Part of The Memory

.

Summary :

Butuh waktu bagi kelas E untuk menerima kenyataan bahwa Koro-sensei telah tiada, karena sesungguhnya mereka tidak menginginkan kematian gurunya tersebut.

.

.

.

Chapter 1 : Kenangan yang Diberikan

Pip pip pip pip

Suara sirene dari alarm jam berbunyi nyaring di suatu ruangan. Seakan memecah keheningan dalam kesunyian. Membuat sang empu terbangun dari tidurnya untuk mematikan alarm. Nagisa mengedipkan matanya berkali-kali sebelum akhirnya menatap langit-langit kamarnya. Mengangkat tangannya ke atas sebelum meletakkannya di depan matanya untuk memastikan sesuatu.

Tadi malam aku menangis lagi, ya…

Mengusapkan air mata yang tersisa dari matanya yang sembab. Kemudian ia berjalan ke depan lemari, mengambil kemeja, dan rompi-nya yang berwarna biru. Penampilannya tak terlalu berbeda dari saat ia SMP. Yang membedakan hanyalah celananya yang berwarna hitam dan kemeja yang tidak digulung. Ia juga tidak memotong rambutnya yang panjang karena masih ingin berpenampilan seperti itu hingga lulus SMA nantinya.

Setelah selesai mengikat rambutnya, ia segera mengambil tasnya. Kemudian menuju ke pintu depan. Memakai sepatu, dan bergegas untuk pergi ke sekolah.

"Aku pergi dulu," pamit Nagisa pada Ibunya yang menghampiri dari arah dapur.

"Nagisa, lagi-lagi kau melewatkan sarapan?"

"Tak usah. Aku sedang tidak nafsu makan."

"Ayo makanlah, kemarin kau juga tidak sarapan, kan?"

"Aku benar-benar nggak apa, kok. Bilang ke ayah kalau aku sudah berangkat, ya."

"Eh? Uuh… baiklah. Hati-hati di jalan."

Nagisa pun membuka pintu apartemen dan berjalan menuju ke sekolahnya dengan tampang muram, seperti biasa. Sepertinya kematian Koro-sensei masih membutanya terpukul hingga ia sering melewatkan makan, baik itu pagi, siang, atau malam. Bahkan Hiroomi selaku ibunya tak bisa berbuat apa-apa untuk hal ini.

Berat badannya pun menurun karenanya. Bahkan sekarang ejekan yang mengatakan ia mirip perempuan makin sering terdengar. Tentu Nagisa merasa kesal, namun ia terlalu malas untuk mengungkapkan protesnya. Ada pula teman-temannya yang sering bersimpati dan memberinya roti untuk makan, namun ia menolaknya dengan lembut khasnya.

Selain itu, ia juga sering terkena mag secara tiba-tiba. Dan yang paling parah adalah saat ia pingsan karena kekurangan makan. Meski mengetahui akibatnya, Nagisa tetap saja menghindari makan. Ketidak profesional-nya dalam menjaga kesehatan tubuh membuatnya sering tidak masuk sekolah karena sakit. Dan tentu saja, nilai akademik maupun non akademiknya terus menurun.

Kadang ia merasa iri terhadap temannya, Akabane Karma yang bisa mempertahankan nilai yang sangat baik hingga akhirnya temannya itu diperbolehkan loncat ke kelas tiga bersama Asano. Ia juga iri terhadap Yukimura Akari, atau yang mereka kenal dengan nama Kayano Kaede. Aktris tersebut sekarang menjadi bintang besar dalam pekerjaannya.

Namun, Nagisa tak punya hak untuk merasa iri, karena ia sendirilah sumber dari kekacauan hidupnya.

Salah sendiri, pikirnya.

Seperti biasa, ia berangkat ke sekolahnya yang melewati sekolah Kunugigaoka. Ia mengangkat kepalanya untuk melihat gunung dimana dulu ia menuntut ilmu di sekolah menengah pertama. Mengamati gedung SMP-nya yang jauh di atas gunung dengan tatapan sedih, dan penuh nostalgia. Tahun dimana mereka, murid kelas 3-E menyandang dua gelar, yaitu sebagai pembunuh sekaligus pelajar.

