"Pasangan yang berada di bawah Mistletoe, harus mencium satu sama lain."
Di musim romansa ini, ciuman seperti apa yang menunggu?
Kisah apa yang telah dipersiapkan oleh takdir kepada pasangan-pasangan kita?
Fic spesial untuk menyambut natal. Judul dan summary telah menjelaskan semuanya. HAPPY READING~
Disclaimer 1: Saint Seiya itu milik Kurumada-sensei! tapi Mitsuki, Teru, Murasaki, Minami, para Akumu dan OC lainnya itu milik saya, beserta author-author lainnya yang OCnya muncul di chapter ini dan/atau chapter-chapter berikutnya.
Disclaimer 2: Lagu-lagu yang mungkin muncul di chapter ini dan chapter-chapter selanjutnya adalah milik penulis, penyanyi, produser, dan orang-orang yang terlibat dalam produksi serta pemasarannya.
KAMISHIRO MITSUKI
~Miracle of White Christmas~
.
.
.
Bagaimana semuanya menjadi seperti ini?
"Mitsucchi~! Cepat keluar dan perlihatkan kostumnya~!" Aku bisa mendengar suara Ayame-chan dari belakang tirai.
"Iya, sebentar..." Aku memastikan semuanya sudah kukenakan dengan rapi, lalu keluar dari ruang ganti baju.
"Waah~" Itulah reaksi pertama mereka. "Mitsuki-chan cantik sekali!" komentar Kaoru-chan.
"Benar-benar cocok dengan peran malaikat!" tambah Nagisa-chan.
Aku memandang cermin, aku kini mengenakan gaun putih dengan lining emas dan hiasan lace berupa gambar-gambar dan ornamen bunga berwarna putih dan emas. Rambutku dibuat bergelombang dan sebagian diangkat menjadi seperti kembang putri. Belum lagi, rambutku dijalin dengan sebuah pita putih panjang yang berubah emas di ujungnya, dan seakan belum cukup, ada sebuah hiasan bunga mawar putih BESAR yang menghiasinya.
Aku mendesah melihat pantulanku di cermin. "Padahal bukan aku tokoh utamanya, kostumku ini seakan mencuri spotlight..."
"Mitsuki-san, 'kan, malaikat. Tidak mungkin kostumnya simple seperti yang lainnya bukan?" balas Nagisa-chan.
"Yah..." Aku tidak bisa membalas.
Terdengar suara ketukan, lalu diikuti suara seorang gadis. "Aisei-san... Amagawa-san..." panggilnya. Nagisa-chan dan Kaoru-chan membuka pintu dan berbicara dengan gadis itu, sesuatu tentang setting dan lampu. Tak lama mereka berbalik ke arahku.
"Mitsuki-chan, kami tinggal dulu ya? Kami harus memeriksa set." kata Kaoru. Aku tersenyum dan mengangguk. Mereka lalu keluar.
"Kumoi-san, Ketua OSIS juga mencarimu..." kata gadis itu lagi.
"Eh? Mii-oneei?" Ayame mengikuti gadis itu keluar ruangan. Aku sendirian sekarang. Kupandang lagi cermin dan kembali mendesah, 'How did it all become like this...?' pikirku, sembari mengenang kejadian yang mengawali segalanya ini.
.
.
.
Musim dingin telah tiba, salju mulai berjatuhan... It's that time of year. Well, setidaknya sebentar lagi.
Aku berlari di tengah cuaca dingin yang membuat nafasku terlihat jelas, mengenakan seragam musim dingin lengkap dengan tas di pundakku. Mungkin bagi orang ini aneh, karena sekarang adalah liburan musim dingin. Sebenarnya, sekolahku akan mengadakan acara amal untuk merayakan Natal tahun ini. Itulah alasan aku sekarang pergi ke sekolah tanpa menghiraukan salju yang sudah menumpuk.
"Hahh hahh..."
Aku berhenti untuk mengatur napas sambil menunggu lampu merah berubah hijau. Mobil melaju dengan kecepatan sedang, berhati-hati di jalanan musim dingin yang licin. Kubenarkan syal yang kukenakan dan kembali berlari, begitu lampu tersebut berubah hijau.
Begitu sampai di sekolah, aku langsung menuju ke aula serbaguna. Menuruni tangga ke arah panggung dengan mata terpaku pada siswa-siswa lain yang sedang sibuk berlatih.
"Osaka-san, tolong pindah ke kiri 2 langkah!" seru Kaoru-chan.
"Gomenasai!" balas Shizuku Osaka, teman sekelasku yang menjadi tokoh utama dalam drama yang akan dipentaskan nanti. Dia aktris berbakat yang menuangkan jiwa-nya pada perannya.
Aku tersenyum dan melangkah mendekat ke Nagisa-chan dan Kaoru-chan yang duduk di kursi pada barisan paling depan.
"Maaf aku terlambat." sapaku. Keduanya berpaling dan tersenyum membalas.
"Tidak apa kok, latihan understudy diundur sejam..." ucap Kaoru-chan.
"Eh? Kenapa?"
"Ryo-san yang harusnya memainkan tokoh utama laki-laki demam tinggi. Jadi kita harus mencari penggantinya."
"Hee... Kalau tidak salah, understudy Ryo-san..." Belum selesai aku berbicara, orang lain sudah menyelesaikan kata-kataku.
"...Adalah aku."
Kita bertiga mendongak dan melihat Seto-senpai, ketua klubku dan sekaligus kakak Kaoru-chan, memasuki panggung. Dia berdiri di samping Shizuku-san dan memandangi kami bertiga.
"A-Apa dialognya sudah dihapalkan?" tanya Nagisa-san malu-malu, sampai pipinya merona. Kata Kaoru-chan, dia suka pada Seto-senpai. Dan sepertinya itu tampak jelas sekali, ya?
"Sudah," Seto-senpai tersenyum, yang malah membuat pipi Nagisa-chan makin merona. Dia langsung cepat-cepat menutupinya dengan naskah drama yang dipegangnya. Sebelum Seto-senpai sadar kalau Nagisa-chan berlaku aneh, Kaoru-chan langsung mengumpulkan perhatian semua orang.
"Yak! Mari kita mulai latihannya!"
Semua orang langsung mengambil posisi masing-masing. Aku duduk di samping keduanya, mengeluarkan naskah drama dari tasku dan mulai membacanya.
Miracle of White Christmas.
