Kadang kala Tuhan menciptakan seseorang bukan untuk dikehidupan kita, melainkan hanya untuk di hati kita. Kalimat ini sangat mewakilkan gambaran perasaan ku pada seseorang yang sangat aku cintai melebihi apapun di dunia ini.

Cih! Terdengar berlebihan bukan? Sebagain orang akan menganggap pikiranku ini sesuatu yang terlalu berlebih, tetapi aku tidak menganggapnya demikian.

Persetan dengan anggapan orang, aku tidak perduli! Pandangan setiap orang berbeda, Yang terpenting sampai kapanpun aku akan selalu mencintai 'dia'.

Dia yang merubah kehidupanku yang awalnya gelap, kini penuh warna. Senyumnya yang selalu ceria dengan pandangan mata bulat berwarna emerald terlihat menggemaskan, bibirnya yang berwarna peach terlihat begitu segar untuk dikecup. Semua yang ada pada dirinya bagaikan suatu magnet yang dapat menarikku untuk selalu memeluknya dengan hangat dan mendekapnya erat, kemudian mengatakan –

'aku mencintaimu, sangat mencintaimu'. Tapi, bisahkah aku mengatanya secara gamblang padanya? Mungkin jika dengan gadis lain dengan mudah aku mengatkanya. Tapi tidak dengan 'dia' aku tidak akan mungkin pernah bisa, karena dia –

Putri kandungku.

sampai kapan aku bertahan.

Disclamer Masashi Kishimoto

Pairing SasuSaku

Peringatan rate M (adegan lemon, kata kasar dan penuh umpatan, yang belum punya KTP dilarang membaca dosa ditanggung sendiri :V) maaf jika ada kata – kata yang tidak sesuai EYD, kalimat tidak baku dan alur yang tidak jelas. Jika ada kesamaan dalam cerita ini adalah sebuah kebetulan yang tidak disengaja :D

Selama menikmati.

DLDR

.

.

.

Bagian pertama : Something

Inilah kenyataan yang harus kuterima, aku Uchiha Sasuke mencintainya.

Entah sejak kapan perasaan ini muncul, perasaan yang sangat tidak bermoral dan sangat ditentang oleh masyarakat, keluarga terutama Tuhan. Aku yakin apapun agamanya pasti akan menentang cinta sedarah ini. Hanya orang bodoh yang mendukung cinta tidak bermoral ini, dan orang yang paling bodoh adalah diriku sendiri, bukan hanya bodoh tapi gila. Gila karna mencintai putriku. Entah setan mana yang telah merasuki jiwaku ini, aku tidak tahu.

Awalnya aku ingin membuang jauh – jauh perasaan ini, dan mengira ini hanyalah rasa posesif berlebih pada putriku. Namun, dugaanku salah, semakin lama aku berusaha menghilangkannya semakin tumbuh kuat dan nyata. Sedetikpun aku tidak pernah lepas darinya, pesona dia benar - benar membuatku terpikat.

selama tiga puluh tiga tahun aku hidup, belum pernah sekalipun aku seperti ini, mencintai seorang wanita sebegitu kuatnya untuk kumiliki. Dan baru kali ini aku benar – benar jatuh cinta, jatuh cinta pada wanita yang salah, yang tak lain pada putriku sendiri, darah dagingku. Huh! Benar – benar terlihat miris dan memalukan. Aku adalah contoh Ayah yang bejat. Tuhan pasti akan menjatukahkan hukuman untukku, siap tidak siap aku harus menerimanya.

Tit!tit!tit!

Alaram jam tanganku membuyarkan lamunanku, kuarahkan pandanganku untuk melihat waktu. Aku mendesah panjang saat mengetahuinya.

"Jam sebelas malam" gerutu pelan sembari tersenyum tenang seolah – olah ini adalah hal lumrah. Biasanya kebanyakan orang akan merasa panik jika waktu beranjak hampir tengah malam, terburu ingin pulang untuk berkumpul dengan anggota keluarganya, benar -benar kehidupan yang sempurna dan bahagia, sungguh berbanding terbalik dengan kehidupanku.

