakhir ini dengan mudah. Shikamaru Nara adalah teman yang baik. Mereka sudah saling mengenal sejak masa-masa awal di akademi ninja.
Jika, akhirnya setelah sekian tahun berteman, Shikamaru memutuskan untuk mengubah status pertemanan menjadi satu hubungan yang lebih dekat, Sakura tidak melihat hal tersebut sebagai suatu keanehan.
Ia malah bersyukur, ada seseorang yang berusaha membuatnya lupa akan kenangannya dengan sang kazekage di Suna beberapa bulan yang lalu. Sakura ingin sekali lepas dari bayang-bayang tubuh polos kazekage yang membuatnya merasa melayang tak tentu arah itu.
Ia ingin melupakan Gaara, karena ia takut perasaan yang mulai kuncup di dalam hatinya sejak apa yang terjadi antara mereka di Suna, sempat menjadi kembang cinta yang bermekaran, yang kemudian akhirnya akan layu dan kering diterpa angin kekecewaan.
Ia ingin bebas dari cinta yang mengkungkung, sebagaimana akhirnya ia dapat lepas dari cinta masa kecilnya terhadap Uchiha Sasuke.
"Sakura…"
Suara bariton yang menyapanya, menyentakkan Sakura dari lamunan panjangnya. Ia menoleh ke samping dan mendapati sesosok pemuda dengan kuncir di bagian atas kepalanya dan rompi jounin, tersenyum tipis kepadanya.
Shikamaru.
"Shikamaru, apa yang kau lakukan di sini?" bisik Sakura—sadar bahwa mereka berdua ada di perpustakaan kota.
Shikamaru melirik tumpukan buku tebal yang sempat menjadi tempat Sakura melamun. Semuanya buku-buku tentang pengobatan herbal, jika ditilik dari judul yang terpampang di sampul buku dan bagian sisi buku-buku tersebut.
Ia pasti sibuk bekerja, Shikamaru membatin, atau malah sibuk memikirkan rumor yang berkembang luas di kalangan masyarakat?
Shikamaru tak mau repot-repot mencari tahu jawaban atas pertanyaan yang sekilas terpikir olehnya itu. Ia menyodorkan dua kotak bento yang dibungkus oleh kain ke hadapan Sakura.
"Aku lapar dan kupikir kau juga lapar. Jadi, aku tadi ke Rumah Sakit untuk mencarimu, tapi mereka bilang kau kemari untuk melakukan riset tentang sesuatu. Jadi…di sinilah aku."
Sakura menatap kotak bento tersebut dengan matanya yang hijau. Dua kotak itu memiliki warna yang berbeda, merah muda dan biru. Sakura tersenyum menyadari hal itu.
Shikamaru langsung tahu Sakura sedang tersenyum pada kotak bentonya. Ia berdiri dengan kurang nyaman seraya berkata pelan pada gadis di sebelahnya.
"Aku tak sengaja membelinya saat ibuku menyuruhku ke pasar minggu lalu. Aku pikir kau akan menyukainya karena…warnanya sama dengan warna rambutmu."
Sakura mengangguk.
"Ya, aku menyukainya. Terima kasih. Juga karena kau khusus memasak isinya untukku."
Kedua alis Shikamaru langsung bertaut mendengar kata memasak isinya untukku yang dikemukakan Sakura barusan.
"Tidak. Aku membelinya dari kedai nasi. Memasak sendiri terlalu merepotkan."
Sakura tertawa kecil mendengar kata merepotkan pertama yang ia dengar hari ini dari mulut Shikamaru. Kapan sih Shikamaru bisa lepas dari kata merepotkan favoritnya itu?
"Tetap saja merepotkan bagimu untuk membawanya dari kedai, ke rumah sakit lalu kemari, apalagi yang membawa itu kau. Ninja paling malas se-Konoha," Sakura tertawa lagi.
Shikamaru hanya mengangkat alis kanannya lebih tinggi dan menggumam beberapa patah kata yang tak tertangkap oleh telinga Sakura, meski gadis itu yakin sekali bahwa salah satu kata yang digumamkan pemuda itu pastilah kata merepotkan.
Sakura berdiri dari kursinya, mengangkat beberapa buah buku tebal itu, lalu berjalan ke bagian depan perpustakaan. Tepatnya ke meja pustakawan.
"Mau kemana?" Shikamaru menatap Sakura bingung.
"Katanya kau minta ditemani makan. Di sini kan, dilarang makan."
"Lalu?"
"Ya, kita makan di luar dong."
"Buku-buku itu?"
"Pekerjaan rumah untukku."
Shikamaru tak bertanya lagi. Ia langsung mengikuti Sakura berjalan menuju meja pustakawan untuk meminjam buku-buku yang ia butuhkan.
