disclaimer: this is a work of fiction and is inspired by wuthering heights (2011) scenes


Satu pagi pada awal musim panen, Tuan Barnes, sang tuan rumah, turun dengan pakaian rapi dan sangat siap menyambut sebuah perjalanan. Dia menghampiri Bucky dan Rebecca yang sedang menyantap bubur, lalu berkata kepada kedua buah hatinya. "Putra dan putriku, aku akan pergi ke New York hari ini, apa yang harus kubawakan? Katakan. Kalian boleh memilih apapun yang kalian inginkan." Rebecca meminta sebuah biola, kemudian Bucky; dia baru berusia tiga belas tahun, namun sudah dapat menunggangi semua jenis kuda milik ayahnya, dan dia menginginkan cemeti baru.

Tuan Barnes adalah pria baik hati, meskipun terkadang berubah menjadi tegas dan keras, dia menjanjikan dua benda itu, juga menjanjikan sekantung penuh apel dan pir, lalu dia mencium kedua anaknya, mengucapkan sampai jumpa, dan berangkat.

Tiga hari kepergiannya terasa sangat lama bagi seluruh penghuni rumah. Bucky dan Rebecca sering kali bertanya kepada para pelayan; kapankah Tuan Barnes akan pulang. Bucky mengharapkan kehadirannya pada makan malam ketiga, dia membiarkan makanannya mendingin seraya waktu bergulir, tak ada tanda kepulangannya, dia sudah lelah berlarian ke gerbang untuk melihat. Hari mulai gelap. Peggy, yang hampir setiap waktu datang ke rumah itu untuk mengurus anak-anak, menyuruh mereka tidur, namun mereka meminta diperbolehkan untuk tetap terjaga; dan sekitar pukul sebelas malam, kait pintu terputar perlahan, tibalah sang tuan rumah.

Dia membuka mantelnya, tertawa dan sesekali terbatuk, menawarkan mereka semua untuk berdiri. "Lihat, anak-anak! Aku tak pernah terpukul karena alasan apapun selama hidupku, tapi kau harus menganggap ini sebagai hadiah dari Tuhan; meskipun kotor seakan datang bersama iblis."

Mereka berjejalan, dan dari atas kepala Rebecca, Bucky melihat seorang anak berambut pirang dekil dan compang-camping, wajahnya terlihat sebaya dengan Bucky, ketika dia melangkah lebih dekat, dia hanya menatap sekeliling, dan mengulangi beberapa racauan yang tak dapat dimengerti siapa pun. Rebecca ketakutan, Peggy siap menendangnya ke luar. Sang tuan rumah mencoba untuk menjelaskan, namun dia diserang kelelahan setengah mati, apa yang dapat mereka tangkap adalah sebuah kisah mengenai dirinya yang menemukan anak itu kelaparan dan menggelandang di jalanan Brooklyn, di mana dia menjemputnya dan menawarkan diri untuk menjadi pemiliknya. Bukan satu jiwa yang mengetahui kepada siapa dia dimiliki, katanya. Uang dan waktunya terbatas, pikirnya, lebih baik dia membawanya pulang bersamanya saat itu juga.

Tuan Barnes menyuruh Peggy untuk memandikannya, memberinya pakaian bersih, dan membiarkannya tidur dengan layak seperti anak-anak kandungnya. Bucky dan Rebecca memuaskan diri dengan hanya melihat dan mendengarkan hingga akhirnya ketenangan kembali; lalu keduanya mulai membongkar barang bawaan ayahnya, mencari-cari hadiah yang telah dijanjikan. Rebecca masih sepuluh tahun, wajahnya merah karena menangis kala melihat biola yang diinginkannya telah hancur berkeping-keping. Bucky, ketika mengetahui sang ayah kehilangan cemeti pesanannya saat membawa si orang asing, memamerkan ketidaksukaannya dengan cara meludahi wajah bernoda anak itu. Dia mendapatkan pukulan keras dari ayahnya, untuk mengajarkannya tata krama. Mereka menolak mentah-mentah tidur bersama atau memberikan tempat tidur untuk anak itu. Peggy tak memiliki pilihan lain, dia menyuruhnya tidur di pendaratan tangga, merasa sedikit khawatir ketika Bucky dan Rebecca bertingkah seolah-olah mereka berharap anak itu akan pergi esok pagi. Secara kebetulan, atau karena tertarik mendengar suaranya, dia berjalan perlahan menuju bilik Tuan Barnes, dan dia tertangkap basah. Pertanyaan menyelidik dibuat, mengapa dia bisa ada di sana, dan bukannya tidur di tempat tidurnya. Peggy terpaksa mengutarakan pengakuan palsu untuk melindungi Bucky dan Rebecca.