Itulah judul drama ini. Naskahnya ditulis oleh Nagisa-chan sendiri, dan dengan suara bulat dipilih untuk menjadi drama untuk acara natal ini. Ceritanya adalah tentang seorang gadis yatim piatu yang bisu, bernama Juli. Suatu hari di tengah musim dingin, dia tertabrak oleh mobil. Untunglah pengandaranya adalah seorang pria dermawan bernama Asena. Asena langsung membawanya ke rumah sakit tempat ayahnya bekerja. Dari sanalah, Asena mulai dekat dengan Juli. Dia akan mengunjunginya hampir setiap hari, dia membawakan Juli sebuah buku, agar Juli bisa menuliskan apa yang ingin ia katakan. Hari-hari berlalu, keduanya semakin akrab. Tak diketahui oleh mereka, seorang malaikat selalu mengawasi mereka. 23 Desember, malam natal. Sang malaikat mendatangi Juli dan memberitahunya legenda tentang Keajaiban Natal Putih. Ada sebuah jembatan di kota itu, dan jika nama seseorang dituliskan pada salju yang menumpuk di sana, maka orang tersebut akan mendapat kebahagiaan. Keesokan harinya, Juli memberitahu Asena tentang legenda tersebut, dan menanyakannya apakah dia bersedia merayakan Natal bersamanya. Jawaban Asena mengejutkan gadis tersebut,
"Maaf Juli..." Perhatianku sekarang tertuju kepada Seto-senpai dan Shizuku-san yang ternyata sedang melakukan scene yang baru kubaca. "...Aku merahasiakannya darimu, sebenarnya aku berada di kota ini untuk mengunjungi ayahku saja. Besok... Aku akan pergi, dan mungkin... Tidak akan kembali..."
Shizuku-san memasang wajah terkejut, yang terkesan sangat nyata. Ia menggerakkan tangannya seolah menulis sesuatu pada buku yang ada ditangannya, lalu menunjukkannya pada Seto-senpai. Suaranya lalu terdengar dari rekaman yang telah diambil sebelumnya.
"Mitsuki." Sebuah suara pelan memanggilku dari belakang. Aku berbalik dan melihat Minami-senpai. "Maaf, tapi bisa kamu ikut denganku? Beberapa komite dekorasi tidak datang, jadi kami kekurangan orang." Dia berbisik agar tidak mengganggu yang lainnya. Aku mengangguk lalu meninggalkan Aula dengannya.
Kami berdua berjalan ke Gedung Olahraga, tempat pesta dansa rahasia-nya akan diadakan. Ah, tapi sepertinya sudah bukan rahasia lagi, ya? Biar kujelaskan, jadi setelah drama tadi selesai dipentaskan, para tamu akan dituntun ke sini untuk pesta dansa.
"Di tengah salju seperti ini, tidak aneh kalau ada yang malas datang." canda Minami-senpai.
Aku tertawa kecil. "Kutebak Ayame-chan salah satu dari orang-orang itu?"
"Tidak. Ayame datang lebih awal malahan."
OK, aku terkejut. Ayame-chan bukan tipe orang yang akan datang lebih awal untuk belajar kelompok, tapi dia datang lebih awal untuk acara ini? Wow. Dia pasti sangat memikirkan keberhasilan acara ini.
Kami sampai di Ruang Olahraga, yang ramai dengan orang di sana-sini. Ada yang sibuk menggantungkan hiasan, ada yang merapikan meja, tangga di sana-sini, orang-orang berlari-larian.
"Tidak terlihat seperti kekurangan orang." komentarku.
"Mereka bekerja keras untuk menggantikan pekerjaan orang-orang yang tidak datang." balas Minami-senpai.
Aku menatapnya sejenak. "Baiklah, apa yang bisa kubantu?"
.
.
.
Aku yang disibukkan dengan tugas-tugas tidak memperhatikan jam sama sekali. Sekarang aku berada di atas tangga, berusaha memasang sebuah tirai.
"..."
Aku berhenti dan mendesah, "Ada perlu apa, Ayame-chan?" tanyaku sambil melihat ke bawah. Ayame-chan yang berdiri di samping tangga, langsung sadar dari lamunannya.
"Ah, etto, uhm..." Aku mengangkat sebelah alis sementara dia berusaha mengingat apa yang mau dia katakan. "Ah! Ruu-tan mencarimu, sesuatu tentang latihan,"
"Latihan!" Aku baru sadar dan segera menuruni tangga. Sebelum aku pergi, aku sempat berbalik dan berkata pada Ayame-chan, "Putih."
"Eh!? Kok Mitsucchi-"
Aku hanya tersenyum dan meninggalkan Gedung Olahraga.
Sisa hari itu berjalan lancar. Saat matahari sudah condong ke Barat, kami semua bersiap-siap pulang. Ketika aku akan meninggalkan sekolah, aku sempat mengunjungi Gedung Olahraga. Harusnya sih, semua orang sudah pulang. Tapi ternyata Ayame-chan masih ada di sana.
"Ayame-chan?" panggilku.
Dia terkejut dan hampir jatuh dari tangga yang didudukinya. "M-Mitsucchi!? Belum pulang?"
Aku tersenyum dan berjalan mendekat, "Aku bisa menanyakan hal yang sama padamu."
"A-Aku, cuma mau memeriksa semuanya sudah di tempatnya... Tinggal kurang dari 1 minggu sebelum hari H-nya..." Entah kenapa, pipinya merona karena malu. Senyumanku semakin melebar.
"Baiklah, jangan memaksakan dirimu." Aku berbalik keluar. "Jangan lupa mengunci pintu dan jendelanya. Sepertinya akan ada badai salju malam ini." Aku pun meninggalkan Ayame-chan dan berjalan pulang.
~The Next Day~
Kami semua kembali berkumpul di sekolah. Tinggal 4 hari menuju hari pembukaan pada 24 Desember. Semuanya bekerja ekstra keras.
"And... Cut!"
Kami semua bersorak bahagia, latihannya berjalan tanpa ada kendala. 'Kalau begini, drama-nya pasti akan sukses.' Aku tersenyum memikirkannya. Tapi perayaan kami dihentikan oleh Minami-senpai yang membuka pintu Aula dengan kencang, membawa kabar buruk. "Ikut aku. Ada masalah."
Dia membawa kami ke Gedung Olahraga. Langkahku terhenti begitu melihat ke dalam. Tempat itu dipenuhi salju. Hiasan-hiasan hilang terbawa angin, tirai sobek, dan meja-meja ditimbun salju.
"Apa yang terjadi di sini?" tanyaku.
Salah seorang siswa yang sudah sampai di sana berteriak marah, "Siapa yang lupa menutup jendelanya hah! Semuanya jadi berantakan!"
Aku langsung mencari sosok Ayame-chan, dan menemukannya berdiri tak jauh dariku, dengan wajah pucat yang tertunduk. Sepertinya dia sadar kalau dialah penyebab semua ini. Dia lupa mengunci jendela kemarin.
"Ayo ngaku!" Siswa lain ikut berteriak, suasana berubah tidak mengenakkan. Orang-orang berbisik satu sama lain. Aku melihat Ayame-chan, dia sepertinya mau mengaku. Tetapi Minami-senpai menahan niat-nya itu.