Sekali lagi aku tersenyum, kali ini senyum mengejek, mengejek hidupku ini.

jika aku bisa memutar balikkan waktu ke masa lalu pasti aku lakukan,kemudian merubahnya. Merubah semua kelakuan bejatku sehingga kehidupan seperti ini tidak akan mungkin terjadi.

Seandainya saja aku bisa merubahnya, pasti dia tidak akan terlahir di dunia ini sebagai putriku, dengan begitu aku bisa mencintainya dengan sebebas – bebasnya tanpa harus terbebani ikatan takdir ini. Mungkin ini adalah awal dari hukuman Tuhan untukku, sebelum hukuman yang lebih kejam akan diberikan, membayangkannya saja membuatku kalut.

Aku mendesah panjang, terasa lelah dengan semua ini, perasaan ini benar – benar menyiksa. Perlahan aku menyandarkan punggungku di kursi kebesaranku, memejamkan mata berusaha menyingkirkan semua pikiran kalut ini. Tapi tetap tidak bisa. Wajah putriku selalu hadir dalam bayanganku.

Uchiha Sakura, nama putri tersayangku, putri tercintaku yang setiap detik selalu berseliwaran menghantui kegiatanku. Baik itu saat rapat, bertemu klien, terutama pada saat – saat seperti ini, bayanganya semakin kuat.

Sakura, Sakura dan Sakura.

Menyebut namanya saja, rasa hangat menjalar disetiap aliran darahku. Padahal dulu sewaktu Sakura masih bayi sampai berumur lima tahun aku sangat membencinya. Melihatnya mengingatkanku pada si jalang yang kini telah berada di alam baka sana.

Sakura aku titipkan pada Ibu biar ada yang mengurusnya, jangan tanya kenapa aku tidak mau mengurusnya, tahu sendiri keadaanku pada masa itu masih berstatus pelajar kelas dua SMA. Mana mungkin aku mengurusnya, dan setelah luluspun aku harus meneruskan kuliah ke luar negeri.

beruntungnya keluargaku menerima Sakura dengan tangan terbuka walaupun sebuah tamparan keras mendarat di pipi saat Ayah mengetahui perbuatanku. Tamparan yang diberikan tidaklah seberapa sakitnya jika dibandingkan dengan perasaanku saat ini.

Awalnya aku masih tidak mempercayai Sakura adalah putriku, dia tidak ada miripnya denganku. Rambutnya berwarna pink, bola matanya berwarna hujau cerah dan tingkah lakunya sangat jauh berbeda denganku. Namun, semua argumenku terbantahkan dengan hasil tes DNA, Sakura dinyatakan benar – benar putriku, sungguh kenyataan yang begitu menyakitkan terutama untuk saat ini, aku berharap tes DNA tujuh belas tahun yang lalu adalah palsu.

Mungkin jika Karin yang melakukan tes DNA sendiri barulah meragukan, siapa tahu data – datanya diubah. Tapi, tes DNA dilakukan pada saat Karin meninggal, wanita jalang itu pergi setelah melahirkan Sakura akibat pendarahan hebat tanpa mengetahui hasil tes DNA nya. Di alam sana pasti dia merasa menang dan bahagia.

Selama lima tahun aku tidak bertemu dengan Sakura, dan ketika kuliahku telah selesai, aku kembali ke Tokyo untuk mengurus perusahaan Ayah.

Di sinilah untuk pertama kalinya aku bertemu dengan Sakura, gadis kecil itu mengintip di balik paha Ibuku, mata hijau bulatnya menatap takut padaku.

Deg! seketika aku terpana saat bertemu mata denganya, hatiku luluh saat itu juga.

"dia Papamu sayang, ayo peluk dia,"

Sakura mendongakkan kepala menatap Ibuku, "benarkah?" suaranya terdengar imut.

Ibuku mengangguk mantap, dia masih nampak terlihat takut untuk menghampiriku. Namun, saat aku memanggil namanya dia mulai tersenyum dan setelahnya berlari ke arahku, tangan mungilnya memeluk betisku.

Aku merubah posisiku yang tadinya berdiri, kini duduk berjongkok menyamakan posisi denganya.

Ku pandangi gadis mungil ini, dia masih menatapku dengan mata bulatnya, rambutnya berwarna pink terasa lembut saat kubelai. Tuhan, dia benar – benar menggemaskan, menyesal selama ini aku telah menyia – yiakan anugrah yang telah Kau berikan padaku, bagaimana bisa aku membenci gadis semanis ini.

