Marriage.

Disclemmar Naruto Masashi Kishimoto.

Hatake Kakashi & Narashi Kana.

Family Hurt Romance

.

.

.

CHAP 1 : Perkenalan.

Bukankah di dunia ini tidak ada satupun kebetualan?

.

"Jadi ini tempat favoritmu menghabiskan waktu di akhir pekan?"

Itu adalah kalimat pembuka yang diucapkan oleh pria disamping Kana yang tengah asik membaca. Pria dengan masker menutupi sebagian wajahnya, rambutnya yang menentang gravitasi berwarna silver keputih-putihan terlihat sangat berantakan, serta tak lupa sebuah novel setengah terbuka –yang gosipnya bahwa pria disampingnya itu selalu membawa novel meseum- berada di pangkuan kakinya, dan, oh, jangan lupakan bahwa pria disampingnya merupakan veteran perang shinobi yang hebat, ralat, sangat hebat di desa tercintanya dan sudah dipastikan bawa ia yang akan menjadi Rokudaime Hokage jika Hokage wanita satu-satunya itu memilih untuk pensiun. Hah. Ia tak percaya bahwa sekarang ia bisa duduk di sebelah Hatake Kakashi –pria itu, hanya berdua di dalam hutan barat Konohagakure. Huft.

Ia menoleh kepada pria itu sambil menyunggingkan senyuman sopan. "Benar, tuan."

Sumpah demi Kami-sama, Kana benar-benar merasa ingin meninggalkan tempat ini dengan kecepatan super dan tidak akan kemari lagi.

"Aku mengganggumu?"

"Oh? Tentu saja tidak, tuan."

Padahal sebenarnya sangat mengganggu! Rutuk nya. Tapi ia tidak mungkan mengatakan hal sekeji itu pada Hatake Kakashi karena ia masih ingin tinggal di Konoha dengan nyaman, aman, tentram, damai. Oke itu berlebihan. Merasa pihak yang bertanya tidak meneruskan –atau bingung?- mengajukan pertanyaan, Kana memilih untuk melanjutkan membaca novel yang ia pinjam sehari sebelum akhir pekan di perpustakaan tercinta di desanya. Persetan kalau pria disampingnya itu menganggapnya tidak sopan.

"Kau begitu tertarik membacanya, ya?"

Ia memilih untuk mengangguk sambil terus membaca. Ia sadar kalau ia sudah lancang. Bukan lancang karena ia tidak menghormati Hatake Kakashi, tapi lancang karena dalam aturan hidup bermasyarakat ia memilih untuk melanggar etika yang begitu dijungjung keluarganya. Hei, memangnya salah untuk memberikan jawaban tanpa menatap?

"Apa isi novel itu sangat menarik?"

Sabar, Kana! Perlahan ia menghela nafas dan menutup novel yang sedari tadi asik dibacanya. Ia menatap wajah Kakashi dan ia sedikit terlonjak. Hatake Kakashi sedang tersenyum padanya!

"Apa...'

"Kau lucu."

"Hah?"

Kana menggangga mendengarnya. Wajahnya dengan cepat mengeluarkan sedikit rona merah ketika ia melihat senyuman tulus penuh kehangatan dari wajah sang Hatake. Lagi.

"Hatake-sama.."

"Kau tahu namaku?"

Oh, hei, siapa yang tidak mengenal calon Hokage keenam? Paling orang yang sejak awal tidak peduli dengan perkembangan dunia shinobi yang tidak mengenalnya. Tapi paling tidak, pernah dengarkan namanya? Lagipula, seharusnya ia juga menyadari bahwa ia terkenal bukan hanya di desanya saja tapi di 4 desa shinobi lainnya. Heh!

"Ah. Anda tertarik untuk membaca novel ini, Hata..."

"Panggil aku Kakashi saja." pintanya.

Apa katanya?!

"Ah, rasanya itu kurang sop.."

"Tidak apa-apa."

Kana mengerjap-ngerjapkan matanya. Sedikit takjub dan sangat kesal. SANGAT KESAL.

"Bisakah anda tidak memotong ucapan saya, hm, Hatake-san?"