Dia mendekati siswa yang berteriak tadi. "Bukan saatnya untuk menyalahkan orang lain. Kita punya masalah yang lebih besar lagi." Aku kagum dengan keberaniannya, Minami-senpai dengan mudahnya mencairkan suasana.
"Bagaimana perkembangan dramanya?" tanyanya padaku.
Aku sedikit kaget dan cepat-cepat menjawab. "L-Lancar... Tidak ada masalah, sepertinya."
"Souka... Jadi masalahnya cuma tempat pesta dansa-nya..." Minami-senpai meletakkan tangannya ke dagunya dan berusaha memikirkan sebuah solusi.
"Sepertinya kalian butuh bantuan, ya?" Suara seorang pemuda mengalihkan perhatian kami semua. Aku berbalik dan terbelalak.
"Seiya-kun? Minna!?"
Seiya-kun dan keempat Bronze Saint lainnya sekarang berdiri di pintu masuk Gedung Olahraga, tersenyum. Aku langsung mendekati mereka.
"Seiya-kun? Kenapa..." Aku memelankan suaraku supaya siswa lain tidak bisa mendengar, "Kenapa kalian di Jepang? Bukankah kalian harusnya di Sanctuary?"
Seiya-kun menggaruk belakang kepalanya, "Dua kata, Badai. Salju."
Shun-kun tersenyum seperti biasa dan menjelaskan lebih lanjut. "Karena badai salju, kami terpaksa kembali ke Jepang."
"Hee... Bagaimana dengan Saint lainnya?" tanyaku penasaran.
"Ada beberapa yang bertahan di Sanctuary, dan ada yang ikut kami ke Jepang."
"Seperti?"
"Hm... Para Gold Saint, mereka ikut kami ke Jepang." Shun-kun dan Seiya-kun tersenyum penuh arti. Aku sekuat tenaga menahan agar pipiku tidak terlihat merah.
"B-Bagaimana dengan...?"
"Kanon?" canda Seiya-kun. Aku bisa merasakan pipiku menjadi panas.
"Bukan! Ba-Bagaimana dengan, Henna-chan... Sophie-chan... Dan Shizen-chan...?"
Shun-kun sedikit merona ketika aku menyebut nama Sophie-chan, sedangkan Ikki-kun di belakang mereka langsung memalingkan kepala. Seiya-kun menyeringai melihat reaksi Shun-kun, kupikir dia baru mau meledek Shun-kun, tetapi dia berbalik ke arahku.
"Mereka sedang tidak di Sanctuary waktu badai salju-nya. Aku tidak tahu apakah mereka akan ke Jepang atau tidak. Tapi sepertinya... Di sini banyak yang menginginkan mereka ke sini ya?" Dia terkikik dan melirik Shun-kun serta Ikki-kun. "Yak, mengesampingkan itu! Sepertinya kalian butuh bantuan, ya?" Seiya-kun menelaah isi Gedung.
Tiba-tiba dia meletakkan tangannya di atas kepalaku. "Apa yang bisa kami bantu?"
Aku pun menjelaskan situasinya kepada mereka, tentunya secara implisit memberi tahu bahwa Ayame-chan melakukannya dengan tidak sengaja.
"Jadi begitu ya..." Seiya-kun mengangguk mengerti. "Jadi, pertama-tama kita membersihkan tempat ini. Lalu..."
"Kita belum memikirkannya sejauh itu, tapi hal pertama yang harus kita lakukan adalah membersihkan tempat ini dari salju terlebih dahulu," jelas Minami-senpai. Beberapa siswa mulai berbisik satu sama lain lagi. Sesuatu seperti: "Gawat, aku bilangnya hari ini pulang cepat," atau "Aku harus ke dokter nih," "Orang tuaku ada urusan," dan sebagainya. Aku melirik Minami-senpai, dan menemukannya sedang mendesah. Dia menepuk tangan untuk menarik perhatian semuanya. "Aku tidak memaksa kalian untuk ikut. Bagi mereka yang punya urusan dan tidak bersedia, silahkan pulang."
Mengatakan itu adalah sebuah kesalahan. Karena begitu mengatakannya, hampir semua siswa langsung meninggalkan tempat itu. Meninggalkanku, Minami-senpai, Kaoru-chan, Nagisa-chan, Ayame-chan, Seto-senpai, Shizuku-san, para Bronze Saint, dan segelintir siswa lainnya.
Minami-senpai mengeluarkan desahan panjang. "Seto, Shizuku, Kaoru, dan Nagisa. Kalian urus saja drama-nya. Pastikan, setidaknya drama ini berjalan lancar. Sisanya, ayo bersihkan tempat ini!"
~SKIP TIME~
Setelah beberapa jam, tempat itu masih belum selesai kami bersihkan setengahnya. Saljunya begitu tebal sehingga sulit untuk berjalan. Aku tidak menyangka akan berkeringat sebanyak ini di musim dingin, kecuali, kamu tahu, sauna. Kelihatannya bukan cuma aku yang kelelahan, aku bisa melihat hampir semua siswa yang ikut membantu juga lelah. Dan Minami-senpai juga bisa melihat itu, karena tidak tega ia pun menyudahi pekerjaan hari itu.
"Sampai di sini dulu... Akan kita lanjutkan besok..."
Setelah mengecek semua jendela dan pintu terkunci (3 kali malah), semua orang pun bubar, termasuk mereka yang mengurus drama. Kami berjalan bersama keluar sekolah. Tapi aku tidak berjalan lurus seperti biasanya, aku berbelok ke kiri dan berjalan sendirian.
"Ng? Mitsuki-chan, mau ke mana?" tanya Shun-kun begitu aku melangkah menjauh. Aku berbalik dan memaksakan sebuah senyuman, "Mau jalan-jalan sebentar..."
Ia menatapku sejenak dengan ragu, tapi akhirnya kembali berjalan ke arah yang berbeda. Setelah mereka semua pergi, aku membenarkan syal yang kukenakan dan kembali berjalan. Aku berjalan sambil mencoba mengatur pikiranku.
Walaupun kami membersihkan tempat itu, bagaimana dengan menghias yang memerlukan waktu seminggu lebih? Bisakah kami melakukannya dalam 3 hari, mungkin kurang dari itu. Aku ragu, peluang pesta dansa ini bisa terlaksana sangat kecil. Aku sebenarnya tidak apa-apa, tapi aku tahu kalau Minami-senpai akan dalam posisi tidak menguntungkan kalau acara ini gagal. Budget yang digunakan, harga diri, sebagai ketua OSIS dan ketua klub amal, dia pasti akan menyalahkan dirinya sendiri. Aku tidak sanggup melihat ekspresi kecewanya nanti, lebih-lebih ekspresi Niisan melihat pacarnya begitu nanti.