Ku raih tangan kecilnya, membawanya ke bibirku untuk ku kecup, Sakura terkikik geli.

"aku Papamu sayang, kau tidak ingin memeluk Papa?" ujarku sembari merentangkan kedua lenganku.

Sakura menjatuhkan tubuhnya yang kecil ke dalam pelakukanku, rasa hangat menjalar diseluruh aliran darah saat merengkuhnya. Harum bau tubuhnya terasa candu. "mulai saat ini dan seterusnya, Saku tinggal sama Papa. Sakura mau kan?"

"pasti Papa," ucapnya dengan senyum polosnya.

Aku tersenyum saat mengingat awal pertemuanku dengan Sakura, wajahnya yang menggemaskan serta tatapan mata hijau bulatnya membuatku menyukainya. Kini gadis kecil itu berubah semakin cantik dan menawan, membuatku, Uchiha Sasuke tanpa sadar telah jatuh cinta padanya.

Inilah kenyataannya, kenyataan yang begitu menyesakkan dada. Bagaimanapun aku tidak akan bisa lari dari kenyataan ini. Apapun hasil akhirnya pasti aku menantikanya.

.

.

.

Tepat tengah malam, aku baru saja tiba di parkiran basement apartemen. Sebenarnya aku tidak ingin pulang, tapi Sakura menghubungiku untuk segera pulang. Dengan terpaksa aku menurutinya, lagian kasihan juga dia, jika aku menginap di kantor. Ayame, wanita yang mengurus keperlukaan kami hanya bekerja sampai pukul empat sore.

Setelah memakirkan mobilku dengan sempurna, segera aku keluar dari dalam mobil, kemudian berjalan ke arah pintu lift, menuju tempat tinggalku di lantai dua puluh tepatnya kamar no 2803. Angka itu tidaklah asing, karena bertepatan dengan hari kelahiran Sakura, sungguh suatu kebetulan yang begitu menarik. Sejak saat itu, aku memakai angka kelahiran putriku sebagai kode kunci pintu apartemen, begitupun dengan pin ATM serta kartu kredit. Angka itu benar – benar spesial.

Tit, tit, tit, tik. Cklek! Pintu apartemen terbuka ketika aku memencet angka kode dengan benar.

Sepi dan hanya sedikit cahaya lampu yang menerangi ruangan utama ini.

"tadaima, " gumanku lirih. Tak ada jawaban, sepertinya Sakura sudah tertidur lelap. Syukurlah, dengan begitu aku bisa menghindarinya.

Aku membungkuk untuk melepas kedua sepatu dan kaos kaki.

"hup, Catch you, Papa." Hampir saja aku terjungkal saat seseorang tiba – tiba hinggap di punggungku, kedua tanganya melingkar di leherku. Awalnya kukira maling atau orang yang tidak kukenal masuk ke dalam apartemen. Namun, saat terdengar dia memanggil 'Papa' aku jadi tahu siapa dia.

"kau belum tidur Sayang?" tanyaku sembari berjalan menuju dapur, sedangkan Sakura masih betah hinggap di punggung lebarku, dadanya terasa menekan, seketika aku menahan nafas.

"Saku menunggu Papa, kenapa selalu pulang telat. Saku takut sendirian,"

"Papa sibuk Saku, lagian kan ada Ayame kau bisa mengajaknya untuk tinggal bersamamu sampai Papa pulang." Aku mencoba memberi alasan klise.

"kasihan Ayame Papa, jika menemaniku sampai selarut ini. Dia kan juga punya keluarga."

"benar juga katamu, bagaimana kalau ke rumah nenek?" aku menawarkan alternatif lain.

Sakura berdengus kesal, ia menyandarkan kepalanya tepat di pundakku. Nafasnya terasa hangat mengelitik kulit leherku, tenggoranku langsung terasa kering. Buru aku mengambil air minum dan mengkandaskan isinya sampai tanpa sisa.

"aku tidak mau ke tempat nenek, paman Itachi selalu mengolokku."

"memangnya paman menggodamu bagaimana?" tanyaku penasaran.