Oh, sepertinya panggilan 'Hatake-san' lebih terlihat semiformalitas. Tidak sok akrab –memangnya dia temanku?- tidak terlalu menghormati –ah, siapa yang menghormati siapa? lagipula aku hanya menghargai dia saja. Ng, tunggu. Rasanya sama saja menghormati dengan menghargai. Terserahlah-

"kkhuhhuhuhuhuhu"

"Mengapa anda tertawa?!"

Kana tak mengerti mengapa Hatake Kakashi tertawa. Dan yang membuat Kana semakin tidak mengerti apa yang sedang di tertawakan olehnya. Rasanya sedari tadi tidak ada seorang badut ataupun seorang pelawak. Kalau ada orang selain dirinya dan laki-laki di sampingnya pasti akan ada gosip ter-hot didesanya. Untung saja hanya dia dan laki-laki di sampingnya. Jadi apa yang membuatnya tertawa seperti itu? Ah, ia mengerti.

"Apa saya begitu lucunya hingga seperti seorang badut?" tanyanya sambil mendengus kesal ke arah Kakashi yang tampaknya terlihat menahan tawa yang sepertinya akan meledak.

"Bisakah anda jelaskan, Hatake-san?"

Perlahan tawa Kakashi mereda dan menatap intens perempuan di sampingnya. Ia menyeka ujung matanya yang basah akibat menahan tawa. Ia menghela nafas dan tersenyum simpul.

"Benar. Seperti yang aku bilang kalau kau sangat lucu. Aku tidak bisa menjelaskannya. Entahlah. Tapi jika aku boleh memohon sesuatu darimu tolong jangan panggil aku dengan sebutan anda atau tuan dan tentu saja panggil aku Kakashi karena aku merasa usia kita hampir sama . Aku benar-benar sangat berharap kau mau mengabulkan permohonanku."

"Hah. Tapi kita orang asing."

"Bagiku kau yang orang asingnya."

"Mengapa aku yang harus menjadi orang asingnya?" tanya Kana sangsi.

"Karena kau sudah tahu namaku dan aku tidak mengetahui namamu."

Kana melotot tak pecaya dengan apa yang di ucapkan oleh pria itu.

"Tapi semua orang mengenal anda."

"Dan aku sama sekali tidak mengenal mereka."

"Anda benar."

"Sudah kukatakan padamu jangan terlalu formal padaku."

"Kita baru bertemu dan berkenalan."

"Ng, benarkah?" kakashi menaikkan sebelah alisnya.

"Baiklah. Aku bukan orang asing bagimu, Kakashi."

Dalam hati Kakashi merasa senang karena perempuan di sampingnya sudah tidak kaku dan canggung menghadapinya.

"Kalau begitu bagaimana jika kau mengenalkan dirimu agar kau merasa tidak asing denganku?"

"Namaku Narashi Kana. Panggil saja aku Kana."

"Narashi Kana? Hm, bagus."

"Terimakasih." Ucapnya datar. "Hei, tunggu dulu! Bagaimana bisa aku bukan orang asing bagimu, Kakashi? Ini tidak masuk akal. Jelas-jelas kau orang asing bagiku! Bukan sebaliknya." lanjutnya heran karena ia tidak mengerti.

"Sederhana saja."

"Apanya yang se-der-ha-na, Kakashi terhormat?"

Kana yakin pelipis uratnya mulai terlihat.

"Hm haha. Sudah kubilang jika kau mengenalku kau bukan orang asing lagi."

"Tapi bukan aku saja yang mengenalmu!"

"Memang."

"Lalu mengapa kau bilang 'Dan aku sama sekali tidak mengenal mereka', heh?"

Kana besumpah bawa sekarang uat nadinya sudah terlihat dengan sangat jelas terpampang di sekitar wajahnya.

"Ucapanmu berbeda, Nona."

"Apanya yang berbeda? Dan, hei, bukankah aku sudah mengenalkan namaku dan bukankah aku sudah menyuruhmu untuk memanggil namaku? Ah, apa kau lupa?"

Kakashi mendesah. "Ucapanmu yang sebelumnya adalah 'Tapi semua orang mengenal anda' –jika aku tidak salah- dan tentu saja jawaban yang masuk akal 'Dan aku sama sekali tidak mengenal mereka' itu sangat tepat. Ucapanmu ini memaksaku seolah-olah aku mengenal mereka satu persatu yang entah siapa. Sedangkan ucapan 'Tapi bukan aku saja yang mengenalmu!'dan jawaban 'Memang' adalah jawaban yang benar-benar masuk akal karena kau tidak memaksakan kehendakmu padaku dan membenarkan bahwa mereka –orang yang kaumaksud- mengenalku. Apa kau paham, Ka-nasan?"