Begitu seriusnya aku melamun, aku tidak sadar kalau aku sudah berada di pertokoan. Aku baru sadar ketika kakiku secara tidak sengaja tersandung sesuatu.
"Aduduh..." Aku menahan nyeri sejenak. Ternyata benda yang kutabrak adalah sebuah papan menu. Aku mendongak dan menemukan papan nama sebuah cafe, terpampang di atas kepalaku.
Aku membaca papan namanya. "Ahna... Nerbe...? Dari "Ahnenerbe", institut Nazi itu?" Alisku berkedut dan aku sweatdrop, 'Ahaha... Sense nama yang aneh...' batinku. Entah apa, sesuatu menarikku untuk masuk ke dalam. Yah, tidak ada salahnya mengganti suasana. Aku pun melangkah masuk.
Bunyi gemerincing bel dan ucapan "Selamat Datang" langsung terdengar ketika aku masuk. Tempat itu bisa dibilang sepi, hanya ada 2-3 orang di dalamnya. Aku mengambil tempat duduk di samping jendela dan mengambil menu yang ada. Tak lama, seorang pelayan mengenakan baju maid datang mengambil pesananku.
"Etto, 1 hot chocolate saja." Ia mengangguk dan berjalan pergi.
Aku mendesah pelan dan membuka syalku. Kulihat jalanan luar, tempat ini begitu tenang dibandingkan keramaian di luar. Seolah berbeda dunia, tempat ini memberikan mood yang pleasant. Aku sepertinya baru akan melamun lagi, ketika suara seorang perempuan dari belakangku memecah kesunyian.
"Cokelat panas di cuaca dingin memang paling enak, ya?" katanya.
Aku baru mau berbalik, tapi dia menghentikanku. "Tidak usah berbalik, kita bicara seperti ini saja." OK, agak aneh, tapi aku tidak merasakan sesuatu yang berbahaya darinya, jadi aku mengikuti saja. Dari sekilas yang kulihat tadi, perempuan itu memiliki rambut coklat caramel yang bergelombang, dan sepertinya meminum cokelat panas sama sepertiku.
Dia meneguk cokelatnya lalu suasana kembali hening untuk sejenak, sampai pelayan tadi membawakan pesananku. Lalu dia kembali berbicara, "Apa yang mengganggu pikiranmu?"
Aku agak terkejut, 'Bagaimana dia tahu?' Aku mengangkat cangkirku dan meminumnya pelan. "Apa maksud anda...?" tanyaku seolah tidak tahu apa yang dibicarakannya.
Dari sudut mataku, aku melihat dia tersenyum. "Ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu, 'kan? Karena itulah kamu menemukan tempat ini."
Aku mengangkat sebelah alis, kali ini aku benar-benar tidak tahu apa yang dibicarakannya. "Menemukan tempat ini...?" Aku kembali bertanya.
"Ya. Orang-orang tersesat lah yang pasti menemukan tempat ini, perbedaannya adalah apakah mereka masuk atau tidak."
Entah kenapa, aku tahu bahwa "Tersesat" yang dimaksudnya bukanlah tersesat tidak tahu jalan. 'Pikirannya tersesat, kah...?' terka-ku. "Uhm, kalau begitu... Anda juga tersesat?"
Perempuan itu tertawa, "Ya, mungkin bisa dibilang begitu. Tapi jangan membicarakan diriku, ayo kita bicarakan masalahmu,"
Aku kembali meneguk cokelat panasku. "Kalau... Aku tidak ingin membicarakannya? Untuk apa aku memberitahu masalahku kepada orang asing?" ucapku dengan nada tajam.
"Hmm... Kalau begitu, biar aku yang menebak. Masalahmu... Apa berhubungan dengan sekolah?"
DEG!
Bagaimana...
"Kamu mengenakan seragam sekolah. Tapi ini di tengah liburan musim dingin, jadi... Sesuatu tentang perayaan natal?"
Bagaimana dia...
"Mungkin ada hubungannya dengan badai salju semalam?"
Bagaimana dia tahu!?
Tanpa sadar, aku bangkit dan menggebrak meja. 'Bagaimana dia tahu?' Aku merasa wajahku memucat. Aku melirik ke belakang sejenak, kulihat dia meminum cokelatnya dan tersenyum.
"Jangan berwajah seperti itu... Kamu tidak merasakan sesuatu yang mengancam dariku, 'kan?" Nada suaranya melembut dan tetap tenang.
Aku pun kembali duduk dan meneguk cokelat panasku. "Jadi? Anda sudah menebaknya dengan benar, lalu apa?" tanyaku untuk kesekian kalinya.
Perempuan itu tidak bersuara, untuk sesaat kupikir dia sedang membodoh-bodohiku, tapi lalu dia berkata, "Apa kamu suka seni?"
Eh? Barangkali aku salah mendengar, apa dia benar-benar mengatakan itu?
"Aku suka seni, dulu ada sebuah museum seni dekat dengan sekolah di kota ini. Tapi tempat itu ditutup 10 tahun lalu. Sayang sekali..."
...
"Maaf, tapi... Aku tidak melihat hubungannya dengan masalahku?" Untuk apa dia menanyakan masalahku, hanya untuk menggantinya dengan subjek yang sama sekali tidak berhubungan.
Dia tersenyum dan meletakkan cangkirnya. Dia bangkit dari tempat duduknya, "Kuharap kamu memecahkan masalahmu. Aku ingin sekali melihatmu dengan kostum malaikat, Mitsuki..."
Aku terbelalak dan secepat kilat berbalik. Tapi orang itu sudah tidak ada. 'Bagaimana dia tahu...?' Untuk kesekian kali aku mengulang-ngulang pertanyaan tersebut.
.
.
Setelah pertemuan aneh di cafe itu, aku berjalan pulang. Rute yang kupilih membawaku kembali ke sekolah. Aku bisa melihat bangunannya menyembul dari antara pohon-pohon bersalju. Tapi bukan itu yang menarik untuk diceritakan. Di sisi lain jalan, aku menemukan sebuah bangunan, yang sepertinya kosong. Ada papan nama di depan pagar temboknya, awalnya kupikir itu rumah seseorang. Tapi setelah memerhatikan lebih jelas, aku sadar itu bukan rumah.
Aku membersihkan papan namanya dari salju, tulisannya sudah memudar. Tapi, dari huruf-huruf yang tersisa, aku tahu kalau bangunan itu dulunya museum seni. Tunggu... Museum seni? Apa ini bangunan yang dimaksud wanita tadi?
Kalah dengan rasa penasaran, aku masuk ke dalam. Atau, lebih tepatnya, mencoba -pada awalnya- sebelum aku sadar kalau tempat itu tidak terkunci. Aku pun masuk. Tempat itu gelap, satu-satunya cahaya adalah dari pintu masuk dan cahaya-cahaya yang menyelip dari jendela-jendela yang ditutup dengan kayu.