Tak berapa lama kemudian, Sakura berjalan bersisian dengan Shikamaru. Tujuan mereka adalah taman yang terletak tak jauh dari perpustakaan Konoha. Shikamaru susah payah membawakan tumpukan buku tebal yang dipinjam Sakura dari perpustakaan, sedangkan kotak bento dijinjing oleh Sakura yang sesekali tersenyum melihat wajah Shikamaru kusut karena membawa beban yang berat.
"Aku bisa bawa buku-buku itu sendiri loh," kata Sakura tiba-tiba.
Shikamaru mendengus pelan. " Kalau ada aku, biar aku saja yang bawa. Buku-buku ini berat."
"Tapi aku kuat, Shika…"
"Selama ada aku, biar aku yang menanggung bebanmu. Oke?" Ujar Shikamaru sambil menatap lurus ke jalanan di depan mereka.
Sakura melirik pemuda yang masih berwajah masam di sampingnya. Di balik sikap cuek, pemalas dan tidak mau susah-payah dalam berbagai hal, Shikamaru ternyata memiliki sikap pengertian yang tinggi, kata Sakura di dalam hatinya.
Shikamaru merasakan jantungnya berdegup lebih kencang. Hampir saja ia mencubit dirinya sendiri karena mengatakan hal yang merepotkan seperti yang baru saja ia katakan.
"Selama ada aku, biar aku yang menanggung bebanmu. Oke?"
Dalam hatinya ia membatin. Duh, Shikamaru…apa kata Ino dan Chouji jika mereka mendengarmu mengatakan hal seperti itu pada Sakura? Ino akan menertawakanmu sepanjang tahun dan mungkin akan terus mengganggumu, karena menunjukkan sifat lembek. Chouji mungkin tidak terlalu peduli, tapi ia akan membombardirmu dengan kewajiban mentraktirnya, karena kau akhirnya berani mendekati seorang gadis yang selama ini kau anggap hanya merepotkan hidup laki-laki saja. Itu artinya kebocoran total pada dompetmu, kan?
Shikamaru mendengus lagi. Jangan sampai ada seorang pun yang tahu bahwa ia dan Sakura sedang dekat, karena itu artinya bahaya besar!
Apalagi….
Dengan rumor yang berkembang, bahwa kedatangan Gaara, kedua kakaknya dan pasukan penjaganya, adalah untuk…meminang Sakura.
Shikamaru melirik Sakura dengan ekor matanya. Pandangan mata Sakura tertuju lurus ke depan, ke jalanan setapak di depan mereka. Mata hijaunya sering kali terlihat sayu. Ia tersenyum, akan tetapi seperti ada sesuatu yang menahan matanya juga tersenyum—seperti ada sesuatu yang menghalangi dirinya untuk berbahagia. Rambutnya yang merah muda berkibar ditiup angin yang bergerak semilir dari arah depan. Hitae-ate merah yang ia ikat di atas kepalanya seakan mencoba menahan rambutnya itu untuk terbang mengikuti arah angin.
Gadis itu terlihat…melayang.
Ia melayang bagaikan bunga-bunga sakura yang beterbangan ditiup angin setelah jatuh dari dahannya yang meranggas. Ia bagaikan dipermainkan oleh angin. Ke atas, ke bawah dan terus melayang.
Sakura, bagaikan bunga sakura yang berada di dekatnya, dekat dalam genggamannya, akan tetapi kapan saja bisa diterbangkan oleh angin—meninggalkannya.
Shikamaru menundukkan kepala sesaat.
Memang ia yang duluan menyukai Sakura dan ia cukup terkejut, gadis itu menerimanya. Tidak berjanji muluk-muluk akan mencintainya, tapi Sakura katakan ia mau mencoba. Paling tidak, ia akan buka hatinya untuk menerima kehadiran seorang Shikamaru.
Itu sudah lebih dari cukup untuk Shikamaru.
"Kau melamun, Shikamaru?"
Shikamaru menoleh dan mendapati bunga sakura yang kerap melayang itu, saat ini menyunggingkan sebuah senyuman yang menyejukkan.
Ya, senyuman itu yang membuatnya menyukai berada di sisi gadis itu, meski dengan begitu ia harus repot-repot membawa tumpukan buku seberat sekarang ini.
"Tidak. A-aku…hanya berpikir tentang…misiku yang terbaru," kilah Shikamaru dengan semburat merah yang membayang di wajahnya. Ia merasa seperti tertangkap basah sedang melakukan hal yang salah.
"Oh ya? Misi apa itu?"
"Hanya misi keluar desa. Biasa…tugas khusus dari hokage," Shikamaru memberi alasan—tak ingin dikorek lebih dalam oleh Sakura.
Saat itulah terdengar suara menderu yang keras dan diikuti oleh angin yang menggulung kencang di hadapan mereka berdua. Deru angin bercampur pasir tersebut membuat Sakura dan Shikamaru mau tak mau menutupi wajah mereka masing-masing dengan kedua tangan mereka.