"Sebagai balasan atas perilaku tidak manusiawimu, dengan berat hati, aku harus mengeluarkanmu, Peggy, dari sini selama beberapa hari," Tuan Barnes memutuskan. "dan kita akan memanggilnya Steve."

Itu adalah perkenalan pertama Steve kepada keluarga barunya. Kembalinya Peggy disambut oleh pembaptisan Steve; nama itu diambil dari nama seorang anak laki-laki yang mati muda di dalam sumur. Rebecca nampak tak peduli lagi padanya; namun Bucky masih menganggapnya sebagai orang asing.

Steve adalah anak yang pendiam, sabar, dan tangguh; dia membiarkan pukulan-pukulan Bucky tanpa berkedip atau menitikkan air mata, dan cubitan Peggy hanya membuatnya sedikit terkesiap, seolah-olah dia tak sengaja menyakiti dirinya sendiri, dan semuanya bukanlah salah siapa pun. Ketabahan ini membuat Tuan Barnes marah besar ketika dia menemukan putranya menyakiti anak malang itu. Tuan Barnes selalu memperlakukan Steve dengan baik, memercayai segala hal yang dia katakan meskipun sebenarnya dia jarang berbicara, menyebutnya sangat berharga, dan memberinya kasih sayang yang jumlahnya sama dengan Rebecca dan jauh lebih banyak daripada Bucky.

James Buchanan Barnes, yang terlalu nakal dan urakan untuk dijadikan kesayangan.

Sejak awal Steve telah menumbuhkan perasaan buruk di rumah, dan ketika sakit parah menyerangnya dua tahun kemudian, Steve, sebagai seorang perampas kasih sayang, semakin muram dengan merenungi luka-luka di tubuhnya. Peggy bersimpati sejenak; dia harus merawatnya, berada di dekat bantalnya sementara dia terbaring dalam kondisi terburuk, dan dia tak berani menebak bahwa Peggy terpaksa melakukannya. Meski begitu, Peggy akan mengatakan bahwa dia adalah anak paling pendiam yang pernah diurusnya. Perbedaan antara Steve dan yang lain memaksanya menjadi agak berat sebelah. Bucky dan Rebecca membuatnya tertekan, sedangkan Steve bahkan tak mau mengeluh seperti anak domba; meskipun kekerasan, bukan kelemahlembutan, membuatnya sedikit kesulitan.

Steve berhasil sembuh, dan dokter memuji perawatan Peggy yang akhirnya melunak terhadap keberadaannya. Dengan demikian, Bucky kehilangan sekutu terakhirnya, dan Peggy masih sering bertanya-tanya apa yang tuannya kagumi dari seorang anak yang murung hampir sepanjang waktu. Padahal dia hanya perlu berbicara dan semua penghuni rumah akan dipaksa untuk membungkuk pada keinginannya. Sebagai contoh, Tuan Barnes pernah membeli beberapa ekor kuda dalam pengembaraannya, dan memberikan masing-masing satu untuk setiap anak. Steve memilih yang paling cantik, berwarna putih, tetapi akhirnya kecewa karena kuda itu lumpuh.

Dia berkata pada Bucky. "Kau harus bertukar kuda denganku; aku tidak suka kudaku; dan kalau tidak, aku akan memberi tahu ayahmu tentang tiga tekanan yang kauberikan padaku minggu ini, dan aku akan menunjukkan lenganku padanya, yang lembam sampai hampir menghitam."

Bucky menjulurkan lidahnya, matanya juling, namun mulutnya tak mengucap jawaban.