Saat-saat dimana mereka selalu mencoba membunuh Koro-sensei menggunakan pisau dan peluru khusus dalam berbagai rencana bervariasi. Jika orang-orang tahu, mungkin mereka menganggap hal itu gila. Namun, mereka tahu bahwa hal itu benar-benar sangat menyenangkan, setidaknya bagi mereka yang kini telah menduduki kelas 1 SMA.

Ingin rasanya Nagisa tetap berdiam diri disitu untuk sekadar bernostalgia. Namun waktu tidak memperbolehkannya untuk tetap tinggal. Setelah si surai biru memastikan jam di layar ponselnya, ia segera mempercepat langkahnya agar sampai di sekolah tanpa harus di hukum karena terlambat.

Sesampainya di sekolah, ia langsung menempati tempat duduknya tanpa mencoba berkomunikasi dengan teman sekelas. Sangat berbeda dengan dirinya yang dulu, itulah yang ia pikirkan. Namun, ia tidak menyesalinya. Karena ia tidak mau sampai menerima kejadian menyedihkan kalau-kalau temannya terkena musibah seperti kecelakaan.

Bahkan saat pertukaran tempat duduk, atau hal lain yang bisa mengundang pembicaraan. Ia selalu menjawab seadanya. Bermaksud untuk tidak terlibat dalam obrolan yang berlangsung panjang. Nagisa benar-benar anti sosial sekarang.

"Nagisa-kun, sebenarnya kamu mau jadi apa?"

Terkadang di dalam kegelapan mimpi, Nagisa mendapati dirinya tengah menghadap gurunya yang telah tiada. Koro-sensei selalu menanyakan hal yang sama. Dan reaksi Nagisapun selalu sama setiap ditanya oleh ilusi Koro-sensei tersebut. Ia tak menjawab, tidak tahu harus menjawab apa. Ia sama sekali tidak mengerti tentang dirinya sendiri. Dan kesunyian tersebut tak akan mengantarkannya pada akhir mimpi yang bahagia. Di akhir, ia selalu saja membiarkan Koro-sensei pergi menjauhinya dan hilang ditelan kegelapan.

"Benar-benar mengerikan."

Gumam pelan Nagisa secara tiba-tiba, seakan memecah kedamaian kelas yang hening tanpa suara saat jam pelajaran. Kemudian ia menjadi pusat perhatian oleh teman sekelasnya. Guru yang tengah menerangkan pelajaran pun turut menatapnya dengan heran, "Ada apa, Shiota-kun?"

"Oh, ah… tak ada apa-apa, sensei. Saya hanya merasa agak tidak enak badan."

"Oh, begitu… kau bisa pulang cepat jika keadaanmu memang sedang tidak membaik."

"Ah, iya. Terima kasih."

setelah mendapat izin, ia segera memasukan alat tulis dan buku miliknya ke dalam tas. Kemudian berdiri dan berpamitan dengan guru yang mengajar.

"Hei, lihat itu! Shiota-kun lagi-lagi membolos pelajaran!"

"Iya. Hidupnya enak sekali, bisa pulang cepat seperti tiap hari."

"Dia diistimewakan oleh para guru!"

"Tapi, kalian tahu, kan? Nilainya sudah benar-benar jatuh. Mungkin sebentar lagi akan dikeluarkan."

"Aku akan menunggu hari dimana ia dikeluarkan dari sekolah ini!"

Tanpa menggubris bisikan dari teman-temannya yang mengejek, ia melanjutkan langkahnya keluar area sekolah. Namun, sekarang ia mulai bimbang. Kemanakah ia harus pergi? Ia tak bisa langsung pulang ke rumah karena hal itu bisa memancing kecurigaan dari kedua orang tuanya.

Nagisa pun memutuskan untuk menghabiskan waktunya dengan berjalan-jalan tanpa tujuan. Entah kemana ia akan pergi, ia tak peduli. Hanya mengulur waktu sampai pada akhirnya ia pulang ke rumah jam 3 sore nanti.

Terus melangkahkan kakinya tanpa arah yang jelas. Terkadang ia membelok saat ada lampu merah, terkadang juga ia berhenti di taman sekadar untuk melihat-lihat. Dan sekarang ia berhenti saat melihat seseorang yang tak ia kenal tengah ditindas oleh sekelompok orang.

kubiarkan saja.