Butuh waktu beberapa detik bagi mereka untuk membuka mata lagi.
Di hadapan mereka, berdiri sesosok pemuda yang bertubuh sedang. Rambut coklatnya berkibar sedikit tertiup angin yang berasal dari guci besar yang ia bawa di punggungnya. Dari belakang tubuhnya terlihat pasir-pasir beterbangan, seakan berusaha melindunginya dari segala macam marabahaya yang mungkin mengancan jiwa pengendalinya.
Sakura menahan nafasnya sesaat menyadari siapa pemuda bertato yang merintangi jalan mereka berdua.
"Kazekage-sama…" ujar Shikamaru dengan suara terkesima. Tidak tiap hari orang bisa melihat kemunculan seseorang di hadapan mereka dengan cara dramatis, kan?
"Gaara…" bisik Sakura.
Gaara berdiri dengan tegap kira-kira sepuluh langkah dari mereka berdua. Mata hijau kebiruannya menatap dingin ke arah Sakura.
"Kehadiran anda sangat mengagetkan, Kazekage-sama. Apa ada hal yang bisa kami bantu?"tanya Shikamaru dengan hormat.
Gaara mengalihkan pandangannya kepada pemuda berjaket jounin itu. Tatapannya masih sama, dingin.
"Aku ingin bicara dengan Sakura-san."
Sakura terkesiap mendengar namanya yang langsung keluar dari mulut kazekage muda itu. Ia bergantian memandangi Gaara dan Shikamaru dengan tatapan tak nyaman.
"Dengan Sakura?" Shikamaru melirik Sakura sekilas, " Untuk itu, silakan tanyakan Sakura sendiri, Kazekage-sama."
"Aku memang bertanya pada Sakura."
Keduanya, Gaara dan Shikamaru, saling melemparkan tatapan dengan aura sedingin es. Rasanya begitu menusuk dan jika saja Sakura berdiri di tengah-tengah mereka, ia mungkin sudah membeku.
"Kau menatapku, Tuan Kazekage."
"Aku ingin bicara dengan Sakura."
"Tapi kau menatapku. Itu artinya kau bicara padaku, bukan pada Sakura," suara Shikamaru bergetar.
Gaara sedikit pun tak bergeming—tetap menatap tajam pada pemuda klan Nara pengendali ninjutsu teknik bayangan itu. Ada sesuatu yang membuat wajahnya yang dingin itu menjadi lebih menakutkan dari sebelumnya.
Orang tanpa alis sudah cukup menyeramkan, toh?
"Aku ingin bicara dengan Sakura, Nara Shikamaru."
Shikamaru merasa tengkuknya memanas. Ia orang yang cukup toleran, akan tetapi menghadapi orang yang menyebalkan seperti Sabaku No Gaara ini, ia bisa kehilangan kesabarannya.
Ia tahu, ada sesuatu yang berbeda di tatapan kazekage dari Sunagakure itu. Semacam sentimen akan keberadaannya di sisi Sakura saat ini.
Seperti…kecemburuan?
"Apa orang tuamu tidak mengajarkan bagaimana cara yang sopan untuk menyapa orang lain, Tuan Kazekage? Jika kau begitu ingin bicara dengan Sakura, bukankah kau sebaiknya tidak menghadang perjalanan kami, memandangiku dengan seperti itu dan bicara seakan-akan Sakura tidak ada di depanmu?" suara Shikamaru terdengar bergetar. Terasa sekali bahwa ia berusaha menguasai emosinya yang mulai naik.
Gaara mengerjapkan matanya beberapa kali, melirik Sakura sekilas, lalu kembali memusatkan pandangannya pada pemuda berjaket jounin yang sudah meletakkan tumpukan buku-buku yang dipinjam Sakura ke tanah. Tindakan yang sebenarnya membuat Sakura sedikit terganggu.
Gaara sudah cukup terganggu dengan celotehan Temari yang mengusik hatinya. Itu sebabnya ia langsung terbang meninggalkan kakak perempuannya itu dengan satu tujuan: mencari Sakura dan berbicara dari hati ke hati dengannya.
Ia tahu, sembilan bulan bukan waktu yang sebentar. Ia membuang banyak waktu untuk berpikir dan berpikir. Ia juga tak tahu bagaimana perasaan Sakura terhadapnya. Yang ia tahu adalah gadis itu selalu menghantui benaknya dan memenjara hatinya dengan tanpa ia sadari. Itu sebabnya, begitu akhirnya ia sadar dari kebimbangan hatinya, ia langsung bangkit dan memutuskan ia harus mendapatkan Sakura.
Ia harus memenuhi janjinya. Dan lebih dari itu, ia harus mendapatkan hati gadis itu.