"Aku akan berada di neraka hingga kau melakukannya." Steve bersikeras.

"Ambil kudaku, Anak Pungut!" gertak Bucky, mengancamnya dengan cemeti, memukulnya di dada hingga dia jatuh, terengah-engah. "Aku berdoa agar kudaku bisa mematahkan lehermu. Bawalah! Dia terkutuk, dan kau pengacau!"

Bucky menukar kudanya, dan menggiring kuda hitam miliknya ke kandang milik Steve, setelah dia menendangnya ke atas tumpukan jerami, dia melarikan diri secepat yang dia bisa, meninggalkan Steve yang terkejut menyaksikan betapa dinginnya dia. Tuan Barnes datang ke istal beberapa saat kemudian, dan menemukannya sedang duduk di atas sebundel jerami, meringis ketika hendak berdiri. Tuan Barnes membujuknya dengan mudah untuk membuka pakaiannya karena dia tak terlihat baik-baik saja. Dia nampak sedikit keberatan saat menunjukkan banyaknya luka memar di tubuhnya, dia begitu jarang mengeluh, memang, dari luka yang sebegitu parahnya, dia benar-benar berpikir Steve tidak pendendam.

"Apakah Tuhan akan memaafkanmu, Bucky?" Tuan Barnes berkata seraya membawa Steve ke rumah, dan menyuruh Peggy membuat kompresan hangat.

Dalam perjalanan waktu selama dua tahun, Tuan Barnes mulai gagal. Dia tak sehat, kekuatannya meninggalkannya tiba-tiba; dan ketika dia hanya bisa terdiam di dekat perapian, dia kadang menjadi sangat kesal, merenungkan alasan mengapa dia begitu menyukai Steve, sedangkan hampir seluruh penghuni rumah membencinya.

Tuan Barnes berharap kini mereka memiliki kedamaian. Terkadang, baik Peggy maupun Abraham, penjaga ternak yang telah bekerja selama dua puluh tahun, merasa sungguh menyakitkan bagi mereka untuk berpikir bahwa dia harus dibuat tidak nyaman dengan perbuatan baiknya sendiri, dan tak henti-hentinya khawatir tentang jiwanya, kebugarannya, dan tentang anak-anak.

Bucky, terutama. Anak itu selalu membuat Tuan Barnes seperti dirinya tidak pernah melihat seorang anak sebelumnya; dan dia membuat Tuan Barnes mencoba bersabar lima puluh kali lebih keras dan lebih sering dalam satu hari. Sejak dia turun tangga hingga dia tidur, Peggy tidak memiliki jaminan satu menit pun bahwa dia tidak akan berbuat salah. Semangatnya selalu di atas api, mulutnya selalu bernyanyi, tertawa, dan menjangkiti semua orang yang tidak akan melakukan hal yang sama. Terlepas dari betapa liar dan nakalnya, dia memiliki mata biru terindah, senyum termanis, dan kaki paling ringan di atas lumpur, tempat kesukaannya.

Namun, ada kalanya seseorang lebih ringan daripada orang lain.

Pada suatu sore yang lembut di bulan September, Bucky menyerang Steve di area dekat hutan ketika dia sedang mengajak kudanya berkeliling, namun sejak dua tahun lalu Steve berjanji untuk tumbuh sebagai anak liar dan kasar, seperti yang tanpa sadar telah Bucky ajarkan padanya. Dia membantingnya ke atas lumpur, untuk beberapa saat, mereka berkelahi dengan campuran air dan tanah tanpa ada peleraian, kotor di sekujur tubuh; wajah, leher, kaki, dan pakaian. Bucky menggeram karena sesak melanda kala Steve menduduki perutnya, pergelangan tangan putra tuan tanah itu hampir tenggelam dalam lumpur, dalam cengkeraman tangan anak yang lain, terengah-engah.

Saat itu sudah senja, dan bulan mulai mengintip dari balik hutan, menyebabkan bayangan tidak jelas. Steve memberikan gaya pada tubuh Bucky, berlama-lama menatap matanya, dan menarik beberapa napas dari udara yang dingin; matanya berada di bulan, dengan mudahnya dia berkata, "Kau harus menciumku."