"dia mengolokku anak cengeng,"

"hahaha Pamanmu benar, Sakura"

Sakura memukul pundakku dengan lembut dia tidak terima aku berpikiran sama dengan Itachi. Bibirnya ia cebikkan bertanda kesal. Aku semakin gemas melihatnya begitu.

"turun, sayang. Papa keberatan?"

"tidak mau, sebelum Papa berjanji." Pintanya.

"janji?"

"ya," jawabnya singkat.

"janji apa?"

"berjanjilah kalau tidak akan pulang larut malam lagi."

Aku terdiam, pura – pura berfikir, "oke, tapi hanya untuk besok"

"Papa!" kembali Sakura memukulku, aku pura – pura mengaduh kesakitan.

"rasakan!" ujarnya mengolokku. Harus diberi pelajaran. Dan tanpa aba – aba aku berlari kencang menuju ke kamarnya. Sakura berteriak histeris. Aku tertawa puas.

Brukkk! Ku lempar tubuh mungilnya di atas kasur, Sakura tertawa terbahak.

Aku masih berdiri di tepian Kasur sambil memperhatikan dirinya yang masih tertawa. terlihat sekali bahwa dia sangat bahagia. jika begini, tegakah aku menghancurkan kebahagiaanya saat aku mengatakan perasaanku sebenarnya. aku jadi kalut sendiri. tapi, akutetap tidak bisa jika terus seperti ini.

perlahan aku naik ke tempat tidur dan mengukung tubuhnya, sedikit aku condongkan kepalaku supaya semakin dekat pada wajahnya, hembusan nafasnya sangat menggelitik menerpa wajahku, sejenak aku memejamkan mata untuk menahan rasa tidak nyaman di panggkal paha. oh Tuhan Sakura benar – benar membuatku gila, setelah dirasa aman kubuka kembali kedua mataku dan Sekali lagi ku perhatiakan wajah gadis di bawahku ini, memperhatikan sampai detail setiap lekuk paras cantiknya, beberapa helain rambut pinknya menutupi sebagian wajahnya. Dengan lembut aku menyelipkan di belakang telinganya.

Sakura tersigap, dia menatapku dengan mengeryitkan dahi. "mengagumi kecantikan putrimu, eh?"

aku tersenyum miring, "jika benar bagaimana?"

Sakura terkekeh, "saya merasa tersanjung Tn Uchiha hehehe, apa menurut Papa Saku ini cantik?"

Tak usah ditanya, bagiku Sakura bukan hanya cantik tapi menawan, hatiku yang menjawab. Dasar pengecut tidak berani mengatakannya secara langsung. Aku mengumpat diriku sendiri.

Aku menghendikan bahu, "entalah," jawabku mencoba untuk menggodanya. Dia lagi – lagi memukul pundakku, tidak puas dengan jawabanku. "kalau menurutmu, aku bagaimana?"

Dia terdiam sejenak, emeraldanya menari menilai wajahku, "emmmm, Papa itu tampan dan sexsi kata temenku, bahkan mereka ada yang naksir sama Papa. Hahahaha lucu, seandainya Papa juga naksir sama temenku, pasti Papa dicap Pedofil."

Aku menanggapi dengan senyum miring saat Sakura menyebutku 'Pedofil'harus kuakui pernyataan Sakura adalah benar adanya, tepatnya seorang Pedofil yang mencintai putrinya sendiri. Terdengar bejat kan?

"itu kan menurut pendapat temanmu,sayang. Lalu, bagaimana menurut penilaianmu sendiri jika aku sebagai lelaki dewasa – " Sakura menautkan sebelah alisnya masih belum paham, "maksudnya bukan sebagai Papamu, apakah kau juga menganggapku tampan? Tanyaku serius. Sakura terdiam emeraldnya menatapku bingung.

Sedetik kemudian, hanya kebisuan yang aku rasakan. Bibirnya sedikir terangkat untuk mengucapkanya, Namun bukan jawaban atas pertanyaanku yang ia berikan, melainkan –

"sudahlah Papa, sebaiknya mandi dulu, Saku sudah menyiapkan air hangat untuk Papa. Keburu dingin," ucapnya dengan senyum simpul. Apakah ini pengalihan situasi?