"Jangan mengeja namaku! Dan cukup panggil aku KANA! Dan dengan segala hormat tentu saja aku paham, Kakashi."

Kakashi menyeringai senang.

"Tapi satu hal yang membuatku bingung dan heran, mengapa kau bilang kalau aku bukan orang asing bagimu?"

"A..a..a. Baiklah akan aku jelaskan juga."

"TIDAK PERLU!"

Kana menghempaskan tubuhnya, lalu menghela nafas. Ia memilih untuk mengalihkan perhatiannya pada pohon-pohon di depannya membiarkan tumpukan novel disebelahnya.

"Aku rasa aku sudah mengerti" ucapnya kemudian. "Maafkan aku kalau aku sudah berlaku kurang sopan."

"Aku tidak terlalu mempedulikannya."

Benarkah? Kana measa tak yakin. Jadi ia memilih untuk mengangkat alis tak percaya sambil tersenyum masam.

"Oh begitu, ya?"

"Hm, tapi jika aku boleh tahu aku ingin mendengar penjelasan darimu."

Pentingkah? Lagi-lagi Kana merasa tak yakin.

"Hah, baiklah. Maksudmu aku bukan orang asing untukmu karena aku berbicara denganmu seolah-olah kita sudah saling mengenal sebelumnya. Meskipun aku ragu aku benar, tapi itulah yang aku pikirkan. Jujur saja ini tak masuk akal bagiku. Bagaimanapun secara pribadi kita baru berkenalan, ralat, maksudku aku baru memperkenalkan diriku kepadamu hari ini dan bagaimana bisa kau merasa seolah-olah aku mengenalmu secara dekat sebelumnya?"

"Aku hanya ingin kau menganggapnya seperti itu, Kana."

Untuk sesaat Kana terkejut. Ia tak menyangka pernyataan itu meluncur begitu lancar seakan-akan tidak ada beban. Seakan-akan dirinya sama pentingnya dengan orang penting dalam hidup seorang Hatake Kakashi. Apa mungkin aku terlalu cepat menyimpulkannya? Tanya Kana sangsi. Sebenarnya dalam hati ia merasa senang mendengar Hatake Kakashi mengatakan hal itu padanya. Tentu saja.

"Jujur aku merasa kaget saat melihat seseorang berada di sini."

"Memangnya aku tidak boleh berada di sini, Kana?" tanya Kakashi sambil memasukkan novel favoritnya dan memilih untuk fokus mendengarkan apa yang akan dikatakan selanjutnya oleh perempuan disampingnya itu.

"Hah? Hahahahaha"

"Sekarang kau yang tertawa, Kana." Ujar Kakashi mengingatkan.

"Ups, maaf. Tentu saja tidak ada yang melarang siapapun untuk kemari. Tapi kebanyakan orang lebih memilih untuk pergi ke tempat rekan-rekannya untuk bersenang-senang daripada menghabiskan waktu disini."

"Tapi kau disini."

Kana tersenyum. "Aku suka disini."

"Mengapa?"

"Apakah butuh alasan?"

"Setiap hal yang terjadi pasti ada alasannya."

"Kedamaian, ketenangan, kesunyian dan keheningan."

"Huh?"

"Ukh, bukankah kau bertanya alasannya padaku mengapa aku suka disini?"

"Jadi itu alasanmu?"

Kana mengangguk sambil tersenyum lepas. Lega.

"Itu aneh."

Kana mendesah. Sudah kuduga! Pekiknya dalam hati.

"Tidak. Kau tahu mengapa? Karena aku mendapatkan kedamaian yang kuperoleh setelah aku menyibukkan diri mengerjakan banyak dokumen-dokumen, bertemu dengan banyak orang hanya untuk mendengar keluh kesah mereka. Aku bosan dan aku membutuhkan ketenangan. Pada hari-hari biasanya aku lebih banyak memilih berada di kamar untuk membuatku merasa tenang. Tapi biasanya aku memilih tempat ini di hari libur dan tentu saja di temani oleh novel yang kupinjam dari perpustakaan desa tercinta kita, Kakashi."