Ruangan itu berbentuk persegi, dan ada karya-karya seni yang ditinggalkan. Tempat itu memiliki 2 lantai, tapi aku bisa melihat langsung ke langit-langitnya karena lantai 2-nya terbuka, lantai hanya ada di sisi-sisi ruangan berbentuk seperti border. Di ujung belakang, ada sebuah tangga lurus yang mengarah ke lantai 2. Tangga itu cukup lebar untuk 2 mobil diparkirkan di sana. Di lantai 1, di samping tangga tersebut, ada sebuah pintu. Tapi yang menarik perhatianku bukan itu, melainkan yang berada di lantai 2. Aku menaiki tangga ke lantai 2, dan di depanku kini adalah sebuah pintu besar terbuat dari kayu, dengan ukir-ukiran seperti tanaman. Pintu itu terbuka sedikit, aku pun mengintip ke dalam. Ruangan itu terlihat seperti sebuah ballroom. Kubuka pintu itu perlahan dan masuk ke dalam.
Ruangan itu memiliki langit-langit tinggi, dengan 3 jendela -setinggi ruangan tersebut- di masing-masing sisi ruangan berbentuk persegi tersebut. Ada meja dan kursi di sana-sini, dan walaupun lantai marmernya berdebu, aku masih bisa melihat refleksiku.
Aku terkagum dengan ruangan tersebut. "Wow..."
"Mitsuki?"
Suara seorang laki-laki mengejutkanku. Aku secara refleks membuat bola cosmo dan siap melemparkannya. Tetapi setelah beberapa saat, aku sadar aku mengenal suara itu. Seorang pemuda berjalan mendekatiku dari kegelapan ruangan itu, rambutnya berwarna keperungguan, matanya yang merah senada ruby terlihat bersinar di tengah kegelapa itu. Tentu saja aku mengenalnya, dia Kamishiro Teru, kakakku sendiri.
"Niisan..." Aku mendesah lega dan menghilangkan bola Cosmo tadi. "Jangan mengagetkanku seperti itu..."
Niisan tersenyum dan mengacak-ngacak rambutku. "Harusnya aku yang mengatakan itu. Kenapa kamu ke sini?"
"Niisan sendiri?" balasku sambil merapikan kembali rambutku.
"Aku? Yah, cuma melihat-lihat saja. Bangunan ini mau diruntuhkan sebentar lagi." Dia mengeluarkan sebuah kunci dari saku celananya. Ooh, makanya pintunya tidak terkunci.
"Bangunan ini mau diruntuhkan ya...? Sayang sekali..." Aku memandang sekelilingku dengan pandangan sendu. Niisan juga memandang sekeliling, "Tempat ini ditutup 10 tahun lalu," ucapnya. "...Tidak ada salahnya menunggu lebih lama, ya?"
Aku menatapnya dengan pandangan berharap. Dia tersenyum, "Bagaimana, Mitsuki? Mau gunakan tempat ini untuk acara dansamu?"
"Eh...? Bagaimana Niisan tahu?"
"Minami." Jawaban yang singkat, padat, dan jelas.
"Ah, iya, yah... Niisan dan Minami-senpai, 'kan, sudah berpacaran. Tentu saja Senpai memberitahu Niisan segalanya, ya?" ucapku sambil tersenyum semanis mungkin.
"J-Jangan mengatakannya dengan polos begitu dong!" Entah kenapa Niisan menjadi salah tingkah. Apa aku mengatakan sesuatu yang salah?
"Ehem! Lebih penting lagi... Bagaimana? Kamu mau? Kalau kamu mau, aku bisa mengurusnya." Niisan kembali serius, dan aku dengan serius juga menolak. Tetapi Niisan tidak menerima tidak sebagai jawaban.
"Walaupun aku setuju, acaranya akan diadakan 4 hari lagi! Berarti semuanya harus dipersiapkan dalam 3 hari, itu pun kalau yang lainnya setuju besok!"
Niisan dengan tenang memindahkan tumpuan. "Tapi tidak mungkin juga kita membiarkan acara ini gagal, 'kan? Aku tahu kalian berusaha keras untuk acara ini." Ia meletakkan tangannya di atas kepalaku dan tersenyum, senyumannya selalu berhasil menenangkanku. "Aku juga ingin ikut membantu acara Natal adikku tersayang, jadi terima saja bantuanku napa?" katanya setengah bercanda. Aku terdiam sejenak, tetapi ikut tertawa sesaat kemudian.
"Mou... Aku tidak bisa menang dengan Niisan, ya?"
~The Next Day~
Aku dan Niisan berlari ke sekolah dengan senyuman. Begitu sampai, kami langsung menuju Gedung Olahraga. Ternyata semuanya sudah berkumpul dan tengah membersihkan tempat itu lagi. Pandangan semua orang langsung tertuju pada aku dan Niisan yang baru datang.
"Minna, aku- Kami, menemukan tempat baru. Mungkin agak sedikit berdebu, tapi tempatnya cocok untuk acara pesta dansa ini." kataku, berusaha terdengar antusias.
Semuanya saling pandang, lalu Minami-senpai berjalan maju. "Mitsuki... Bukannya aku mau pesimis, tapi acaranya tinggal 3 hari lagi. Kalau kita mengulang dari awal..."
"Pasti berhasil." potong Niisan, "Aku juga akan membantu. Semuanya pasti akan lancar, tenang saja, Minami." Senyuman Niisan berhasil membuat Minami-senpai merona. Sadar dirinya sudah kalah, Minami-senpai mengangguk setuju.
Untuk sesaat, kami merayakan hal ini. Akhirnya, acara ini bisa berlangsung lancar -Setidaknya, kesempatannya lebih tinggi. Tapi, saat itulah Kaoru-chan datang dengan wajah panik. Perasaanku nggak enak nih...
"G-Gawat!"
Wah, instingku benar... Curse my instinct.
Kaoru-chan mendekatiku sambil berusaha mengatur nafasnya, "Mitsuki-chan, gawat! Tunggu, mungkin ini kabar gembira... Ya, sepertinya ini kabar yang bagus..."
Aku mengangkat sebelah alis bingung. "Tenanglah, Kaoru-chan... Katakan, apa yang terjadi...?"
"Ah, etto... Y-Yamabuki-san! Yamabuki-san yang seharusnya memainkan peran malaikat cedera!"
Yamabuki Miyabi? Kaoru-chan benar, ini mungkin kabar baik. Emosiku masih melunjak setiap aku mengingatnya menginjak gelang bunga yang dengan susah payah kubuat, dan perbuatan-perbuatannya yang lain, tapi itu yang paling utama.
...Tunggu dulu... Kalau dia cedera, berarti...
"Mitsuki-chan! Kamu harus menggantikannya!" ucap Kaoru-chan dengan mata berbinar-binar.