Aku menghendikan bahu, dan menyetujui apa yang diperintahkan. Sebaiknya jangan terlalu dipaksa. Terdengar suara hembusan nafas lega. Segera kulepaskan kungkunganku dan kemudian beranjak dari kamar Sakura, menuju kamar mandiku untuk berendam air hangat.

Merasakan ketenangan ketika aku merendam tubuhku dengan air hangat, mataku terpejam kala otot lelahku terasa dipijat. Tapi, pikiranku masih melayang tentang kejadian di kamar Sakura saat aku menatap emeraldnya ketika menuntut jawaban, ada rasa gundah yang aku tangkap, sepertinya ada sesuatu yang disembunyikan. Apa dia juga merasakan hal yang sama denganku? Jika memang benar begitu, tanpa menunggu lagi aku segera menikahinya. Tak perduli keluargaku menentangnya, tak perduli jika aku diusir dari negaraku sendiri, aku akan tinggal di negara yang memperbolehkan pernikahan sedarah. Akan tetapi jika presepsiku salah, aku tidak akan siap untuk kecewa.

Sudahlah, jangan berfikir terlalu jauh dulu, untuk saat ini aku harus bersabar menunggunya.

Beberpa menit kemudian aku selesai berendam, kemudian menuju ke kamarku untuk memakai piyama.

Malam semakin larut, udara di luar sana pasti terasa dingin karna masih memasuki pertengahan musim gugur.

Aku bersiap untuk tidur, namun aku urungkan karena samar – samar aku mendengar suara seperti orang bercakap. Ku tajamkan pendengaranku, dari kamar Sakura, belum tidur juga dia? Kulirik jam weker yang bertengger di atas meja nakas. Tepat pukul satu dini hari.

Dengan rasa penasaran aku bangkit menuju ke kamar Sakura, suaranya semakin jelas terdengar. Aku mengeryit bingung, dengan siapa dia berbicara?

"oke, besok aku akan mengirimu pesan, ini sudah larut malam aku takut Papaku dengar, Sai" Aku paham sekarang, dia sedang menerima telephon, tapi siapa yang menghubungi selarut ini? Yang pasti bukan Ino, dia memanggil nama si penelpon itu 'Sai' dari namanya sepertinya seorang cowok, tapi aku tidak yakin. "Oyasuminasai," akhirnya.

Cklek, tanpa menunggu lagi aku langsung membuka pintu kamar Sakura, dia langsung berjengit kaget dan buru menyembunyikan ponselnya di bawah bantal. Aku semakin curiga, dengan langkah tenang aku menuju ke arahnya kemudian duduk di tepian ranjang, mengawasinya dengan tajam.

Sakura nampak ketakutan.

"belum tidur?" sapaku santai. Seoalah – oalah aku tidak mengetahui jika ia habis bertelephon.

"Papa sendiri?" Sakura balik tanya dengan senyum kikuk.

Aku menyeringai tipis, "bolehkah Papa mendapatkan pelukan sebelum tidur?"

Sakura tertawa senang, dia langsung berhambur memelukku, "oyasuminasai, Papa."

"Oyasuminasai juga sayang, tidurlah besok kau sekolah." Perintahku dengan lembut berusaha menutupi gejolak hatiku yang tidak tenang. Aku memberi Sebuah kecupan di dahi lebarnya sebelum ia merebahkan diri.

"Papa juga, sebaiknya pergi tidur –"

"aku akan menunggumu, sampai kau terlelap Sakura." ucapku tegas. Emerald Sakura membulat sejenak, namun akhirnya dia mengangguk menyutujui ucapanku.

Tiga puluh menit telah berlalu dan aku masih disini, memandangi putriku yang sudah tertidur lelap, terdengar suara dengkuran halus. Kuulurkan lenganku untuk membelai wajah Sakura, seberapa kalipun aku memandangnya tidak akan pernah merasa bosan. Wajah cantiknya benar – benar mengikatku.

Relakah aku melepaskanya untuk lelaki lain? jangan harap. Siapapun yang mencurinya, kupastikan berhadapan dengan Uchiha Sasuke. Terutama yang Sakura sebutkan namanya tadi, siapa sebenarnya dia? Jika benar lelaki, aku harus waspada.