Itulah yang terpikir oleh si surai biru tersebut. Ia hanya melihat aksi penindasan tanpa berniat untuk menolongnya. Setidaknya itulah niatan aslinya. Namun, ia berubah pikiran saat melihat kejadian tersebut sebagai mana ia direndahkan oleh murid dari gedung utama. Dimana ia masih diejek karena jatuh ke kelas E.

Spontan, ia langsung melangkahkan kakinya ke antara korban dan pelaku. Ia membentangkan tangannya berisyarat agar tidak mengganggu sang korban. "Hentikan penindasan ini!" serunya.

Ketua dari kelompok penindasan tersebut mengerutkan alisnya kesal. Ia melepaskan genggaman tangannya dari kerah korban dan beralih ke Nagisa. "Apa-apaan kau, pendek?! Berani nantang!?"

Nagisa terdiam mendengar ucapan-ucapan kasar dari penindas serta sorak sorai dari anggota kelompoknya. Ia memfokuskan pikirannya dengan gelombang emosi milik lawan, dan melakukan teknik yang sama dengan teknik yang diajarkan oleh Lovro.

"Jangan diam saja! Kubunuh ka-"

PLAAAK!

Nagisa menepuk tangannya tepat di depan lawan, membuat lawannya tersebut pingsan oleh gelombang emosi yang kacau. "Tadi kalian bilang 'bunuh'? Memangnya kalian punya keberanian untuk membunuh seseorang?" ucap Nagisa sinis yang membuat para anggota kelompok penindasan tersebut langsung lari ketakutan.

"Aaah… terima kasih…"

"Bukan apa-a…pa…." belum ia mengambil tasnya yang dibiarkan jatuh tadi, tiba-tiba saja tubuhnya ambruk dan pingsan seketika.

"Nagisa-kun, sebenarnya kamu mau jadi apa?"

Lagi, Koro-sensei bertanya dalam mimpinya. Nagisa berlutut dan menundukkan kepalanya. Dengan mempertahankan posisinya, ia berkata, "Aku tidak tahu, sensei. Aku tidak tahu."

"Selama ini aku terus berurusan dengan pembunuhan. Pistol dan belati selalu kupegang erat di tanganku. Dan aku terkadang berpikir demikian, bagaimana jika urusanku dengan hal tersebut selesai?"

"…"

"Sensei, bahkan sekarang saat aku ingin membidik, aku sama sekali tidak menemukan targetku. Apakah aku tetap harus menarik pelatuknya? Bagaimana jika sebenarnya targetku adalah diriku sendiri? Aku harus bagaimana?"

"Nagisa-kun, meski sekarang kau tidak bisa melihat targetmu, bukan berarti kau harus menjadikan dirimu sebagai target. Lihat sekitarmu. Pasti banyak hal yang bisa dijadikan target. Bukankah kau sudah sering bertemu dengan hal semacam itu? Ingatlah kembali, saat kalian menargetkan kemenangan dulu. Meski berkali-kali gagal dalam keputusasaan, kalian selalu bisa melangkah maju untuk menargetkan hal lain yang lebih besar. Jika kau masih tidak menemukannya, pasti ada seseorang yang akan membantumu. Suatu saat nanti kau pasti akan mendapatkan pencapaian yang besar. Dan pada saat itu, sensei akan-"

"Hah!" Nagisa terbangun dari tidurnya. Ia sedang berada di suatu ruangan yang tak diketahuinya. Namun setelah ia melihat-lihat sekitar, ia menyadari bahwa ia sedang berada di rumah sakit. Sekali lagi, ia memastikan air yang turut mengalir dari mata sembabnya. Lagi-lagi ia menangis.

"Kau sudah bangun, Nagisa?"

"! Ayah!?" Nagisa menerjap kaget saat sosok yang tak asing tersebut terduduk di sebelah kasur yang ia tempati. Sesaat ia heran dengan kehadiran ayahnya. Mungkin pihak rumah sakit yang menghubungi orang tuanya, begitulah pikir Nagisa.

"Ayah kenapa ada di sini?" bertanya sekadar untuk memastikan.

"Ayah mendapat kabar dari rumah sakit. Ibumu juga sedang bergegas kemari."

"Oooh…."

"Kudengar kau tiba-tiba pingsan saat menolong anak yang ditindas, ya?"

"Yaah… kurang lebih seperti itu…"

"Anak itu menitipkan terima kasihnya."

"Oooh…."