Gaara merasa, Shikamaru tidak akan begitu saja membiarkan ia bicara dengan Sakura. Apapun alasannya, ia merasa ini ada hubungannya dengan rencananya melamar Sakura, yang mungkin sudah diketahui banyak pihak.
Atau, mungkin karena pemuda klan Nara ini juga memiliki perasaan yang khusus terhadap Sakura?
Gaara tidak mau ambil resiko mempertaruhkan hubungan baik Suna dengan Konoha karena sebuah pertarungan konyol yang bisa saja terjadi saat ini. Sebagai kazekage, ia harus menjaga hubungan kerja sama yang baik antara Suna dengan Konoha di atas segala-galanya.
Ia harus mengambil keputusan yang cepat.
"Maaf, kalau aku menyinggungmu, Nara Shikamaru. Aku memang kurang tahu tata krama karena memang tak pernah diajar ibuku bagaimana layaknya bersikap. Aku hanya ingin bicara dengan Sakura. oleh sebab itu…"
Detik berikutnya, hamparan pasir menggulung Shikamaru dan Sakura dengan cepat, mengakibatkan Shikamaru terkejut bukan alang kepalang. Ia melompat ke belakang, sejauh mungkin ia bisa menghindar serangan pasir yang bergerak dengan cepat itu.
Shikamaru terkesiap saat ia menyadari Sakura terperangkap di dalam badai pasir milik Gaara itu. Kunoichi berambut merah muda itu menghilang dari pandangan Shikamaru dan hanya pasir kecoklatan yang berderu kencang saja yang bisa ia lihat.
"Sakuraaaa…..!" pekik Shikamaru dengan suara penuh kecemasan.
Hamparan pasir itu perlahan naik ke udara, bergerak perlahan bagaikan selubung rapat yang melindungi pemiliknya. Shikamaru berpikir keras untuk menentukan apa yang akan ia lakukan untuk membebaskan Sakura dari dalam pasir yang mematikan itu, akan tetapi mendadak selubung pasir itu tersibak sedikit. Secuil wajah tampak dari balik pasir itu.
"Jangan khawatir, Nara Shikamaru. Aku tidak bermaksud jahat. Aku hanya ingin bicara dengan Sakura," ujar Gaara dengan suaranya yang terdengar jauh dari kata mengancam.
Detik berikutnya, hamparan pasir itu terbang lebih tinggi dengan cepat dan menghilang menuju utara Konoha.
Shikamaru terengah-engah di tempatnya berdiri. Ia tak bisa membohongi dirinya sendiri, bahwa memikirkan kemungkinan bertarung satu lawan satu dengan pengendali pasir sehebat Gaara membuat hatinya berdetak tiga kali lebih kencang, karena kemungkinan ia menang sangat tipis. Gaara memang lebih unggul dari segi kekuatan, akan tetapi ia tidak boleh meremehkan kecerdasan Shikamaru. Otak adalah senjata rahasia Shikamaru.
Jika Gaara memang ingin mencari masalah di Konoha, ingin menghajarnya, tentu ia akan langsung lakukan itu tanpa pikir panjang sedari awal, akan tetapi kazekage itu tidak melakukannya. Alasan yang ia kemukakan dari tadi, adalah ingin bicara dengan Sakura.
Gaara memang hanya ingin bicara dengan Sakura.
Shikamaru melemparkan pandangannya ke tanah—ke arah dua kotak bento berwarna merah dan biru yang tergeletak di atas tanah dan tumpukan buku-buku pengobatab herbal milik perpustakaan yang dipinjam Sakura.
Pemuda berkuncir itu menghela nafas dalam-dalam. Ia rasa kali ini ia harus menghabiskan isi bento itu sendiri. Atau mencari Ino untuk menemaninya makan sekaligus memberitahu apa yang baru saja terjadi pada Sakura.
Buku-buku itu?
Ia akan bawa ke apartemen Sakura setelahnya. Gadis itu sangat membutuhkan buku-buku itu.
Shikamaru lalu memunguti semua barang-barang tersebut dan meninggalkan tempat itu dengan perasaan galau.
.
.
.
To be continued
.
.
A/N:
Wah…tidak bisa jadi oneshot, jadi mungkin akan jadi two-shot hehehe. Cerita ini lanjutan Sakura's Love Story chapter 8 dengan pairing Gaasaku, dan memang dibuat khusus untuk pembaca yang minta cerita itu dilanjutkan. Itu sebabnya saya tulis terpisah dengan Sakura's Love Story, karena Sakura's Love Story punya plot sendiri hehehe. Shikamaru juga saya munculkan, karena sudah banyak juga yang minta Shikamaru muncul di Sakura's Love, nah daripada menunggu lama, jadi saya munculkan saja di sini.
Bisa tinggalkan review setelah membaca? Ini kalian yang minta loh hehehehe…