"A-A-A..." Aku membeku, bingung harus bereaksi bagaimana.
.
.
.
'Dan begitulah, bagaimana semuanya menjadi begini...' Aku mendesah sekali lagi dan menatap pantulanku di cermin. Seseorang mengetuk pintu, tak lama terdengar suara seorang gadis yang sama seperti tadi. "Kamishiro-san, sudah hampir saatnya tampil." panggilnya.
"Ha'i. Aku akan segera ke sana." balasku. Setelah menarik nafas panjang, aku memegang gelang bunga di pergelanganku dan berjalan keluar.
Syukurlah, dramanya berjalan lancar. Shizuku-san yang berakting benar-benar memukaukan. Maksudku, aku sudah melihatnya berlatih, tapi sekarang ini, akting 100 kali lebih hebat dari aktris-aktris mana pun yang pernah kulihat. Melihatnya bergerak, mendengarnya berbicara, seolah melihat karakternya Juli menjadi hidup. Shizuku-san dan Juli terlihat seperti orang yang satu dan sama. Seto-senpai juga tidak kalah, walau memang belum selevel dengan Shizuku-san, aku belum tahu dia bisa berakting sebagus ini. Biasanya dia begitu jujur dan terus terang. Aku hanya berdoa semoga aku bisa menyamai akting mereka.
"Mitsuki-chan..." Kaoru-chan memberi isyarat untukku keluar ke panggung. Aku menarik nafas panjang sekali lagi. Begitu menapakkan kaki di panggung, aku langsung meresapi karakter sang malaikat.
Aku tidak mengingat sisanya, begitu sadar, aku sudah kembali ke belakang panggung. Semua orang menatapku. "E-Eh? Ada apa...? Apa aku salah dialog?" tanyaku gugup.
"Bukan itu... Mitsuki-san..." Pandanganku langsung tertuju ke Nagisa-chan. "Barusan itu... Hebat sekali!"
"Eh?"
Semua orang langsung mengerumuniku dan memuji-muji. "Hebat sekali, Kamishiro-san! Kalau begini, untunglah Yamabuki-san cedera!" Dan sebagainya.
~SKIP TIME~
Drama sudah hampir mencapai klimaks-nya. Asena baru memberitahu Juli bahwa dirinya akan pergi. Keesokan harinya, Juli yang masih terbaring di Rumah Sakit hanya bisa memandang keluar jendela dengan pandangan sedih. Saatnya aku masuk. Dengan sound effect dan lampu sorot terarah padaku, aku melangkah ke panggung.
"Juli..." Aku memulai dialogku. "Juli... Apakah baik begini...? Pemuda itu akan pergi jika begini... Apa kamu tidak akan menyesal...?"
Juli hanya menggeleng. Aku melangkah mendekat dan menyentuh tangannya. "Juli... Kita berdua tahu, kalau bukan itulah perasaanmu. Jujurlah pada perasaanmu sendiri, Juli. Percayalah, percayalah pada keajaiban White Christmas, dan lebih penting lagi, percayalah pada hatimu. Dengarkanlah..." Lampu sorot meredup dan aku segera berjalan keluar panggung. Ketika aku melirik penonton, entah bagaimana, dengan sekejap aku langsung menemukan sosok Kanon di antara para penonton. Dan dia juga melihatku dan tersenyum. Aku merasakan pipiku memanas, semoga penonton yang lainnya tidak melihatku begini.
Perhatianku kembali tertuju pada Shizuku-san di panggung.
Juli sudah tahu perasaannya yang sebenarnya, ia dengan susah payah bangkit dari ranjangnya. Tetapi kakinya masih belum sembuh sepenuhnya, sehingga dia langsung terjatuh ke lantai. Dengan merangkak, Juli meraih kursi rodanya dan mengangkat diri. Setelah duduk di kursi rodanya, ia langsung mendorong rodanya keluar ruangannya.
Orang-orang mengenakan baju hitam yang menutupi seluruh tubuh mereka langsung membereskan properti lainnya dan menyiapkan properti baru. Diperlihatkan Juli berusaha secepat mungkin mendorong kursi rodanya keluar Rumah Sakit, menuju jalan, yang dihujani salju.
Ia terus mendorong kursi rodanya, menuju ke jembatan tempat Asena menunggu. Ia hampir sampai, Juli bisa melihat Asena menunggu di jembatan itu. Cahaya bahagia terpancar dari wajah Juli, tetapi tiba-tiba badai salju yang kuat langsung menerpanya. Ia terjatuh dari kursi rodanya.
Asena melihat sekelilingnya, tidak menyadari kehadiran Juli. Ia melihat jam tangannya lalu berbalik dan bersiap pergi.
Juli berusaha memanggilnya, tetapi ia bisu, ingat? Walaupun berteriak, suaranya tidak akan mencapai Asena, tidak akan pernah...
Aku berjalan memasuki panggung. Cahaya sorot kini menyorotku dan Juli yang menangis tanpa suara, sementara sekeliling menggelap.
"Apakah kamu akan menyerah...?" tanyaku.
"Mau bagaimana lagi? Aku bisu, suaraku tidak akan terdengar olehnya..."
Aku memeluk Juli dengan lembut. "Selama 18 tahun kehidupanmu, tak pernah sekali pun kamu menyerah. Kamu sekalu berusaha, melewati batas. Kali ini, sekali lagi, dengan segenap hatimu, biarkanlah suaramu terdengar..." Aku melepaskan pelukanku dan mendorong pundaknya. "Jangan menyerah, Juli... Perdengarkanlah hatimu..."
Dengan perlahan aku melangkah mundur.
Lampu kembali menyala. Asena mulai melangkah pergi. Juli berusaha bangkit, mulutnya berusaha mengeluarkan suara. "A... A..." Asena mulai menjauh, mata Juli mulai berair. "A... As... ASENA!" Akhirnya, suaranya mencapai Asena. Sang pemuda berbalik dan menatap Juli. "Ju... Li...?"
"Asena..." Juli kembali memanggilnya dengan suara samar. Ia memaksa bangkit dan berlari ke arahnya, Asena juga berlari ke arah Juli. Baru beberapa langkah, kaki Juli kehilangan kekuatannya dan ia terjatuh. Tetapi, dengan cepat, Asena menangkapnya di pelukannya.
"Juli... Kamu... Suaramu..." Asena menatap sang gadis dengan pandangan tidak percaya.
Juli mengangkat wajahnya. "Asena..." panggilnya, air matanya tidak dapat terbendung lagi. "Asena..." Ia terus memanggil nama sang pemuda.
Asena kembali memeluk Juli. "Juli... Aku..."
"Asena... Aku, aku menyukaimu... Sangat menyukaimu... Aku mencintaimu, Asena..."