"Kau pasti masih mengingat tentang guru lamamu, kan? Kalau tidak salah namanya Koro-sensei…" Nagisa mendelik, jarang sekali ayahnya menyinggung hal sensitif tersebut di depannya.

"Um…"

"Jujur, ayah juga tak percaya saat publik men-capnya sebagai makhluk yang jahat sampai menyandera para muridnya."

"…"

"Sejak kau masuk kelas 3-E, ayah pikir kau sangat terpukul. Namun ternyata kau malah lebih ceria dari sebelumnya. Apa itu pengaruh dari gurumu itu?"

"Ya…"

"Waktu gurumu menghampiri ayah agar berbaikan dengan ibumu, ia terlihat dan terdengar sangat baik dan perhatian dengan seluruh muridnya."

"…"

"Ayah tak akan menanyakan tentang apa pun yang kau lalui saat bersamanya, namun setidaknya tolong lihatlah ini," Ayahnya memberikan Nagisa buku album kelulusan khusus kelas E. Dan hal itu sukses membuat matanya membulat sempurna. "Kau yang memintaku agar menyembunyikannya, tapi sepertinya sekarang kau membutuhkan buku ini," setelah melanjutkan perkataannya, ia segera pergi dari ruangan tersebut. Membiarkan Nagisa termenung sejenak.

Si surai biru itu dengan ragu membalikkan halaman demi halaman album. Di halaman pertama, ia tertawa-tawa kecil saat melihat foto selfie iseng Koro-sensei turut dimasukkan. Dia jadi merasa iba pada teman-temannya yang aibnya tersebar sampai halaman kesepuluh. Oh, dan foto aibnya dimana ia dipaksa memakai pakaian maid oleh Karma dan Nakamura juga ada. Ia hampir saja merobek foto tersebut kalau saja tidak ada larangan 'DILARANG DIROBEK! HEMATLAH KERTASMU!' yang ditulis besar-besar di memo yang diselipkan oleh Koro-sensei.

Dimulai dari lembar selanjutnya, ia kembali terkekeh saat melihat foto percobaan membunuh Koro-sensei dengan menggunakan trik jebakan mesum milik Okajima yang gagal secara terang-terangan. Juga saat mereka menang taruhan dengan kelas A pada saat UAS semester satu. Oh, foto Karma yang malu juga terselip di sana. Ditambah adanya komentar kecil di bawah foto, ia berpikir bahwa Karma pasti akan langsung membakar foto itu saking malunya.

Nagisa benar-benar pusing saat membaca komentar-komentar Koro-sensei yang benar-benar padat di tiap lembarnya. Apalagi saat percobaan pembunuhan di pulau terpencil itu. Beberapa orang seperti Karma, Hayami, Chiba, dan dirinya dipuji habis-habisan karena berhasil mematahkan rencana jahat Takaoka di hotel penuh mafia.

Sudah ribuan lembar ia membaca album tersebut, ternyata malam sudah tiba. Saking keasyikan tertawa sana-sini, ia sampai tidak melihat jam yang telah berlalu 6 jam. Salahkan Koro-sensei yang membuat album setebal itu sampai satu kelas kelelahan hanya untuk membaca satu buku tersebut.

"Selanjutnya, selanjutnya…" gumam Nagisa dengan nada ceria, yang kemudian langsung berubah dengan ekspresi terkejut. Oh, sudah sampai saat dimana mereka membunuh Koro-sensei di malam hari sebelum mereka lulus. Ternyata Koro-sensei sempat-sempatnya memotret adegan tersebut, namun komentarnya berhenti di tengah-tengah karena ia sudah lebih dulu meninggal dunia waktu itu. Raut wajah Nagisa kembali menjadi sedih setelah membaca album hingga selesai.

Saat ia bermaksud untuk menutup album, ada satu amplop yang terselip. Amplop tersebut bertulis namanya. Penasaran, ia membuka dan membaca surat di dalam amplop tersebut.

Nagisa-kun.

Yak! Di surat ini, biarkan sensei untuk mengapresiasikan hasil dari percobaan pembunuhan kalian!

Waktu pertama kali ke kelas E, kalian benar-benar muram sekali seperti sudah diputusin pacar!

Serius, sensei prihatin lho!

Namun, setelah beberapa bulan kalian menerima pelajaran sebagai seorang pembunuh,

Kemampuan dan emosi kalian bertambah ke arah yang luar biasa positif!