"Menyingkirlah!" Bucky berkata dengan lemah, Steve senang melihatnya lemah, pertama kali kesulitan menggerakkan tubuh barang sedikit pun. Sinar jatuh pada wajahnya; pipinya pucat, dan setengah wajahnya tertutup kerak lumpur tipis. "Ayah berkata kita saudara."

"Saudara tiri, kau yang mengatakannya. Ayahmu memungutku. Aku adalah anak pungut." Steve menunduk, menciumnya dengan sungguh-sungguh, figur tampannya bersinar dengan senang, dan matanya terus tidak sabar mengembara dari mata ke seluruh wajahnya, yang mengingatkannya pada tatapan dingin di istal kuda.

Malam harinya, Bucky demam, itu membuatnya diam. Dia bersandar pada lutut ayahnya, dan Steve duduk di lantai dengan kepala di pangkuan. Sebelum tertidur, Tuan Barnes mengelus rambut putranya yang lembut, merasa senang karena dia jarang melihat rambutnya rapi, dan berkata, "Mengapa kau tak bisa selalu menjadi anak yang baik, Bucky?" Kemudian Bucky memalingkan wajah padanya, mendengus sebuah tawa, dan menjawab, "Mengapa kau tak bisa selalu menjadi pria yang baik, Ayah?" Tapi begitu dia melihat ayahnya kembali kesal, dia mencium tangannya, dan tidur.

Itu adalah kali pertama Bucky demam, dia selalu menjadi yang terkuat, dan Peggy hanya merawatnya selama dua hari, dia kembali melompati dinding bangunan, dan membuat Peggy terengah-engah ketika mengejarnya. Selama dua hari, hubungannya dengan Steve melonggar, dia nampak tak memedulikannya lagi, atau setidaknya mencoba untuk tak memedulikannya lagi, dia sempat marah karena Steve berhasil mengalahkannya, menjadi liar sepertinya, dan menciumnya di atas lumpur, namun Peggy mengatakan bahwa begitulah permainan, harus ada yang mengalah supaya satu pihak menang, dan setelah ceramah panjang dari pengasuhnya, dia melakukan sesuatu.

Pagi itu segar dan dingin, Bucky datang ke istal dan meminta Steve untuk ikut dengannya, namun Steve diam. "Apakah kau mengerti apa yang kukatakan? Ayo, ikuti aku!" Bucky memandunya ke sebuah lapangan berumput, dia membungkuk sebentar, memperlihatkan sehelai bulu unggas yang cantik, dia menyuruh Steve menutup matanya dengan telapak tangan, dan membuka mulutnya. Steve tak pernah memercayainya, khawatir sang putra tuan tanah akan meletakkan bulu itu ke atas lidahnya, tapi dia mengancam akan menambah luka memar di punggung jika tak berani percaya. Maka Steve melakukan apa yang dia pinta, lalu dia merasakan sesuatu yang lembut, hambar, sedikit manis, dia mencoba merasakannya seraya membuka mata, dan melihat Bucky mengunyah sesuatu, kelopak-kelopak mawar di genggaman tangannya.

"Tunjukkan dadamu!" Bucky memerintah. Dia tak merasa bersalah ketika melihat luka memar hasil serangannya, dia memotong dua batang lidah buaya, lalu membubuhi bagian depan tubuh Steve dengan gelnya. Tuan muda kembali lebih ceria dan lebih bergairah, dan berbunga-bunga dari sebelumnya. "Peggy memberitahuku untuk meminta maaf padamu. Aku cemburu karena Ayah lebih menyukaimu."

Untuk pertama kalinya, Steve tersenyum untuk Bucky. "Cium aku lagi, dan jangan biarkan aku melihat matamu. Aku akan memaafkan semua yang telah kau lakukan padaku."

Mereka diam-diam, wajah mereka saling bersembunyi satu sama lain. Bucky memberikan tiga atau empat ciuman di pipinya dalam satu detik, lalu berhenti di bibir, dan mundur, tertawa, berkata, "Kau memaafkanku."