Pipiku kembali panas, mengingat Kanon pernah mengatakan hal yang sama padaku. Aku kembali melirik Kanon, dia tengah memalingkan wajahnya dengan tangan menutupi mulutnya. Gold Saint yang lain mulai meledeknya, sepertinya mereka menyadari hal yang sama denganku.
Ehem, kembali ke dramanya.
"Asena... Bawalah aku denganmu. Aku ingin melihat dunia yang kamu lihat..."
Asena tersenyum. "Ya, akan kuperlihatkan. Akan kuperlihatkan segalanya padamu, Juli..."
Keduanya kembali berpelukan. Juli melihat sesuatu yang menangkap perhatiannya di jembatan tersebut. Di tumpukan salju, tertulis namanya dan Asena. Ia tersenyum melihatnya, dan mengeratkan pelukannya.
Tirai diturunkan, para penonton langsung berdiri bertepuk tangan, beberapa menangis tersedu-sedu (Jangan tanya siapa). Tirai kembali diangkat, dan aku berjalan ke tengah panggung. Pertama-tama, aku membungkuk hormat. Lalu mulai mengucapkan kata penutupnya, "Miracle of White Christmas, seperti yang anda sekalian baru lihat, tidak terbatas pada sepasang kekasih. Sahabat, keluarga, orang-orang kesayangan anda sekalian, bahkan orang-orang yang belum kita temui, kita semua disatukan oleh tali takdir. Alangkah bahagianya, jika kita membuat keajaiban -Miracle, bukan hanya di Natal ini, untuk hari-hari selanjutnya, bulan-bulan selanjutnya, tahun-tahun berikutnya... Marilah kita buat keajaiban, untuk semua orang yang kita temui." Aku memasang senyum malaikat tertulus, terlembut, dan terhangat yang kubisa.
Sekali lagi, para penonton semua bertepuk tangan. Aku melirik Kanon yang juga bertepuk tangan dan kembali tersenyum seperti tadi. Pemain-pemainnya dan semua siswa yang terlibat dalam drama ini memasuki panggung, menyatukan tangan, dan membungkuk hormat kepada para penonton.
.
.
.
Tugasku belum selesai.
Segera setelah para penonton mulai meninggalkan Aula, aku segera berlari mendahului mereka. Menunggu di pintu gerbang sekolah. Walau salju turun, walau udaranya begitu dingin, aku tetap berdiri di sana.
Para undangan segera sampai, mereka tampaknya bingung dan penasaran. Aku kembali tersenyum, "Sebenarnya, keajaiban Natal ini tidak selesai sampai di sini. Masih ada satu keajaiban lagi yang telah kami siapkan pada kalian semua. Saa, ayo menuju White Christmas' Miracle anda!"
Aku berbalik dan merentangkan tangan. Seketika, lampu-lampu pohon langsung menyala satu-persatu dengan cepat. Membuat tempat itu terang dengan cahaya lampu hangat.
Aku membawa para undangan ke Museum Seni terbangkalai itu. Aku berdoa dalam hati, semoga Niisan dan yang lainnya berhasil mengubah tempat ini. Aku membuka pintunya, dan yang kusaksikan benar-benar membuatku terkejut.
Tempat itu tidak lagi gelap dan berdebu. Kini ada sebuah lampu hias menggantung di langit-langit yang tinggi, menyinari ruangan. Patung dan lukisan di sana-sini ikut menghias ruangan. Tapi yang lebih mengejutkan adalah, Niisan menunggu kami di depan pintu Ruang Pesta, dengan mengenakan tuxedo lengkap.
"Welcome to Mitsuishi Gakuen's, White Christmas Ball." katanya sambil merentangkan kedua tangannya dengan dramatis.
Tempat itu berubah 180 derajat, aku tidak tahu apa yang menantiku di balik pintu Ruang Pesta Dansa itu. Niisan membuka pintu itu, alunan musik lembut langsung terdengar. Wah, mungkin hari ini adalah hari dengan kejutan paling banyak dalam hidupku. Ruangan itu sudah seperti Ruang Pesta Dansa pada film-film klasik. Wallpaper-nya diganti dengan yang baru, tidak ada yang robek lagi. Lantai marmernya tidak lagi berdebu, kursi dan meja dengan taplak putih bersih, bunga-bunga di vas, chandelier besar di langit-langit. Wow, just, wow.
~SKIP TIME~
Tidak butuh waktu lama bagi para undangan untuk meninkmati perubahan tempat itu. Ada yang melihat-lihat lukisan-lukisan dan patung di luar, ada yang berdansa, ada yang sekedar mengobrol di sisi, tapi dari wajah mereka aku bisa melihat kalau rencana ini sukses. Aku juga melihat Niisan sukses mengajak Minami-senpai berdansa, Senpai sekarang mengenakan gaun malam yang elegan, membuatnya terlihat dewasa.
Ngomong-ngomong soal gaun, aku sadar aku masih mengenakan kostum malaikatku. Memalukan sekali. Dan seakan belum cukup, Kanon berada tak jauh dariku. Untungnya, dia tidak melihatku, tapi kalau iya... Aku akan mati karena malu.
Saat itulah, sebuah tangan menarikku keluar dari ruangan. Siapa? Aku berbalik dan melihat gadis dengan rambut pirang selutut dan gadis dengan rambut biru seperti laut. Aku harusnya mengenal mereka, karena mereka adalah sahabatku.
"Sophie-chan... Henna-chan... Kalian datang..." kataku. Mereka membawaku ke toilet wanita (Untunglah toilet itu bersih, terang, luas, dan tidak bau).
"Kamu bodoh, ya?" Henna-chan memecah kesunyian. "Mengenakan kostum seperti itu ke pesta dansa."
"Mau bagaimana lagi, ini peranku di drama sekolah. Setelah drama, aku harus langsung menuntun para undangan ke sini. Mana sempat ganti baju?" Aku membela diri.
"Terserah, deh. Tapi, memangnya kamu berniat berpakaian begitu terus semalaman?" tanya Sophie-chan, apa itu pertanyaan retorik?
"...Gaunku... Ketinggalan di rumah," jawabku. Padahal kedua sahabatku ini mengenakan gaun pesta yang sangat indah. Sayang sekali, aku mengenakan kostum drama yang benar-benar menarik perhatian, in a bad way.
"Maksudmu gaun ini?" Henna-chan mengeluarkan sebuah gaun satin berwarna soft pink, dengan layer transparan, layer berupa kain lebar menutup bagian pinggang, bermanik-manik dan lace, yang ajaibnya, masih terlihat simple.
"A-Ah... Itu gaunnya..." Aku bisa melihat mereka menahan tawa.
"Ayo, kita bantu kamu mengganti baju." ucap Sophie-chan.
.
.
.
