The Four Acts. Act I: Causes. Part I

.

.


Disebutlah dunia yang fana ini memiliki beberapa kekuatan ajaib. Namun seringkali awam menganggapnya sebagai kutukan, kesialan, musibah dan pertanda buruk.

Baru saja tampak lelaki berparas tampan berada di depan pagar pembatas. Menggali humus. Mengubur sesuatu. Dipotongnya kayu bakar kecil, menancapkan potongan tersebut tepat di gundukan humus itu.

Jaehwan. Yeonjung.

Lelaki itu meninggalkan gundukan dadakan itu. Memasuki rumah kecilnya. Beratapkan seng, besi berkarat di setiap pilar. Lelaki itu hanya menggunakan kaus tipis, putih polos, bercak keringat tercetak.

Namun, rungunya sedikit terganggu dengan sebuah ketukan. Ketukan itu keras, namun tak memaksa. Tampak sosok tua, gemuk, rokok di bibirnya mengepulkan asap yang menyesakkan saat Seokjin membuka pintu.

"Kim Seokjin?"

Sosok tua itu menyunggingkan senyum miring. Yang dipanggil Seokjin hanya diam. Takut. Geram. Memerah matanya. Sosok tua itu bergerak masuk tanpa seizin Seokjin. Duduk di kursi santai, menghabiskan sisa rokoknya. Seokjin berjalan melewati sosok itu, berputar, ia masih memiliki norma sopan untuk bergerak di belakang orang yang lebih tua. Tak lama ia duduk bersampingan dengan pria tua itu.

"Menguburnya sendiri?"

Seokjin membisu sejenak. "Bukan urusanmu."

"Kau kubur dalam satu lahat?"

Mendengus pelan. "Bukan urusanmu."

Mendecak pria itu. "Sayang sekali."

Membuang abu rokok, memelintir sisanya. Seokjin paham apa yang pria tua ini inginkan. Walau hanya hening panjang sebagai jeda pembicaraan mereka.

"Kau ada kopi? Asinan? Atau kue ketan? Siapkanlah aku sesuatu! Aku ini tamu."

Menetralkan nafasnya. Seokjin paham ia lemah. Namun ia ingin memberontak. Gerakan tubuhnya lambat. Berdiri dan bergerak menuju dapur rumah. Ruang santai dan dapur hanya dibatasi oleh gordin sebagai sekat. Sungguh sederhana, merangkap miskin.

Seperempat jam kemudian, Seokjin datang dengan secangkir kopi pahit, sisa asinan kemarin lusa, dan sebungkus kue ketan. Diberikannya pada pria tua itu. Senang hatinya saat Seokjin datang menuruti permintaannya.

Kembali jeda. Kembali hening. Seokjin merundukkan kepalanya.

Pria ini merupakan perompak termasyur di kota. Ia menginginkan harta karun. Bukan hanya sekedar emas dan uang. Atau piring kayu jati dan kepala harimau sebagai bingkisan. Ada harta karun lain.

Yaitu Seokjin sendiri.

Seokjin merupakan satu dari sekian banyak laki yang memiliki kekuatan istimewa. Dirinya mampu dimasuki dan mengandung bayi. Bukankah itu sebuah harta yang menggiurkan? Dibandingkan dengan lecah yang menjajakan dirinya di rumah bordil, demi apapun Seokjin lebih rapat dari itu. Lebih lembut. Lebih hangat. Tak gampang melonggar. Walaupun kodratnya melenceng, namun Seokjin tetap laki-laki. Memiliki zakar, kuat jasmani, dan bisa bersikap gagah.

Harta tersebut sering dianggap sebagai kutukan. Hanya jenis sesama yang memiliki orientasi seksual melenceng yang dapat menemukan pria tampan ajaib.

Soal itu, Seokjin mengaku sudah memiliki suami. Secara sah agama. Jaehwan namanya. Namun baru saja meregang nyawa di tangan perompak yang dipimpin oleh pria tua busuk ini. Dan baru saja Seokjin menyemayamkannya. Satu liang lahat. Bersama putra hasil buah dirinya dan Jaehwan. Dinamakan Yeonjung, tujuh bulan usianya.

"Mau sampai kapan kau menjanda?"

Sungguh tak pantas kata-kata pria itu. Janda hanya untuk perempuan. Seokjin bahkan mendengus pelan, tak terima ia dicela bagai lacur. Namun ia hanya diam saja. Tak kuat tenaganya setelah berjam-jam menggali tanah untuk memakamkan suami dan putranya.

"Kau sendirian, Shindong-ssi?"

Pria itu melirik arloji usang di tangannya. "Aku tidak sendiri. Setengah jam lagi ada enam. Tujuh denganku."

Pria dipanggil Shindong itu menolehkan kepalanya. Menatap Seokjin yang juga menatapnya.

"Bukankah itu menyenangkan, Seokjin? Aku memberimu tawaran. Kami datang bertujuh. Kau bisa memilih satu lagi diantara kami untuk tidur denganmu? Hum? Walau begitu aku yang terlebih dulu mencicipi lubang ketatmu. Haha."

Seokjin membisu.

"Sudah berapa orang kau tiduri, Seokjin? Hanya Jaehwan saja? Menyedihkan."