Gadis seperti Sakura pasti banyak teman cowok seusianya yang menyukainya. Selama ini aku tidak kwatir karena dia tidak pernah keluar rumah, pulang sekolah tepat waktu. Jikapun pergi keluar pasti bersama Ino, aku tahu pasti, karena menyuruh seseorang untuk membutinya ketika keluar rumah, tandanya dia masih tidak memiliki orang yang disukai. Namun kali ini entah kenapa aku merasa tidak tenang, besok aku akan membuktikanya.

.

.

.

"Sakura berhenti bermain dengan ponselmu," perintahku. Sakura hanya menjawabnya dengan gumaman, "Sakura!" sedikit aku meninggikan suara oktavku supaya dia tersadar.

"apaan sih, Pa! Papa jadi semakin mirip nenek, cerewet." Sungutnya kesal.

Aku mendesah panjang, bukannya aku cerewet, tapi semenjak sarapan sampai saat ini selalu saja bermain ponsel. Sepertinya ponsel adalah barang yang begitu berharga. Biasanya ia tidak seperti ini, selalu berceloteh ria, menceritakan teman - temanya. Tapi kali ini Sakura sangat berbeda. Dan dia mulai berani melawanku. Apa ini akibat dari telephon semalam? Aku meliriknya yang masih tidak lepas dari ponselnya, samar – samar aku menangkap rona kemerahan hinggap di pipinya. Deg! entah kenapa hatiku berdenyut sakit dan merasa penasaran, sebenarnya apa yang dilihat di ponselnya sampai dia seperti itu. Semalam aku lupa memeriksa ponsel dia.

Ini seperti ciri – ciri orang yang lagi kasmaran? Apa Sakura sedang mengalaminya? Jika benar demikian aku tidak akan pernah mengizinkanya.

"Sakura, masukkan ponselmu ke dalam tas sekarang juga!"perintahku sekali lagi, mengingatkan dengan nada membentak. Tanpa menunggu dua kali, dia mematuhi perintaku. " anak sekolah itu tugasnya belajar, bukan mainan ponsel," tambahku dengan tidak mengalihakan pandanganku ke depan.

"dan Papa jangan terlalu banyak bicara, konsentrasi mengemudi supaya tidak menabrak." Balas Sakura sewot.

Aku berdecak kesal tanpa menjawab uraiannya. Diladenin malah tambah parah, takutnya dia ngambek padaku.

Sesaat kami sama – sama terdiam. Hening.

"hasyim!"

Cittttttt! Mendadak aku menghentikan mobilku.

"apa – apan sih, Pa? menghentikan mobil secara mendadak. Untung kepala Saku tidak terbentur dashbroad," protes Sakura dengan membulatkan kedua emeraldnya padaku.

Aku meminta maaf padanya, dan dengan cepat kuulurkan salah satu tanganku untuk menyetuh keningnya.

"tidak panas, kan?" tanya Sakura santai.

Aku menghembuskan nafas lega.

"apa kau tidak apa, Sakura? kau tidak terkena Flu kan? Mimisan? Kalau kau kurang sehat kita bisa ke rumah sakit sekarang juga."

Sakura memutar bola matanya bosan, "oh Tuhan Papa, berhenti mengkwatirkan Saku secara berlebihan. Saku hanya bersin doang, tidak mengidap penyakit yang mematikan."

"bukannya begitu, ini sudah memasuki musim dingin, biasanya kau terserang deman sampai mimisan. Orang tua mana yang tidak kwatir," alasanku memang benar adanya, dia selalu deman saat udara dingin. Aku sangat mengkwatirkanya. Namun Kabuto, dokter pribadi keluarga Uchiha menjelaskan itu hal lumrah. Sistem kekebalan tubuh Sakura memang lemah, jadi wajarlah jika musim dingin terkena deman. Sedikit lega aku mendengar uraian Kabuto. Tapi aku tetap saja merasa kwatir takut terjadi sesuatu yang tidak – tidak menimpanya.

"terserah Papa saja, Saku malas berdebat dengan Papa." Akhirnya ia mengalah juga, terkadang dia sangat keras kepala.

Aku menghendikkan bahu singkat, kemudian melanjutkkan perjalanan menuju ke sekolah Sakura.