"Oh."

"Kakashi, aku butuh waktu untuk sendirian. Dimana tidak ada seorang manusia yang perlu memberi saran atau mengkritik apapun yang kulakukan. Aku manusia bebas dan aku suka itu. Kesunyian dan keheningan yang kupilih di tempat ini bukan karena aku tidak memiliki teman ataupun keluarga. Aku memiliki mereka tapi kadang aku membutuhkan tempat dimana aku tidak perlu memikirkan hal lainnya. Aku manusia bebas dan aku suka itu. Kakashi, aku tidak ingin mengekang diriku ketika aku bisa melepaskan diri dari orang-orang di sekelilingku."

Kakashi memandang Kana yang bangkit dan berjalan dengan cepat hanya untuk mengambil sebuah daun yang berguguran sambil tertawa. Itu pemandangan yang sangat indah. Entah mengapa. Ia mengalihkan perhatiannya pada tumpukan novel di sebelahnya.

"Kau membaca atas kebebasanmu, Kana?"

Kana menatap Kakashi sambil menyunggingkan senyum manis miliknya. "Iya. Karena jika aku memilih membaca di mana aku berada di kantor sekalipun aku tidak sibuk, aku tetap akan kena omel. Kebanyakan temankupun tidak menyukai novel dan mereka lebih memilih untuk membaca buku-buku berisi pengetahuan."

"Sama denganku."

Kana tersenyum sambil menggaleng-gelengkan kepalanya. "Dasar."

"Bolehkah aku meminjam salah satu novelmu, Kana?"

Kana mengangguk. "Tentu." Dan kembali memutuskan untuk bermain menangkap daun-daun yang berguguran.

Karena merasa telah mendapatkan ijin untuk dapat meminjam salah satu novel yang dibawa oleh Kana, Kakashi mengambil novel berwarna orange –yang menurutnya sangat menarik- di tengah-tengah tumpukan. Ketika ia berhasil mendapatkan buku tersebut, tak sengaja sepucuk kertas bewarna biru terjatuh. Ia mengambilnya dan tanpa sengaja ia membaca isi kertas itu.

""Kapan kau akan menikah, Kana? Ibu sudah tidak sabar ingin melihatmu menikah lalu mempunyai anak.""

Tubuh Kana menegang mendengar perkataan yang baru dilontarkan oleh Kakashi. Daun-dau yang dikumpulkannya di tangannya terlepas begitu saja. Dengan kaku ia berbalik dan seketika matanya melotot tak percay adengan apa yang sedang di pegang olehh Kakashi.

"Apa yang kau baca, Kakashi!?" tanyanya histeris sambil merebut kertas yang berada di tangan Kakashi hanya dalam waktu seperkian detik.

"Ketika aku mengambil novelmu, kertas itu terjatuh. Kukira kertas itu memang bagian dari buku ini. Maaf, aku tidak sengaja membacanya waktu mengambilnya. Tapi..., itu suratkan?"

Kana menepuk jidatnya lalu mendesah pasrah. "Ya, ini surat dari ibuku."

"Kau belum menikah?"

"Kan aku bilang jika aku manusia bebas, Kakashi."

"Mengapa kau tidak menikah?"

"Apa urusannya denganmu?"

"Tidak. Maaf sudah lancang."

"Tidak apa-apa. Bukan salamu."

Kakashi menatap wajah Kana yang kusut.

"Mau kau ceritakan padaku?"

"EH?"

"Aku rasa kau sedang sangat terganggu dengan masalah di dalam isi surat itu. Bagaimana?"

Kana memandang Kakashi tak percaya.

"Aku bukan orang asing bagimu, Kana."

Kana menutup matanya dan menghembuskan nafas secara perlahan. Lalu ia membuka matanya dan menatap Kakashi. "Tidak apakah?"

Kakashi tersenyum. Itu adalah jawabannya.

.

.

.

.

TBC or End?

Aku rasa TBC :P

Ditunggu reviwsnya ya, minna.

Aku akan membalas pertanyaan kalian di Chap selanjutnya.

Ne, mohon dukungannya ya, minna readers.