Merapatkan kedua kakinya. Seokjin menghadap sang perompak dengan mata tajam. "Jadi kau kesini untuk menyatakan perkawinan? Jenaka. Sama seperti wajahmu."

Shindong paham itu adalah ucapan sarkas. Namun siapa peduli. Ia bahkan sudah mendapatkan harta karun yang ia idamkan.

"Baiknya kau memasakkan kami sesuatu. Kami menginap. Menandai rumah ini. Dan kau pula. Menjadi milik kami."

Tawa menderu di setiap sudut. Satu sosok itu saja yang mengeluarkan suara deru tawa yang membuat Seokjin meringis. Seokjin bangkit, melangkah menuju dapur. Lalu sesaat ia berbalik badan menatap sang perompak.

"Kau mau aku masak apa?"

Tampak berpikir. Sudut bibirnya dimajukan agar tampak terkesan berpikir. "Asam manis—ah, tidak. Bukan. Sup. Sup daging."

"Baiklah."

.

.

.

Langkahnya cepat, namun tak bersuara. Seokjin menyusup keluar dari rumahnya. Tentu saja Shindong tak mengetahuinya. Seokjin mendatangkan dirinya ke rumah salah satu tetangga. Jarak rumahnya tiga ratus meter jauhnya, Seokjin tinggal di rumah terpencil, hingga jarak sampai ke ujung jalan raya berkilometer jauhnya.

Menemui sang tetangga sekaligus penjaga kelontong sembako. Pria manis tinggi tegap, namun wajahnya kecil. Namun dibandingkan dengan Seokjin, pria ini lebih gagah.

"Namjoon"

Seokjin menyerukan nama itu. Pria manis itu keluar dari tempatnya. Menghampiri Seokjin.

"Masih punya daging sapi? Aku butuh satu bungkus berat."

Namjoon mengangguk dalam diam. Segera ia mengambil satu potong daging sapi bagian perut. Ditimbang, lalu membungkusnya dalam tas plastik.

Seokjin bergeming. Ditatapnya sebuah jamur warna merah di hadapannya. Berbaris rapi dengan tangan baik milik Namjoon, menarik perhatiannya. "Kau menjual ini?"

"Itu tidak dijual. Aku memetiknya dari pinggir ladang untuk racun tikus."

Netranya menatap Namjoon lurus. "Mematikan, ya?"

"Cairan dan getahnya adalah racun. Membunuh secara perlahan. Badan mengejang, dan merusak hati."

Selesai dengan dagingnya, Namjoon memberikannya kepada Seokjin. "Aku turut berduka atas suami dan anakmu. Aku tahu kau lebih kuat dari ini."

"Aku lebih berduka ketika kau sendiri melajang hingga akhir hayat suamiku. Haha"

Tertawa sinis. Bukan tipe Seokjin sekali. Namun Namjoon paham dengan candaan itu. Ia memakluminya. Tutur kata seakan Seokjin telah putus asa. Namjoon sendiri sudah kepala tiga, tak memiliki istri maupun anak. Tinggal melajang. Menjadi pujangga pujaan gadis desa.

"Omong-omong, aku beli jamur itu. Aku membutuhkannya."

"Ambil saja beberapa. Tak usah bayar. Sisakan untukku. Tikusmu lebih jinak daripada setiap malam aku harus bangun mendengar cicitnya."

Seokjin menurut. Jamur itu diselipkan di bawah tumpukan daging. Mengeluarkan beberapa lembar uang, menyerahkannya pada Namjoon.

"Kalau kau tidak bertemu denganku lagi, jangan tanya. Mungkin aku menyusul suami dan anakku."

"Kau bicara begitu seakan kau tahu kematian akan menjemputmu besok."

"Malam ini. Tepatnya."

Namjoon bertampang datar. Seakan tahu persis apa yang ada dipikiran Seokjin. Mereka berdua hanya tahu satu sama lain, bertetangga selama tiga tahun lamanya.

Seokjin melangkah pergi. Kembali ke rumahnya. Tepat saat ia membuka pintu belakang, Shindong membuka gordin sekat dapur rumah Seokjin.

Tahu Seokjin mendadak hilang.

"Aku tidak kemana-mana. Aku baru saja membeli daging."

.

.

.

.

Continued to Part II

.

.


Author Notes.

Sebenarnya saya ini sudah lama berkecimpung di dunia fanfic, tapi saya malah meninggalkan akun lama dan hidup di akun baru. Semoga ini berlanjut dan semoga kalian suka. Kenapa The Four Acts? Karena author terinspirasi dari film Indonesia, judulnya Marlina The Murderer in Four Acts. Tapi author sudah mearansemen sedemikian rupa buat bisa dibaca oleh kalian.

Beware sekali lagi, ini banyak adult content, dan film yang sama juga banyak banget adult content. Bagi yang belum cukup umur silakan pencet tombol back dan silakan kembali membaca setelah umur kalian sudah mencukupi.

Kenapa ada nama yang lain, selain member BTS? Karena saya menyesuaikan faceclaim karakter dengan umur. Mungkin ada beberapa nama diluar member BTS namun itu untuk mendukung cerita. Semoga kalian tidak merasa aneh dengan plot cerita. Saya juga membubuhkan beberapa kata dari KBBI. Hehe. Saya bangga berbahasa Indonesia.

Akhir kata, selamat menikmati cerita.