Tak berapa lama kamipun tiba tepat di depan sekolah Sakura. Murid – murid SMA Gaukin mulai berdatangan. SMA ini sangat terkenal, hanya orang berada yang bisa sekolah di sini. Bukannya sombong, aku hanya tidak mau Sakura masuk ke SMA yang fasilitasnya kurang, semua orang tua pasti menginginkan yang terbaik bagi pendidikan putra dan putrinya.

"Pa, nanti jangan jemput Saku ya,?" aku mengeryitkan dahi. Apa maksudnya? Tidak biasanya dia begini. Apa dia masih marah padaku.

"kenapa, kau masih marah sama Papa?"

Sakura menggeleng. "bukan begitu, Pa. Saku nanti pulang telat, soalnya ada kegiatan sampai malam, Saku akan pulang diantar Ino." Ujarnya beralasan.

Semakin tidak masuk diakal. Biasanya dia paling benci ada kegiatan di sekolah. Jangan – jangan apa yang menjadi dugaanku benar, jika ini berhubungan dengan orang yang bernama 'Sai' aku harus benar – benar menyelidikinya. Namun aku ber pura – pura bersikap biasa dan mempercainya, biar dia tidak curiga.

"baikalah Papa percaya padamu –" terdengar dia menghembuskan nafas lega, "tapi, jika kau berbohong tahu sendiri akibatnya." Sejenak aku merasakan aura ketegangan dalam dirinya.

"percalayah pada Saku, Pa. Saku tidak akan mengecewakan Papa," ujarnya tersenyum meyakinkanku dengan menambahkan sebuah kecupan di pipi.

Aku mengiyakannya saja dan tidak bertanya – tanya lagi. Kita lihat saja nanti, dikira aku gampang percaya begitu saja. Jangan remehkan Uchiha.

Setelahnya sakura segera keluar dari mobil, aku mengawasinya sampai sosoknya benar – benar menghilang. Tidak ada yang mencurigakan, berjalan seperti biasanya. Setelah merasa yakin, perlahan aku melaju mobilku menuju kantor.

Dalam perjalanan bahkan sampai tiba di ruangku, pikiranku benar – benar bercabang. Terus memikirkan Sakura bahkan beberapa pertemuan penting dengan klien terpaksa aku cancel, aku tidak bisa kontsentrasi.

Sikap Sakura membuatku tidak tenang sejak menerima telephon dari 'Sai' kenapa Sakura tidak memberitahuku siapa dia sebenarnya? Sebegitu menakutkanya diriku di matanya? Oh Tuhan ternyata selama ini aku hanya dianggap olehnya sebagai orang tua yang tempramental. Memang benar dulunya aku sangat tempramental tapi aku berusaha menghilangkannya sejak Sakura tinggal bersamaku. Bahkan semua sifat burukku perlahan mulai aku kurangi demi terlihat baik di mata Sakura.

Ketika aku mulai menaruh perasaan rasa suka padanya, aku benar – benar meninggalkan keburukanku. Aku mulai pergi ke gym, tidak merokok, minum, apalagi bermain wanita jalang.

Aku sudah tidak bernafsu pada perempuan lain, yang kulihat hanya Sakura bahkan aku sampai mastrubasi sambil membayangkan wajahnya, benar – benar mengenaskan, sampai segitunya aku menginginkan Sakura. Yang lebih memalukan, aku sampai seacrh di google 'Bagaimana cara menarik perhatian wanita supaya dia jatuh cinta pada lelaki.' Kemudian menerapkan semua tips – tipsnya, gila kan! Semua itu kulakukan supaya sakura melihatku sebagai seorang pria dewasa, bukan Papanya! Tapi apa? sampai saat ini aku masih dilihatnya sebagai Papanya. Kapan aku bisa mengubah pandanganya.

Brakkk! Aku melampiaskan kemarahanku dengan membanting dokumen di atas meja. Kakashi, seketarisku berjengit kaget, dia hanya terdiam tak berani untuk bertanya padaku. Mungkin dia menyadari aura gelapku.

Ku sandarkan pungguku pada kursi, memejamkan kedua mata, mencoba mengeyahkan semua pikiran yang hinggap di kepala.

"Kakashi, pernahkah kau jatuh cinta pada gadis yang salah?"