Aku melangkah masuk dengan canggung, tanganku terus berusaha merapikan gaunku yang sebenarnya sudah rapi. Rambutku masih sama dengan saat mengenakan kostum malaikat tadi, hanya hiasan mawar putihnya dilepaskan, menyisakan pita putih yang berubah menjadi emas di ujungnya.
Mataku menelaah ruangan, mencoba menemukan sosok kekasihku. Ajaibnya, detik berikutnya, mata kita bertemu. Pipi Kanon berubah merah, Saga-san dan Aiolos-san yang sedari tadi berbicara dengannya menyadari kehadiranku. Mereka menepuk pundak Kanon, mengatakan "Selokan bertudung" Eh, maaf salah, "Semoga Beruntung".
Kanon berjalan ke arahku, dan aku juga berjalan ke arahnya. Baru beberapa langkah, seseorang menabrakku dari belakang, membuatku kehilangan keseimbangan dan hampir jatuh, kalau tidak untuk Kanon, yang entah bagaimana sudah berada di depanku dan menopangku sehingga tidak terjatuh.
Pipiku seketika merona merasakan tangannya yang kekar di perutku.
"Kamu baik-baik saja, Mitsuki?" tanyanya.
Aku menegakkan diri dan mundur selangkah. "Iya... Terima kasih, Kanon-kun..."
"Sudah tugasku sebagai kekasihmu," Oh God, kenapa kamu harus mengatakan itu? Itu tidak membantu, malah membuat pipiku merona lebih parah. "Dan satu lagi..." Kanon mendekatiku dan mengelus pipiku yang merah. "Kenapa kamu masih memanggilku dengan suffiks "-kun"?"
Aku tertangkap dalam mata birunya yang biru seperti laut dalam. "K-Kita, 'kan... Di depan orang. Sudah kubilang, 'kan? Aku akan memanggilmu "Kanon-kun" di depan orang-orang, jika kita berduaan barulah aku memanggilmu "Kanon"." Aku menundukkan kepala agar Kanon tidak melihat wajahku yang merah, tetapi dia malah mengangkat daguku dan memasang senyum seperti bermain-main. "Tidak ada yang mendengarkan kok." katanya.
Musik berubah menjadi musik dansa yang lembut, orang-orang di sekeliling kami mulai menari berpasangan. Aku dan Kanon berada di tengah-tengah lantai dansa.
"Well? Shall we dance, My Princess?" Kanon membungkuk dan mengulurkan tangan.
"...Aku, tidak bisa dansa..." akuku.
"Tenanglah, biarkan aku yang meng-lead, semuanya pasti lancar." Dia menempatkan tangannya yang satu di pinggangku, dan yang satu lagi mengunci jemari kita bersama. Aku mengikuti lead-nya dan meletakkan tanganku di pinggangnya. Sesaat kemudian, kami mulai berdansa. Rasanya ajaib, kakiku terasa ringan dan bergerak sesuai irama dengan sendirinya.
"Aku tidak menduga kamu pandai berdansa, Kanon." pujiku dengan senyuman tulus. Kanon tertawa pelan.
.
.
Kami terus berdansa dan berdansa. Musiknya sudah berubah, kini aku berdansa di tempat, dengan tangan dan kepala kusandarkan pada dada Kanon yang bidang.
Akhirnya musik berhenti. Aku dan Kanon berjalan ke sisi ruangan, di depan salah satu jendela.
"Maaf ya, Kanon..." ucapku, aku meminta maaf karena berulang kali menginjak kakinya ketika berdansa.
"Segini doang, nggak sakit sama sekali kok." Dia tersenyum sambil mengatakan itu. Aku mendesah pelan dan mendekatinya.
"Benar tidak apa-apa?" Mungkin wajahku terlalu dekat kepadanya, karena pipi Kanon kini semerah api.
"Tidak ap-" Kata-katanya terputus ketika ia mendongak dan melihat sesuatu. Aku awalnya bingung, lalu kuikuti arah pandangannya dan mengerti kenapa Kanon terhenti.
"Mistletoe..." kataku dengan suara pelan.
"...Pasangan yang berada di bawah Mistletoe, harus mencium satu sama lain..."
Aku meluruskan kembali kepalaku dan menemukan Kanon sedang menatapku. Tangannya menggenggam pipiku, dan mulai menarikku mendekat. Aku tidak melawan, kututup mataku dan menikmati perasaan hangat ketika bibir kami bertemu. Tanganku bergerak dan menyentuh dada Kanon, bergerak ke atas dan melingkar di lehernya sementara ciuman kami terus berlanjut.
~Di Luar~
Sosok seorang pria, mengenakan mantel coklat dan topi-topi yang biasa dikenakan para pengelana atau koboi, duduk di batang pohon dan mengamati kedua pasangan yang sedang berciuman. Sebuah senyum tersungging di wajahnya. Sosok seorang lagi, mengenakan jubah yang membuatnya terlihat seperti Grim Reaper kalau tidak karena kaki dan tangannya yang terlihat, dan pastinya adalah tangan manusia.
Dia berdiri di belakang sosok pria tersebut, melihat pasangan kekasih yang diamatinya, lalu kembali memandang sang pria dan berkata, "Kamu tidak ingin ke sana?" Suaranya membuat sulit untuk membedakan apakah ia perempuan atau laki-laki.
Sang pria kembali tersenyum. "Tidak, cukup seperti ini saja. Kalau aku ke sana, aku hanya akan merusak kesenangan mereka."
Sosok seorang lagi mengangkat bahu. "Terserah saja, Satsuki."
Pria, yang ternyata adalah Satsuki, ayah Mitsuki dan Teru, kembali memerhatikan jalannya pesta. Tersenyum melihat kedua anaknya berbahagia bersama orang yang mereka cintai. "Sepertinya, kalian sudah menemukan kebahagiaan tanpaku, ya?"
~Kembali ke Dalam~
Aku menyudahi ciumanku dengan Kanon, dan langsung melihat ke luar jendela.
"Ada apa?" tanya Kanon.
Aku tidak segera menjawabnya. Sebaliknya, aku menyentuh jendela yang berembun karena salju, dan terus melihat keluar, mencari sesuatu -atau seseorang-. Akhirnya aku menjawab, "Un, chotto ne... Nanka, dareka ga ita ki ga suru..." jawabku, masih mencari sosok yang tidak kutemukan.
Itulah akhir cerita romansa pertama di Musim Natal ini
Ciuman seperti apa yang menunggu selanjutnya?
「つづく。。。」
Selesai!
Maaf lama gak muncul di sini ^^; Saya kembali dengan membawa cerita romansa spesial untuk Natal ini~
Nah, selanjutnya siapa yang menerima mistletoe ini, ya~?
Terima kasih sudah membaca sampai habis
Maaf atas segala typo, kegajean, OOC keterlaluan, atau ficnya aja yang jelek
Jika berkenan, silahkan mereview. Kalau tidak juga nggak papa kok
~See you in the next chapter~