Sensei sampai tercengang, lho!

'Waaa! Anak-anak-ku sekarang sudah besar!'

Begitulah pikir sensei~!

Bahkan sampai bisa mengalahkan kelas A!

Kalian hebat!

Seriusan!

Jika kalian sudah bisa menjadi seseornag yang memperngaruhi,

Pastikan untuk tetap menjadi lebih baik lagi!

Jangan puas dulu!

Terus jangan berbesar hati!

Ingat! Ada yang lebih hebat dari kalian!

But, you don't afraid!

Buku pegangan yang sensei buat sudah ada semua cara agar tidak menjadi orang yang sombong berkepala batu!

Jangan sampai nggak dibaca, lho ya!

Oh, Nagisa-kun

Mumpung masih ada kertas, sensei mau bilang

Kue yang ada di bawah mejamu belum diambil

Tadinya sensei mau ngambil, tapi gak jadi

Yah, maklumlah. Sensei belum gajian.

Tanggal tua, nih! Berkhasihanilah pada sensei!

Jangan lupa untuk mengisi nama di lembar ujian, ya! Jangan sampai kayak Itona-kun yang udah mulai pikun~!

Tingkatkan lagi belajarnya!

Pisau di rumah jangan ditinggalin begitu saja!

Taruh yang baik!

Jangan sampai ada kucing lewat terus tergores pisau kalian!

Ingat, Hayami-san itu sayang kucing!

Belajar terus!

MTK-nya minta diajarin Karma-kun juga gak apa-apa!

Dia nggak gigit, kok!

Bahasa inggrisnya juga tingkatkan lagi!

Nanti bisa dapet beasiswa, lho!

Semangat terus!

Fight-o!

Nurufufufufu….

Meskipun sensei ingin menuliskan beribu kata lagi,

Kertas yang sensei punya tinggal sedikit lagi, jadi nggak bisa bikin surat yang panjang-panjang.

Jadi, sensei akan langsung ke intinya saja

Jadi, Nagisa-kun…

Kau pasti merasa sangat putus asa karena sensei telah tiada saat kau membaca ini.

Sensei sungguh ingin mengatakannya langsung pada kalian semua bahwa,

Sensei tak pernah menyesal telah dibunuh oleh kalian semua.

Sensei justru sangat bahagia karena telah dibunuh oleh kalian.

Jika harus memilih, jujur sensei lebih suka dibunuh oleh kalian-kalian dari pada pemerintah.

Maaf karena sensei tidak bisa menyampaikan ini secara langsung.

Tapi sensei benar-benar bahagia telah mengajari kalian

Telah menjadi target kalian

Meskipun sekarang sensei sudah tak bisa mengajari kalian lagi,

Nggak bisa jadi target kalian lagi

Karena sensei sudah mati.

Meskipun begitu,

Sensei tidaklah menyesal sama sekali karena telah mengajari kalian,

Telah menjadi target kalian

Tak ada penyesalan.

Maka dari itu,

Terima kasih yang sebesar-besarnya

Atas kehadiran kalian

Atas kesungguhan hati kalian

Atas rasa haus darah kalian

Dan tolonglah, para muridku

Tolong jangan pernah melupakan satu tahun yang terbaik ini.

-Koro-sensei

Tes… tess…

Rintikan air mata berjatuhan melalui pipi Nagisa."Koro-sensei… HUWAAAAA! AAAAAA!" Ia menangis sejadi-jadinya saat kembali mengingat mantan gurunya tersebut. Sedih, senang, bahagia, marah, dan lainnya bercampur hingga satu. Pikiran Nagisa campur aduk hingga ia tak bisa menahan air matanya yang terus berjatuhan.

"Perkenalkan. Aku adalah orang yang menghancurkan bulan kalian."

"Aku akan menikmati waktu bersama kalian sampai bulan maret nanti."

"Kalian tak goyah tak peduli kesulitan apa yang kalian hadapi."

"Sensei sangat menantikan saat sensei dibunuh oleh kalian."

"Karena sensei adalah target kalian."

Saat Nagisa ditanya oleh Koro-sensei di dalam mimpinya lagi, mungkin ia sudah mendapatkan jawabannya.

"Nagisa-kun, sebenarnya kamu mau jadi apa?"

"Aku mau menjadi seperti sensei!"

.

.

.

~ TBC ~