"hah? Apa mksudnya, Tn muda?"

"sudahlah lupakan,"

Bertanya pada Kakashi sama saja dengan bohong, aku tidak yakin dia bisa menjawab pertanyanku. Mana mungkin dia pernah jatuh cinta, buktinya dia masih terlihat sendiri diusianya yang menginjak umur empat puluh.

"tidak ada yang salah ketika kita jatuh cinta kepada siapa, yang salah bagaimana cara kita menyingkapinya." Akhirnya setelah seperkian detik Kakashi menjawab pertanyaanku. Terdengar masuk akal juga.

Tak ada yang salah dengan cinta. Karena ia adalah sebuah kata dan kita sendirilah yang memaknainya.

.

.

.

Tepat pukul empat sore, aku tiba di sekolah Sakura, mobilku – tepatnya mobil Kakashi ter parkir agak jauh dari depan pintu gerbang. Sebelum berangkat ke sini aku menukar mobilku dengan punyanya supaya tidak ketahuan.

Aku masih berada di dalam mobil sembari memperhatikan siswa Gaukin yang satu persatu mulai keluar dari pintu gerbang. Sosok yang aku cari belum terlihat, beberapa menit kemudian sosok itu muncul bersama gadis yang aku kenal, Yamanaka Ino. Mereka berdiri tepat di samping gerbang sekolah, seperti menunggu seseorang.

Katanya ada kegiatan sekolah, tapi kenapa mereka malah keluar sekolah? Tanyaku bingung.

Tak sedikitpun pandanganku beralih ke yang lain, fokus pada objek tujuan. Mataku menyipit saat seseorang, tepatnya seorang bocah lelaki menghentikan motor besarnya di hadapan mereka berdua.

Siapa dia? Sepertinya dia teman satu sekolah, karena memakai seragam yang sama. Mungkinkah dia Sai? Terkaku dalam hati.

Aku mencengkram kemudi mobil saat melihat Sakuraku tersenyum padanya. Jantungku memompa keras.

Tenang Sasuke, jangan terburu emosi siapa tahu dia hanya meminjam buku, pikirku positif. Ternyata dugaanku salah besar, dia menyuruh Sakura untuk duduk di jok motor dengan sebuah isyarat. Gadisku dengan mudahnya menuruti perintahnya, dia berpamitan dengan Ino, sebelum melesat pergi.

Dengan perasaan menggebu aku mengikutinya dari belakang. Sebenarnya tadi aku ingin turun dari mobil, dan menyeret Sakura untuk dibawa pulang. Namun, aku mengurungkan niatku, berencana untuk mengikutinya.

Jadi dugaanku benar, jika Sakura berbohong padaku.

Dasar jalang! Aku akan membuat perhitungan denganmu, tanpa terasa aku mengumpat gadis yang aku cintai. Hati ini benar – benar ingin meledak, marah, kesal, cemburu semua tercampur jadi satu.

Mobil ini terus melaju mengikuti kemana mereka berdua pergi. Selama hampir tiga puluh menit aku mengikuti dan akhirnya Motor itu berhenti disebuah taman hiburan. Oh, jadi mereka sedang berkencan, akhirnya aku paham juga.

Aku memakir mobilku agak jauh dari pintu masuk. Sementara si Sai itu memakirkan motornya di tempat parkir khusus, Sakura menunggunya di pintu masuk tiket. Inilah kesempatanku untuk menyeretnya pulang. Batas kesabaranku sudah mencapai ubun – ubun.

Brukkkk! Kututup kasar pintu mobil ketika aku keluar, dengan cepat aku melangkah mendekati Sakura. Jantungku berdegup kencang karena amarah. Segera kuraih lengan Sakura ketika sudah berada tepat di belakanganya, kemudian dengan keras memutar tubuhnya supaya menghadapku.

emerald itu terbuka lebar, seolah – olah tak mempercai apa yang dilihatnya.

"Pa, Papa?!"

To be continue :V

Ini hanya tiga chapter jadi see you next chapter ya :V tidak lama kok, tinggal edit hehe. Btw saya menggunakan orang pertama sampai cerita ini selesai. Jadiiiii maaf kalau Sasuke terlalu OOC :D